"Kaukah yang bernama Viktor Dreykov?" teriak Rio saat melihat pria itu berjalan mendekat, langkahnya mantap seperti seekor predator yang tidak terburu-buru.
"Alasan apa yang membuatku harus menjawab pertanyaanmu, anak muda?" balas Viktor datar, suaranya rendah namun menusuk seperti bilah es. Sorot matanya tajam, menyapu wajah Rio seolah sedang menilai serangga yang tak berarti.
Tiba-tiba, satu per satu bayangan gelap muncul dari balik pepohonan dan kendaraan tua yang tersebar di sekitar bukit. Anak buah Viktor muncul tanpa suara, senjata mereka teracung ke arah kelompok Rio. Tidak ada jalan keluar—mereka terkepung. Ancaman yang dilakukan Alinda sebelumnya hanya membuat suasana semakin keruh, seperti api yang membakar minyak tanpa kontrol.
"Tembak saja mereka," ucap Viktor dingin, lalu berbalik menuju van tua yang menjadi markas sementara. Langkah kakinya pelan tapi pasti, seolah-olah dia tidak peduli apakah orang-orang itu hidup atau mati.
Namun, te
Malam di Lorentz Base diselimuti kabut tipis. Bau mesiu masih menggantung di udara, bercampur aroma besi dingin dari sisa perang antar faksi mafia yang belum sepenuhnya reda. Dari balkon lantai atas, Rio berdiri seorang diri, memandangi flash disk pemberian Alinda yang menggenggam keras di tangannya.Langkah lembut terdengar dari belakang."Apa kau sudah siap untuk esok hari, sayang?" suara Kayla memecah sunyi. Ia berdiri di ambang pintu, lalu berjalan pelan menghampiri.Rio tak menoleh. Pandangannya tetap lurus ke depan. "Pikiranku semakin kacau, Kay." Ia mengangkat flash disk itu ke arah cahaya bulan. "Mungkin bukan hanya kehilangan Damien yang menghantamku... tapi juga telah kehilangan jati diriku sendiri."Kayla berdiri d
Lorentz base tak lagi sibuk malam ini.Hanya satu lampu menyala di ruang briefing. Rio duduk sendirian, bersandar pada kursi tua yang dulu sering dipakai Damien—punggungnya tenggelam dalam bayang-bayang, dan di hadapannya, meja kayu penuh berkas, foto satelit, dan satu benda yang belum pernah ia sentuh sejak kemarin: rekaman suara terakhir Damien yang sengaja di berikan oleh Viktor.Jari-jarinya gemetar saat menekan tombol play. Suara Damien terdengar pelan, serak, dan... lebih manusiawi dari yang pernah Rio bayangkan.“Jika kau mendengar ini, berarti aku gagal menjaga punggungmu. Tapi Rio... kau bukan aku. Jangan jadi aku. Jadilah sesuatu yang lebih.”Rio tak menjawab. Ia hanya menund
Damien menarik napas berat, sedikit batuk darah, lalu menatap lurus ke mata Randu.“Rio... memilih jalannya sendiri.” ucap Damien mendesis, sejenak diam, lalu tersenyum sinis “Tapi aku hanya membuka gerbangnya.”Randu meninju meja. Map itu terjatuh, lembaran-lembaran bertebaran: blueprint pelabuhan, skema transfer logistik, foto tua Steven, dan dokumen pembiayaan ilegal.“Steven menggelontorkan uangnya ke proyekmu... dan kalian menggunakan nama Mirene sebagai topeng. Anak-anak jadi kurir, kontainer jadi peti mati. Berapa banyak darah yang kau simpan di balik proyek ‘pemulihan ekonomi’ itu, hah?” teriak Randu, otot-otot di lehernya menegang.Damien tertawa kecil, batuk darah lagi. “Lebih sedikit daripada darah yang ka
"Halo Randu, rupanya Rio sudah mulai bergerak di Karnosa," ucap pria itu sebelum menutup teleponnya.Randu langsung memanggil seluruh anak buahnya ke Club Seven Eight, markas operasional utama. Wajahnya muram, nadanya tajam."Bangun komunikasi dengan semua aliansi. Siapkan rencana balasan."Ia melempar gelas ke dinding. "Aku ingin semua pengkhianat disingkirkan. Rio sudah terlalu jauh."Di tempat lain, Rio dan Leon tengah mempersiapkan serangan ketiga. Mereka berada di sebuah bangunan tua tak jauh dari Lorentz Base."Rio!" panggil Alinda dari ambang pintu. Jalannya tertatih, satu tangannya menekan perut.Leon mengangkat ali
Keesookan hari setelah kematian Dominic, suasana kota berubah.Geng-geng kecil mulai tegang. Informasi bocor ke tangan Zaria, "Dominic mati di tangannya sendiri—tangannya Rio."Cole menyodorkan map rahasia ke atas meja logam Lorentz Base. “Ini target berikutnya. Emilio Armand.”Rio menyipitkan mata. “Bos keuangan? Yang urus jalur pencucian uang dari Karnosa untuk di setorkan ke Grimaldi dan Renzo?”Leon mengangguk. “Dan yang paling licik. Tak bisa diserang terang-terangan. Kita butuh infiltrasi. Kau harus masuk sebagai penyedia jasa keamanan pribadi.”Zaria menambahkan cepat, “Kami sudah ubah identitasmu. Malam ini, kau jadi Rafael DeRoux — mantan tentara bayaran dari utara.
