"Apak, Apak, Apaaaak!"
Mitha menangis di dalam parit kecil di bibir sawah. Bajunya kotor karena tanah sawah yang baru selesai ditanami padi sore kemarin. Semua anak-anak sepermainannya mengejeknya karena memakai kaca mata dan kawat gigi ala Betty Lafea, sinetron yang ditontonnya setiap sore itu. Satu dari lima kawannya mendorong Mitha ke bibir sawah, lalu ia tergelak diikuti dengan anak lelaki lainnya. Semuanya lelaki, hanya Mitha yang perempuan.
Richi melewati setapak jalan menuju sawah itu bersama adiknya dengan sepeda tua milik Apak. Ia melihat Amak Mitha berjalan ke arah sawah. Menarik tangan anaknya berdiri dari parit itu dan memarahinya.
"Amak alah mengecek kalau anak gadih dilarang main jo anak laki-laki. Main boneka se lah nyo jo adik awak di rumah." Kata Amak Mitha yang mengomel di sepanjang jalan sambil memapah anak gadisnya.
Mitha lebih dekat dengan Apaknya karena Apaknya seorang lelaki yang lembut dan pengertian. Apak adalah cinta pertam
RSUD Gading Cempaka kembali normal. Semua hasil swab PCR belum dibaca, tetapi hanya karyawan yang hasil swab pcr-nya negatif saja yang bisa masuk kantor. Dan itu pun hanya melayani kedaruratan pasien yang datang ke IGD. Semua poli tutup karena ada dokter spesialis dan dokter umum yang terinfeksi covid-19. Ruang rawat inap mawar, melati, dan anggrek juga tutup sementara sebelum semua hasil sebab pcr keluar. Hanya beberapa pasien bangsal lama saja yang masih dirawat dengan sisa perawat yang bebas covid-19. Juga yang beroperasi hanya ruang isolasi covid yang penuh dengan 20 orang perawat dan dokter dari RSUD ini sendiri yang tertular covid-19.Masyarakat jadi takut ke RSUD karena berita penularan covid-19 pada perawat dan dokter RSUD ini terlanjur telah disiarkan berita di tivi.Dokter Rissa kembali ke IGD setelah mengikuti dokter senior untuk visit ke ruang isolasi covid-19 di belakang."Bukan Mitha radiologi kali yang positif." kata Nurse Vivi membuka pembi
Rara menelepon Rissa sahabatnya lagi pagi ini. Rissa yang sedang menyeruput kopi susu hangat itu meletakkan gelas ke atas meja bulat kecil yang baru dibelinya sore kemarin. Bertambah lagi barang di kamarnya yang telah padat ini."Rissa!" kata Rara lewat jaringan telepon itu."Hai, Ra. Kapan nih tanggal asli nikahnya? Belum selesai juga didiskusikan?" ujar Rissa lagi."Yup. Itulah kenapa gue nelpon elu kali, Ris?!" kata Rara bersemangat. Nada suaranya menandakan bahwa hati Rara sedang berbunga-bunga. Rissa pun ikut senang."Wah, wah. Asyik nih." kata Rissa lagi."Ris, pokoknya lu harus datang. Mau lu dinas kek, pokoknya lu harus datang ke sini, terbang ke sini tanpa alesan apa pun!" seru Rara pada Rissa yang kini telah duduk di atas ranjang itu."Oke, oke. Seminggu lagi ya? Hmm." kata Rissa berpikir sambil tersenyum memikirkan ide konyolnya ingin mengajak Cecep."Oke. Janji ya Ris?!" ucap Rara lagi. Iya memperlakukan sahabatnya sama, b
"Cep, Rissa rindu Cecep. Datang ke kosan Rissa dong Cep. Ada yang mau Rissa katakan. Penting." ujar Rissa.Richi yang masih menangani pasien di Klinik Bunda tidak melihat pesan masuk di ponselnya. Sore ini ia bekerja dengan rekan bernama Mitha lagi, sedangkan perawat yang bertugas sedang sibuk dengan pasien yang kakinya terluka dan harus diobati dan dibalut dengan perban. Karena lukanya dalam, perawat tadi harus menjahitnya sedikit saja.Pasien yang berobat dengan dr. Richi mengeluhkan sakit pada pinggangnya. Lalu setelah dirontgen, tampak batu di ginjal kanannya. Hasil rontgen abdomen yang dikerjakan Mitha tidak menghitung berapa senti meter ukuran batu itu. Dokter Richi berjalan ke arah ruang radiologi Klinik Bunda. Ia berjalan di sepanjang lorong sempit itu.Tibalah ia di depan ruang radiologi. Ia mengetok pintu, lalu ia langsung masuk ke dalam tanpa ada yang membukakan pintu."saya dokter Poli Umum." kata Richi mengenalkan dirinya pada Mitha tan
