MasukTerpaksa menikah karena kesalahan satu malam sang adik. Mereka menikah tanpa cinta. Keadaan memaksa Kenan menikahi Jifanya . Pernikahan itu hanyalah jalan keluar dari sebuah masalah besar yang melibatkan keluarganya. Bayulah yang merusak masa depan Jifanya tapi dirinya yang harus bertanggung jawab. Di matanya, Jifanya hanyalah beban—wanita yang hadir di waktu yang salah.Namun, di balik senyum lembutnya, Jifanya menyimpan luka yang bahkan Kenan tak sanggup tebak. Ia mencoba bertahan dalam rumah tangga yang dingin, sementara perlahan hatinya terkikis oleh sikap suami yang tak pernah memandangnya. Ketika rahasia masa lalu mulai terkuak, keduanya terjebak dalam pusaran kebohongan, pengkhianatan, dan perasaan yang tak terduga. Di antara rasa sakit dan amarah, Kenan mulai mempertanyakan: apakah ia siap kehilangan Jifanya… atau justru siap berjuang untuknya? Satu hal yang pasti—cinta mereka tidak pernah sederhana
Lihat lebih banyakKebaikan yang Dituduh Salah
Sore itu, Jifanya baru saja pulang dari kampus. Langkahnya melambat saat melihat seorang gadis kecil di pinggir jalan. Usianya mungkin belum genap sepuluh tahun. Tubuh mungilnya terbungkus kostum kartun berwarna cerah, yang kini basah oleh keringat dan debu jalanan. Ia berjoget kaku sambil melambaikan tangan ke arah kendaraan yang lewat. Mata anak itu tampak lelah, bibirnya pecah-pecah, menahan haus di bawah sengatan matahari yang terik.
Di seberangnya, seorang wanita duduk nyaman di bawah pohon rindang. Dengan santainya ia menyeruput es teh dari plastik, seolah tidak ada hubungan dengan anak yang sedang berjuang di bawah terik matahari.
Jifanya menatap keduanya dalam diam. Hatinya menegang.
Sore harinya, di kontrakan petakan yang ia tinggali, suara tangis anak itu kembali terdengar. Tangisan yang menyesakkan dada.
“Hanya ini uang yang kamu bawa?!” bentak suara perempuan dari rumah sebelah.
“Iya Ma… aku lapar, makanya aku pulang,” jawab anak itu lirih, penuh ketakutan.
“Jangan pulang kalau kamu nggak bawa banyak uang! Kamu nggak boleh makan!” teriak wanita itu disusul bunyi benda tumpul menghantam tubuh kecil. Jifanya membeku.
“Ampun Ma, sakit Ma,” sauara tangisan yang memilukan hati.
“Sudah berapa kali aku bilang! Kamu tidak boleh pulang kalau tidak membawa uang yang banyak!
Tangisan pilu itu seperti jeritan yang merobek telinganya. Ia tidak bisa tinggal diam. Hatinya yang selembut sutra menolak untuk membiarkan anak sekecil itu terus disiksa.
Sementara tetangga lainnya tetap tenang seolah hal itu sudah jadi hiburan sore biasa. Tidak ada yang keluar rumah, tidak ada yang bicara. Semua memilih bungkam.
“ibu yang jahat,” gumam Jifanya.
‘Apa aku satu-satunya manusia waras di tempat ini?’ batin Jifanya penuh kemarahan.
Dengan tekad bulat, Jifanya keluar dari rumah dan mendorong pintu rumah sebelah. Ia menyeret wanita gila itu keluar rumah sambil memeluk tubuh anak kecil yang penuh luka.
“Cukup Bu, jangan memukuli anak seperti itu.”
“Lepaskan saya! Kamu siapa hah?! Dasar sok pahlawan!” teriak wanita itu, mencoba memukul Jifanya dengan sapu.
“Ibu bisa kena pasal, kalau melakukan kekerasan pada anak-anak,” ujar Jifanya.
“Apa urusanmu dia anak saya!”
“Sekalipun dia anak Ibu tidak boleh melakukan kekerasan pada anak. Apa ibu mau saya laporkan?”
Wanita itu semakin marah. “Jangan ikut canmpur urusan saya.” Dia mengangkat gagang sapu ingin memulul Jifanya.
Beruntung, Tina—teman Jifanya datang ke kontrakan itu—langsung melambai ke arah jalan. Seorang pria yang kebetulan sedang melintas, menghentikan motornya dan turun.
