Home / Urban / Cinderella Tanpa Sepatu Kaca / CEO dan Pengangguran

Share

CEO dan Pengangguran

last update Last Updated: 2024-05-24 21:00:52

"Duh, ini nggak ada diskon akhir pekan gitu? Atau beli dua gratis satu?" Jingga menghitung uang kembalian dari penjual di warmindo langganannya dengan cepat. Dua lembar uang dua ribuan dan satu koin lima ratusan. Totalnya empat ribu lima ratus rupiah.

"Itu udah aku korting buat gorengannya lima ratus rupiah," balas si penjual, seorang perempuan sebaya Jingga, tetapi sudah menikah dan memiliki dua orang anak. "Itu juga karena kamu pelanggan setia."

"Hadeh, nanggung amat diskonnya. Bikin hari tambah bete aja," keluh Jingga.

"Minyak goreng masih mahal, Ga. Lagian segitu juga kamu udah kenyang, kan. Kalau makan di restoran mana bisa. Lima belas ribu palingan dapat kerupuknya doang," celetuk seorang pria yang muncul kemudian. Dia adalah suami si pemilik warung. Sama seperti sang istri, pria itu juga sudah mengenal Jingga dengan baik.

Jingga bukan pemilih dalam hal makanan, kecuali untuk urusan harga. Dan, warung mi tempatnya berada sekarang adalah pilihan yang sangat cocok untuknya. Dengan uang kurang dari dua puluh ribu rupiah, ia bisa mengenyangkan perut dengan semangkok mi goreng instan beserta lauk dua potong gorengan. Murah meriah. Mereka juga menyediakan nasi dengan pilihan beberapa lauk lain yang tak kalah murah, sehingga usus Jingga tidak lantas keriting karena hanya mengonsumsi mi.

Namun, sama seperti penjual makanan lainnya, kenaikan harga bahan makanan, yang kali ini minyak, membuat pasangan suami istri pemilik warung itu harus ikut menaikkan harga. Memang tidak seberapa, tapi bagi Jingga menghemat satu rupiah saja adalah sebuah kebahagiaan.

"Timbang makan kerupuk aja nggak usah ke restoran kali. PPn-nya cuma bikin isi dompetku merintih."

Pasangan pemilik warung itu hanya tertawa kecil mendengar ucapan Jingga. Memaklumi sifat gadis itu, tapi tak berminat untuk menanggapi lebih jauh.

"Aku do'ain segera dapat kerjaan baru, Ga." Si istri berucap tatkala Jingga sibuk memasukkan uang kembalian tadi ke dompet. "Tapi, kalau gajinya gede, jangan pindah tempat makan, ya. Di sini aja."

"Beres," balas Jingga cepat. Ia lalu berpamitan dan bergegas meninggalkan warung tersebut. Saat keluar dari sana, langit sudah gelap. Melihat hal itu, Jingga mengembuskan napas panjang. Rasanya aneh berada di luar pada jam itu saat ia sedang tidak bekerja, mengingat Jingga tipikal orang yang malas pergi malam-malam, kecuali untuk urusan yang benar-benar penting. Jika sedang libur, ia lebih memilih berdiam di rumah dan menggambar sebanyak mungkin desain sepatu.

Jingga melihat jam di ponsel. Pukul delapan malam lebih. Biasanya ia baru keluar dari butik sekitar jam sepuluh dan hanya butuh waktu sekitar lima belas menit untuk berjalan pulang. Akan tetapi, semenjak keluar dari butik setelah jam makan siang tadi ia memilih untuk tidak langsung pulang. Jingga tidak ingin bercerita lebih dulu pada mamanya jika ia sudah dipecat. Sebab, ia berencana bilang saat kedua adiknya juga sudah ada di rumah.

Maka dari itu, setelah membeli sepasang sandal jepit sebagai pengganti sepatunya yang tinggal sebelah, Jingga hanya berkeliling tanpa tujuan. Menghabiskan waktunya dengan mengomeli sosok CEO Dahayu yang membuatnya jengkel setengah mati, dan berakhir seperti orang gila karena ia bahkan tidak punya lawan bicara.

