Share

Bag 5

Sementara itu di rumah yang berbeda. Rumah sederhana yang tidak terlalu besar itu Lisa beristirahat.

Menatap langit berbintang dari jendela kecil kamarnya. Lisa tersenyum menatap bintang yang berhamburan di atas sana. “Apa ayah dan ibu juga merindukanku?”

Itu semua adalah hal yang dilakukan Lisa hampir setiap malam, dia memang suka melepas kerinduan dengan kedua orang tuanya melalui bintang-bintang.

Serasa penatnya sudah menghilang jika Lisa mencurahkan kerinduan kepada sang bintang-bintang.

Hari sudah makin larut. Lisa segera merebahkan tubuhnya di sebuah kasur lantai yang keras itu. Dia mulai memejamkan matanya sambil memeluk bingkai foto kedua orang tuanya.

Di rumahnya sendiri diperlakukan seperti pembantu, bahkan lebih layak dari seorang pembantu. Ibu tirinya sengaja hanya memberi sebuah kasur lantai sebagai pelepas penatnya di malam hari.

Kamar tersebut sangat kecil, berukuran 3 x 2 meter. Tidak ada barang-barang mewah maupun barang-barang yang layak.

Lemari di kamar Lisa hanya sebuah lemari kain portabel tanpa penutup. Ada meja kecil berukuran 50 x 50 cm di dekat dengan jendela. Meja kayu tersebut sudah tidak kokoh lagi dan kursi plastik sebagai pelengkapnya.

Cermin miliknya satu-satunya juga terpasang di tembok. Meskipun sudah retak menjadi tiga bagian Lisa tetap menggunakannya.

Dengan segala keterbatasan yang dimiliki pada kamarnya, Lisa harus mempergunakannya dengan baik dan sangat berhati-hati. Sedikit ceroboh Lisa bisa menghancurkan kepemilikannya yang sudah tak kokoh tersebut.

Lisa meringkuk kanan tubunya dengan dibalut selimut tipis. Lisa sedari tadi sudah mengajak matanya untuk tidur. Namun nyatanya sang mata menolak diajak berkompromi.

“Ayo tidur Lisa, besok masih banyak pekerjaan yang harus kamu kerjakan.” Ucap lirih Lisa.

Lisa bangun dan menyandarkan punggungnya ke tembok. Kedua jari jemarinya memijat pelan pelipis yang mulai pening tersebut. “Kenapa aku memikirkan dia?”

Memang saat ini yang menguncang pikiran Lisa adalah laki-laki yang sewaktu itu mengecup bibirnya. Lebih tepatnya itu adalah sebuah ketidaksengajaan, kecelakaan.

Tapi bayang-bayang itu berhasil menghantui Lisa. Saat ini Lisa tidak bisa berhenti memikirkannya. Memang kejadian itu baru terjadi siang tadi, masih sangat membekas di hati Lisa.

Lisa mengacak-acak rambutnya yang terurai bebas tersebut. “Ah, tidak-tidak Lisa.” Dia hanya menggeleng-gelengkan kepalanya, “kau tidak perlu memikirkan laki-laki Casanova sepertinya Lisa.”

Lisa tetap berusaha meyakinkan dirinya sendiri untuk melupakan laki-laki tersebut dan melupakan kejadian tersebut.

“Kau tidak pantas untuk mencintai laki-laki sepertinya,” ucap Lisa kembali.

Lisa memang tidak mempunyai kepercayaan diri yang lebih. Dia selalu merasa berkecil hati dengan teman – teman sebayanya.

Baginya dia tidak pantas berteman dengan siapapun. Itulah yang membuat dirinya tidak memiliki seorang sahabat.

Lisa selalu minder dengan keadaannya sekarang. Jauh dari kata modis dan tidak pernah percaya diri dengan kecantikan alami yang dimilikinya.

Kulit Lisa memang sedikit kusam karena selalu terpapar dengan sinar matahari tanpa perlindungan apapun. Bahkan jenis-jenis dan nama-nama skin care pun Lisa tidak mengenalinya.

Di saat teman-teman sebayanya menghabiskan waktu senggangnya untuk bermain dia bekerja. Saat teman-temannya memiliki waktu senggang pergantian mata kuliah lainnya. Lisa hanya membaca buku.

Keadaan Lisa memang jauh dan selalu mendapat penderitaan. Untuk membiayai kuliahnya saja dia harus berjuang mati-matian dengan bekerja tanpa kenal waktu.

Untung saja sekarang kuliah Lisa sudah hampir usai. Tinggal menunggu wisuda kelulusannya. Hal itu adalah satu – satunya cara Lisa bangkit dari penderitaan ini.

Setidaknya kalau dia bisa mempunyai pekerjaan yang layak, dia akan hidup jauh lebih layak dari sekarang.

Karena tak kunjung bisa tidur memikirkan Ken. Lisa beranjak dari kasur lantainya tersebut. Dia mendekati meja kayu tak kokoh yang hampir roboh tersebut.

Lisa mengambil sebuah buku yang warnanya sudah kusam karena berkali-kali dipegang dan di bolak – balik.