Pesta sudah bubar. Bau alkohol dan asap masih menggantung di udara. Rio berdiri sendiri di balkon, menatap jauh ke arah kota yang kini kembali sunyi. Gemerlap lampu malam Karnosa tak pernah benar-benar indah. Ia cuma kamuflase dari darah dan kepalsuan.Langkah kaki berat terdengar dari belakang. Cole muncul, wajahnya muram. Jaket kulitnya terbuka, memperlihatkan senjata di pinggang yang tak pernah benar-benar dia sembunyikan."Kau belum siap untuk ini," katanya pelan, menyalakan rokok."Aku tidak pernah siap untuk hidup seperti ini," jawab Rio datar.Cole menghembuskan asap. Lalu menyodorkan sebuah map. Di dalamnya: foto, rute, laporan pertemuan, dan satu nama yang dilingkari tebal.
Malam itu di Lorentz Base. Langit dipenuhi bintang, tapi asap tebal masih menggantung di beberapa sudut kota—sisa dari pertempuran yang belum lama berlalu. Musik jazz mengalun lembut dari speaker tua, mengisi gudang yang kini disulap menjadi tempat pertemuan para pemimpin era baru dunia bawah tanah.Rio berdiri di balkon dalam bayang cahaya temaram, memandangi lantai dansa."Kau lihat mereka, Viktor?" katanya pelan, menunjuk ke arah Kayla yang tertawa sambil berdansa dengan Cole. "Wajah-wajah itu... seolah beban bertahun-tahun baru saja diangkat."Ia meneguk minumannya. Diam sejenak."Sudah lama aku tidak melihat mereka seperti ini," sa
Lorentz Base malam itu tak lagi sunyi. Di ruang utama markas yang dulunya tempat strategi rahasia disusun oleh Damien, kini tujuh sosok penting dari dunia bawah tanah Karnosa berdiri berjajar di hadapan kamera dan mikrofon, wajah-wajah yang selama ini dikenal dari bisik-bisik gelap lorong belakang klub, gudang senjata, dan kantor keuangan palsu.Isabel, luka di pelipisnya masih membekas, melangkah maju.“Hari ini, kami—pemimpin lama dari dunia bawah—mengakui satu kebenaran: Kami telah dikhianati.”Sampingnya, Vincent Morini, berdiri dengan jas berdarah dan tangan kanan yang diperban. Ia menatap kamera dengan mata nyalang.“Renzo dan Yuri—dua pengkhianat yang menjual informasi internal k
Fajar Karnosa baru menyingsing ketika dentuman pertama mengguncang Distrik Sorela. Asap tebal membumbung dari Azul Machina, bengkel tua yang jadi kedok bisnis Isabel Ramirez. Tak ada waktu untuk negosiasi—Cole sudah menerobos gudang senjata lewat atap, menyergap Isabel yang masih mengenakan lingerie merahnya. Ia tak sempat meraih pistol."Selamat pagi, Señora," gumam Cole dingin, membekapnya dengan bius dan menariknya ke mobil tanpa suara.Sementara itu, di Rosabelle, klub malam Inferno Nocturno berubah jadi neraka sesungguhnya. Leon melompat dari balkon lantai dua sambil menembakkan peluru ke arah penjaga. Kayla mengeksekusi dengan presisi—dua peluru, dua kepala. Musik berhenti. Darah mengalir di lantai dansa. Teriakan menggema, dan hanya menyisakan satu hal: kekacauan.Di guda