Rio, seorang pengusaha muda yang awalnya bersih, terjebak dalam lingkaran mafia setelah tekanan brutal dari dua tokoh kriminal besar—Randu dan Axel. Dipaksa belajar dunia bisnis gelap, Rio pelan-pelan kehilangan sisi lamanya dan membangun kekuatan sendiri. Di tengah badai itu, Andini—wanita malam dengan masa lalu kelam bersama Axel—masuk lebih dalam ke hidupnya, membawa cinta, bahaya, dan rahasia yang bisa menghancurkan segalanya. Sementara Rio tumbuh jadi pemain kuat di kota Velmora, dendam dan perebutan kekuasaan memuncak. Kayla, kekasihnya yang cemburu dan terbelah kesetiaan, mencoba menjauhkan Rio dari Andini, bahkan saat hubungan dengan ayahnya mulai runtuh. Di sisi lain, saudari Rio, Laudya, terseret dalam skandal yang mengguncang reputasi keluarganya. Musuh pun semakin banyak—dari Ivanko yang berkhianat, Axel yang merancang kekacauan, hingga Alinda, mata-mata dari organisasi rival yang perlahan masuk ke hati Rio. Dengan Damien sebagai sekutu terakhir yang rela mati demi dirinya, dan Reynold yang menyimpan rahasia besar dari masa lalu, Rio harus menghadapi pertarungan akhir. Siapa yang akan tetap setia, dan siapa yang akan menikam dari belakang? Di Kota Velmora, tak ada yang benar-benar bersih.
view moreHingar bingar musik di malam itu begitu menggelegar, memekak di telinga. Para wanita berpakaian seksi tengah bergoyang berpasangan sambil memegang minuman di tangan kanannya. Liuk tubuh seksi wanita berusia 21 tahun itu tengah menggoda mata seorang pria yang ada di hadapannya.
"Ayolah Rio, bawa saja dia ke atas," bisik Reynold
"Kau gila Rey! malam ini aku harus pulang," timpal Rio
Pria 40 tahun itu hanya menggelengkan kepala mendengar celotehan sahabatnya, yang terus menggoda agar dia mau membawa wanita yang ada di hadapannya itu ke kamar hotel.
"Apakah kau tidak melihat sesuatu yang indah dalam diriku?" goda wanita yang ada di hadapan Rio sembari mendekatkan wajahnya.
"Siapa yang tidak suka dengan keindahan wajah yang kau miliki, Andini!" bisik Rio. Lalu dia meraih tubuhnya sambil mengikuti irama musik yang mengiringi.
Andini terlihat sangat menikmati malam itu, kebersamaanya dengan Rio selalu saja membuat Andini lupa diri bahkan hingga tak sadarkan diri. Tubuh kecil nya itu selalu saja terkulai lemas dalam pelukan pria yang selalu berusaha pergi di malam itu.
Reynold hanya bisa tersenyum melihat kemesraan keduanya, dia sadar jika ada sesuatu yang tersembunyi diantara keduanya.
"Rey, sepertinya cinta mereka semakin dalam," bisi Aurora, wanita yang sedang bersamanya di meja bar.
"Aku hanya kuatir jika apa yang kau lihat itu hanyalah fatamorgana sayang," timpal Reynold, menatap kemesraan keduanya.
Malam hampir berganti hari, keduanya masih saja asik berdansa sambil mengumbar kemesraan, hingga pada akhirnya Rio tak mampu lagi beranjak dari sisi Andini.
"Aku pergi dulu Rey!" teriak Rio sambil menarik tangan Andini menuju lift yang berada di ujung lorong.
Andini langsung memeluk tubuh kekar Rio sambil mengecup bibirnya berkali-kali, tak sadar jika dia sedang berada di dalam sebuah elevator. Rio berusaha untuk tidak membalas kecupan darinya, namun apa daya, serangan Andini begitu gencar hingga dia tak sanggup lagi menahan dirinya untuk tidak melumat habis bibir tipisnya itu.
Gairah liar keduanya kini tak terbendung lagi, sesampainya di kamar. Andini langsung menanggalkan semua pakaiannya.
"Bawa aku hingga ke puncak sayang!" bisiknya ke telinga Rio.
Keduanya memadu kasih hingga berkeringat basah, liarnya permainan Andini membuat Rio selalu saja kewalahan.
"Hmm....kau ini tidak pernah berubah sayang," Andini menjatuhkan tubuhnya ke atas ranjang.
