Alinda terkesiap saat melihat foto di tangan Rio, seolah udara di sekitarnya mendadak membeku. Ada seseorang yang merekam momen itu tanpa suara—seperti bayangan gelap yang menyelinap di antara cahaya sunyi.
Rio menatapnya dengan sorot mata curiga, api kemarahan mulai menjalar di dadanya bak bara yang ditiup angin. Tanpa ragu, dia melangkah maju, meraih leher Alinda dengan kedua tangannya, lalu mendorong tubuh itu ke tembok. Suara benturan keras memecah kesunyian, seperti guntur yang menyambar di tengah malam tanpa bintang.
"Katakan siapa kau sebenarnya!" desis Rio, suaranya rendah namun tajam, seperti belati yang menusuk jantung Alinda.
"Dengarkan aku dulu, Rio," balas Alinda, suaranya tersendat namun tetap berusaha tenang. Tangannya meremas pergelangan Rio, mencoba melepaskan diri dari cengkeraman yang semakin erat.
"KA-TA-KAN SE-"
Belum sempat Rio menyelesaikan ka
"Kaukah yang bernama Viktor Dreykov?" teriak Rio saat melihat pria itu berjalan mendekat, langkahnya mantap seperti seekor predator yang tidak terburu-buru."Alasan apa yang membuatku harus menjawab pertanyaanmu, anak muda?" balas Viktor datar, suaranya rendah namun menusuk seperti bilah es. Sorot matanya tajam, menyapu wajah Rio seolah sedang menilai serangga yang tak berarti.Tiba-tiba, satu per satu bayangan gelap muncul dari balik pepohonan dan kendaraan tua yang tersebar di sekitar bukit. Anak buah Viktor muncul tanpa suara, senjata mereka teracung ke arah kelompok Rio. Tidak ada jalan keluar—mereka terkepung. Ancaman yang dilakukan Alinda sebelumnya hanya membuat suasana semakin keruh, seperti api yang membakar minyak tanpa kontrol."Tembak saja mereka," ucap Viktor dingin, lalu berbalik menuju van tua yang menjadi markas sementara. Langkah kakinya pelan tapi pasti, seolah-olah dia tidak peduli apakah orang-orang itu hidup atau mati.Namun, te
Rekaman itu berubah, memperlihatkan sosok Damien yang kini mengenakan seragam kuning khas tahanan Blacksite Thorne. Cahaya redup dari lampu neon di atasnya menyelimuti wajahnya yang penuh kerutan, seolah bayang-bayang masa lalu masih menghantui."Viktor..." suaranya rendah, hampir seperti bisikan angin malam yang menusuk tulang. "Jika putra Robby mengetahui semuanya, kau harus memulai peperangan lagi—seperti dulu, saat kita berdua menguasai Velmora. Dia akan datang... tapi ada satu hal yang harus dia ketahui soal..."Sebelum Damien bisa melanjutkan, suara bentakan kasar memotong ucapannya. "Damien... ada tamu untukmu!" Sipir penjara muncul dari balik pintu besi, suaranya keras dan menusuk seperti cambuk."Selamat malam, Tuan Damien," sapa Randu dengan nada serak namun dingin, seperti pisau yang perlahan menggores
Satu tembakan terdengar meletus. Rio terpaku. Alinda dan Laudya menoleh dengan ekspresi panik.Dari ambang pintu, seorang perempuan melangkah masuk. Jaket hitam membalut tubuhnya, dan wajahnya terlihat dingin, tak tergoyahkan. Perlahan, cahaya menyinari wajah itu—Kayla.Tangannya masih menggenggam pistol. Asap tipis masih mengepul dari moncong senjatanya—namun bukan mengarah pada Rio. Di belakang Viktor, salah seorang anak buahnya tergeletak tak bernyawa, darah menggenangi dada.Orang-orang Viktor segera mengangkat senjata ke arahnya. Kayla berdiri tenang, tak gentar, mengungkapkan penyamarannya yang se
