"Pria itu sudah hampir satu Minggu di sini," lapor Alan.
Allaric meletakkan berkas yang ada di tangannya.
"Jangan biarkan dia masuk ke dalam kehidupanku. Aku tidak mau, kalau sampai dia mendekati Kirana," ucap Allaric.Alan mengangguk paham. Ia pun segera meninggalkan ruangan dan melanjutkan pekerjaannya.
Allaric melipat tangannya, ia menerawang dan kembali mengingat kejadian dua puluh tahun yang lalu. Dimana ibunya yang sakit-sakitan, harus bekerja keras untuk hidup mereka. Hingga pada akhirnya, wanita yang telah melahirkannya itu meninggal.
Namun, sebelum ia menghembuskan napasnya, ia sempat memberi Allaric sepucuk surat yang ditujukan untuk seseorang bernama Alfaro Wiguna. Setelah pemakaman ibunya, Allaric segera mencari orang yang bernama Alfaro Wiguna dan memberikan pesan terakhir ibunya.
Sekali lagi, Allaric di kejutkan oleh kenyataan yang tidak pernah ia duga. Alfaro Wiguna adalah ayah kandungnya, tapi saat itu pria itu telah memiliki k
"Anda, yang kemarin di restoran itu, kan?" tebak Kirana."Tepat, sekali," jawab Tuan Alfaro. "Aku senang, kau masih mengingatku," lanjut Tuan Alfaro tersenyum.Kirana tersenyum, kemudian mempersilahkannya untuk duduk."Apa Anda mencari Allaric?" terka Kirana."Tidak," sahut Tuan Alfaro.Kirana mengernyitkan dahinya heran."Lalu?" lanjut Kirana lagi."Aku datang, ingin bertemu dan berbincang denganmu," sahut Tuan Alfaro."Aku?" Kirana menunjuk dirinya.Tuan Alfaro, mengangguk sembari tersenyum."Apa aku melakukan sesuatu yang salah?" tanya Kirana lagi."Tidak ada, kau sama sekali tidak melakukan kesalahan. Hanya saja, aku ingin kenal lebih dekat denganmu," kata Tuan Alfaro menimpali.Kirana menatap Tuan Alfaro penasaran.
Alfaro kembali menemui Kirana. Namun, kali ini ia tidak diperbolehkan untuk menemui Kirana."Aku hanya ingin bertemu dengan nyonya kalian. Kenapa kalian tidak mengizinkan aku masuk?" tanya Alfaro kesal."Maafkan kami, Tuan. Tapi, tuan Allaric berpesan untuk tidak mengizinkan siapapun bertemu nyonya," jawab salah satu penjaga gerbang.Alfaro menarik napas, menahan kesalnya."Apa tuan kalian mengatakan alasannya?" tanya Alfaro."Tidak, Tuan. Tuan Allaric hanya berpesan, untuk tidak menerima siapapun di rumah," jelas penjaga yang lainnya."Baiklah, kalau begitu. Tolong berikan ini pada nyonya kalian. Bilang padanya, ini hadiah dariku." Alfaro memberikan sebuah kotak berwarna biru pada penjaga gerbang, agar mereka memberikannya pada Kirana."Baiklah, akan kami sampaikan pada nyonya Kirana," jawab penjaga gerbang.Alfaro kembali ke kediamannya dengan perasaan kecewa. Allaric benar-benar tidak mengizinkannya bertemu Kirana. Padahal
"Cukup, sudah. Aku tidak akan menjelaskan lagi padanya," putus Allaric."Tapi, Tuan. Apa yang Anda lakukan itu memang sedikit keterlaluan," jelas Alan, berusaha menenangkan."Tapi, aku juga sudah mengatakan alasan, mengapa aku sampai melakukan itu?" kata Allaric menimpali."Mungkin, cara Anda yang menjelaskan. Masih kurang di mengerti oleh nyonya," ucap Alan lagi."Apa maksudmu, aku salah?" tanya Allaric dengan nada tidak senang."Bukan seperti itu, Tuan. Maksud saya, Anda hanya kurang bisa menyakinkan nyonya," kata Alan meralat kata-katanya. Ia tahu, akan sangat bahaya untuknya, jika sampai pria arogan yang ada di hadapannya ini marah.Allaric masih menatap Alan dengan penasaran. Alan menarik napas dalam dan bergumam pelan."Izinkan saya, yang bicara pada nyonya," putus Alan. Ia terpaksa memberanikan diri, untuk bicara pada Kirana. Alan tidak mau masalah ini jadi panjang dengan pertanyaan Allaric yang akan membelit dirinya."Bag
