“Bukankah Tuan sudah berjanji untuk pulang tepat waktu? Kenapa baru tiba sekarang?” tanya Minnie ketika Max melangkah masuk.
Wajah pria itu spontan tertekuk.
“Tolong jangan menambah rasa bersalahku, Bi. Ada pekerjaan tak terduga tadi,” terang Max sembari meringis. “Di mana Gabriella? Apakah di kamar?”
“Ya. Sejak tadi siang—“
“Terima kasih, Bi,” sela Max sembari bergegas menaiki tangga. Sang pelayan yang hendak melapor sampai tercengang melihat kecepatannya.
“Tapi Tuan ....”
Sang pria hanya mengangkat tangan, menyatakan bahwa dirinya sudah tidak sabar ingin bertemu dengan Gabriella.
Sadar bahwa semangat Max terlalu menggebu, sang pelayan pun menghela napas pasrah. “Semoga saja dia mampu mengatasi istrinya.” Dengan alis berkerut, Minnie membiarkan sang pria masuk ke kamar.
“Gabriella?” bisik Max setelah menutup pintu. Wanita yang sedang berbaring di ranjang tidak menyahut.
“Apakah dia sudah tidur?” pikir sang pria
Lima belas menit berlalu, Max sudah puluhan kali mencari posisi yang nyaman. Ia mencoba berbaring ke kanan, menatap langit-langit, dan menghadap punggung sang istri. Namun, tidak ada satu pun yang terasa tepat baginya. “Bagaimana aku bisa tidur?” pikir pria itu seraya mengerutkan alis mengamati sang istri. Wanita itu bergeming seolah tak peduli. “Haruskah aku mencoba memeluknya? Mungkin saja, dia sudah tidur dan tidak sadar bahwa aku menyentuhnya,” batin Max seraya bergeser merapatkan jarak. Belum sempat tangannya terangkat, Gabriella terbatuk kecil. Sekujur tubuh Max sontak mematung. “Apakah dia juga tidak bisa tidur?” gumam pria yang berkedip kaku. Tiba-tiba, sang wanita bergerak, mengubah posisi hingga mereka saling menghadap. Max spontan menahan napas. Namun, begitu mendapati wajah sang istri yang terpejam, pria itu langsung mendesah samar. “Kenapa aku bisa lupa? Gabriella selalu mengantuk usai menangis. Wajar saja jika dia sudah t
“Apa lagi yang Anda lakukan, Tuan? Kenapa Nyonya menangis?” selidik Minnie setelah memastikan Gabriella masuk ke kamar. “Aku tidak sengaja menyentuhnya,” sahut Max dengan nada datar. Mata sang pelayan sontak melebar. “Kenapa Tuan melakukan hal bodoh itu?” omelnya seraya meringis. “Dia hampir jatuh, Bi. Aku refleks menangkapnya,” terang sang pria dengan kerut alis yang dalam. Setelah membayangkan apa yang terjadi, perempuan tua itu mendesah lalu merendahkan suara. “Apa rencana Tuan selanjutnya?” “Aku tidak tahu. Pikiranku buntu. Sepertinya, Gabriella tidak akan percaya lagi padaku,” sahut Max sembari tertunduk. “Kenapa Tuan jadi mudah putus asa begini?” “Aku sudah melanggar perkataanku sendiri, Bi, dan dia berpikir bahwa aku sengaja mencuri kesempatan,” terang sang pria sebelum mencengkeram kepalanya yang berdenyut-denyut. Selang keheningan sejenak, Minnie akhirnya menyampaikan pendapat, “Menurut Bibi, sebaiknya Tuan mem
“Kita tidak seharusnya memilih kostum berwarna hitam. Seperti sedang melayat saja,” gumam Gabriella saat memperhatikan warna cerah pada pakaian tamu yang lain. “Lihatlah, semua orang jadi melihat kita.” Pria yang berjalan di sampingnya pun tersenyum. “Mereka bukan melihat kita, tapi melihatmu.” “Aku? Kenapa?” timpal sang wanita dengan mata bulat, sambil menghentikan langkah. “Karena kau sangat cantik malam ini.” Wajah Gabriella sontak berubah kaku. Rayuan sang suami terasa hambar baginya. “Aku bersedia datang ke sini bukan berarti aku sudah memaafkan kesalahanmu.” Mendengar ketegasan itu, lengkung bibir sang pria sontak menciut. Dengan raut serius, ia mendekat ke telinga sang wanita. “Kita sedang di tengah keramaian. Tidak bisakah kau menunda kekesalanmu? Kau boleh memukulku sepuasnya sepulang dari sini.” “Benarkah? Aku tidak akan ragu untuk mengerahkan semua tenagaku,” ancam sang wanita, sukses menerbitkan kembali senyum di wajah Max.
