Share

Part. 13.

Bab 13

Aku Mendapatkannya

Setelah pelayan itu pergi, Mas Dion kembali menatap padaku dengan gaya khas-nya.

“Jangan kurang ajar lagi, Mas. Hentikan tatapan nakal kamu itu!”

Ia kembali tersenyum kemudian menarik napas dalam dan mengembuskannya kasar, ia menyandarkan punggungnya ke sandaran kursi.

“Mari kita mulai dengan manis, Vi. Berhentilah menampakkan wajah tak sukamu itu. Nggak enak dilihat orang. Nanti malah ada yang bilang kalau aku dan istriku lagi bertengkar, mau?” tanyanya kemudian sambil tertawa.

Aku cepat-cepat merubah raut wajah. Ucapannya itu ada benarnya juga. Aku, Bayu dan Mas Dion, sudah seperti sebuah keluarga kecil yang sedang menikmati hari bersama. Pastinya orang-orang akan beranggapan aku sedang marahan pada dia. Sit! Amit-amit! Walaupun harus kuakui, ia memiliki wajah di atas rata-rata, tapi tak sudi bila dianggap sebagai istri dari lelaki tak bermoral seperti dia.

Setelah menatapnya sejenak, kuembuskan napas kasar dan segera menetralkan raut wajah. Serta mendoktrin diri agar sedikit rileks dari rasa kesal ini. Sekilas kulihat ia tersenyum. Lebih tepatnya cekikikan menatap ke arahku. Sialan!

Sekian detik suasana hening. Tak ada satu pun di antara kami yang memulai bicara. Sampai akhirnya lelaki itu memulainya.

“Vi …," katanya kemudian. Ia menarik napas dalam dan membuangnya kasar. Kemudian mengangkat punggungnya dari sandaran kursi.

“Sebenarnya, dari awal aku nggak ada niat jahatin kamu, lho,” ucapnya santai.

Aku mendelik dan mengamatinya. Katanya nggak niat? Ya Allah! Jadi yang ia lakukan selama ini apa namanya?

“Aku cuma muak melihat tingkah suamimu yang munafik itu. Sayangnya, aku kehabisan akal mendekati kamu. Semakin aku dekati, kamu semakin menjauh. Tapi anehnya, di belakangku kamu malah perhatian,” katanyanya lagi sambil tersenyum.

Aku mendelik. “Maksud, Mas?” tanyaku padanya.

Ia tersenyum lagi. “Kamu peduli aku, ‘kan, Viona?”

“Peduli apa?”

“Iya! Kamu sangat peduli aku, Vi. Kenapa kamu harus berbohong padaku tentang perasaan kamu itu? Tell me, why?”

Kalimat-kalimatnya sukses membuat aku membulatkan mata. Apa? Kesimpulan darimana pula itu? Bagaimana mungkin ia bisa berpikir kalau aku peduli dan punya perasaan diam-dian padanya?

“Perasaan? Perasaan apa, Mas?”

“Sebagai seorang lelaki yang sangat peka dan haus kasih sayang,” Ia kembali tersenyum. “Tentunya aku paham betul bagaimana peduli atau tidaknya seorang lawan jenis padaku, Vi.”

Aku makin mengernyitkan dahi. Mulutku serasa menganga dibuatnya. Berulang kali aku mengembuskan napas yang serasa sesak sambil mencampakkan wajah ke samping dua bola mataku berputar. Tak percaya dengan kesimpulan yang baru saja dia utarakan.

“Kenapa bisa begitu kesimpulan, Mas? Perhatian? Perhatian seperti apa yang pernah aku berikan?”

Ia masih tersenyum.

“Nggak, Mas! Semua yang aku lakukan masih di batas kewajaran. Kalau masalah kamu sakit tempo hari, hanya orang gila yang bisa diam saja saat melihat orang sekarat! Waktu itu Mas lagi sekarat, bagaiamana kalau Mas meninggal? Sementara aku cuma diam saja karena takut dekati Mas? Aku masih sangat normal, Mas, punya rasa kasihan. Wajar, kalau aku peduli!” jawabku tak kalah sengit.