Masa bodoh, pikir Jingga. Ia benar-benar tidak percaya Krisna yang tadinya bersikap ramah justru langsung memecatnya hanya karena noda cokelat. Kesalahan Jingga adalah ia memang melakukannya dengan sengaja, tapi apalah arti sebuah setelan untuk seorang CEO Dahayu? Krisna pasti bisa membeli lagi, lebih bagus dan mungkin lebih banyak. Ia hanya perlu menegur atau memberi sanksi, bukannya membuat Jingga kehilangan pekerjaan di hari ia mendapat predikat karyawan terbaik.

Namun, kalau dipikir-pikir lagi Jingga berhak marah. Krisna membawa sebelah sepatunya begitu saja setelah bersikap arogan dengan kekayaannya. Itupun Jingga sudah meminta maaf. Ia tidak menyangka jika Krisna ternyata pendendam. Kalau begitu setidaknya ia bisa merasa sedikit lega karena tak harus berurusan lagi dengan pria seperti itu.

Jalanan menuju rumah Jingga cukup ramai, tapi suasananya akan berbeda begitu ia mulai memasuki gang-gang kecil yang tersebar di daerah sekitar rumahnya. Gadis itu hafal semua rutenya, sehingga tidak pernah mengambil jalur yang sama setiap hari. Hitung-hitung jalan-jalan. Ia juga tidak pernah merasa takut mengenai tindak kejahatan, sebab Jingga bisa dibilang mengenal hampir semua warga di sana, tak terkecuali para preman-premannya. Kenal dalam arti yang baik tentunya.

"Woi, Ga. Tumben jam segini udah pulang?" tanya seorang pemuda kurus berikat kepala. Di sebelahnya berdiri pemuda seumuran dengan model rambut jabrik. Mereka adalah beberapa pemuda kampung yang mengenal Jingga. Bisa dibilang mereka adalah preman sana, meski sebenarnya hanya pennapilan keduanya saja yang mencerminkan hal tersebut. Aslinya dua pemuda itu hanya penikmat musik akustik malam alias pemain gitar dadakan yang sukarela menjadi penunggu pos ronda.

"Eh, kalian juga tumben jalan-jalan? Biasanya ngejogrok aja di pos sampai membatu," balas Jingga asal. "Bahan bakar abis?"

Paham jika yang dimaksud Jingga adalah makanan, keduanya pun mengangguk dan menunjukkan sebuah kantong kresek putih yang terlihat penuh.

"Iya, nih. Ini barusan balik dari warungnya Mpok Munah." Si rambut jabrik yang kini menjawab, menyebutkan warung penjual gorengan yang tak jauh dari sana. "Mau, Ga? Kamu kan doyan banget gorengan."

"Nggak deh, makasih. Baru aja tadi nge-mi sama lauk gorengan," tolak Jingga. Kalau perutnya belum terisi, ia jelas-jelas tidak akan membiarkan tempe mendoan Mpok Munah tidak mampir ke lambungnya.

"Ya udah, kebetulan. Jadinya jatah kita nggak berkurang," celetuk si kurus yang disambut tawa temannya dan Jingga. "Eh, tapi belum dijawab yang tadi. Kamu tumben jam segini udah pulang?"

"Udah nggak kerja," jawab Jingga singkat. Mereka bertiga lalu berjalan beriringan menuju arah yang sama. Kebetulan pos ronda terletak tidak jauh dari rumahnya. "Makanya kelayapan."

"Eh, padahal tadi pagi masih berangkat kerja, kan?" tanya si Jabrik bingung, sebab pagi tadi sempat melihat Jingga bersama Lembayung hendak berangkat.

"Iya. Pagi masih kerja, tapi siang udah nggak. Hebat, kan, aku."

Kedua pemuda itu sontak mengernyit mendengar ucapan Jingga. "Wong nggak kerja kok hebat? Aneh."

Jingga cekikikan melihat reaksi dua pemuda itu. "Ya, pokoknya hebat, lah. Soalnya yang mecat langsung CEO-nya."

"Wow, kok bisa gitu?"