“Kau sudah tidak dalam periode, bukan?” desah Max saat mendesak sang istri memasuki sebuah ruangan. “Apa kau sudah gila? Kita sedang dalam acara pertunangan kakakmu!” “Masih ada beberapa menit sebelum acara puncak. Sebelum itu, aku harus mendapatkan klimaks dulu. Aku bisa gila jika menahannya lebih lama.” Helaan napas tak percaya spontan berembus dari mulut Gabriella. “Apakah sekarang kau mengakui bahwa dirimu menginginkan tubuhku?” “Aku memang menginginkan tubuhmu,” sahut Max seraya berjalan menuju tumpukan kursi. Setelah meletakkan jas di sana, ia kembali menghadap sang istri sambil melucuti kancing di bawah leher. “Tapi, kalimat yang lebih tepat adalah ... aku menginginkanmu seutuhnya.” Hanya dalam sekejap, suara pekikan tertahan mulai memanaskan suasana. Gabriella cepat-cepat menyumbat mulutnya dengan kepalan tangan, takut ada telinga di balik pintu yang mendengar. Mengetahui bahwa istrinya kewalahan, alih-alih melambat, sang pria
“Selamat malam, hadirin yang terhormat. Kalian pasti bertanya-tanya siapa gadis kecil dalam video. Dialah ratu sesungguhnya hari ini,” ucap Amber sebelum menyunggingkan senyum ke arah tunangannya. Tanpa terduga, Julian ikut menaikkan sudut bibir lalu mempersilakan sang wanita untuk melanjutkan bicara. Mereka berdua tampak jelas sedang merencanakan sesuatu. “Kami sudah bersusah payah mempersiapkan kejutan ini. Jadi, mohon perhatikan dengan saksama.” Tiba-tiba, foto Gabriella muncul memenuhi layar. Semua orang sontak tercengang sebelum ruangan bertambah riuh. “Benar. Gadis kecil tadi adalah perempuan bergaun hitam yang duduk di samping Tuan CEO. Haruskah aku menyebutnya calon ipar Julian? Ck, entahlah.” Tubuh Gabriella seketika membeku. Semua mata telah tertuju padanya. Dingin dan sinis. Melihat tangan sang istri mulai bergetar, Max cepat-cepat menggenggamnya. “Jangan khawatir. Apa pun yang mereka rencanakan tidak akan bisa menjatuhkanmu
Sekeras apa pun Max memaksa untuk menemukan solusi, usahanya tetap gagal. Hati dan logika tidak berjalan searah. Ia tidak mungkin mengorbankan Gabriella, tetapi tidak mau kehilangan Quebracha. Malangnya, belum sempat otak menelurkan ide, sang istri telah berlari. Keterkejutan otomatis menyentak kesadaran sang CEO. “Gaby,” cegah pria itu sembari berusaha menangkap pergelangan tangan istrinya. Akan tetapi, sang wanita bergerak secepat angin. Tangan Max hanya berhasil menggapai udara. Melihat punggung sang istri menjauh, hati pria itu mendadak hampa. Selang satu embusan napas pasrah, ia pun ikut keluar dari ruangan. “Gaby,” panggil Max ketika ia hampir menyusul. Alih-alih menjawab, sang wanita terus berlari menuju jalan. Ia tidak peduli dengan pria yang melangkah semakin cepat di balik punggungnya. “Gabriella!” Max akhirnya berhasil mendapatkan siku tangan sang istri. Namun sedetik kemudian, wanita itu menyentak lengannya dan melo
Gabriella menggeleng dan mendorong dada sang suami. “Bukankah kau selalu menyebutku sebagai orang yang merepotkan? Sekarang sudah waktunya bagimu untuk melepasku. Kau tidak akan memiliki beban lagi jika aku pergi.” “Apa yang sebenarnya dikatakan oleh peneror itu, hm? Kenapa kau berubah pikiran seperti ini? Kita sudah sepakat untuk mencari solusi.” Alis sang wanita berkerut semakin dalam. “Kurasa, peneror itu benar. Jika tetap bersamamu, aku akan lebih tersiksa, apalagi jika kau kehilangan jabatan dan kepercayaan orang-orang. Kau bukan hanya akan melampiaskan nafsu, tetapi juga kemarahan kepadaku. Aku tidak mau menanggung semua itu.” Dada sang pria seketika terimpit kekecewaan yang lebih besar. “Aku tidak mungkin melakukan hal itu kepadamu,” terangnya dengan asa yang semakin menipis. “Aku tidak berani mengambil risiko sebesar itu,” timpal Gabriella sembari tertunduk. Ia tidak ingin air mata yang mulai berkumpul, terlihat oleh sang suami. “Apakah kau bi
Max terdiam mendengarkan ucapan sang istri. Tangannya terkepal erat sementara rahangnya berdenyut-denyut menahan kemarahan. Sekilas, Gabriella seolah berhasil mendobrak pertahanan sang suami. Namun sebenarnya, bukan kata-kata yang telah menusuk jantung Max, melainkan air mata sang wanita. “Berhentilah menangis! Aku tidak suka melihatnya,” ucap pria itu sontak mengubah makna pada kedipan mata sang istri. “Apa?” desah Gabriella tak percaya. Bukan itu respon yang ia harapkan. Setelah mencengkeram kepala sejenak, Gabriella kembali membalas tatapan sang pria. “Apa kau masih belum mengerti juga? Sejak awal, aku sudah membencimu. Dan sekarang—“ “Kebencianmu telah berubah menjadi kepedulian,” sela Max sukses membuat istrinya kehilangan kata-kata. “Tapi jika kebencian bisa membuatmu tetap berada di sisiku, teruslah membenciku. Dengan begitu, kau tidak akan mendesakku untuk menceraikanmu.” Tanpa memberikan Gabriella kesempatan untuk bica