"Nafsumu Andini!" ucap Rio Kesal, "kau memang gila! bahkan tidak cukup bermain sekali untuk memuaskan hasratmu," Rio mengambil celana pendek yang tercecer di lantai dengan raut wajah kesal.
Andini memang mudah sekali bergairah, apalagi jika alkohol telah masuk ke dalam tubuhnya, Dia selalu tak mampu menahan gejolak hasrat yang selalu ingin di puaskan oleh Rio. Dia kemudian beranjak dari atas tempat tidur mendekati pria pujaan hatinya yang sedang sibuk memainkan ponselnya.
"Apa kau harus pulang malam ini mas?"
"Entahlah," jawab Rio cuek.
"Kau tersinggung?" Andini merapatkan tubuhnya.
"Tidak," dengan nada yang sama dia menjawab.
"Mas, lihat aku!" dia menaikkan nada bicaranya.
Perlahan Rio memutar kepalanya ke samping, menatap Andini dengan ekor matanya, namun kedua jari tangannya tetap menari di atas layar ponsel miliknya.
"Aku seharusnya kembali ke rumah, bukan bersamamu di sini," lalu dia kembali menatap layar ponselnya.
Andini hanya bisa terdiam mendengar apa yang di utarakan olehnya, perlahan dia kembali ke atas ranjang lalu menutupi tubuhnya dengan selimut. Perlahan terdengar suara kecil meraung dari balik selimut, menarik perhatian Rio.
"Tidak usah menangis seperti itu, kau tau kan kalau malam ini aku harus menemui ibu yang sudah rela mengorbankan dirinya untuk menemuiku," Rio menarik nafas dalam-dalam, lalu beranjak dari sofa mendekati Andini.
"Ayolah Andini, jangan bersikap seperti bocah ingusan."
"Kamu memang brengsek Rio Dinata!" Andini menyingkap selimut yang menutupi tubuhnya.
"Biarpun begitu, aku selalu membuatmu nyaman bukan?" goda Rio sambil mencubit hidung mancungnya.
"Kamu memang bukan pria romantis, tapi kenapa aku selalu saja lemah ketika kamu katakan hal itu kepadaku, padahal wajahmu tak mempesona sama sekali!" sambil memalingkan wajahnya.
Rio hanya bisa terdiam sambil tersenyum, dia sadar jika wanita seperti Andini hanya bisa memberikan cinta semu terhadapnya.
HUTAN PINUS — PERBATASAN VELMORA — MENJELANG MALAMAsap tipis mengepul di antara pepohonan. Bau damar terbakar menempel di udara, menutupi bau dingin tanah lembap. Kayla berjalan di belakang Damien, langkahnya berat, menembus kabut senja yang perlahan menutup jalan setapak.Di antara pepohonan rimbun, berdirilah sebuah pondok tua — bangunan kayu setengah rapuh, nyaris tersembunyi. Tapi di depan pondok, seorang pria berdiri membelakangi cahaya lampu gas. Jasnya hitam panjang, rambutnya perak, tubuhnya tegap. Seolah waktu tak berani menua di bahunya.Lucifer menoleh perlahan saat langkah kaki Kayla dan Damien berhenti di hadapannya. Tatapannya tajam, tapi bibirnya melengkung tipis — senyum yang selalu membuat orang ragu: ini senyum malaikat atau iblis?Kayla menunduk, seolah ragu menatapnya.Damien menepuk bahu Kayla, lalu mendekat ke samping Lucifer.“Kami di sini.” Suara Damien datar, menekan semua rasa takut yang sempat bangkit di tenggorokan Kayla.Lucifer mendekat selangkah — jarak
Kayla berdiri di balik tembok semen, hanya sebagian tubuhnya yang tersentuh cahaya. Angin menampar pipinya, menahan debur di dada yang tak mau tenang.Rio berdiri memunggunginya. Asap rokok mengepul, terurai ke langit. Tangannya gemetar menahan bara di ujung jemari. Dia tahu. Dia selalu tahu.Tanpa menoleh, Rio berucap pelan — hanya cukup terdengar oleh angin yang membawa namanya. “Keluar.”Ada jeda. Hembusan napas panjang. Lalu, suara langkah ragu — gesekan sol sepatu di lantai balkon.Kayla menampakkan diri. Matanya sembunyi di bawah bayangan poni. Bahunya naik-turun menahan kata-kata yang tak pernah sempat diucapkan.Rio masih tak berbalik. Hanya satu gerakan: ia buang puntung rokok ke lantai, menginjak bara merahnya sampai padam. Bau tembakau masih menempel di udara. “Kenapa?” Suaranya pecah, tapi datar.“Kenapa kau di sini, Kay?”Kayla menatap punggungnya. Jemari kurusnya meremas sisi dress hitam di pinggang. Tak ada jawaban. Hanya napas, bercampur isak yang ditahan paksa.Pelan