"Tahu deh. CEO-nya baperan. Atau mungkin lagi PMS." Jingga menjawab asal yang disambut tawa dua pemuda teman seperjalanannya. Mereka sering kebetulan bertemu di jalan saat Jingga pulang kerja, sehingga bercengkrama sepanjang jalan bukan hal aneh bagi ketiganya.

"Pasti dia nyesel udah mecat kamu, Ga." Si jabrik kembali berkomentar.

"Aamiin." Jingga mengamini dengan lantang, padahal yang diucapkan sebagai harapan bukan pekerjaan baru, hal yang lebih dibutuhkan oleh Jingga saat ini. "Eh, tapi udah ah. Nggak usah bahas itu. Nanti orangnya keselek lagi pas minum gara-gata kita gibahin."

Tawa kembali terdengar, bertepatan dengan ketiganya berada di mulut gang. Di hadapan mereka terbentang jalan yang lebih lebar dari gang, kira-kira bisa dilewati satu mobil. Di seberang jalan tempat tujuan mereka sudah menanti.

Suasana jalan tersebut agak sepi. Ketiganya melongok ke seliling sebelum mulai melangkah menyebrangi jalan. Namun, baru selangkah, mereka tiba-tiba mematung. Di ujung jalan yang menuju ke jalan raya, tampak sebuah mobil BMW berhenti mendadak. Dan, sebelum ketiga orang tersebut menyadari apa yang terjadi, sesosok tubuh dilemparkan begitu saja dari dalam mobil tersebut ke jalan.

"Woi! Berhenti!" Spontan Jingga dan dua temannya berteriak lantang seraya berlari mendekat. Namun, mobil tersebut sudah melaju pergi sebelum mereka tiba dan melihat pengemudinya.

Dengan napas terengah-engah Jingga dan dua pemuda itu kini saling berpandangan. Bingung. Akan tetapi, tatapan ketiganya segera beralih pada tubuh yang tergeletak di depan mereka. Seorang laki-laki dengan wajah babak belur.

"Aduh, ini masih hidup apa udah jadi mayat, ya?" tanya si Kurus takut-takut. Ia memang berniat menolong, tetapi butuh keberanian lebih jika harus berurusan dengan mayat.

Si Jabrik yang masih menggenggam kresek berisi gorengan tiba-tiba menyenggol lengan Jingga. "Lihat deh, kali aja masih hidup."

Jingga seketika memelotot. Bisa-bisanya dua pemuda berpenampilan bak preman itu malah menyerahkan urusan semacam ini padanya.

"Kenapa bukan kamu aja? Kamu yang deket juga," tanya Jingga yang melihat jika posisi si Jabrik memang lebih dekat dengan tubuh tadi.

Menyadari hal tersebut, si Jabrik segera bergeser sehingga kini bertukar posisi dengan Jingga.

"Lihat, tanganku sibuk bawa ini, nih. Jangan sampai ini terkontaminasi." Kantong kresek berisi gorengan tadi langsung menjadi alasan.

"Sialan!" umpat Jingga yang merasa dua temannya itu penakut. Terpaksa ia memberanikan diri untuk melihat tubuh tadi. Sekadar memastikan orang itu masih hidup, sekaligus berharap mereka benar-benar tidak harus berurusan dengan mayat. Lagipula penjahat macam apa yang buang korban di jam segini? Dasar amatiran.

Perlahan Jingga menghampiri tubuh tersebut. Hal pertama yang gadis itu lihat adalah pakaiannya. Penampilan orang itu acak-acakan meski baju yang dipakai tampaknya mahal. Lalu, dengan sok berani gadis itu meraih tangan orang tersebut untuk memastikan nadinya masih berdenyut.

Namun, bertepatan dengan itu, Jingga akhirnya bisa melihat wajah orang tersebut. Dan, meski ia bisa merasakan denyut nadi, reaksi pertama Jingga justru berteriak seraya reflek melompat mundur.

"Eh, kenapa, Ga? Udah mati, ya?" Si Kurus dan si Jabrik mendadak merapatkan diri begitu melihat reaksi Jingga.

