Azura dan Alvino kini resmi berpacaran. Namun, sesuai dengan permintaan Azura. Mereka pun merahasiakan hubungan keduanya dari para karyawan kantor maupun publik.
Di perusahaan Alvino, Azura bersama sekertaris dan dua karyawannya tengah mengikuti rapat. Azura duduk, tepat di depan sebelah kanan Alvino. Alvino beberapa kali mencuri pandang kepada Azura, saat yang lain fokus melihat dokumen persentasi. Namun, saat Azura dan yang lain menoleh ke arahnya. Ia langsung membawa pandangannya pada kertas di depannya. “Kamu harus meningkatkan kualitas kemasan produk. Pastikan, produk yang di jual aman dan higenis,” ucap Alvino tegas. “Baik, pak,” jawab salah satu karyawan Azura yang tengah berpersentasi itu. “Baiklah, kita akhiri rapat hari ini,” ucap Alvino membereskan berkas di depannya. Namun, para anggota di ruang rapat itu tercengang dan saling melempar pandang dengan bingung. “Maaf, pak. Tapi, kami belum menyelesaikannya,” ucap Azura. “Aku tahu, tapi aku memiliki urusan pribadi yang sangat penting,” ujar Alvino menatap Azura dengan lekat. Beruntung para karyawan di sana tidak ada yang peka dengan tatapan itu. Sehingga, mereka pun keluar dari ruang rapat tersebut meninggalkan Azura dan Alvino di sana. Setelah semua keluar, Alvino langsung saja menarik kursi Azura agar bergeser ke arahnya. Kini Azura berada tepat di samping Alvino dengan kursi mereka yang berdempetan. “Apa yang kamu lakukan?” tanya Azura terkejut dan hendak menghindar. Namun, Alvino menahan kursinya dengan terus menatapnya dengan lekat. Azura merasa gelisah, dengan membawa pandangannya ke sana kemari memastikan tidak ada yang melihat mereka. “Bagaimana jika ada yang melihat?” Azura masih berusaha menjauh dari Alvino. Hingga Alvino merasa kesal dan melepaskan kursinya. Lalu, ia juga mengeser kursi yang ia duduki menjauh dari Azura dengan raut wajah yang sangat kesal namun lucu. Azura terkejut, dan langsung menghampiri Alvino. “Apa kamu marah?” tanya Azura berusaha menatap wajah Alvino. Namun, pria yang menjadi kekasihnya itu terus menghindari pandangannya. Yang menandakan jika ia benar-benar marah. “Kamu marah?” tanya Azura lagi, namun kini dengan suara yang lembut dan terdengar manja. Alvino tidak tahan untuk tidak melirik Azura. Sehingga, ia pun melirik Azura, dan menemukan Azura tengah tersenyum manis kepadanya. Ia pun tak kuasa menahan senyumanya, sehingga ia tersenyum namun hanya sebentar. Sebelum akhirnya, kembali dengan raut wajah datar dan kesal. Detik berikutnya, Azura menangkup wajahnya dan menekat kuat pipi Alvino. Hal itu membuat bibir Alvino maju karena tekanan pada pipinya. Namun itu tak berlangsung lama, saat tiba-tiba pintu ruang rapat terbuka. Membuat Azura terburu-buru menuju kursi yang sebelumnya ia tempati dan duduk dengan benar. Begitu juga dengan Alvino yang langsung menggeser kursinya kembali, dan langsung memegang berkas. Tak berselang lama, salah satu karyawan Alvino pun masuk dan melihat mereka berdua di sana. “Kami sedang membahas kemasan produk,” ucap Alvino. “Saya tidak bertanya, saya hanya mau mengambil kotak pensil saya yang tertinggal.” Dengan senyuman kecil, karyawan wanita itu mengambil kotak pensil yang terletak pada meja paling depan dan kembali keluar. Setelah kepergian karyawan itu. Alvino pun menyembunyikan wajahnya dengan telapak tangan lebarnya, seketika ia merasa malu karena ucapannya tadi. Sedangkan Azura hanya menahan tawa, karena merasa tadi itu sangat lucu. * Hubungan Azura dan Alvino, kini telah berjalan 3 bulan. Hari ini adalah hari Aniversarry mereka, yang bertepatan dengan pesta perayaan peluncuran produk baru. Azura bersama beberapa karyawannya berada di sebuah restoran dekat pantai. Tidak hanya Azura dan karyawannya, Alvino dan beberapa karyawan yang terlibat pun ikut serta merayakannya. “Malam ini, tidak ada yang boleh kembali ke hotel, sebelum mabuk!” teriak seorang pria. “Setuju!” sorak yang lain menimpali. “Aku permisi dulu,” ucap Azura hendak bangkit dari duduknya. Namun, sekertarisnya menahannya dan membuatnya