Tiba-tiba, suara tawa rendah menggema dari balik helm salah satu penyerang. Gema itu terasa seperti ejekan di tengah kekacauan.Pria itu menurunkan senjatanya perlahan, lalu melepas helmnya.Viktor.“Bagus, Rio,” ucapnya dengan nada datar, menyunggingkan senyum tipis yang lebih menyeramkan daripada ramah. “Kau bertahan lebih lama dari yang kuduga.”Rio terdiam. Napasnya memburu, dada naik-turun seperti habis dikejar maut. Matanya menatap Viktor, tak percaya bahwa semua kekacauan tadi… hanya bagian dari rencana pelatihan.“Selamat datang di latihan pertamamu, Rio” lanjut Viktor, nadanya masih tenang, tapi dingin. “Kau gagal menjaga dokumen itu. Tapi kau lulus satu hal penting
Tiga hari. Rio tak sadarkan diri.Tubuhnya terbaring lemah di atas kasur sempit, seperti sisa hidup yang ditinggal nyawa. Wajahnya pucat, napasnya pelan dan tak beraturan. Meski kelopak matanya terpejam, bola matanya bergerak—seolah sedang menari dalam mimpi buruk yang tak kunjung usai.Hanya Alinda yang setia menunggu di sisi tempat tidur. Sementara Kayla… duduk agak jauh. Wajahnya dingin. Jemarinya sibuk mengetuk layar ponsel, bukan menatap pria yang hampir meregang nyawa demi menyelamatkannya.Malam keempat. Mata Rio terbuka perlahan. Pandangannya kabur, tertutup kabut tipis yang menyelimuti seisi ruangan. Ia melihat sosok wanita berambut ikal duduk di samping tempat tid
Hampir semalaman, Rio terjaga, tak bisa tidur. Tubuhnya bolak-balik di atas kasur, memikirkan setiap detail yang diberikan Viktor. Pikirannya terus menerus mencoba menepis kenyataan pahit yang baru saja dia temui. Ditambah lagi, Kayla hampir tahu bahwa hatinya sudah jatuh cinta pada Andini.Rio membuka lembar demi lembar kertas yang diberikan Viktor, sampai akhirnya ia ingatsaat momen pertama kali bertemu dengan Andini. Ketika dia menyelamatkan Andini dari sekapan Randu di sebuah hotel, dan dibantu oleh Reynold.“Jangan-jangan itu semua hanya permainan mereka berdua,” gumam Rio, pikirannya berputar-putar. Dia kemudian mencari foto yang menunjukkan Andini menerima uang dari Randu.Jarinya berhenti pada sebuah gambar. Di sebelah kanan, ada foto sebuah hotel yang pernah mereka singg
Mata Rio terbuka seketika. Nafasnya memburu. Tubuhnya menggigil setelah disiram air dingin. Kedua tangannya terikat kuat di belakang kursi. Dada telanjangnya membiru dalam dingin. Di tengah ruangan yang remang, hanya satu lampu gantung bergoyang pelan, menciptakan bayangan yang menari di dinding.Seorang pria kurus masuk, lalu melempar koper besi ke atas meja. Dentumannya menggema, menusuk telinga.“Kau ingin tahu siapa yang membuatmu seperti ini?” suara berat menggema dari pengeras suara di sudut ruangan.Pria itu mendekat. Rambut Rio ditarik keras, wajahnya dipaksa menghadap koper. Kunci diputar lalu koper dibuka.Tumpukan foto dilempar ke hadapannya. “Lihat baik-baik foto ini!” tegas pria itu, matanya menyorotkan tekanan ya
