"Rio!" teriakku, tapi dia terus saja berlari. Aku beranjak meninggalkan Mas Aziz. Mengambil buket bunga mawar yang tergeletak di lantai. Aku ciumi bunga itu. Sesak, hingga air mata berlomba-lomba turun membasahi pipiku. Tak berapa lama terdengar suara mobil menjauh. Rio telah pergi dengan rasa kecewa yang bersemayam dalam hati. Entah mengapa ada sesak yang singgah dalam hati ini. "Kamu gak papa, Ra?" tanya Mas Aziz yang sudah berdiri di sampingku. Dia tatap diriku penuh tanda tanya. "Gak papa, Mas. Apa sudah selesai? Aku ingin pulang."Lelaki itu mengangguk, kemudian mengajakku berjalan menuju mobilnya. Aku hanya diam seraya mengikuti gerakan kakinya. Tak ada sepatah kata yang keluar dari mulutku. Aku tenggelam dalam rasa bersalah. Perlahan kendaraan roda empat Mas Aziz melaju, meninggalkan kantor polisi. Hening, aku justru asyik menatap buket bunga berwarna putih ini. Mengabaikan Mas Aziz yang beberapa kali menatap padaku. Entah rasa apa yang mulai singgah di hatiku. Tak bisa k
Aku masih membisu, menatap Rio dan wanita itu bergantian. Entah kenapa ada yang berdenyut di hati ini. Cemburu. Ya, rasa itu hadir tanpa diminta tapi mampu menyesakkan dada. "Ada perlu apa, Ra?" tanya Rio lagi. Kembali kutatap perempuan yang bergelayut manja di lengan Rio. Tak dapatkah mereka melakukan di dalam, bukan di hadapanku. Pantas saja Rio tak mau menemuiku, dia saja asyik pacaran. "Tidak jadi. Aku permisi, Rio!"Aku pun beranjak pergi, percuma datang kemari jika akhirnya hanya kecewa yang aku dapatkan. Ternyata cinta yang tawarkan telah luntur. Tak membara seperti saat ia mengatakannya. Ah, lelaki sama saja. "Zahra!" teriak Rio. Aku menoleh, namun kembali kulangkahkan kaki menuju tempat motorku terparkir rapi. Lebih baik segera pergi dari sini. Karena aku tak sanggup membayangkan kemesraan Rio dan wanita itu. Mereka begitu serasi. Tuhan kenapa aku tak rela? Motor segera kulajukan perlahan meninggalkan halaman restoran Rio. Sempat kulihat Rio dari pantulan kaca spion. Di
Sudah tiga bulan setelah insiden di rumah sakit dulu. Kini aku dan Rio semakin dekat. Hubungan kami pun sudah melangkah ke jenjang serius. Pernikahan sudah ada di depan mata. Aku berdiri, menatap bangunan yang sebentar lagi akan menjadi restoranku. Semua tak luput dari dukungan dan kerja keras Rio. Bersyukur Tuhan mengirimkan dia untuk menjadi imamku, terlepas dari sifat konyol yang ia miliki. Terlepas dari itu semua, Rio adalah lelaki yang berpikiran dewasa. Dia mencintaiku apa adanya. Tak sekali pun dia membahas masa lalu. Entah saat berdua atau ketika bersama orang lain. Dia pandai menutup aib masa lalu yang sudah kututup rapat. "Sudah berapa persen, Ra?" tanya Rio. Lelaki itu sudah berdiri di belakangku. "80 persen, Rio. Tinggal dikit lagi restoran bisa dibuka. Seperti yang sudah kita rencanakan.""Bukan itu, Ra."Aku menoleh, menatapnya dengan sorot mata penuh tanda tanya. Namun sebuah lengkungan indah justru tercipta di sana, di wajah penuh kharisma itu. "Lantas apa, Rio?"
"Kamu ndak masak, Nduk?" tanya ibu mertuaku saat membuka tudung saji di atas meja. Tangannya meraba meja yang kosong tapi tak ada apa pun. Aku melangkah mendekat, perlahan kubantu Ibu duduk di kursi kayu yang telah usang. Ibu Mas Toni tak bisa melihat setelah mengalami kecelakaan tiga tahun lalu. Lebih tepatnya satu bulan setelah aku dan Mas Toni menikah. Semenjak kejadian itu aku terpaksa keluar dari kantor. Mengabdikan diri merawat mertua yang sudah kuanggap seperti ibu kandung sendiri. "Maafkan, Fatimah, Bu. Fatimah tidak memiliki uang untuk membeli beras." Dadaku bergetar, aku tahan air mata yang hendak jatuh ini. Sebagai ibu rumah tangga, aku hanya mengandalkan uang pemberian suami,tak ada pemasukan lain. Uang yang Mas Toni kirim harus kuatur sedemikian rupa agar cukup untuk satu bulan. Meski kadang tak pernah cukup. "Toni belum kirim uang, Nduk?"Aku menggeleng. Tapi secepatnya tersadar, ibu tak bisa melihat gerakan tubuhku. "Belum, Bu. Di kota tidak ada lemburan, jatah ma
Aku melangkah gontai meninggalkan kantor pegadaian. Lemas, kenyataan yang baru saja kulihat bak halilintar yang menyambar. Kemudian membuatku terkapar,mati dengan rasa penasaran dalam hati. "Sudah, Fat?" Aku mengangguk, tapi kaki masih saja terpatri. Panggilan Afifah bak angin lalu. Dalam benakku hanya terisi sebuah cincin palsu hadiah ulang tahun pernikahan dua bulan lalu. "Kamu kenapa, Fat?" Sebuah sentuhan menyentakku. Aku terperanjat hampir terjatuh di tanah. Gerakan refleks tepat waktu membuatku terselamatkan dari perasaan malu yang membelenggu seumur hidup. "Ngalamun wae! Kenapa sih, Fat?"Aku menghela napas, membiarkan rasa marah menghilang. Namun ternyata tak bisa. Aku, Fatimah Zahra, wanita yang paling benci dengan sebuah kebohongan. Sekali pun itu hal sepele. Apa susahnya berkata jika cincin itu bukan emas. Aku tak akan mempermasalahkan, bagiku lebih baik cincin plastik tapi jujur. Karena kejujuran adalah kunci dalam sebuah hubungan. Harga mati yang tidak bisa ditawar.
