“Kalau Kakek benar-benar menghindar, aku benar-benar akan berhenti dari perusahaan,” ujar Julian, sukses membekukan langkah Tuan Hunt. Pria tua itu kini berkedip-kedip mencerna perkataan yang ia kira salah dengar.
“Posisiku sebagai CEO sedang terancam karena suatu hal. Aku berusaha merahasiakannya dari kalian semua. Bahkan Mia saja tidak kubiarkan tahu. Tapi ternyata, itu sama sekali tidak mudah. Pikiranku menjadi terombang-ambing. Dan karena beban yang terlampau berat, emosiku akhirnya meledak. Aku sangat menyesal hal itu harus terjadi di hadapanmu.”
Mendengar nada yang terkesan jujur itu, Tuan Hunt perlahan memutar tumpuan. Dua detik kemudian, ia melihat butiran bening meluncur dari mata sang cucu.
“Aku sudah berusaha kuat dan tegar, Kek. Kupikir, aku bisa mengatasi semua masalah. Tapi ternyata, sampai detik ini pun, aku belum menemukan solusinya. Karena itu pula, aku marah saat gagal menemukan Grace dan dirimu di pemakaman. Rasanya, aku ini laki-laki yang
“Woah!” desah Cayden saat sang ayah menempatkannya di atas punggung seekor kuda poni. Dengan mata bulat, ia mengamati ketinggiannya dari tanah. Meski tidak seberapa, balita bertopi koboi itu tetap menunjukkan senyum semringah. “Bagaimana, Evans Kecil? Apakah kau senang?” tanya wanita yang memegang tali kekang si kuda. Tak berani banyak bergerak, Cayden pun mengangguk dalam sudut terbatas. “Ya, Greta. Ini mendebarkan!” sahutnya antusias. “Mendebarkan?” gumam Gabriella seraya mengerutkan sebelah alis. Sambil terus menimang keponakannya, wanita itu mengungkapkan keheranan. “Dari mana kau mempelajari kata itu, Pangeran Kecil?” “Papa sering menyebutnya,” jawab sang balita, sukses membuat sang ayah meringis. “Papa berkata kalau malam yang dilewati bersama Mama selalu mendebarkan.” Selagi Gabriella melotot ke arah sang suami, Greta tertawa terbahak-bahak. “Astaga, Max. Kurasa, kau harus lebih berhati-hati sekarang. Putramu yang jenius ini bisa menyer
Hidup ini melelahkan. Setiap hari, beban di atas pundak terasa semakin berat. Walau begitu, kaki harus tetap melangkah karena waktu tak memberi ampun pada siapa pun yang lemah.Itulah yang dirasakan oleh seorang gadis di dalam rumah kecilnya. Setiap kali bunyi reruntuhan bangunan terdengar mendekat, ia akan menekan tuts piano dengan lebih bersemangat.Ketika kegaduhan itu terdengar lebih kencang, ia memutar tombol pengatur volume hingga hampir maksimal. Tidak ada satu pun di dunia ini yang mampu menghentikan permainan piano gadis itu, kecuali bunyi bel untuk yang kelima kalinya.“Aaargh! Siapa lagi itu? Kapan mereka akan berhenti menggangguku?”Dengan langkah berat dan cepat, ia menghampiri pintu.“Ada apa?” tanyanya garang. Sosok berwajah tampan di luar pintu pun mengerjap. Namun, sedetik kemudian, senyum manis pria itu melengkung sempurna.“Selamat siang, Nona Gabriella,” sapanya ramah.Sang gadis mengerutkan alis mengamati pria asi
Dua detik kemudian, Gabriella keluar dengan tampang tanpa dosa. Sudut bibirnya sampai berkedut karena menahan tawa. “Ada apa, Tuan?” tanyanya sambil menaikkan alis.“Air! Berikan saya air!” pinta pria yang masih kewalahan dengan sensasi terbakar di dalam mulutnya.“Air? Bukankah saya sudah menyediakan segelas air?” timpal gadis yang hendak berjalan mengambilkan gelas.Belum sempat Gabriella melangkah, tangannya sudah lebih dulu dicengkeram oleh sang CEO. “Berhenti mempermainkan diriku! Sekarang juga, cepat berikan saya air murni! Bukan air garam!”Tanpa terduga, gadis bertampang lugu itu mulai tertawa. Ketika ia berhenti, ketegangan langsung melapisi wajahnya.“Maaf, Tuan, tapi hanya itu yang bisa saya sajikan untuk Anda. Kalau Tuan ingin meminum air segar, sebaiknya Anda cepat pergi dari rumah ini dan belilah air di warung terdekat. Ck, andai saja warung di ujung gang itu masih ada, Anda dapat membeli air minum di sana. Sayang sekali, warung itu sudah