Pintu kabin terbuka perlahan… dan dari dalam, dua sosok yang tak asing merangkak keluar. Terikat, luka-luka, wajah mereka penuh darah dan debu.Andini.Reynold.Masih hidup.Rio membeku di tempatnya. Matanya membola, bibirnya bergetar tanpa suara. Napasnya tercekat.Andini menatapnya dengan mata berkaca-kaca, penuh luka, penuh permohonan."Rio..." suara Andini serak, patah.Reynold menyusul, meski tubuhnya nyaris roboh. "Kami... kami bukan pengkhianat... kami dijebak."Rio tak bisa berkata apa-apa. Ta
Alinda melangkah cepat, membuntuti Nadia menuju ruang interogasi."Apa yang kau sembunyikan di sakumu, Nadia?" tanyanya dingin, matanya mengawasi gerak tangan gadis itu.Nadia menoleh tajam. "Kenapa kau terlihat gelisah? Atau... kau yang sebenarnya menyimpan sesuatu dari kami?" tatapannya lurus menusuk.Langkah Alinda melambat. Tangannya perlahan merogoh sesuatu dibalik tubuh, menggenggam pisau yang kini terangkat setengah ke udara—siap menebas kapan saja."Syukurlah..." suara Rio terdengar dari dalam ruangan. Tubuhnya muncul dari balik pintu. "Aku perlu bicara denganmu. Dan juga Viktor." Suaranya datar, tapi tegas. Ia melirik Nadia, lalu memberi isyarat agar masuk bersamanya.
Rio mengendap, mencoba mengintip melalui jendela kecil yang terlalu tinggi untuk dijangkau. Ia berjinjit, mencari sudut pandang lebih baik.“Aku sudah kirim semua file yang kau minta. Sekarang tinggal kirim uangnya ke rekeningku,” ujar suara terdistorsi dari alat pengubah suara. Rio tak bisa mengenali siapa, tapi pria yang berdiri di balik kendaraan itu…wajahnya tak asing. Rio mengenalnya. Sangat.Ia segera mundur. Harus pergi sebelum Viktor atau anak buahnya menyadari.Saat keluar dari celah itu, dari kejauhan Alinda melihatnya. Tatapannya kosong. Ia hanya memutar koin di tangan kanan, pura-pura tak melihat.
Langkah Viktor bergema saat menghampiri Rio. Wajahnya tenang, tapi sorot matanya gelap. "Kita bertemu Damien. Sekarang," katanya datar, tanpa embel-embel penjelasan.Di halaman depan, iring-iringan kendaraan sudah menunggu. Mesin-mesin menderu pelan, seperti binatang buas yang menahan diri untuk tidak menyerang duluan.Kayla muncul dari belakang, mengenakan jaket hitam dan menenteng tablet. Matanya terus bergerak, membaca situasi."Viktor, kau yakin malam ini tak akan jadi malam terakhir kita?" tanya Kayla suara rendah, menahan keresahan"Jika Damien bicara, kita bergerak. Jika dia diam… berarti kita sudah mati sebelum sempat mulai." jawab Viktor tak menoleh, naik ke kursinya)
Dua anak buah Viktor menyeret Andini dengan kasar menyusuri lorong sempit. Lampu gantung di langit-langit berayun pelan, memantulkan cahaya kuning kusam ke lantai beton yang lembap. Di ujung lorong, pintu baja terbuka perlahan dan interogasi pun dimulai.Andini dijatuhkan ke kursi logam, tangan terikat ke belakang. Nafasnya pendek. Matanya liar.Rio duduk menyamping, diam. Luka di pelipisnya masih merah, tapi sorot matanya lebih tajam dari sebelumnya. Di sisi lain ruangan, Kayla mondar-mandir seperti singa betina yang dikurung.Viktor berdiri menghadap dinding monitor, memutar ulang rekaman ledakan gudang senjata. Suaranya pelan, tapi penuh tekanan. “Ini bukan kebetulan. Seseorang tahu lokasi kita. Tahu rencana kita.”
