"Aku minta maaf ya atas semua perlakuanku tempo hari," ucapnya saat menghampiriku di meja makan.
Pada akhirnya dia minta maaf juga setelah seminggu lebih kami tidak bertegur sapa. Kupikir dia terus akan mempertahankan egonya, tapi rupanya ia terdesak juga. Entah apa keperluannya minta maaf tapi aku hanya diam saja menanggapi ucapan itu."Bund, aku minta maaf."Aku masih diam melanjutkan pekerjaanku menata piring dengan jelas untuk persiapan makan siang."Karena merasa pusing dan gugup aku tidak sengaja memukul wajahmu, aku benar-benar menyesal dan menutupi perbuatanku sendiri."Aku tetap aja tak acuh saja pergi ke dispenser untuk menuangkan air dingin ke dalam teko untuk kami minum saat makan nanti. Dia tetap mengekori di belakangku, minta maaf seperti anak kecil yang tengah merengek uang jajan kepada ibunya"Sayang akankah kau memaafkanku?"Aku setia dengan kebungkamanku, aku lesu menjawab perkataan dan alasannya yang tidak masuk akal. Masa bodoh dengannya."Sayang, maaf ya...""Tidak usah repot-repot minta maaf, aku sudah memahami keraktermu sampai ke detailnya, jadi tidak usah pura pura minta maaf," jawabnya sambil menjauhkan tangannya yang memegangi lenganku."Aku sungguh tidak berniat menyakitimu," ujarnya."Tapi kau sudah melakukannya, apanya yang tidak berniat, heh?" Aku tertawa sinis."Aku sungguh menyesal.""Lalu apa guna penyesalan itu untukku?""Entahlah, setidaknya kata maaf menghapus beban dan menghilangkan dendam.""Iya kalau hilang, bagaimana kalau makin sakit?" tanyaku sambil mengambil makanan dari dapur dan memindahkannya ke meja makan."Berarti hatimu terlalu angkuh untuk menerima permintaan maaf. Seharusnya kita tidak perlu terlalu arogan ...."Belum usai dia mengucapkan kalimatnya aku sudah memotong."Arogan katamu, hahahah. Lalu perbuatanmu yang menjalin hubungan di belakangku, membeli cincin dan bermesraan bukanlah tindakan yang arogan? andai kau memikirkan perasaan orang lain tentu kau tidak akan sejauh itu.""Maaf ...." Suara suamiku merendah diri."Sudahlah, lupakan.""Kau tidak berkenan memaafkanku.""Maaf, aku butuh waktu ...""Terima kasih ya untuk tidak bicara kepada ayah dan ibuku Terima kasih karena kau masih menyimpan masalah rumah tangga hanya untuk kita berdua.""Aku tak bicarakan itu pada keluargamu bukan karena tak mau, tapi aku menunggu waktu yang tepat.""Sayang, please ..."Wajahnya yang dipasang semelas mungkin tidak akan mempan untuk merayuku kali ini, aku sudah demikian kesal dan kecewa sekali karena untuk pertama kalinya dalam hidupku seseorang berani memukul diri ini."Beruntunglah karena aku masih bertahan di rumah ini dan masih melayanimu dan anak-anak," ujarku sambil merapikan meja lalu meninggalkannya sendiri."Untuk apa kita menjalani hari-hari dalam keadaan saling mendiamkan seperti ini?""Aku juga sedang bertanya pada diriku untuk apa masih kujalani hari-hari setelah seseorang membohongiku, membodohi diri ini dan menguji kesetiaanku. Untuk apa aku bertahan, Jika sakit hati ini menggerus kewarasan dan mengurangi keyakinan diriku kepadamu. Katakan padaku, andai kau jadi diriku, apa kau akan bertahan dengan pasangan seperti itu?""Aku minta maaf...""Itu karena kau sudah tahu kan, kau sendiri tidak akan tahan dengan orang yang berselingkuh. Kau mengkhianatiku.""Silakan marah, tapi tolong jangan diamkan aku seperti itu, karena aku akan sangat gelisah dan tidak nyaman. Kau bisa mengungkapkan semua sakit hati dan kekesalanmu tapi aku mohon jangan membungkam.""Mungkin dengan membungkam, kau akan lebih paham perasaanku.""Tidak, kumohon, aku minta maaf.""Kau ingin pengampunan dariku?""Ya, sangat._""Kau yakin?""Ya.""Maukah kau tinggalkan dia?""Uhmm ...." Suamiku tertunduk membeku. Dia tak mampu menjawab kalimatku."Jika kau ingin hubungan rumah tangga kita tetap berlanjut maka tinggalkan kekasihmu. Aku tidak akan memberimu pilihan yang lain, misalnya mengizinkanmu poligami atau pura pura tidak tahu," ujarku sambil tersenyum sinis."Ehm a-aku....""Putuskan aja, mau tetap dengannya atau denganku? Lihat anak-anak yang masih membutuhkan orang tuanya juga keluarga kita yang sudah menaruh ekspektasi tinggi tentang