Allaric baru saja tiba di rumah. Saat menginjakkan kakinya di depan pintu, ia kembali menoleh ke arah Alan."Kau yakin, kalau saat ini dia sudah tidak marah lagi?" tanya Allaric."Ya, Tuan. Saya sudah bicara padanya," jawab Alan.Allaric mengangguk dan melanjutkan langkahnya. Langkahnya kembali terhenti tepat di depan pintu kamar. Ia terlihat ragu untuk masuk dan menemui Kirana. Dengan hati-hati, Allaric membuka pintu kamarnya. Suasana kamar telah gelap, hanya lampu tidur yang masih menyala.Allaric masuk dan kembali menutup pintu dengan hati-hati. Setelah memastikan tidak ada pergerakan di atas ranjang. Allaric memilih masuk ke kamar mandi, untuk membersihkan diri. Setelah selesai, ia keluar dengan rasa segar dan berbaring di sisi Kirana.Kirana membuka perlahan matanya, ia merasakan beban berat di atas perutnya. Sebuah tangan besar melingkar erat di sana, Kirana menggeser sedikit. Namu
Brak!Kirana terperanjat saat mendengar suara pintu yang dibanting Allaric. Kirana mengernyitkan kedua alisnya heran dengan perubahan sikap Allaric. Pria itu langsung masuk ke kamar mandi dan menyalakan kran airKirana melepas satu-persatu benda yang ia gunakan. Terakhir, ia melepas gaunnya dan meraih piyamanya. Tidak lama kemudian, Allaric keluar dari kamar mandi. Masih dengan wajah yang kesalnya. Namun, Kirana sama sekali tidak memperdulikannya. Ia menarik selimut dan mulai untuk memejamkan matanya.Sebaliknya, Allaric keluar kamar dan menuju ruang kerjanya. Allaric menelpon Akan dan memintanya datang. Tidak memerlukan waktu lama, Alan pun telah berada di hadapan Allaric."Aku mulai muak melihat kedekatan Kirana dan pria tua itu," ucap Allaric dengan nada kesal."Lalu, apa yang harus kita lakukan, Tuan?" tanya Alan."Aku mau, setelah malam ini mereka tidak
Hubungan Kirana dan Allaric kembali membaik. Keduanya sering terlihat bercanda bersama, ketika di rumah. Allaric juga sering menghubungi Kirana. Ketika ia sedang berada di kantor, begitu juga sebaliknya.Seperti saat ini, keduanya sedang menghabiskan waktu bersama di kamar."Apa yang kau pikirkan?" tanya Allaric saat melihat wanita yang ada di sampinya ini diam, sembari menatap langit-langit kamarnya."Tidak ada," jawab Kirana singkat.Allaric bangkit dan kembali meletakkan kepalanya di atas pangkuan Kirana. Ia memeluk dan mengecup perut datar Kirana."Mengapa, kau suka sekali melakukan ini?" tanya Kirana ingin tahu."Entahlah, hanya saja. Ketika, aku meletakkan kepalaku di sini. Aku merasa tenang dan aku bisa sejenak melepas kepenatan yang aku pikul," terang Allaric.Kirana membelai lembut rambut Allaric. Allaric kembali memejamkan matanya, menikmati sentuhan di kepalanya."Aku ingin kite seperti seterusnya. Tidak ada pertengkaran,
Alfaro terkejut melihat kedatangan Davindra ke kantornya. Namun, ia tetap saja bersikap tenang."Davi? Masuklah," sambut Alfaro.Davindra melangkah masuk dan duduk setelah Alfaro memberinya kode untuk menyuruhnya duduk."Ada apa, Davi? Tidak biasanya kau datang menemui Paman," tanya Alfaro."Aku ingin minta maaf, Paman," ucap Alfaro."Minta maaf? Untuk apa?" tanya Alfaro."Tentang rapat kemarin," jawab Davindra."Ada apa dengan rapat kemarin?" Alfaro kembali bertanya.Davindra pun menjelaskan semua pada Alfaro. Davindra berdalih, jika Allaric lah yang telah mempengaruhi peserta rapat untuk memojokkan dirinya. Alfaro diam mendengarkan cerita Davindra. Ia hanya menanggapi cerita Davindra dengan senyuman."Begitulah, ceritanya Paman," ucap Davindra."Baiklah, aku mengerti. Ini memang bukan kesalahanmu. Aku harap kejadian ini, bisa jadi pelajaran untukmu kedepannya," terang Alfaro."Baik, Paman. Setelah ini, aku
Davindra panik, ketika tahu kalau ibunya terkena serangan jantung dan masuk rumah sakit. Ia juga marah besar terhadap Laura. Saat tahu kalau, Laura adalah penyebab nya. Davindra segera kembali ke kediamannya, untuk bertemu Laura dan membuat perhitungan."Laura...." Davindra berteriak dengan lantang, memanggil istrinya.Laura yang baru saja selesai mandi, segera keluar saat mendengar namanya di panggil."Aku belum cukup tuli, kau tidak perlu berteriak," sanggah Laura."Apa yang kau lakukan pada mamaku?" tanya Davindra dengan penuh amarah."Memangnya apa yang aku lakukan padanya?" cetus Laura."Jangan pura-pura tidak tau, Laura," bentak Davindra tegas."Aku memang tidak tau, apa yang terjadi pada ibumu," sanggah Laura.Davindra memejamkan matanya, sembari menahan amarahnya. Selama ini ia tidak pernah ambil pusing dengan