Almeera terbangun dari tidurnya, kepalanya terasa sangat berat, entah berapa gelas wine yang dia minum semalam, tapi seingatnya semalam dia minum di sofa ruang tengah apartemennya bukan di kamar, saat menyadari itu Almeera langsung terduduk di tempat tidur sambil memegang kepalanya, dia mencoba mengingat-ingat tentang semalam, apakah dia sendiri yang berjalan ke kamar. “Tenryata kau sudah bangun,” suara laki-laki membuat Almeera terperanjat, dia melihat Luki berdiri di depan pintu kamar tidurnya sambil menyilangkan tangan di dada. “Kau, sejak kapan kau ada disini?” tanya Almeera sambil menahan sakit kepalanya. “Semalam,” jawab Luki singkat. “Kau yang membawaku ke kamar?” tanya Almeera lagi, Luki hanya mengangguk. “Tenang saja, aku tidak berbuat sesuatu terhadapmu,” kata Luki sambil memandang Almeera. Almeera mencoba membuar dirinya sadar penuh, tapi kepalanya benar-benar berat, “Ah sial, kepalaku sakit sekali,” kata Almeera setengah berbisik. “Kau menghabiskan dua bot
“Tok..tok..tok,” Nora mendengar pintu kamarnya di ketuk, tubuhnya masih tertutup selimut, Nora perlahan membuka matanya, dia melihat jam kecil di samping tempat tidurnya, sudah jam lima pagi, Nora bangkit dari tempat tidurnya, berjalan dan membuka pintu kamar, didepan pintu Ayahnya sudah berdiri menunggu Nora membuka pintu. “Sudah solat subuh nak?” tanya Ayahnya. “Iya pak, ini mau ambil wudhu dulu,” jawab Nora. “Nanti setelah selesai solat, bapak mau bicara ya nak,” balas Ayahnya. “Iya pak, Nora solat dulu ya pak,” jawab Nora. Selesai solat subuh Nora menghampiri Ayahnya yang sedang duduk sambil minum kopi di teras rumah, Nora duduk di samping ayahnya sambil membawa piring berisikan pisang goreng yang baru di masak ibunya. “Ayah mau bicara dengan Nora mengenai apa
Sudah lima bulan sejak pernikahan Nora dan Tian dilangsungkan, setiap pagi Nora selalu menyiapkan makanan untuk sarapan Tian, meskipun Tian hanya menyentuh sedikit dari masakannya, namun Nora tetap menyediakan berbagai santapan pagi hari, bila tidak habis biasanya Nora menyuruh pelayan dan sopir untuk menghabiskannya. “Bu, apa tidak sebaiknya masak seperlunya saja?” tanya bi Tiyem, asisten rumah tangganya. “Gak apa-apa bi, bisa saja hari ini bapak sedang mau sarapan banyak,” jawab Nora tak mengindahkan pertanyaan bi Tiyem. Setiap pagi bi Tiyem selalu mengingatkan hal yang sama pada Nora, namun Nora tetap saja meyajikan Tian sarapan yang bermacam pilihan, meskipun Nora yakin Tian hanya akan menyentuh Kopi dan memakan roti bakar, itupun hanya satu gigitan saja. Tian sudah bersiap untuk berangkat ke kantor, dia duduk di meja makan dan memandang semua makanan d
Nora bersiap untuk pergi ke rumah keluarga Winata setelah menemani Tian sarapan dan berangkat kerja, meskipun tidak ada sepatah kata pun keluar dari bibir Tian, Nora yakin Tian sadar yang apa yang telah mereka lakukan semalam, Nora pun masih tidak percaya sampai saat ini, saat dia terbangun, Tian sudah berada disampingnya dan sama-sama tidak ada satu helai pun benang yang menempel di tubuh mereka, Nora terbangun dan terduduk di tempat tidurnya, dia diam terpaku, membereskan rambut dan menatap Tian yang masih tertidur. Nora dengan cepat bangkit dari tempat tidurnya, dan sedikit berlari ke kamar mandi tanpa mengetahui bahwa Tian mengintip dari tempat tidurnya, Tian pun tidak percaya yang telah dia lakukan semalam pada Nora, bukankah dia hanya menganggap Nora sebagai alat untuk mendapatkan warisan ayahnya, namun entah mengapa semalam dia melihat Nora begitu cantik, dan tidak bisa menghentikan tubuhnya untuk tidak menyentuh Nora.