“Ibu, tolong jangan kasar begitu. Astagfirullahaladzim,” ujar sang pria dengan tenang, menahan tangan sang ibu yang masih mengacungkan sapu.
“Kalian keroyokan ya?! Dasar anjing kalian semua! Mau sok jadi pahlawan, hah?!” Wanita itu menggila. Segala kebun binatang keluar dari mulutnya. Namun Jifanya tetap diam. Ia memeluk anak kecil itu, dan membawanya masuk ke rumah.
“Jifanya! Apa yang terjadi?” tanya Tina yang sejak tadi masih belum memahami permasalahan.
“Ibu ini mukulin anaknya, Tin. Kasihan banget. Tangannya lebam.”
Tina menggeleng pelan. “Ji, kamu ikut campur lagi masalah orang. Nanti malah kamu yang repot.”
“Tina, ini anak kecil. Apa kita harus tunggu dia mati dulu baru bergerak?”
Dari sudut lain, seorang pria datang mendekat. Ia tampaknya kesal melihat Jifanya selalu mengurusi masalah orang lain. Sebenarnya bukan terlalu mengurusi masalah orang lain, Jifanya hanya punya rasa sosial yang tinggi.
“Jifanya, kamu baru pindah ke sini. Hati-hati kalau bersikap. Jangan ikut campur urusan rumah tangga orang,” ujarnya marah, waqjahnya terlihat kesal. Dia kekasih Jifanya.
“Tapi ini bukan sekadar urusan rumah tangga, Mas. Ini kekerasan anak,” bantah Jifanya tanpa gentar.
Tina hanya mendesah. “Kamu terlalu sering begini Ji. Aku dan Fahar udah capek menasihatin kamu.”
Memang bukan sekali ini Jifanya ikut campur dalam urusan seperti ini. Ia sudah sering menolong anak-anak korban kekerasan, meski berakhir harus berurusan dengan polisi.
Sore itu, saat Jifanya sedang membersihkan luka di tangan Anak tersebut, suara gaduh datang dari luar. Wanita gila itu datang bersama ketua RT dan RW. Wajahnya penuh amarah.
“Itu, Pak! Mereka mau menculik anak saya!” tuduhnya lantang.
Jifanya berdiri, menatap mereka dengan tenang. “Saya hanya menyelamatkan anak ini, Pak. Dia dipukul sampai lebam.”
Ketua RT, seorang pria bertubuh gempal, menatap sinis. “Mbak ini baru pindah, ya? Jangan cari masalah di sini.”
Jifanya terkejut. “Pak, ini bukan soal baru atau lama. Ini soal anak-anak yang disiksa. Masa kita diam saja?”
Pak RW ikut menimpali, “Dia ibunya, Mbak. Kalau pun keras, itu bagian dari mendidik.”
“Mendidik, Pak?” Jifanya menatap keduanya tajam. “Kalau mendidik pakai pukulan sampai biru-biru, itu bukan pendidikan, itu penyiksaan.”
Jifanya menoleh ke arah para ibu-ibu tetangga yang melihat dari kejauhan. “Ibu-ibu semua tahu kan? Tapi kenapa diam saja?”
Tak satu pun yang menjawab. Semua menunduk. Takut atau pura-pura tuli, Jifanya tak peduli.
“Sudah, Mbak. Jangan urusin keluarga orang. Mas, tolong temannya dikasih tahu temannya. Jangan bikin keributan,” kata Pak RW pada kekasih Jifanya.
Wanita itu menunjuk Jifanya dengan garang. “Kamu akan saya laporkan ke polisi karena menculik dan mukul saya!”
“Silakan, Bu. Saya nggak takut. Justru saya yang akan laporin Ibu karena menyiksa anak,” sahut Jifanya lantang.
Wajahnya dingin tapi hatinya masih gemetar karena geram. Tina menahan lengan Jifanya, “Udah, Ji. Jangan ribut. Kamu malah tambah runyam.”
Tapi perdebatan itu belum selesai. Kekasih Jifanya datang dan ikut-ikutan marah.
“Cukup, Jifanya! Aku capek! Capek banget urusin kamu yang selalu ikut campur urusan orang lain! Dulu kamu pindah kontrakan karena laporin bapak-bapak yang mukulin anaknya. Sekarang kamu dilaporin RT-RW karena ikut campur urusan orang tua yang katanya cuma ‘mendidik’. Aku beneran lelah!”