Namun, Jingga menggeleng. Gadis itu terduduk di aspal sembari berusaha menenangkan diri.

"Terus kenapa?" tanya dua penuda tadi bersamaan.

"Si orang baperan, yang lagi PMS."

"Heh?" Ucapan Jingga sontak membuat dua pemuda tadi keheranan. "Apaan, sih?"

Akan tetapi, rasa penasaran mereka segera terjawab begitu Jingga kembali bersuara. Kali ini dengan mantap.

"Orang itu CEO yang mecat aku tadi."

***

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Cinderella Tanpa Sepatu Kaca    Mencari Kisah Yang Berbeda

    “Assalamualaikum.” Jingga yang tadinya sedang asyik mencorat coret buku sketsa buru-buru meletakkan benda itu. Suara yang baru saja mengucapkan salam adalah suara laki-laki. Ia tak perlu menebak-nebak untuk tahu siapa orangnya. “Wa’alaikumsalam,” jawab Jingga. Benar saja, sosok Krisna yang baru saja menutup pintu dan melangkah masuk pun terlihat. Pria itu mendekat seraya tersenyum manis. Di tangannya terdapat sebuah kantong yang tidak Jingga ketahui isinya. Bahkan sebelum insiden Jingga pura-pura tidur kemarin gadis itu sudah enggan Krisna menjaganya saat malam. Apalagi sekarang setelah bosnya tersebut diam-diam menyatakan perasaan. Jingga tidak memaksa mamanya datang karena ia tahu Riani juga butuh istirahat setelah seharian bekerja. Namun, bukan berarti juga ia tak bisa berada di rumah sakit sendirian. Ada perawat dan para dokter di sana. Mereka pasti akan melayaninya dengan baik karena untuk itulah mereka dibayar. Keberadaan Krisna di sana sama sekali tak

  • Cinderella Tanpa Sepatu Kaca    Biji Nangka Beneran Jatuh Cinta

    “Bukan cuma Adik Durhaka, tapi ternyata kamu juga Biji Nangka, ya!” Seruan Saras yang diringi sebuah tepukan di punggung membuat Krisna hampir tersedak. Beruntung sushi yang dipesannya dari restoran langganan itu sudah tinggal sepotong. Kehilangan selera makan saat ini tidak menjadi masalah, sebab perutnya sudah cukup kenyang. Namun, tetap saja Krisna berpaling pada sang kakak sembari melotot.“Kamu gila apa gimana, sih, Ras? Datang-datang bikin orang hampir mati aja,” protes Krisna. Ia jadi ingin menyemburkan air ke muka kakaknya itu alih-alih menawarinya makanan. Lagipula Saras pasti sudah makan siang, sebab Krisna termasuk terlambat menyantap makanannya. “Lagian pintu yang tertutup itu ada untuk diketuk lebih dulu. Main nyelonong aja.”Biasanya Saras memang tidak asal masuk meski ke ruangan adiknya sendiri. Hari ini saja perempuan itu membuat pengecualian. Tadinya ia hanya berniat mengintip lebih dulu. Tapi saat mendapati sang adik tengah menikmati makanan di so

  • Cinderella Tanpa Sepatu Kaca    Kunjungan Calon Ipar

    Kalau bukan karena melihat dengan mata kepalanya sendiri, Saras pasti tidak akan percaya dengan apa yang ia saksikan. Krisna, adiknya baru saja keluar dari sebuah ruang rawat VIP bersama Rengga. Tidak ada yang salah dengan menjenguk seseorang di rumah sakit. Akan tetapi, ada dua hal yang menjadikan tindakan adiknya itu aneh sekaligus mencurigakan.Pertama, Krisna menginap di rumah sakit yang artinya pria itu bukan berkunjung melainkan menjaga seseorang di sana. Dan, kedua, Saras tidak tahu siapa yang tengah sakit. Mengingat lingkaran pertemanan sang adik yang tak luas, kemungkinan terbesar hanya kerabat yang bisa mendapat perhatian sebesar itu dari Krisna. Sayangnya, sejauh yang Saras ketahui tidak ada kerabatnya yang tengah sakit.Jika kemarin Saras tidak mendengar percakapan Krisna dan Rengga, perempuan itu tidak akan pernah kepikiran untuk berada di rumah sakit sekarang. Saras lebih memilih berada di rumah menemani keluarganya sarapan daripada membuntuti Rengga

