Rekaman itu berubah, memperlihatkan sosok Damien yang kini mengenakan seragam kuning khas tahanan Blacksite Thorne. Cahaya redup dari lampu neon di atasnya menyelimuti wajahnya yang penuh kerutan, seolah bayang-bayang masa lalu masih menghantui.
"Viktor..." suaranya rendah, hampir seperti bisikan angin malam yang menusuk tulang. "Jika putra Robby mengetahui semuanya, kau harus memulai peperangan lagi—seperti dulu, saat kita berdua menguasai Velmora. Dia akan datang... tapi ada satu hal yang harus dia ketahui soal..."
Sebelum Damien bisa melanjutkan, suara bentakan kasar memotong ucapannya. "Damien... ada tamu untukmu!" Sipir penjara muncul dari balik pintu besi, suaranya keras dan menusuk seperti cambuk.
"Selamat malam, Tuan Damien," sapa Randu dengan nada serak namun dingin, seperti pisau yang perlahan menggores
BRAKK!Pintu sisi barat ruangan mendadak hancur berkeping, suaranya menggema menembus lorong-lorong penuh asap. Dalam kepulan debu, suara teriakan menggema tajam—disusul dentuman tembakan yang meledak cepat dan presisi. Kayla menerobos masuk, tubuhnya terguling ke lantai, namun tangan kanannya tetap mantap menggenggam senapan, menyalurkan peluru dengan ketepatan yang mematikan.Teriakan pecah."Aaaakkhhh!"Alinda terhuyung, peluru menghantam tubuhnya ketika ia mencoba melarikan diri ke lorong. Langkahnya menjadi berat, penuh perjuangan. Darah mengalir dari bahu dan sisi perutnya, dan walau matanya nyaris terpejam karena rasa sakit
Langkah Rio terhenti. Ruangan megah itu tak ubahnya perangkap berlapis emas—lampu kristal bergoyang perlahan, memantulkan cahaya di ujung pistol yang kini menempel di pelipis Alinda. Darah mengering di sudut bibir perempuan itu. Napasnya berat, wajahnya lebam, namun tatapannya—masih utuh. Antara pasrah dan perlawanan.Pria bertopeng berdiri tegap di belakangnya, tangannya stabil menodongkan pistol. Suaranya dingin, setiap kata seolah dipahat dari es.“Satu peluru, satu keputusan, Rio. Kau datang untuk menghancurkan kami. Tapi malam ini, kau harus memilih: dia, atau misimu.”Rio tak menjawab. Tapi jantungnya berdentum keras, mengalahkan suara langkah Kayla yang mendekat dari belakang, senapannya terangkat, siaga.
Jam menunjukkan pukul 02.14.Langit di atas Karnosa hitam kelam, hanya sesekali disayat kilatan lampu sorot patroli yang melintas dari kejauhan. Di pusat kota, markas Grimaldi berdiri seperti benteng tua yang haus darah, dikelilingi pagar baja dan lapisan-lapisan keamanan yang mengunci dari semua arah.Di kanal tua sisi barat, suara air mengalir lirih—nyaris menipu seolah tempat itu sudah mati.Andini menempelkan punggungnya ke dinding batu basah, napasnya teratur meski detak jantungnya liar. Di sampingnya, Cole memberi aba-aba dengan dua jari.“Sniper di atas jembatan. Lurus, tiga puluh derajat,” bisiknya.Andini mengangguk, mengangkat pistol bersilencer. Tangannya sedikit
Andini berdiri di lorong sempit yang mengarah ke ruang persenjataan, diam-diam mengamati Kayla yang sedang memeriksa peluru di meja logam. Pencahayaan remang membuat bayangan Kayla memanjang di lantai seperti sosok hantu dari masa lalu yang menolak mati.“Aku dengar semuanya,” ucap Andini akhirnya, nadanya tenang namun dingin. “Apa kau puas sekarang? Kau menang, Kayla.”Kayla tak segera menoleh. Tangannya tetap sibuk menyusun peluru ke dalam magasin.“Aku tak butuh pengakuan darimu, Andini,” suaranya rendah tapi mengandung ancaman, “karena dari awal aku tidak sedang berlomba.”“Jadi itu artinya kau memang berniat merebutnya dariku?” Kayla menoleh perlahan, tatapannya tajam dan penuh luka. Ia melangkah mendekat, pelan namun pas