hubungan ini, jika kau tidak memikirkan semua itu maka silakan lanjutkan hubunganmu dengan kekasihmu Aku tidak akan punya alasan untuk keberatan lagi.""Tapi sayang....""Pilihan ada di tanganmu, cerai atau tinggalkan dia!"Kupandangi suamiku bagaimana mimik bibirnya, desahan nafasnya dan bagaimana cara dia menelan ludah. Jelas sekali dari ekspresi wajahnya bahwa dia sangat ketakutan akan kehilangan kekasihnya. Juga juga dilema pada pernyataan yang baru saja kuucapkan yakni tentang bercerai atau masih ingin melanjutkan hubungan dengan kekasihnya."Yunita ....""Aku sudah cukup bersabar Mas, mengetahui bahwa Suamiku berselingkuh dan sebentar lagi akan merencanakan pernikahan, itu benar-benar memukul mentalku dan menghancurkan hatiku. Aku ingin marah menangis dengan emosi yang meledak-ledak tapi aku berusaha tenang, karena tidak ingin mengganggu mental anak-anak dan tidak ingin terlihat oleh mereka bahwa aku sedang rapuh, jadi tolong bekerja sama lah denganku.""Yunita ... begini...""Akhirnya ... Aku tahu inisial Siapa yang ada di cincin yang selalu kau pakai itu. Cincin itu bukanlah barang temuan yang Kau dapatkan secara tidak sengaja tapi memang mungkin dibelikan oleh kekasihmu intan.""Astaga bukan be
Setelah percakapan malam itu aku mulai kehilangan rasa hormat dan cintaku kepada Indra, Aku kehilangan sisi romantis dan hasrat untuk memadu asmara dengannya. Aku mulai menjaga jarak dan tidak berminat untuk berdiri dekat-dekat dengannya. Apa yang dia tanyakan hanya aku jawab seperlunya dan ketika dia menginginkan sesuatu maka aku akan melayaninya jika aku bisa."Bisa buatkan aku kopi tidak?""Tentu." Kuantarkan kopi kemeja kerjanya tanpa mengatakan apapun, lalu membalikkan badan untuk kembali ke dapur, juga tanpa membicarakan apapun. Biasanya aku akan menggodanya, memeluknya dari belakang lalu mencium telinganya mengalihkan perhatiannya dari berlembar-lembar kertas yang cukup untuk membuatnya mengernyitkan alis dan nampak tegang.Sekarang aku kehilangan kepedulian dan sudah masa bodoh dengan dirinya, aku tidak berminat sama sekali, jangankan memandang matanya melihat rambutnya saja tidak."Terima kasih," ucapnya menahan langkahku."Iya," jawabku dingin.Beberapa saat kemudian, ia kem
"Nadira, ka-kamu?""Kenapa, kamu kaget, aku juga, tapi gak masalah," jawabku sambil mengambil sapu dan lap."Sejak kapan kamu di sana?""Dari tadi aku mendengar semua percakapanmu dan termasuk pembahasan tentang perceraian.""Oh, i-itu, kamu hanya salah dengar!""Hah, gak mungkin, jelas aku dengar kok," jawabku sambil tertawa sinis."Sini, aku aja yang sapu, kamu makan aja," ucapnya mencoba bersikap baik dan mengambil alih sapu dariku."Cukup, Mas, katakan saja padaku apa maumu, tak payah kau membuat modus begini, katakan padaku apa yang kau rencanakan.""Tidak ada yang aku rencanakan dan aku tidak akan kehilangan keluarga.""Tapi kau harus memilih antara aku istrimu atau pelakor itu.""Sudah kubilang Jangan sebut dia!" Secara tak sengaja suamiku intonasi suaranya langsung sepertinya dia tidak senang jika ada seseorang yang merendahkan kekasih hatinya. Sungguh baru aku kali ini aku melihat dia begitu serius tentang status seseorang bahkan dia tidak pernah menunjukkan perilaku yang sam
Kini setelah meninggalkan diriku dalam keheningan dan duduk sendirian di atas kasur yang cukup luas ini aku hanya bisa mengelola nafas dan menahan kesedihan yang perlahan kesedihan itu merambat setelah aku menyadari bahwa suamiku rela merusak hubungannya denganku demi intan.Di sisi lain aku perlahan mulai penasaran dengan siapa dan apa latar belakang wanita itu hingga berhasil mengalihkan perhatian Mas Indra dari keluarga dan fokusnya untuk membahagiakan kami. Aku tahu persis bahwa suamiku bukan tipe orang yang mudah teralihkan ketika dia hanya fokus pada satu hal, kecuali jika hal itu benar-benar sangat menarik dan membuat dia tidak berhenti memikirkannya.Aku juga berpikir, apakah ini berkaitan dengan kepuasan di tempat tidur ataukah kecantikan seorang wanita? Jika Itu masalahnya maka aku tidak akan pernah bisa menyamai kekasihnya, karena Tentu saja aku menakar kemampuan dan menerima seperti apa Tuhan menciptakan diri ini. Aku memang tidak secantik intan tapi setidaknya Mas Indra m