duduk kembali. “Anda tidak boleh pergi.” “Tapi—“ “Anda juga harus ikut, karena Anda bintang utama di pesta ini,” ujar yang lain. “Kenapa aku?” tanya Azura tertawa kecil. “Sudah, ayo kita nikmati pestanya!” Pria yang mengajak mereka mabuk itu, menuangkan sebotol wine ke dalam gelas Azura. Azura hanya tersenyum, tanpa berniat menolaknya. Karena merasa tidak enak hati untuk menolak. Sedangkan, Alvino hanya diam sambil menatapnya. “Kita buat permainan, agar lebih seru bagaimana?” usul salah satu karyawan wanita Azura. “Setuju!” sorak yang lain. “Baiklah, kita lakukan permainan truth or dare. Kita akan memutar botol ini, dan siapa yang di tunjuk oleh ujung botol, harus menerima pertanyaan dari seseorang yang di tunjuk belakang botol.” Karyawan itu menjelaskan permainan yang akan mereka lakukan. Dan botol di putar, tanda permainan di mulai. Ujung botol berhenti menujuk kea rah Alvino, dan belakang botol itu menunjuk kepada karyawan yang menggangu mereka di ruang rapat beberapa bulan yang lalu. “Truth or dare?” tanya karyawan itu dengan santai. “Truth,” jawab Alvino. “Apa anda menjalin hubungan dengan, Bu Azura?” Pertanyaan itu, sontak saja membuat Azura terbatuk karena tersedak makanan yang sedang ia kunyah. Malika langsung memberikan minum kepada Azura, yang langsung di tenggah oleh Azura. “Jawab jujur,” ucap karyawan itu. Alvino tidak langsung menjawab, ia hanya diam dengan menatap Azura. Azura membalas tatapannya, dengan tatapan yang mengisyaratkan jangan menjawab. Alvino yang paham, tersenyum miring dan bangkit dari duduknya. Membuat yang lain menatapnya dengan bingung. “Apa ini? apa anda tidak mau menjawabnya?” tanya karyawan pria. Alvino hanya diam, ia menenggak segelas wine di atas mejanya sampai tuntas. Membuat yang lain tercengang. Namun, mereka semakin tercengang ketika Alvino membawa langkahnya menghampiri Azura. Ia merogoh saku di dalam jasnya, dan mengeluarkan sebuah kotak perhiasan yang membuat semuanya tak bisa berkata-kata. Detik berikutnya, Alvino berlutut di hadapan Azura. Membuat Azura bingung, cemas menjadi satu. “Wil you marry me?”Tak terasa, waktu telah berlalu. Kini usia kandungan Azura, telah memasuki bulan ke empat. Di mana, drama mual, muntah, pusing dan semua hal yang menyiksanya selama trimester 1. Telah berhasil ia lalu bersama dengan Alvino.Meski demikian, Azura masih tetap ingat dan bersikekeh untuk bercerai dengan Alvino.Di usia kehamilan memasuki 4 bulan ini. Azura menjadi lebih posesif kepada suaminya.Ia tidak bisa jauh dari aroma tubuh Alvino. Yang membuatnya selalu tenang dan nyaman.Meski Alvino tidak keberatan, dengan keposesifannya istrinya. Dan justru, membuatnya sangat senang dan bahagia.Namun, di balik itu semua. Sedikit mempersulit pekerjaannya.Sebab, Azura bisa jauh dari Alvino. Sedangkan, ia harus pergi ke kantor untuk mengelola perusahaannya.Namun, Azura enggan untuk ikut dengannya ke kantor. Seperti sekarang ini, drama pagi hari yang baru telah di mulai.“Jangan pergi,” ucap Azura dengan suara manjanya.“Aku juga tidak ingin pergi.” Dengan gemas, Alvino mencubit pelan pipi istri
Azura bangkit dari duduknya, dan menatap Alvino yang berada di depan anak tangga. “Bisakah kamu jangan pergi?” tanya Azura. Setelah menuruti egonya yang besar. Akhirnya, ia kalah dengan keinginannya yang jauh lebih kuat. Mungkin, ini pengaruh dari kehamilannya. Entah kenapa, akhir-akhir ini ia merasa tidak bisa jauh-jauh dari Alvino. Alvino terdiam beberapa saat, sebelum akhirnya ia tersenyum. Alvino hanya tersenyum, dan membawa langkahnya menuruni tangga. Azura yang melihat itu menjadi sedih. Ia kembali duduk dengan wajah yang sedih. Bahkan, air matanya mulai menetes. Di saat ia hendak hanyut dalam kesedihannya. Tiba-tiba, seseorang memeluknya dari belakang. “Baiklah, karena kamu yang memintanya aku tetap bersamamu,” ucap Alvino. Azura tersenyum, namun ia tetap mengeluarkan air mata. “Kenapa kamu menangis, hm?” tanya Alvino. “Ini semua salahmu, kenapa kamu tidak menjawab sebelumnya. Aku pikir, kamu tidak mau dan akan tetap pergi bekerja.” Azura kembali menangis, sambil menj