Nora terbangun, dia melihat jam di sebelah tempat tidurnya, sudah jam delapan pagi, dia melirik ke samping kanannya, tempat Tian biasa tidur namun tidak ada tanda-tanda orang tertidur di sana, Nora melihat lantai kamarnya berserakan dengan barang-barang yang baru dia beli kemarin, Nora ingin beranjak dari tempat tidur, namun kepalanya masih terasa berat dan pusing, dia tidak tahu berapa kali dia menangis semalam hingga terbangun jam delapan pagi, Nora berusaha untuk bangkit dan mendinginkan kepala, Tian tidak pulang ke rumah, batin Nora. Setelah membereskan mandi dan membereskan kamarnya, Nora bersiap untuk keluar rumah, dia memutuskan untuk jalan-jalan membeli perlengkapan lukis yang banyak, lebih baik dia menyibukan diri dari pada harus menunggu Tian yang hanya menganggapnya sebagai alat, Nora menahan rasa sakit di dadanya agar air matanya tidak tumpah lagi bila mengingat kata-kata itu. Nora meminta supirnya mengantarkan dia ke t
“Kenapa kamu bisa bersama Tomi,” suara Tian meninggi setelah menarik dan melempar Nora ke atas tempat tidur, Nora tersungkur dan memegang pergelangan tangannya yang kesakitan karena genggaman Tian. “Hanya kebetulan bertemu, aku sedang membeli alat lukis di dekat situ, lalu mas Tomi mengajakku minum kopi,” jawab Nora. “Kebetulan bertemu? memang kalian sudah pernah bertemu sebelumnya?” tanya Tian yang terlihat marah. “Kami bertemu pertama kali saat aku datang ke kantormu kemarin,” jawab Nora sambil menundukan wajahnya, dia tak berani melihat wajah Tian, dia tahu Tian marah besar padanya “Apa? aku bilang sama kamu dan tolong dengarkan baik-baik, aku mohon kamu jangan pernah muncul di kantorku atau di hadapan teman-temanku lagi,” balas Tian. Nora yang mendengar apa yang diucapkan Tian tersentak
Nora masih memandangi foto-foto yang dikirimkan pengirim tanpa nama tersebut, dia perhatikan satu persatu, wajah Tian yang tak pernah dia lihat sebahagia itu saat bersamanya. Banyak pertanyaan yang terlintas di kepala Nora, apakah wanita yang bersama Tian di foto ini adalah Citra, orang yang mengirimkan foto itu padanya. Jam menunjukan pukul sepuluh malam, Nora tida bisa memejamkan matanya, gambaran foto itu terus datang saat dia memejamkan matanya, Nora sudah berjanji tidak ingin menangis lagi, untuk bertanya pada Tian, Nora tidak punya keberanian setelah mereka bertengkar semalam, tapi Nora tidak akan tenang sebelum tahu kenyataannya. “Apakah aku harus menemui mas Tomi ataukah Tyas,” gumam Nora dalam hati. Nora mengambil handphone yang berada di meja samping tempat tidurnya, dia mulai mengirikan pesan kepada seseorang, Nora memutuskan untuk bertemu besok pagi setelah Tian berangkat kerja, dan pesan Nora
Nora mematung di depan kanvas lukisnya, tangannya memegang kuas yang yang catnya sudah mengering, hampir satu jam lamanya Nora hanya memandang kanvas kosong, tidak seperti biasanya, bila di depan kanvas Nora dengan gamblang melukis dan memainkan kuasnya sehingga menjadi lukisan yang indah, hati Nora bimbang, dia merasa seperti perempuan bodoh yang hanya menurut dan akhirnya harga dirinya terinjak-injak. Foto-foto Tian dengan wanita lain masih terbayang dalam benak Nora, bahkan dia istrinya tidak pernah berpose seperti itu dengan suaminya sendiri, selama berbulan-bulan dia menikah baru kemarin Tian benar-benar menyentuhnya, itu pun mungkin bukan karena Tian mencintai dirinya. Nora meletakan kuasnya, dia berjalan ke kamar, membuka lemari bajunya, namun wajahnya terlihat ragu, Nora ingin pulang sejenak ke kampungnya, bertemu ayah dan ibunya, menangis dan bercerita dengan puas dengan adiknya hingga beban di pundaknya berkurang meskipun sedik