Sang Kekasih meninggalkan Jifanya tanpa menoleh. Hati Jifanya semakin sesak. Sakit rasanya saat niat baik justru dibalas dengan tuduhan.
Menjelang senja, suara motor polisi berhenti di depan kontrakan. Beberapa polisi datang. Mereka membawa surat panggilan.
“Saudari Jifanya, ikut ke kantor. Ibu Santi dan Pak RT melaporkan Anda atas dugaan penculikan anak dan pemukulan.”
Tina terkejut. “Hah? Ji, kamu serius dipanggil polisi?”
Jifanya hanya menghela napas. “Kadang, niat baik tidak selalu disambut baik. Tapi aku tidak akan pernah berhenti menolong jika melihat ketidakadilan.”
Ia melangkah maju, menatap para petugas dengan wajah tegar, meski dadanya penuh luka. Sementara anak kecil yang ia lindungi, menangis pelan memanggil namanya.
“Mbak Jifanya… jangan pergi…”
Bukankah yang menolong seharusnya dilindungi, bukan dipenjara?
Bersambung
Jangan lupa berikan dukungannya untuk karya baru saya, ya kakak terimakasih banyak
Saat Jifanya berjalan menjauh Bayu menemuinya lagi. Ia tidak ingin wanita hamil itu kenapa-kenapa. Jifanya menutup mata menatap ke pantai Ancol ia sangat berharap Bayu berubah pikiran dan membawanya pergi bersamanya.‘Aku berharap ada keajaiban’ gumamnya dalam hati.Mentari senja menyapu langit Ancol dengan semburat jingga yang menggantung lesu, seakan melukis kanvas alam dengan perasaan yang penuh ketegangan. Ombak berdebur, datang dan pergi, seperti hati Jifanya yang tak tenang. Angin laut berhembus lembut, menebar aroma asin yang bercampur getir, seperti nasib yang tengah dipikulnya.Jifanya berdiri di bibir pantai. Rambut hitamnya terurai berantakan, tertiup angin, namun tubuhnya tetap tegak. Meski hatinya berguncang, ia mencoba bertahan. Di dalam rahimnya, ada kehidupan kecil yang harus ia jaga, meski batinnya koyak oleh dilema cinta dan tanggung jawab.“Tunggu di sini. Sebentar lagi dia akan datang.”Suara Bayu terdengar lirih namun mantap. Tatapannya penuh pergolakan, seolah d
Senja menggantung malu-malu di langit Jakarta. Cahaya jingganya mewarnai pantai Ancol, memantul di permukaan air yang tenang. Di sebuah kafe di pinggir pantai, Jifanya dan Bayu duduk berdua. Udara mulai dingin, angin laut menyapa perlahan, seakan ikut merasakan keruwetan hati mereka."Kenapa kamu diam?" tanya Jifanya setelah mereka selesai makan. Matanya menatap Bayu penuh tanya. Tak seperti biasanya, pria itu terlihat lesu dan sulit didekati."Jifanya, aku sangat capek. Kita bicara lagi besok pagi, ya? Aku akan pesan satu kamar hotel untuk kamu. Istirahatlah di sana," ujar Bayu sambil melirik ke arah hotel di seberang jalan."Kenapa harus hotel? Aku bisa tidur di rumahmu. Di sana banyak kamar, bukan?""Kamu istri Kenan, Jifanya. Tinggal berdua dengan pria yang bukan suamimu hanya akan menimbulkan fitnah," tutur Bayu dengan suara lirih namun mantap."Lalu kamu bagaimana?""Jangan pikirkan aku. Aku bisa tidur di mana saja. Malam ini, aku akan tidur di mobil."Dengan langkah berat, Bayu
Langit Ancol sore itu mendung, seakan ikut menyimpan rahasia yang menggantung di antara mereka. Angin laut berembus pelan, menyibak rambut Jifanya yang setengah terikat, saat ia dan Bayu duduk di sebuah kafe pinggir pantai. Keduanya memesan minuman, namun tak satupun yang menyentuh gelasnya.Jifanya tahu, ini bukan sekadar pertemuan biasa. Wajah Bayu yang tegang, rahangnya mengeras, matanya tajam menatap ufuk jauh. Sebuah badai akan segera datang, bukan dari langit, tapi dari masa lalu mereka.Jifanya menata napas, lalu berbicara, “Aku tahu kamu belum pernah bicara berdua dengan Ayahmu. Aku sengaja mengatur ini.”Bayu menoleh sekilas, lalu mengangguk. “Terima kasih.”Beberapa saat kemudian, langkah tegap Pak Mustofa muncul. Rambutnya disisir rapi, kemeja putihnya sedikit kusut. Ia menatap Bayu, lalu duduk tanpa bicara.Hening.Debur ombak jadi musik latar.Akhirnya, suara berat itu terdengar, dingin dan tegas.“Tidak pantas kamu membawa istri abangmu sendiri kabur.”Bayu mengerutkan d