“Bukan itu, Vi, tapi Dina Avelia! Akun wanita cantik yang awalnya ia bilang ingin menyemangati hidupku. Kemudian belakangan juga bilang kalau dia cinta padaku. Ia suka semua yang aku miliki, termasuk senyum dan wajah menawan ini. Hahaha ….” Ia tertawa lepas, seakan puas dengan semua hasil kesimpulannya. Hal itu membuatku makin muak.

 “Padahal … dari awal aku sudah tahu wajah asli si pemilik akun Dina Avelia, bahkan aku tahu tai lalat di wajahnya."

Siiirrr!

Darah berdesir hebat. Wajah serasa memucat. Aku langsung gugup menatapi wajahnya yang masih sumringah. Ia yang menatap dengan senyuman mengejek. Sementara itu kurasa wajahku sedikit memucat.

“Kamu kenal dia, ‘kan, Viona? Kenapa wajahmu memucat?” tanyanya lagi masih sambil tersenyum.

Aku mengalihkan pandangan dengan dada berdegub kencang sambil berupaya mencari jawaban yang pantas untuknya, agar ia tak semakin menyudutkanku. Dina Avelia? Sungguh! Aku sangat menyesal telah melakukan itu. Menyesal dengan keputusan yang kuambil.

Niat baik yang awalnya ingin membantunya, ternyata membuat aku semakin terperangkap dalam lingkaran perbuatan gilanya. Ternyata ini yang membuat ia semakin berani kurang ajar padaku. ia mengetahui kalau akulah pemilik akun Dina Avelia.

“Permisi, Mbak, Mas, ini pesanannya.” Seorang pelayan telah berdiri di samping meja sambil membawa nampan berisi dua minuman.

Aku mengembuskan napas lega. Rasa sesak yang tadi sangat menghimpit dada, kini terasa longgar sudah. Syukur pelayan itu datang. Mas Dion menganguk dan mengisyaratkan minuman untuknya dan untukku pada pelayan itu. Setelah meletakkan pesanan kami, pelayan itu pun berlalu sambil mengangguk dan tersenyum. Mas Dion kembali menatapku.

“Mari kita sambung pembicaraan tadi, Vi. Ayo jawab! Katakan apa alasannya. Aku butuh keterangan dari kamu. Apa alasan terbaikmu sehingga kamu harus menjadi Dina Avelia? Aku juga capek main-main terlalu lama. Ingin cepat menyelesaikan misi ini. Berikan sebuah penjelasan yang realistis. Aku janji, tidak akan menggangu kamu lagi. Apakah benar kamu ataupun Dina—yang satu kepala ini—jatuh cinta padaku?”

Aku menatapnya sejenak. Merasa terjebak dengan pertanyaannya dan merasa tak mampu lagi mengelak darinya. Beberapa detik lamanya aku terdiam, sampai akhirnya aku berani juga bicara.

“Ok! Iya! Aku Dina Avelia," jawabku dengan suara lantang dan tatapan nyalang.

“Hahaha …! Kenapa susah banget sih, untuk membuat kamu ngaku, Vi? Coba dari awal kamu ngaku, nggak bakal ada tragedi-tragedian, ‘kan?” ujarnya lagi masih sambil tertawa.

 “Tapi, asal kamu tahu ya, Mas! Aku melakukan itu bukan karena cinta, tapi karena rasa kasihan. Bukankah Mas yang sering mau curhat, ngajak bercerita tentang permasalahan Mas? Meski tak pernah digubris, Mas selalu betah, ‘kan? Niat awal cuma ingin membantu Mas agar Mas kembali berbaikan dengan Mbak Vera. Aku ingin membukakan pikiran Mas, agar Mas paham rumah tangga itu harus dipertahankan. Aku nggak bisa membantu kalau langsung bertatap muka sama kamu, Mas. Itu hanya akan menimbulkan petaka. Juga nggak mau siapa pun menilai aku salah gara-gara itu, makanya menggunakan akun Dina Avelia. Puas?”