Dua minggu sepulang dari Jakarta, Rissa merasakan ada yang berbeda pada dirinya. Rasanya mungkin terlalu kecapekan. Badannya terasa sakit semua. Kadang buang angin setelah tidur di dalam selimut tebal. Badannya panas dingin, tetapi lebih terasa kedinginan. Kadang ia mual, lalu muntah sedikit. Dokter cantik ini pun menukar jadwal dinas internshipnya pada dokter iship lain dan meminta surat sakit. Ia pun diizinkan istirahat tiga hari.Tak terasa internship di RSUD Gading Cempaka sudah berlangsung selama 10 bulan. Itu artinya waktu yang tersisa bagi Rissa berada di Bengkulu ini hanya 2 bulan lagi. Setelah itu harus ikut ujian akhir dan bila lulus, jadilah ia "dokter" beneran. Jika belum lulus ujian tulis itu, ya bisa ikut lagi di lain waktu."Cep, bisa ke kosan Rissa?" tanya Rissa pada Cecep di telepon."Ada apa Neng Dokter?" tanya Cecep."Mulai kini jangan panggil Neng Dokter ya Cep. Panggil aja Rissa." kata Rissa lagi."Gak enak, Neng."ucap
Richi memasuki kamarnya duluan dari pada Wendy. Ia pun mengganti baju dan tidur di kasur itu tanpa ba bi bu lagi.Rissa yang kehilangan hape, ingat kalau hapenya pernah dititipkannya di saku celana Cecep."Pak Ujang, bisa balik lagi ke hotel?" tanya Rissa. "Hp Rissa tinggal sama Cecep, Pak." kata Rissa lagi. Padahal sudah hampir sampai rumah lima menit lagi. Tapi karena hotel itu tidak begitu jauh, dan dalam keadaan jalanan sepi begini, sudah jam 12 malam, Pak Ujang memutar balik mobil itu menuju hotel kembali.Rissa menuruni mobilnya. Lalu berjalan melewati mas-mas front liner yang sedang bertugas malam. Ia berlari ke arah lift, memasuki lift yang kosong, dan memencet tombol ke lantai 19, Rubby Gold. Tapi ia agak lupa nomor kamar Cecep. Semua data check-in-nya ada pada ponselnya.Rissa telah sampai ke lantai 19. Ia keluar dari lift. Sepi. Lorong Rubby gold sudah sepi. Ia kular kilir ke kanan dan kiri untuk menebak di antara 10 kamar di sini, yang m
Richi makan siang di kantin Klinik Bunda. Mitha pun juga memesan makan siang di tempat yang sama. Ia bertatap pandang dengan Richi. Lalu Richi mendekatinya yang duduk di pojok ruangan. "Mbak Mitha?" tanya Richi ramah pada rekan kerjanya itu. Ia meminta untuk duduk di tempat yang sama. "Iya, Dok. Silakan." kata Mitha ramah. Lalu keduanya membuka masker saat hendak makan nasi dan lauk itu. Keduanya beradu pandang tak sengaja, lalu saling tersenyum. Namanya juga rekan kerja, mana mungkin tak saling ramah. Asalkan menjaga sikap saja. Richi memesan kepala kakap ala minang, sedangkan Mitha memesan lauk dendeng sambalado. Semuanya terkesan khas ranah minang. Memang lidah mereka cocok makan di gerobak minang milik Mak Tina itu. "Suka dendeng batokok ya?" tanya Richi basa-basi. "Gak juga sih, Dok." jawab Mitha. Lalu ia balas bertanya. "Dokter Richi suka kepala kakap? Mitha jago lho bikin itu." kata Mitha lagi. "Oh ya?" jawab Richi.
"Kamu pilih mama atau papa?"Wanita umur 50 tahun itu keluar dari kamarnya, lalu menemukan Wendy, anak semata wayangnya yang menonton tivi setelah mandi. Ia belum lama pulang dari sekolahnya sore itu. Aktivitas sekolah yang padat membuat anak lelaki itu hanya diam mendengarkan mamanya bicara sambil menangis. Ia bingung. Entah apa yang bisa dilakukan anak kelas dua SMA itu pada orang dewasa yang menangis.Wanita itu duduk di sofa hijau di samping anaknya itu. Mata wanita umur 50 tahun itu berkaca-kaca dan memerah. Wajahnya basah seperti sering menangis. Mama Wendy memang sudah menangis berhari-hari.Seperti biasa, hanya ada mama dan Bi Ijah di dalam rumah ini. Papa sering tidak pulang ke rumah karena alasan urusan perusahaan. Rumah mereka pun ada dua, satu di Gandaria, Jakarta Selatan, satu lagi di dekat perusahaannya di Gading Putih, Bandung karena perusahaan papa juga ada satu di Bandung. Mereka juga punya satu apartemen di daerah Ancol yang
Rssa mengecek urin pertamanya setelah bangun tidur dengan test peck yang dibelinya di apotek. Setiap serapan air urin yang melaju ke atas detik demi detik dari alat kecil itu ada harapan besar di benak Rissa agar garisnya satu saja.Air pun terus diserap alat kecil persegi panjang itu. Lalu mencetak satu garis. Sebentar lagi ia akan berada di garis ke dua. Apakah garis ke dua itu putih atau merah, Rissa memilih agar putih saja. Air pun terserap ke garis ke dua, hasilnya bukan merah atau putih seperti bendera, tetapi hasilnya pink atau merah jambu.Rissa melihatnya seperti garis putih, tetapi dilihatnya lagi seperti merah jambu yang lemah, ia samar-samar, yang menandakan kadar hormon HCG masih sedikit di urin itu.Rissa tergeletak lemah di lantai kosannya. Ia tak menyangka kalau ia hamil. "Mana mungkin?!""Ceceeep!" ia berteriak sambil menangis tersedu memanggil nama Cecep. Menurut HTHP, Rissa sudah telat haid hari ke 36.Malam itu ia ingat ka