“Jadi, Anda bersungguh-sungguh tidak ingin menandatangani surat ini?” tanya Max sambil menahan gemuruh napasnya.“Apa maksudmu? Aku sudah menandatangani surat itu,” sahut Gabriella dengan alis berkerut. Nada bicaranya tidak lagi sopan kepada pria itu.“Oke! Jangan salahkan saya jika hal buruk terjadi pada rumah Anda.”“Apa kau sedang menyumpahiku? Aku sudah menandatangani surat itu. Kalian tidak boleh mengusik rumah ini lagi.”“Selamat siang!” Max pergi usai melampiaskan kekesalannya lewat kata-kata. Tidak biasanya pria itu gagal mengendalikan emosi.“Perempuan itu tidak normal,” umpat sang CEO begitu masuk ke mobil. Laki-laki di balik kemudi langsung menoleh ke arahnya.“Tidak normal bagaimana?”“Bayangkan saja, dia memberiku kopi pedas dan air garam. Dia bahkan tidak memberiku air untuk mencuci mulut,” cerita Max dengan raut sebal.“Benarkah? Lalu, dengan apa kau mencuci mulut?”Kedipan mata sang CEO sontak tertahan. Lembutnya
“Apa yang akan dilakukan perempuan itu?” batin Max di tengah makan malam. Nasi di piringnya sudah hampir habis, tetapi perdebatan dalam benaknya masih belum berakhir.“Apakah dia akan melakukan hal gila yang lain? Ck, sebenarnya, siapa orang yang membayarnya untuk menjalani sandiwara ini?”“Maaf, Tuan. Ada telepon dari pos penjaga,” tutur seorang pelayan sembari menunduk dan menyodorkan ponsel.Alis Max spontan terangkat. “Pos penjaga?” tanyanya yang dijawab dengan anggukan si pelayan.“Apa mungkin ... perempuan gila itu datang ke sini?”Tanpa membuang waktu, sang CEO menjawab panggilan. “Ada apa, Pak?”“Ada seorang gadis memaksa ingin bertemu dengan Tuan.”Raut wajah Max seketika berubah kaku. “Siapa?”“Namanya Gabriella.”Helaan napas langsung lolos dari mulut sang pria.“Benar-benar di luar dugaan.
“Dasar tidak punya hati! Bukannya meminta maaf, kau malah menghina rumahku? Menghina kenanganku?”Gabriella menjambak rambut Max dengan brutal. Meski meringis, pria itu masih bisa berdiri tegak. Tangannya pun tak ragu untuk mencengkeram pergelangan sang gadis dan membekukan serangan.“Untuk apa saya meminta maaf? Saya tidak bersalah.“Tawa kesal Gabriella pun terdengar.“Kau tidak bersalah? Hah? Kau kira aku percaya? Bukankah kau sendiri yang pernah memberiku ancaman? Apa kau lupa?” sanggah sang gadis seraya menyentakkan tangan mencoba lepas dari genggaman tangan yang lebih besar.“Saya memang pernah mengancam, tapi itu hanya ucapan belaka. Bukan saya yang menghancurkan rumah Anda.”Gabriella mulai melompat-lompat menambah kekuatan pada tarikan.“Lepaskan! Aku tidak mau disentuh oleh pembual kejam sepertimu!”“Pembual? Kau menuduhku pembual?”Max memutar tubuh Gabriella dan menguncinya dari belakang. Dengan posisi tangan bersilan
“Kurang ajar! Kapan si peneror itu memasukkan obat ke dalam makananku?” pikir Max seraya mengisi bak dengan air dingin.Tanpa memedulikan air yang baru setinggi mata kaki, ia masuk begitu pakaiannya sudah ditanggalkan habis. Pria itu kini terpejam sembari berusaha mengatur napas.“Astaga! Aku bisa gila!”Sang CEO mengambil sabun dan melakukan permainan sendiri. Akan tetapi, gelora dalam dirinya terlalu besar untuk ditaklukkan. Bahkan setelah ia membasuh diri, panas yang menjalar dalam nadi tak kunjung padam, sementara rasa haus akan wanita malah semakin membara.“Aku tidak tahan lagi!”Max keluar dari air dan menyeka badan sekenanya. Tanpa sehelai benang pun menutupi tubuhnya, ia pergi menemui wanita yang masih tertidur lelap.“Maafkan saya, Nona .... Tapi, Anda sendiri yang datang ke rumah ini. Anda pasti sudah rela menyerahkan diri agar saya bisa melampiaskan rasa ini.”Max dengan tergesa-gesa melucuti pakaian Gabriella. Ia bahkan sama sek
Begitu keluar dari kamar mandi, sang CEO menatap Gabriella dengan tampang jijik. Sambil membuka lemari dan mengambil pakaian, laki-laki itu berkata, “Hentikan air mata buayamu itu! Tidak akan membuatku tersentuh.”Sang gadis tidak menjawab. Ia bergeming dengan mata melotot ke arah Max. Dirinya tahu bahwa apa pun yang keluar dari mulutnya tidak akan dipercaya oleh laki-laki itu. Jadi, diam adalah jawaban terbaik.“Kuberi kau satu kesempatan lagi. Katakan ... siapa yang membayarmu untuk semua kekacauan ini? Jika kau jujur, aku akan memberimu toleransi.”Hingga sang CEO selesai mengenakan pakaian lengkap, Gabriella tetap mengunci suara. Isak tangis pun ia telan agar dirinya tidak dianggap lemah. Selelah apa pun hatinya menghadapi tuduhan yang menyakitkan, dirinya harus tetap tegar.“Oh, kau masih memilih untuk diam? Baiklah, kalau begitu, jangan harap kau bisa keluar dari ruangan ini.”Setelah menyatakan ancaman, Max keluar dan mengunci pintu. Ekspresinya