Aku terdiam sejenak. Namun, ia masih saja tersenyum.

“Tapi yang aku sesalkan, ternyata sikap Mas malah kurang ajar. Setelah aku berniat sungguh-sungguh ingin membantu. Mas malah mendekati dengan cara kotor,” sambungku lagi. Ia malah tergelak dan menekurkan kepalanya.

“Untuk Mas ketahui, aku nggak akan pernah ingin mengkhianati suamiku. Sampai kapan pun!“ kataku lagi. Ia mengangkat wajahnya kembali dan menatapku dengan sunggingan senyum sinis.

“Walaupun suami yang kamu puja itu adalah seorang bajingan?” tanyanya kemudian dengan wajah tanpa dosa.

Aku terdiam menatapnya lekat dan mencoba memahami arti pertanyaannya serta kejujuran di wajahnya. Apakah ia benar-benar beranggapan Mas Divo bajingan? Atau jangan-jangan ia hanya sedang memancingku, untuk dapat melakukan niat busuknya.

Setelah beberapa detik hanyut dalam pikiran yang antah berantah. Tiba-tiba rasanya aku ingin tertawa. Ya! Aku tahu apa maksudnya. Aku tahu apa yang ia pikirkan. Aku tahu apa tujuan dan maksud lelaki ini.

Niatnya hanya ingin menghancurkan rumah tangga kami, masih sama seperti sebelumnya. Ia hanya ingin melemahkan kepercayaanku pada Mas Divo, agar ia bisa masuk dan mempengaruhiku, kemudian dengan mudah ia akan membawa pikiranku ke mana pun ia mau. Benar-benar lelaki licik!

Aku mengembuskan napas dengan kasar. Kemudian menatapnya dingin.

“Oh, ya? Benarkah?” tanyaku kemudian dengan nada sinis.

“Tapi maaf, Mas. Aku tidak mempercayai itu. Aku tahu siapa Mas Divo. Sebelumnya hidup kami bahagia sepanjang pernikahan. Mas Divo adalah lelaki terbaik yang pernah kutemukan. Ia bisa menerima dan memahami kelebihan serta kekuranganku selama ini. Ia tak pernah menuntut menjadi siapa pun demi kebahagiaannya. Ia tak pernah menuntut apa-apa, juga tak pernah marah bila tidak seperti apa yang ada di kepalanya. Ia juga selalu berhasil membuat keluarga kecil kami merasa bahagia dari waktu ke waktu. Hidup kami dipenuhi canda tawa. Ia selalu berhasil membuatku tersenyum setiap berada di sampingnya. Cuma, sejak kejadian tempo hari ia sedikit berubah. Semua itu karena kamu, Mas. Lalu …,”

Aku menjeda ucapan sesaat dan menatap matanya dengan tatapan tajam. ”Menurut, Mas. Di sisi mana yang bisa membuat Mas berpikir suamiku itu seorang ‘bajingan?” tanyaku lirih dengan suara bergetar.

Tawanya tersembur, sehingga barisan gigi putihnya yang rapi terpampang di hadapanku. Aku mengernyitkan dahi, menatapnya heran. Ia masih saja terus tertawa.

“Apakah Mas merasa aku melucu? Rasanya tidak ada ucapan yang lucu dan aku juga tidak sedang bercanda. Kenapa Mas tertawa?” tanyaku sambil menyipitkan mata padanya.

Comments (1)
goodnovel comment avatar
Edelweys
pandai kali penulis merangkai kalimat2 seperti ini hny dengan tujuan supaya lembarannya banyak. padahal pembaca hanya butuh akhir dari sebuah bab. nggak usah dech lebay ya penulis..
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status