"Ibu yakin bisa aku tinggal beberapa hari? Jauh lho, Bu," ucapku sedikit ragu. Jujur, aku tak tega meninggalkan ibu dengan keterbatasan yang ia miliki. Meski Afifah berjanji akan merawatnya. Namun ini begitu berat. "Ibu gak apa-apa, Nduk. Tenang saja to, ada Nak Afifah yang menjaga ibu selama kamu pergi." Ibu mengelus punggung tangan ini. Memberi keyakinan jika beliau akan baik-baik saja. "Ibu aman sama aku, Fat. Jangan khawatir," ucap Afifah meyakinkan diriku. Aki menghela napas lalu mengangguk meski sebuah keraguan bersemayam dalam hati. Namun aku tepis kuat perasaan itu. Mencoba meyakinkan diri bahwa semua akan baik-baik saja. "Aku pamit, Bu." Aku cium punggung tangannya dengan takzim. Lalu menaiki motor Mas Sapto, lelaki yang bekerja sebagai ojek itu akan mengantarkanku ke stasiun. Kendaraan roda dua melaju menuju stasiun. Sepanjang jalan aku diam, merasakan angin malam yang menusuk tulang. Sore tadi sempat hujan hingga malam ini terasa begitu dingin. Ponsel yang ada di d
"Ini alasan kamu berbohong padaku, kan!"Suamiku diam, ia memilih menundukkan kepala. Merasa bersalah atau malu karena sudah tertangkap basah. "A-aku bisa jelaskan, Fat, ini gak seperti yang kamu pikirkan." Mas Toni mendekat, tapi aku mundur beberapa langkah. Jijik saat tangannya hendak menyentuhku. Tak bisa kubayangkan tangan itu yang ia gunakan untuk membelai wanita lain. Bahkan mungkin lebih dari itu. "Jangan sentuh aku, Mas! Aku muak sama kamu!" teriakku lantang. Teriakan yang sempat terlontar membuat beberapa pasang mata menatap ke arah kami. Bisik-bisik tak enak seketika menyeruak. Kami bak sebuah tontonan yang disaksikan banyak orang. Namun aku tak peduli. Biar saja seluruh dunia tahu bagaimana kelakuannya di belakangku. "Fatimah, dengarkan dulu ... Aku bisa jelaskan semuanya.""Ini, kan alasan kamu menelantarkan ibu dan memberi cincin palsu padaku. Kamu keterlaluan, Mas!""Bu-bukan begitu, Fat.""Aku benci sama kamu, Mas. Aku mau kita pisah!" Dadaku bergemuruh, tangan me
"A-apa benar yang kamu katakan, Nduk?" tanya Ibu dengan mata berkaca-kaca. Tidak lama bulir demi bulir jatuh membasahi pipinya. Ibu terisak mendengar kenyataan pahit yang baru saja aku sampaikan. "Benar, Bu. Mas Toni sudah menjatuhkan talak satu pada Fatimah.""Apa, kamu ditalak, Fat?" Afifah sudah berdiri di dekat pintu. Sorot tanda tanya tergambar jelas di sana. Sahabatku itu mendekat, rantang yang ia bawa diletakkan di atas meja."Benar kamu ditalak, Fat?" tanyanya lagi. Wanita itu seolah tak percaya dengan kalimat yang baru saja aku ucapkan. Aku menghela napas, menghilangkan sesak yang memenuhi rongga dada. Setelah cukup tenang aku mulai menceritakan semuanya. Tak ada satu pun yang aku tutup-tutupi, termasuk wanita semok yang keluar bersama Mas Toni. Bayangan kejadian itu bak batu besar yang menghimpitku. Sesak, seakan tak ada pasokan oksigen yang memenuhi rongga dada."Ya Allah, Nduk. Tolong maafkan Toni, tolong jangan berpisah, Nduk."Aku terdiam, menoleh ke arah Alisa. Sa