Sudah tiga bulan setelah insiden di rumah sakit dulu. Kini aku dan Rio semakin dekat. Hubungan kami pun sudah melangkah ke jenjang serius. Pernikahan sudah ada di depan mata. Aku berdiri, menatap bangunan yang sebentar lagi akan menjadi restoranku. Semua tak luput dari dukungan dan kerja keras Rio. Bersyukur Tuhan mengirimkan dia untuk menjadi imamku, terlepas dari sifat konyol yang ia miliki. Terlepas dari itu semua, Rio adalah lelaki yang berpikiran dewasa. Dia mencintaiku apa adanya. Tak sekali pun dia membahas masa lalu. Entah saat berdua atau ketika bersama orang lain. Dia pandai menutup aib masa lalu yang sudah kututup rapat. "Sudah berapa persen, Ra?" tanya Rio. Lelaki itu sudah berdiri di belakangku. "80 persen, Rio. Tinggal dikit lagi restoran bisa dibuka. Seperti yang sudah kita rencanakan.""Bukan itu, Ra."Aku menoleh, menatapnya dengan sorot mata penuh tanda tanya. Namun sebuah lengkungan indah justru tercipta di sana, di wajah penuh kharisma itu. "Lantas apa, Rio?"
"Kamu ndak masak, Nduk?" tanya ibu mertuaku saat membuka tudung saji di atas meja. Tangannya meraba meja yang kosong tapi tak ada apa pun. Aku melangkah mendekat, perlahan kubantu Ibu duduk di kursi kayu yang telah usang. Ibu Mas Toni tak bisa melihat setelah mengalami kecelakaan tiga tahun lalu. Lebih tepatnya satu bulan setelah aku dan Mas Toni menikah. Semenjak kejadian itu aku terpaksa keluar dari kantor. Mengabdikan diri merawat mertua yang sudah kuanggap seperti ibu kandung sendiri. "Maafkan, Fatimah, Bu. Fatimah tidak memiliki uang untuk membeli beras." Dadaku bergetar, aku tahan air mata yang hendak jatuh ini. Sebagai ibu rumah tangga, aku hanya mengandalkan uang pemberian suami,tak ada pemasukan lain. Uang yang Mas Toni kirim harus kuatur sedemikian rupa agar cukup untuk satu bulan. Meski kadang tak pernah cukup. "Toni belum kirim uang, Nduk?"Aku menggeleng. Tapi secepatnya tersadar, ibu tak bisa melihat gerakan tubuhku. "Belum, Bu. Di kota tidak ada lemburan, jatah ma
Aku melangkah gontai meninggalkan kantor pegadaian. Lemas, kenyataan yang baru saja kulihat bak halilintar yang menyambar. Kemudian membuatku terkapar,mati dengan rasa penasaran dalam hati. "Sudah, Fat?" Aku mengangguk, tapi kaki masih saja terpatri. Panggilan Afifah bak angin lalu. Dalam benakku hanya terisi sebuah cincin palsu hadiah ulang tahun pernikahan dua bulan lalu. "Kamu kenapa, Fat?" Sebuah sentuhan menyentakku. Aku terperanjat hampir terjatuh di tanah. Gerakan refleks tepat waktu membuatku terselamatkan dari perasaan malu yang membelenggu seumur hidup. "Ngalamun wae! Kenapa sih, Fat?"Aku menghela napas, membiarkan rasa marah menghilang. Namun ternyata tak bisa. Aku, Fatimah Zahra, wanita yang paling benci dengan sebuah kebohongan. Sekali pun itu hal sepele. Apa susahnya berkata jika cincin itu bukan emas. Aku tak akan mempermasalahkan, bagiku lebih baik cincin plastik tapi jujur. Karena kejujuran adalah kunci dalam sebuah hubungan. Harga mati yang tidak bisa ditawar.