Tepat pada saat jam makan siang. Alvino telah tiba di rumah, dengan kedua tangan yang menenteng tas belanjaan.Dengan senyuman manis nan lebar. Alvino berjalan memasuki rumah yang ia tempati bersama Azura.“Sayang! Aku pulang!” seru Alvino berjalan melangkah menaiki tangga.Setibanya di lantai dua. Ia melihat Azura yang tengah duduk menunggunya di ruangan tengah dekat balkon.“Kamu sudah datang?” tanya Azura yang terlihat sangat antusias.“Hm,” jawab Alvino tersenyum ceria.“Ini dia seafoodnya. Dan ini cup cakenya.” Alvino mengeluarkan dan meletakkan kedua pesanan Azura di atas meja.Azura tersenyum menatap kedua menu makanan tersebut.“Tunggu sebentar, aku ambil sarung tangannya terlebih dahulu.” Alvino pun pergi menuju dapur, untuk mengambil sarung tangan khusus makan.Lalu, beberapa saat kemudian ia kembali dengan membawa sepasang sarung tangan.“Biar aku kupaskan ya,” ucap Alvino.Azura mengangguk begitu saja. Membuat Alvino kembali tersenyum senang, dan membuka wadah berisi seafo
“Rupanya, kamu sudah bosan hidup,” ucap Alvino dingin.Ia menatap pria dihadapannya itu dengan tajam, seakan menyiratkan amarah yang luar biasa meluap.Namun, belum sempat ia meluapkan amarahnya. Ponselnya berdering, yang terletak di atas meja kerjanya.Ia menghentikan langkannya, dan sedikit mengeram kesal. Sebelum akhirnya, ia pergi berlalu menuju meja kerjanya dan meraih ponselnya.Di saat Alvino menjawab telepon, pria tadi menghela napas lega. Meski hanya untuk beberapa saat.Alvino sedikit terkejut, saat melihat orang yang meneleponnya. Dengan bingung campur bahagia, ia pun menjawab panggilan tersebut.“Halo?” ucap Alvino.Tidak ada jawaban langsung dari seberang telepon, yang membuat Alvino menyeritkan dahi dan menatap ponselnya.Ia pikir, panggilan telepon tersebut berakhir begitu saja. Namun ternyata, ia masih terhubung.“Halo?” ucap Alvino, “Azura kamu ada di sana?”“Ekhm.” Azura berdehem, yang menandakan ia berada di sana.“Ada apa, hm?” tanya Alvino lembut.Namun, tatapanny
Akhirnya, bubur tersebut habis tak tersisa. Alvino tersenyum bangga, dengan mengacak-acak rambut Azura.“Pintar,” ucap Alvino.Azura hanya tersenyum, membiarkan Alvino mengacak-acak rambutnya. “Kamu mau minum susunya?” tanya Alvino sambil merapihkan kembali rambut indah istrinya.“Aku tidak yakin, tapi mungkin aku bisa mencobanya menggunakan sendok,” ujar Azura.Alvino mengangguk. “Baiklah, aku akan mengambil sendok teh dulu, ya.”Alvino bangkit dari duduknya, sambil membawa nampan berisi mangkuk kosong. Lalu ia keluar dari kamar Azura, menuju dapur.Tak berselang lama, Alvino kembali dengan membawa satu sendok teh. Kemudian, ia kembali duduk pada sisi ranjang dan memberikan sendok tersebut kepada Azura.Azura menerimanya, dan menyendok susu yang ada di gelas. Ia tidak langsung meminumnya, melainkan menatapnya terlebih dahulu dengan ragu dan cemas.“Jika kamu memang tidak sanggup tidak usah di minum,” ucap Alvino yang paham dengan tatapan istrinya.“Tidak, aku harus meminum
Sontak saja, Alvino langsung membuka mata dan bangkit. Wajah polos bangun tidurnya terlihat panik dan juga cemas.“Maafkan aku, a-aku tidak bermaksud seperti itu,” ucap Alvino merasa bersalah.Lalu, ia segera merendahkan tubuhnya. Mendekatkan wajah pada perut Azura, dan mengusap lembut perut rata itu.“Maafkan Daddy ya, Daddy pasti menyakitimu,” gumamnya kepada perut tersebut.Untuk sesaat, Azura merasakan sesuatu perasaan yang aneh di dalam hatinya. Seperti perasaan berdebar, namun sangat senang ia rasakan ketika Alvino mengajak calon buah hati mereka berbicara.“Kamu mau makan?” tanya Alvino membawa pandangannya kepada Azura.Namun, sepertinya Azura masih terhanyut dengan aktivitas Alvino sebelumnya. Membuatnya, tak sadar jika Alvino berbicara kepadanya.“Azura,” panggil Alvino dengan lembut.Azura pun tersadar. “Huh?” Ia membawa pandangannya kepada Alvino, yang tengah menatapnya penuh cinta.“Kamu mau makan, sayang?” tanya Alvino menambahkan panggilan ‘sayang’.“Jangan panggil aku