Lucifer langsung berbalik, mengacungkan senjata ke arah Damien. Matanya merah menyala, penuh amarah."Kau memang tak pernah bisa dipercaya!" desisnya."Aku tahu kau hanya ingin menjadikan Rio mesin pembunuh,” balas Damien sambil menarik senjatanya dari balik jas. “Tapi aku punya rencana lain—aku ingin dia menjadi kaisar. Pemilik dinastiku. Bukan boneka pemerintah sepertimu.”Damien mengokang senjatanya. Tangannya siap menarik pelatuk.“CUKUP!” teriak Rio, memutus ketegangan. Ia mengarahkan senjatanya ke Damien, lalu ke Lucifer, matanya liar, penuh luka dan kebingungan.“Semua orang hanya tahu mengkhianati... Dan tak satu pun dari kalian bisa memanfaatkan aku!” ucapnya dengan suara bergetar.Perlahan, ujung moncong pistolnya beralih ke lehernya sendiri. Jari telunjuknya menyentuh pelatuk.“Kita lihat siapa yang benar-benar menang.”Tapi sebelum peluru lepas, Sera menerjang dan menarik lengannya ke atas. Peluru menembus langit-langit.“Tidak ada waktu untuk drama!” bentak Sera. “Kalian
Dentuman keras menghantam pintu. Kobaran api menyembur liar, menghantam udara, membuat mereka semua terhempas ke lantai. Serombongan pria bersenjata lengkap menerobos masuk—rompi tempur, senapan otomatis, dan penutup kepala menandakan mereka bukan sekadar pasukan biasa."Bawa pria itu," ujar salah satu dari mereka, bertubuh tegap, menunjuk ke arah Rio. "Habisi sisanya." Tunjukannya mengarah pada Alinda, Sera, dan Neya.Pandangan Rio berkabut, tubuhnya lemas. Dua tentara menarik lengannya kasar, menyeretnya keluar lorong rahasia. Alinda dan Sera masih tak sadarkan diri, pistol menempel di pelipis mereka. Rio berusaha fokus, menahan tubuhnya agar tidak diseret."Diam, atau kutembak!" gertak salah satu prajurit.Tapi Rio bergerak cepat. Kaki kirinya menghantam belakang lutut si penyeret, membuat tubuh besar itu roboh. Dalam waktu bersamaan, Rio menendang rusuk musuh di kanan, lalu menyeruduknya dengan kepala.Dengan cekatan, ia merampas pistol dari pinggang prajurit, lalu menembak ra
Mata Neya terbelalak. Suara Lucifer masih menggema di telinganya. Dingin menyergap kulitnya—dan baru saat itu ia sadar, tubuhnya dan Rio sama-sama telanjang.“Apa yang—”Belum sempat Neya menyelesaikan kalimatnya, Rio langsung menarik tubuhnya, memeluk erat, berpura-pura tertidur. Gerak cepat itu semata-mata untuk menenangkan situasi dan menyamarkan kebenaran di hadapan Lucifer.“Bersihkan diri kalian. Kita bicara di bawah.” Suara Lucifer terdengar dari ambang pintu. “Jangan sampai Damien mencium keringat kalian.” Lalu langkah beratnya menjauh.Plak! Sebuah tamparan keras mendarat di wajah Rio."Bangsat kau, Rio!" desis Neya.Rio meraih pergelang
Ketukan itu berhenti. Pintu terbuka perlahan dan muncullah Sera. Ia melongok masuk dengan raut gelisah, lalu menutup pintu kembali tanpa suara.“Kau belum tidur Rio,” ucapnya pelan, menatap Rio yang kini duduk di ujung ranjang.Rio menghela napas lega, separuh karena bukan penjaga yang masuk, separuh karena Sera datang sendiri.“Apa yang kau lakukan malam-malam begini?” tanyanya.Sera menatap Rio tajam, lalu matanya bergerak cepat menyapu ruangan. “Kau tidak sendirian, kan?”Dari balik lemari, Alinda menyembul pelan. Sera menghela napas panjang. Bukannya terkejut, ia justru berjalan perlahan ke arah mereka. “Jadi kabar itu benar. Kau sudah mulai curiga dengan Damien dan Lucifer.”
Sera menatap Rio dalam-dalam, suaranya pelan namun sarat makna. "Mungkin... semua itu memang akan terjadi—kalau saja waktu itu kau tidak menarikku dari jalur peluru anak buah Morena."Rio menarik napas panjang. Di kepalanya, perang terbuka di Velmora makin mendekat. Setiap informasi yang ia terima hanya memperkuat satu hal: Randu hampir menguasai semua faksi di dua kota besar. Velmora tinggal tunggu waktu.Ketegangan di antara mereka buyar sejenak ketika Neya masuk ke ruangan, mengenakan gaun tipis yang menggantung anggun di pundaknya. Tapi ekspresinya bukan anggun—melainkan tajam."Rupanya... hubungan kalian lebih dari sekadar saudara angkat," ucap Neya dingin, tatapannya menusuk ke arah Rio dan Sera.Rio menoleh pelan. Tapi justru hal lain yang menarik perhatiannya: luka di bahu Neya, identik dengan miliknya.
Pagi hari.Rio terbangun di atas kasur empuk dalam sebuah ruangan luas dengan interior mewah. Lampu kristal menggantung di langit-langit, cahaya matahari mengintip dari sela tirai tebal. Saat ia memutar kepala, pandangannya jatuh pada sebuah foto besar di dinding—dirinya saat kecil, tersenyum bersama seorang wanita berambut pirang.“Inggrid.”Suara itu datang dari ambang pintu. Lucifer berdiri di sana, mengenakan kemeja putih bersih, tatapannya kosong ke arah foto.“Dia satu-satunya alasan aku masih hidup sampai sekarang,” katanya pelan, lalu melangkah mendekat. “Tapi aku juga harus kehilanganmu, Rio.” Matanya tak lepas dari potret mendiang istrinya.Rio mengerang saat mencoba bangkit. Nyeri m