"Ibu yakin bisa aku tinggal beberapa hari? Jauh lho, Bu," ucapku sedikit ragu. Jujur, aku tak tega meninggalkan ibu dengan keterbatasan yang ia miliki. Meski Afifah berjanji akan merawatnya. Namun ini begitu berat. "Ibu gak apa-apa, Nduk. Tenang saja to, ada Nak Afifah yang menjaga ibu selama kamu pergi." Ibu mengelus punggung tangan ini. Memberi keyakinan jika beliau akan baik-baik saja. "Ibu aman sama aku, Fat. Jangan khawatir," ucap Afifah meyakinkan diriku. Aki menghela napas lalu mengangguk meski sebuah keraguan bersemayam dalam hati. Namun aku tepis kuat perasaan itu. Mencoba meyakinkan diri bahwa semua akan baik-baik saja. "Aku pamit, Bu." Aku cium punggung tangannya dengan takzim. Lalu menaiki motor Mas Sapto, lelaki yang bekerja sebagai ojek itu akan mengantarkanku ke stasiun. Kendaraan roda dua melaju menuju stasiun. Sepanjang jalan aku diam, merasakan angin malam yang menusuk tulang. Sore tadi sempat hujan hingga malam ini terasa begitu dingin. Ponsel yang ada di d
"Ini alasan kamu berbohong padaku, kan!"Suamiku diam, ia memilih menundukkan kepala. Merasa bersalah atau malu karena sudah tertangkap basah. "A-aku bisa jelaskan, Fat, ini gak seperti yang kamu pikirkan." Mas Toni mendekat, tapi aku mundur beberapa langkah. Jijik saat tangannya hendak menyentuhku. Tak bisa kubayangkan tangan itu yang ia gunakan untuk membelai wanita lain. Bahkan mungkin lebih dari itu. "Jangan sentuh aku, Mas! Aku muak sama kamu!" teriakku lantang. Teriakan yang sempat terlontar membuat beberapa pasang mata menatap ke arah kami. Bisik-bisik tak enak seketika menyeruak. Kami bak sebuah tontonan yang disaksikan banyak orang. Namun aku tak peduli. Biar saja seluruh dunia tahu bagaimana kelakuannya di belakangku. "Fatimah, dengarkan dulu ... Aku bisa jelaskan semuanya.""Ini, kan alasan kamu menelantarkan ibu dan memberi cincin palsu padaku. Kamu keterlaluan, Mas!""Bu-bukan begitu, Fat.""Aku benci sama kamu, Mas. Aku mau kita pisah!" Dadaku bergemuruh, tangan me
"A-apa benar yang kamu katakan, Nduk?" tanya Ibu dengan mata berkaca-kaca. Tidak lama bulir demi bulir jatuh membasahi pipinya. Ibu terisak mendengar kenyataan pahit yang baru saja aku sampaikan. "Benar, Bu. Mas Toni sudah menjatuhkan talak satu pada Fatimah.""Apa, kamu ditalak, Fat?" Afifah sudah berdiri di dekat pintu. Sorot tanda tanya tergambar jelas di sana. Sahabatku itu mendekat, rantang yang ia bawa diletakkan di atas meja."Benar kamu ditalak, Fat?" tanyanya lagi. Wanita itu seolah tak percaya dengan kalimat yang baru saja aku ucapkan. Aku menghela napas, menghilangkan sesak yang memenuhi rongga dada. Setelah cukup tenang aku mulai menceritakan semuanya. Tak ada satu pun yang aku tutup-tutupi, termasuk wanita semok yang keluar bersama Mas Toni. Bayangan kejadian itu bak batu besar yang menghimpitku. Sesak, seakan tak ada pasokan oksigen yang memenuhi rongga dada."Ya Allah, Nduk. Tolong maafkan Toni, tolong jangan berpisah, Nduk."Aku terdiam, menoleh ke arah Alisa. Sa
"Ibu," panggilku lagi. Namun ibu hanya diam membisu, perlahan tubuhnya luruh dengan punggung menempel di dinding. Bulir demi bulir jatuh membasahi pipi yang mulai keriput itu. Sudut hatiku teriris melihat tangisnya. Ibu memang hanya mertua yang tinggal bersamaku dalam atap yang sama. Namun beliau sangat menyayangiku. Tak pernah sekali pun beliau membentakku. Ibu bukan mertua jahat seperti yang digambarkan dalam sinetron atau sebuah novel. Itu yang membuatku berat meninggalkannya seorang diri di rumah ini. "Maafkan Fatimah, Bu." Aku peluk tubuh rentanya. Wanita itu semakin terisak dalam dekapanku. "Pergilah, Nduk. Ibu akan baik-baik saja. Afifah benar, kamu pantas bahagia dan kebahagiaanmu bukan di sini," ucapnya dengan suara bergetar. Aku membisu, hanya air mata yang menggambarkan isi hatiku saat ini. "Ayo bangun,Bu," ucapku seraya membantunya berdiri. Perlahan aku tuntun ibu, kubantu ia duduk di kursi kayu ruang tamu. Aku pun menjatuhkan bobot di sampingnya. Diam, kami sama-s
"Masih belum jelas, Ton?" Afifah menatapnya tajam. "Fatimah tidak bisa merawat Bu Aminah karena itu bukan tanggung jawab dia, Toni. Kamu sudah menceraikan Fatimah, mengurus Bu Aminah menjadi tugasmu bukan Fatimah," ucap Afifah kesal. Perkataan Afifah memang benar. Namun aku takut kejujuran sahabatku itu akan menyinggung juga menyakiti hati ibu. "Kalau ibu di sini bagaimana aku kerjanya?"Aku membuang napas kasar. Sebenarnya Bu Aminah itu ibu siapa? Kenapa dia begitu berat merawat ibu kandungnya sendiri? "Kalau ibu kamu di sana bagaimana Fatimah cari suaminya?" jawan Afifah kesal. "Kamu mau nikah lagi, Fat?" tanyanya seraya menatapku. Ekspresi tak rela tergambar jelas di matanya? Ah, dia lupa bahwa kalimat talak sudah keluar dari mulutnya. Atau jangan-jangan dia sedang amnesia? "Aku akan mengurus perceraian kita ke pengadilan. Kali ini aku harap kamu jangan mempersulitnya. Ingat, kamu sudah menalakku di sini."Mas Toni diam, tapi matanya kembali berkaca-kaca. Entah sandiwara sepe