  • Cinderella Tanpa Sepatu Kaca    Perasaan Itu Ada

    "Jingga, aku jatuh cinta padamu."Kalau bukan karena sedang pura-pura tidur, Jingga pasti akan membelalakkan kedua mata saat mendengar kalimat itu dari bibir Krisna. Namun, saat ini gadis itu hanya bisa menahan diri dan bergeming. Membiarkan Krisna menganggapnya tak mendengar apa pun.Jatuh cinta. Krisna memang pernah bilang tertarik pada Jingga. Sebuah rasa suka. Tapi bagi gadis yang selama 25 tahun belum pernah memiliki kekasih, kata jatuh cinta memiliki arti yang lebih bagi Jingga. Itu adalah sebuah awal untuk hubungan yang mendalam untuk perasaan dua orang manusia. Itu lebih dari sekadar tertarik dan ingin berkenalan.Dan, kata itu diucapkan oleh Krisna. Bos Jingga yang selalu ia sebut labil karena sikapnya yang berubah-ubah sejak pertemuan pertama. Juga pria yang pagi tadi berhasil membuatnya tersipu habis-habisan hanya karena sebuah candaan. Padahal gurauan itu pun tidak didengarnya langsung dari Krisna.Tubuh Jingga menegang sewaktu ia mera

  • Cinderella Tanpa Sepatu Kaca    Curi Kesempatan

    Krisna melemparkan senyum pada seorang perawat yang baru saja meninggalkannya. Perempuan yang sama dengan yang ia temui di hari Jingga pertama dirawat. Mereka tadi sempat mengobrol singkat untuk membahas kondisi Jingga yang sudah lebih baik.Seperginya perawat tersebut, Krisna menghela napas panjang. Tangannya sudah berada pada pegangan pintu, siap untuk masuk. Akan tetapi, ia masih agak ragu menuju ke dalam. Ada rasa takut kehadirannya tak diterima, mengingat Krisna bukan anggota keluarga. Terlebih beberapa hari sebelumnya Jingga jelas-jelas sedang menjaga jarak dengannya.Namun, rasa khawatir dan rindu di hati Krisna akhirnya menang. Ia akan menerima saja jika Jingga marah padanya. Tidak akan mendebat balik. Karena yang terpenting adalah ia bisa menemani gadis pujaannya dan memastikan kondisinya baik-baik saja.Pintu itu akhirnya mengayun terbuka dengan perlahan. Krisna hendak mengucap salam ketika dilihatnya Jingga sedang berbaring dengan mata terpejam.

  • Cinderella Tanpa Sepatu Kaca    Cemburu

    “Lihat apaan, sih, Ma?” tanya Jingga yang masih jengkel dengan ketidakhadiran mamanya semalam. Kekesalan gadis itu bertambah karena bukannya segera memberi penjelasan, Riani justru sibuk mengamati ke luar jendela. Memangnya apa yang menarik di sana selain pemandangan deretan kendaraan yang tengah diparkir?“Lihat calon mantu Mama berangkat kerja. Rajin banget.” Jawaban Riani membuat Jingga berdecak. Krisna memang sudah menjaganya semalaman, tapi tidak berarti mamanya sampai harus memelototi pria itu hingga keluar gedung rumah sakit. Apalagi memujinya segala. Mengucapkan terima kasih saat mereka bertukar giliran tadi sudah cukup. “Mama nggak bisa nganggep Pak Krisna rajin cuma karena lihat dia berangkat kerja sekali.”Riani tiba-tiba menoleh pada putrinya. Menunjukkan ekspresi bingung, ia pun bertanya. “Memangnya Mama bilang yang Mama lihat itu Nak Krisna? Perasaan nggak, deh.” Mendapati wajah Jingga yang merona, perempuan itu tergelak. Kebingung

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status