Melihat kopinya yang kutuangkan ke wastafel tentu saja suamiku sangat tersinggung, tapi dia tak kuasa mengatakan apapun selain hanya bisa menghela nafas dan beranjak Pergi ke kamar mandi.Benci dan jijik rasanya melihat dia di depanku, aku yakin telah sejauh apa hubungan mereka selama ini, jika sudah memutuskan untuk membeli cincin dan menikah. Lalu aku juga sangat muak mengetahui suamiku melepaskan cincin pernikahan kami lalu memakai cincin inisial wanita yang jelas-jelas belum terikat apapun dengannya.Hah, dobel sakit hati tentunya.Aku yakin, suamiku membiayai wanita itu dengan gaji yang ia sisihkan entah itu mungkin dari bonus atau dari gaji lembur dan perjalanan dia ke luar kota. Harus sebagai rewardnya wanita itu akan memberikan tubuh untuk menghibur Mas Indra.Tadinya aku pikir sebagai istri yang bertanggung jawab atas nama baik keluarga serta berusaha menutup aurat dari penglihatan orang lain, aku telah membahagiakannya dan membuat dia bangga tapi ternyata sesuatu yang lebih
Dan pada akhirnya, hingga malam aku hanya menghabiskan waktu duduk di tepian ranjang sambil berurai air mata dan menghitung kekecewaan yang telah terjadi.Sebenarnya, kalau bisa, Aku ingin menepi semua perasaan sakit ini tapi mengingat betapa bahagianya aku sebelum ini betapa mesra dan harmonisnya rumah tangga kami Aku benar-benar tidak menyangka bahwa suamiku punya selingkuhan dan berniat untuk menikahinya. Lihat tadi bagaimana reaksinya saat aku minta cerai. Dia diam saja dan memasang ekspresi datar seakan tidak terjadi apa apa.Bahkan yang paling membuatku kecewa dia tidak kunjung menyusulku ke kamar untuk minta maaf atau sekedar mengucapkan sepatah atau dua patah kata. Dia tetap berada di ruang keluarga sementara aku masih memungut kepingan hatiku yang hancur sendirian di kamar."Jadi suamiku tetap berkeras dengan kemauannya bahwa ia mempertahankan kekasihnya?" aku menggumam sendiri."Lantas, jika memang begitu untuk apa aku berurai air mata dan menangisi orang yang tidak mencinta
"Apa kau yakin kau tidak akan menyesal dengan keputusanmu seperti ini Nadira?""Loh, yang mengemasi barangnya siapa? Bukannya kau yang berinisiatif untuk segera meninggalkan rumah ini demi kekasihmu?""Nadira, jujur saja aku tidak mau rumah tangga kita berakhir, bisakah kita mempertahannya?""Bisa, asal kau meninggalkan wanita itu, mudah kan?" tanyaku dengan senyuman, koper itu sudah dalam posisi berdiri dan siap di tarik keluar."Dengar Nadira, kalau aku sudah keluar dari rumah ini maka sulit untuk membuatku kembali lagi," ujarnya mencoba menakutiku. Sepertinya dia sendiri yang ketakutan untuk meninggalkan rumah ini merasa belum begitu yakin dengan keyakinannya sendiri.Kupikir aku tidak akan terpengaruh lagi karena rasa yang ada di dalam hatiku sudah terlanjur penuh dengan kekecewaan. Aku masih ingat pertengkaran kami semalam dan sampai pagi ini dia belum minta maaf juga, bahkan ia sudah berkemas sebelum aku bangun.Apakah niatnya sekarang, apakah dia benar-benar ingin pergi atau ha
Aku yakin wanita itu baru saja memperolok diri ini dengan kalimatnya. Aku yakin dia puas mengatakan apa yang ada di hatinya dan sengaja menghina untuk merendahkan mental dan menjatuhkan kepercayaan diriku. Dia ingin aku putus asa sebagai seorang istri lalu memilih untuk bercerai dan mengalah demi kemenangannya.Begitu banyak cacian dan hujatan yang ingin aku lontarkan tapi aku malu kepada penampilanku yang berhijab, kepada akhlakku selama ini dan kepada Tuhan itu sendiri. Aku tidak akan menodai martabatku hanya demi berhadapan dengan pelakor lalu menjadi pusat perhatian semua orang hanya lantaran merebut satu orang pria. Kesimpulannya, tetap saja, sebaiknya merangkum aset-aset yang ada untuk anak ana lalu memilih bercerai.Percuma aku bertahan dalam luka yang mendera bertubi-tubi ini, hatiku sakit tiada terkira ditambah sikap suamiku yang sudah acuh tak acuh saja dia tidak berusaha untuk meminta maaf tapi selalu nampak ingin mencari pembenaran dan mendorong-dorong agar aku yang lebih