Hujan deras masih membasahi atap-atap besi Velmora. Api membakar di beberapa sudut distrik Tenebris — markas Vox pertama jatuh malam ini. Bau mesiu dan besi terbakar menyesakkan paru.Rio berjalan di depan pasukan intinya — Leon, Cole, dan puluhan aliansi bersenjata lengkap. Sepatu mereka menapaki genangan darah bercampur hujan.Di bawah panggung kumuh Teater Aurora — lubang persembunyian para penatua bayangan — kini tinggal puing. Tembakan senapan sunyi bergema sesekali, memastikan tak ada yang lolos.Rio menendang pintu baja terakhir, menyorot lampu senter ke dalam. Puluhan pria berjas hitam terkapar, beberapa masih bernafas. “Habisi semua. Tak ada simpa
Angin besi berputar. Pecahan logam berserakan. Di satu sisi, Rio berdiri tertatih, darah membasahi perutnya. Di depannya, Lucifer, berdiri tegak dengan dua belati perak. Di sisi seberang, Supreme Vox merentangkan tongkat naga — di belakangnya, empat penjaga bayangan bergerak membentuk formasi setengah lingkaran.Suara logam saling beradu saat kaki menggesek genangan darah.Suara nafas. Suara mesin. Sunyi yang menggertak.Lucifer menoleh separuh ke Rio. “Kau bisa berdiri?”Rio mengangguk, meski bibirnya sobek. “Aku masih bisa bertahan sampai naga sialan itu remuk ke tanah.”Supreme Vox mengetuk tongkatnya sekali. “Serang!!.”SEKETIKA.
1 Jam sebelum penyerangan, Randu sudah menyiapkan kejutan bagi Rio dengan menculik Andini diam-diam dan membuat Viktor terluka parah. Anak buah Randu menyeret Andini ke dalam kendaraan untuk di jadikan sebagai tumbal jika Rio ingin membunuh Randu.KEMBALI KE RUANG KOMANDOAlarm yang meraung, membuat anak buah Vox langsung menyergap Rio dan anak buahnya, namun Leon dan yang lainnya berusaha menahan mereka agar Rio bisa masuk ke ruangan Randu.Pintu baja terhempas terbuka. Hembusan asap mesiu dan bau oli terbakar memenuhi ruangan. Kabel-kabel terjulur dari panel listrik yang meledak separuh. Di tengah, Andini terbaring di lantai, tangannya terikat ke pilar.Di seberang ruangan, Randu berdiri. Jasnya compang-camping, dada setengah terbuka. Di tangan kanannya, sebilah pisau tempur berkilat di bawah lampu darurat yang berkedip.Rio menjejakkan kaki ke dalam r
Distrik Zenith - 10.22Kabut pagi yang mestinya sejuk, berubah jadi selimut asap hitam. Ledakan roket terdengar di kejauhan. Pecahan kaca hujan di jalanan. Zenith — distrik industri yang Rio jadikan pusat distribusi bantuan — kini jadi medan terakhir menahan gelombang Inferno Unit kiriman Randu.Di menara kontrol, Zaria berdiri, matanya dingin menatap peta digital di depannya. Lampu-lampu merah berkedip, tanda jalur serangan Vox makin mendekat.“Pos Delta lumpuh! Mereka menembus rel kereta!” teriak salah satu operator.Zaria menghempaskan tangannya ke meja. “Pindahkan tim senapan ke gerbang barat! Lindungi pusat logistik!”Dia meraih radio, suaranya tajam, menusuk asap dan kebisingan di luar. “Sera, bawa orangmu ke atap! Fokus habisi sniper mereka!”JALAN UTAMA ZENITH – 10.40Di bawah, pasukan Fraksi Zaria — mantan tentara bayaran, pekerja tambang, rakyat yang diangkat senjata — berdiri di balik barikade mobil terbakar. Peluru bersarang di dinding-dinding pabrik.“HIDUP ATAU MATI, SEK
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Mga Comments