Dia mulai menggoreskan pensilnya ke buku tersebut. Ia melanjutkan sebuah design rumah besar. Itu adalah keahliannya mendesign rumah dan sekarang yang di design olehnya adalah rumah impiannya kelak.

Sesuai dengan permintaan ayahnya dulu. Lisa harus bersekolah arsitek agar bisa membesarkan namanya. Meskipun ia sendiri tak menyukainya, tapi itu sudah menjadi janji kepada ayahnya untuk membuatkan design rumah yang apik.

Baru beberapa goresan pensil tertera di bukunya, namun matanya mulai sayu. Sungguh pekerjaanya tersebut membuatnya jauh lebih tenang. Menghilangkan semua kekacauan dalam pikirannya.

Berkali-kali Lisa mulai menguap. Bukunya segera ia tutup dan ia kembalikan buku tersebut.

Lisa kembali tidur di tempatnya yang di anggap paling nyaman tersebut, kasur lantai. Tubunya sudah meringkuk dan kakinya di balut dengan selimut tipis.

“Semoga besok akan datang kebahagiaan,” ucap Lisa sebagai pengantar tidurnya.

Tak terasa Lisa memejamkan matanya sudah hampir subuh. Sementara sekarang mentari sudah menunjukkan batang hidungnya. Lisa masih terlelap karena tidur terlalu pagi.

Di luar sana Elga sudah kesal dengan Lisa yang belum kunjung unjuk gigi. Padahal dia hari ini harus pergi pagi-pagi untuk pemotretan.

Eitsss, jangan salah sangka. Elga bukanlah seorang model, dia hanyalah seorang assisten model yang lumayan terkenal. Dia harus mengantarkan tuannya untuk pergi ke luar kota.

Bibir Elga sudah mengerucut di meja makan. Belum ada sarapan dan kopernya belum di keluarkan dari kamar.

“Memangnya aku siapa harus menunggu?” keluh Elga kesal pada Rosa.

“Kemana lagi anak itu,” Rosa juga ikut menyambung.

Tak kunjung menunjukkan batang hidungnya, Rosa segera mencari keberadaan Lisa di kamar.

“Ceklek…”

Pintu terbuka sementara Lisa masih terlelap. Mungkin sedang asyik-asyiknya dengan bunga tidurnya.

“Dasar anak tidak tahu diri,” umpat Rosa.

Geram dengan ulah Lisa, Rosa mengambil gayung berisi air penuh dari kamar mandi. “Ibu, apa yang akan kau lakukan?” tanya Elga namun hanya dihiraukan Rosa.

Rosa berjalan dengan wajah murkanya menuju kamar Lisa kembali. Tanpa basa basi Rosa menyiramkan air tersebut ke wajah dan seluruh tubuh Lisa. Sekarang Lisa basah kuyup.

“Aaaaa….”

Lisa sungguh terkejut bukan main karena hal tersebut. Mimpi indahnya di bangunkan dengan air yang membasahi seluruh tubuhnya.

Rosa berkacak pinggang. “Masih bisa teriak ya?” Rosa menyindir.

Elga yang mengetahui teriakan Lisa begitu kencang itu langsung menghampiri mereka. Elga tersenyum puas melihat Lisa yang sudah basah kuyup.

“Memang enak?” batin Elga sambil tersenyum sinis.

Kedua bola mata Rosa hampir lepas menatap Lisa. Lisa hanya bisa menunduk. “Apa kau tidak tahu sekarang jam berapa?” tanya Rosa.

Lisa tidak memiliki ponsel sehingga tidak memiliki pengingat bangun pagi jika tidurnya terlalu larut dan kelelahan. Bahkan jam diding di kamar tersebut pun tidak ada sama sekali.

“M.. M.. Ma.. Maaf bu..” jawab Lisa gugup.

“Apa kamu lupa dengan tugasmu, hu?”

Lisa menggeleng, “tidak bu.”

“Lantas hukuman apa yang pantas untukmu?” tanya Rosa lagi.

Lisa langsung berlutut di kaki ibu tirinya. “Ampun bu !” dia memohon dengan pilu. “Jangan hukum Lisa!”

Rosa hanya melipat kedua tangannya di atas perut, wajahnya ia buang ke samping.

Elga yang semakin puas ikut menyambung, “aku sudah tidak berselera makan bu.”

Rosa menendang Lisa agar menyingkir dari kakinya. Tubuhnya langsung menghadap ke anaknya yang terlihat kecewa. “Ibu bisa menyuruhnya untuk membuatkanmu sarapan sayang.”

“Tidak,” Elga langsung beranjak. “Lebih baik ibu mengantarkanku ke rumah nyonya muda,” ajak Egla kepada ibunya.

Kali ini Lisa selamat, karena ibu tirinya lebih mementingkan anak kesayangannya tersebut. Lisa tidak menyia-nyiakan kesempatan ini. Dia segera menggarap pekerjaan rumah dan segera pergi bekerja agar ibunya tidak memarahinya lagi.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status