“Aku tahu semua ini berat untukmu, Nona,” kata Xavier dari balik kemudi, menatap Kayla lewat kaca spion. Suaranya pelan tapi penuh makna. “Tapi di dunia ini, tak semua yang terlihat… adalah kebenaran.”Ia kembali menatap jalanan berkabut di depan. Kabut pekat seperti menyelimuti masa lalu mereka yang belum selesai.Sesampainya di markas Lorent’z Base, gerbang besi terbuka perlahan. Viktor sudah menunggu, bersama para petinggi mafia Karnosa.“Kau terlihat rapuh dan menua, Xavier,” ejek Viktor, menatap pria tua itu yang dibantu turun dari mobil oleh Rio.“Itu karena si tua bangka sepertimu membuangku ke pelabuhan berhantu,” balas Xavier setengah tertawa. “Tapi sepertinya si nyonya tua malah makin cantik saja,” ia melirik ke arah
Angin laut menggerakkan rantai kapal yang berkarat, menciptakan dentingan metalik yang menusuk kesunyian. Pelabuhan Southern Karnosa bagai kota hantu—bangunan kapal yang setengah tenggelam memantulkan bayangan mengerikan di air yang tercemar minyak.Kayla melangkah pelan, kulitnya merinding bukan karena dingin, tapi oleh naluri yang berteriak ada yang salah."Tempat ini terlalu sepi,"bisiknya, jari-jarinya menari di atas gagang pistol.Rio menganggap, lalu membagi tim dengan isyarat tangan. Nadia menyusur ke kiri, Kayla ke kanan, sementara ia sendiri menuju bangkai kapal kargo.Tangga besi berderak di bawah berat tubuh Rio. Bau amis ikan busuk bercampur karat memenuhi udara. Melalui jendela kabin yang retak, tak terlihat tanda kehidupan—hanya bayangan furnitur yang berserakan.
"Aku bilang berhenti!"Rio melepaskan tembakan peringatan ke udara.Bang!Suaranya menggema di antara gedung-gedung kosong. Tapi Alinda terus berlari, matanya tertancap pada SUV hitam yang bergerak pelan—sengaja menunggunya.Boom!Granat meluncur dari kejauhan. Mobil pendukung Alinda terlempar ke udara, berubah menjadi bola api raksasa."Sial!"Alinda menggeram, melihat sosok bersenjata berat di atap bangunan—anak buah Viktor."Tunggu, Alinda!"Rio berlari lebih kencang. Jarak mereka semakin dekat setelah Alinda terjatuh akibat ledakan.Alinda menyelip masuk bangunan tua di samping Lorentz Base. Tubuhny
“Kau tidak bisa melakukan ini padaku, Kayla!” seru Alvin. Tangannya terangkat tinggi, matanya terpaku pada jemari putrinya yang gemetar di pelatuk.“Jangan paksa aku, Ayah.” Kayla menggeleng pelan. “Aku tahu apa yang ada dalam pikiranmu. Dan aku tidak akan jatuh lagi ke dalam perangkapmu.”Pelatuk itu mulai bergerak.Perlahan, Alvin meraba sisi pintu, membukanya, lalu turun dari kendaraan.“Di luar sana, dunia tak sebaik yang kau bayangkan,” ucapnya, suaranya pelan namun menusuk. “Kau pikir aku monster? Tunggu sampai mereka yang kau lindungi menunjukkan wajah aslinya.”“Aku siap.” Kayla menatapnya da
Alinda melangkah cepat, membuntuti Nadia menuju ruang interogasi."Apa yang kau sembunyikan di sakumu, Nadia?" tanyanya dingin, matanya mengawasi gerak tangan gadis itu.Nadia menoleh tajam. "Kenapa kau terlihat gelisah? Atau... kau yang sebenarnya menyimpan sesuatu dari kami?" tatapannya lurus menusuk.Langkah Alinda melambat. Tangannya perlahan merogoh sesuatu dibalik tubuh, menggenggam pisau yang kini terangkat setengah ke udara—siap menebas kapan saja."Syukurlah..." suara Rio terdengar dari dalam ruangan. Tubuhnya muncul dari balik pintu. "Aku perlu bicara denganmu. Dan juga Viktor." Suaranya datar, tapi tegas. Ia melirik Nadia, lalu memberi isyarat agar masuk bersamanya.