Bayu menyetir tanpa arah, membiarkan malam menelan keheningan dalam mobil. Lampu-lampu kota Jakarta menyala bagai kilau luka yang tak bisa disembuhkan. Ia menatap jalan kosong di depannya, tapi pikirannya penuh. Tidak ada rencana, tidak ada tujuan. Ia hanya tahu satu hal, ia tak sanggup membiarkan Jifanya menangis seperti tadi, dremehkan, diusir secara halus oleh wanita yang seharusnya menjadi ibu.Angin malam berdesir lembut dari ventilasi mobil, menyapu wajah Jifanya yang pucat. Ia duduk diam, menunduk, memeluk perutnya yang mulai membuncit. Tatapannya kosong, namun sesekali mencuri pandang ke arah wajah Bayu yang luka-luka. Bibirnya ingin bergerak, ingin berkata sesuatu, tapi rasa bersalah dan ketakutan menahannya. Ia tahu Bayu kehilangan kendali karena dirinya. Tapi ia juga tahu, Bayu hanya ingin melindunginya.Setelah menempuh jalan panjang, mobil perlahan melambat. Bayu menepikan kendaraan di sebuah kawasan elit di Ancol, Jakarta Utara. Di depannya berdiri sebuah rumah dua lan
Hujan baru saja reda sore itu. Langit mendung seperti perasaan yang menggantung di dalam rumah keluarga Mustofa. Jifanya duduk di ruang belakang, diapit oleh Dila yang terus berusaha menenangkannya. Isak tangis pelan terdengar di sela-sela helaan napasnya yang berat.“Aku tidak ingin tinggal di rumah ini, Kak Dila. Aku tidak sanggup lagi. Lebih baik aku kost. Ibu-ibu bilang aku dan anak ini hanya benalu yang menumpang hidup. Aku merasa sangat sedih,” ucap Jifanya lirih, menunduk, menggenggam perutnya yang mulai membuncit, seolah ingin melindungi buah hatinya dari dunia yang terlalu kejam.Dila mengelus punggung Jifanya dengan lembut. “Ji, tolong jangan menangis. Kalau Kakek dan Ayah tahu Umi bicara seperti itu lagi, mereka akan marah besar. Tadi malam saja, pertengkaran antara Ayah dan Umi sudah sangat hebat.”Tangis Jifanya semakin tak terbendung. “Aku tidak ingin jadi penyebab keributan di rumah ini, Kak. Itulah kenapa aku memilih kost dari awal.”“Ji, aku janji, aku akan bicara den
Senja mulai turun pelan-pelan, membalut langit dengan warna keemasan yang mengabur, seiring bergulirnya waktu di rumah keluarga Kenan. Udara terasa lembab, seolah menyimpan banyak rahasia yang belum terucap. Suasana rumah besar itu tampak tenang di permukaan, namun ada percikan-percikan bara yang sewaktu-waktu bisa menyala menjadi api.Bayu menoleh pada Kenan yang berdiri tak jauh darinya di ruang tengah.“Bang, aku sama Jifanya duduk di luar, ya,” ucap Bayu sopan, tetap menjaga tata krama di hadapan kakaknya.Kenan mengangguk singkat. “Baiklah.”Jifanya pun ikut bangkit dan menyusul Bayu menuju meja kerja di halaman belakang, tepat di tepi kolam renang yang memantulkan cahaya langit senja. Suasana di luar terasa lebih lega, lebih lapang, dan lebih jauh dari luka-luka yang selama ini menghimpit Jifanya di dalam rumah itu.Dari lantai dua, Kenan berdiri di balik tirai jendela kamarnya. Matanya menatap lurus ke arah halaman. Bayu dan Jifanya duduk berdampingan, masing-masing sibuk di dep












Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Komen