Malam itu mereka menuju Lorentz Base, tempat dimana Rio akan memulai kembali semuanya tapi dengan bisnis yang lebih mendebarkan.Tempat ini merupakan persembunyian Damien sebelum dia mendekam di penjara.Debu beterbangan setiap kali langkah mereka menginjak lantai beton yang retak. Bau logam tua dan oli sangit menyusup ke hidung Rio, membangkitkan ingatan lama yang tak diundang.Viktor berjalan di depan, membuka gerbang baja dengan suara berderit nyaring."Selamat datang kembali di sarang Damien," gumamnya dingin.Rio melangkah masuk. Matanya menyapu sekeliling — dinding dengan bekas peluru, tangga spiral berkarat, dan peta strategi berjamur yang masih tergantung di dinding, penuh coretan merah."Dulu Damien memulai semuanya dari tempat ini
Pagi itu, Andini terbangun perlahan. Dia masih bersandar dalam pelukan Rio, tubuh mereka terbalut kehangatan yang kontras dengan udara dingin yang merayap dari mulut gua.Kabut tipis melayang di udara, membentuk bayangan samar di luar sana. Suara tetesan air embun jatuh dari batu-batu di langit-langit, menciptakan irama pelan yang terasa hampir romantis — jika saja situasinya tak begitu berbahaya.Tiba-tiba, suara teriakan menggema di kejauhan."Alinda... sepertinya mereka di dalam mulut gua!" Suara Reynold—panik, mengancam—menggetarkan dinding batu.Andini membeku, lalu dengan cepat menggoyangkan tubuh Rio. "Rio... bangun. Rey dan Alinda... mereka mencari kita," bisiknya tergesa, nadanya d
Bayangan moncong senjata nampak dari balik pintu, Rio mengangkat satu jari ke depan mulutnya.Saat pria itu masuk, Rio langsung menarik senjatanya kemudian mengapit lehernya sambil membekap mulut hingga dia tak bernafas.Rio menyelinap keluar, masih ada dua orang bersenjata sedang mengelilingi kabin tua ini, dia sengaja meninggalkan Andini untuk menjadi umpan."Jangan berge-," belum selesai bicara, Rio langsung memutar kepalanya pemburu tersebut dari belakang.Suara tulang berderak kencang, lehernya patah.Tubuhnya langsung ambruk ke tanah."Rio di belakangmu," Andini memekik menunjuk pemburu lain yang siap menyerangnya.Dengan sigap Rio berguling lalu menarik pisau yang ada di kakinya, kemudian menusuk perutnya berkali-kali hingga tewas.Kedua matanya kembali mengawasi keadaan sekitar, setelah di rasa aman, Rio segera menarik Andini untuk segera keluar dari kabin ini.Kabut tipis
Asap tebal mengepul dari reruntuhan vila, menciptakan kabut kelabu yang mengaburkan pandangan. Rio bangkit dengan tubuh remuk, setiap gerakannya menusuk sakit, tapi dia menahan semua itu. Dia tidak punya pilihan.Matanya liar mencari satu sosok."Andini!" teriaknya, suara serak karena asap.Dia merangkak di antara puing-puing, menahan batuk, hingga akhirnya menemukan Andini tergeletak.Gadis itu masih bernafas, meski wajahnya penuh debu dan darah tipis mengalir di pelipis."Andini, kau dengar aku?" Rio memegang bahunya, mengguncangnya perlahan.Andini membuka mata, pandangannya buram,
Rio langsung melompat berdiri, insting bertahan hidupnya meraung liar."Mereka menemukan kita..." desis Alinda, matanya menyala.Sebelum Rio sempat bertanya siapa "mereka"—BOOM!Ledakan brutal mengguncang vila. Dinding retak, lantai bergetar, dunia Rio berputar keras."Andini!!" Rio meraung, tubuhnya limbung tapi tekadnya keras. Dia merangkak di tengah puing-puing, Alinda menarik bajunya kasar."Ada senjata di bawah kasur!" teriak Alinda sambil melindungi kepala dari reruntuhan yang berjatuhan seperti hujan neraka.