Sejak berpisah dengan Ayu, hidupku jadi tak karuan. Aku benar-benar merasakan sebuah penyesalan yang begitu dalam. Dia istri yang selama ini sudah sangat baik, sabar dan setia. Hanya karena dia belum hamil, dan ibu tidak bisa melebihkan sabarnya itu, aku jadi melepaskannya. Pagi ini, secangkir kopi menemaniku duduk di pinggir kolam renang. Bayang-bayang senyuman cantik Ayu membuatku tak bisa tenang. Tak berapa lama kurasakan sentuhan pada pundak, lalu aku pun menoleh dengan spontan menyebut namanya. "Ayu ...."Aku terkejut karena bukan Ayu yang kulihat, tapi ibu. "Eh, Ibu." Lalu aku kembali pada posisi semula. "Kamu keringat Ayu terus, ya? Maafkan Ibu, Al." Ibu yang duduk di kursi roda lantas menangis. Aku menghela napas panjang. Tidak menjawab karena sudah jelas jawabannya. Aku juga sempat ingin marah dengan ibu karena sudah sangat jauh sekali apa yang ibu lakukan. Pada akhirnya, aku tetap tak tega juga. Aku meminta ibu agar melupakan semuanya. Ayu sudah memaafkan juga. Meskipun
"Dok, terima kasih sudah diantar sampai rumah. Dokter langsung berangkat saja, ya! Saya ...." "Aku tau. Aku ngerti, kok. Yang penting hati-hati, ya!" ucap pria itu sambil tersenyum. Dia membiarkan aku turun sendirian dan tak lama mobilnya kembali meluncur ke jalanan yang ramai. Aku pun memutuskan untuk melangkah ke depan, seolah tak melihat kehadiran Mas Ali yang agak tak enak dilihat itu. Dia lantas berdiri sambil melepas kacamata hitamnya. "Habis dari mana? Ini masih pagi banget. Udah sama pria lain aja," serobotnya. Aku tak mengindahkan setiap kalimat yang keluar dari mulutnya itu. Aku langsung membuka pintu rumah yang dikunci sejak kemarin itu, lalu masuk ke dalam. Mas Ali dengan wajah kesal mengikutinya. Akhirnya, kami berakhir di ruang tamu. Aku masih tak bisa dan tak mau menjawab apa yang dia katakan. Aku lelah lahir batin, tapi pria itu makin menekanku. "Mentang-mentang sudah lepas kamu, Yu. Kenapa kamu kayak gitu sekarang?" tanyanya lagi. Aku tidak langsung menjawab, m
"Ya udah, nanti Tante pakai, ya. Sekarang, Bella mesti tidur karena besok harus istirahat." Aku tersenyum pada gadis itu. Gemas sekali dengan rambut panjangnya yang kurus dan lebat. Kuusap penuh kasih agar dia lekas tidur. "Iya, Tante. Tapi nanti Tante jangan pergi, ya! Tante di sini aja! Besok baru pulang kalau mau pulang. Tapi, siangnya kalau Bella udah pulang sekolah, Tante ke sini lagi." Dia tertawa begitu juga denganku yang merasa dicintai gadis kecil itu. "Doakan Tante biar bisa punya rumah di sebelah rumahnya Bella! Nanti kita bisa ketemu tiap hari," balasku lagi. "Tapi, Tan, kenapa enggak tinggal di sini aja? Bella enggak punya mama. Tante mau enggak jadi mamanya Bella?" Aku langsung tercengang. "Sayang, tidak semudah itu. Tante ...." Aku tak tega memberitahunya. "Lebih baik Bella tidur dulu, nanti kalau sudah besar pasti ngerti. Biar besok juga enggak telat."Gadis kecil itu memelukku di atas ranjang tidurnya yang hangat. Sudah jam sembilan malam, Dokter Dimas juga belum
"Ayu ...." Ibunya Mas Ali hendak menyentuhku, tapi aku melengos karena saking sakitnya. Teganya mantan mertuaku itu. Ternyata dia yang menjadi penyebab ibu meninggal. Aku tak habis pikir dan ternyata dugaanku selama ini benar. Tapi, karena Mas Ali sudah naik pitam saat itu, aku tak jadi membahasnya. Sakitnya luar biasa. "Yu, maafkan ibu, ya. Aku juga minta maaf. Semua ini tidak seperti yang kamu kira. Aku salah paham, dan tidak mendengarkanmu waktu itu. Maafkan aku, Yu. Maafkan ibu juga," ujar Mas Ali. Dia mengiba sambil membungkuk, meminta tanganku. Aku menggeleng kepala dengan tenaga yang sudah tiada. Aku pun segera memberikan isyarat dengan tatapan pada Dokter Dimas yang masih mencoba menenangkanku. Dia paham dengan maksudku. Pria tinggi tegap itu langsung membantuku berdiri dan izin pulang pada Mang Ujang. Selama perjalanan, Dokter Dimas selalu menyempatkan memberikan perhatian. Dia memberiku tisu, memberi air minum dan saat berhenti di bawah lampu merah, dia menasihatiku. Aku
Aku selalu menghindar, ya memang itu yang aku lakukan untuk melupakan semua kenangan pahit yang sudah menorehkan luka di hatiku. Sengaja membiarkan ponsel terus bergetar saat Mas Ali menelpon. Untuk apa lagi dia menelpon? Belum cukupkah dia menyakitiku? Aku tidak bisa melupakan setiap kata yang dia lontarkan malam itu. Sakit. Sakit sekali ketika tuduhan dia lemparkan padaku. Kumatikan ponsel, lalu pergi tidur. Aku tidak mau lagi ada urusan apa pun dengannya. Sampai waktu fajar tiba, aku tak melihat ponselku. "Ayu, kamu udah enakan?" tanya Mita saat aku baru saja datang ke toko. "Udah mendingan. Alhamdulillah, udah minum obat juga," balasku sambil tersenyum. Ada dua rekan kerjaku di bagian depan sedang menata kue-kue dan roti di ruangan ini. Mereka datang lebih dulu karena rumah mereka lebih dekat. Mita langsung menghampiriku, melihatku dengan raut kaget. "Syukurlah kalau udah sehat. Eh iya, kemarin pak dokter datang ke sini. Beli cheesecake buat anaknya katanya. Tapi, yang ditan
"Assalamualaikum," ucap seseorang di luar sana. Hujan pagi ini tak kunjung reda juga. Udara dingin membuatku flu sejak malam tadi. "Wa'alaykumsalam warahmatullahi wa barokatuh," balasku sambil membenahi sweeter rajut warna biru, hadiah dari ibu waktu itu. Setelah aku melangkah ke depan, lalu memutar gagang pintu, mataku dikejutkan dengan kedatangan seorang pria tampan nan gagah di depan pintu. Mataku sampai melebar melihatnya datang ke rumah. "Loh, Dok ... kok, tau rumah saya?" tanyaku saking kagetnya. Tapi, dia malah senyam-senyum. "Penasaran, ya? Di rumah ada siapa? Kalau ada orang tua kamu, aku boleh kan, masuk? Kalau enggak ada, ngobrol di luar aja. Bisa?" Dia berkata sambil menyerahkan bungkusan plastik sedang. "Apa ini, Dok?" tanyaku seraya menerimanya. "Bubur ayam sama buah. Kebetulan tadi lewat sini, sekalian beli buat kamu. Oh ya, pertanyaan saya belum dijawab. Ada enggak orang tua kamu?"Aku menunduk. "Enggak ada, Dok. Mereka sudan tiada.""Oh, innalillahi semoga merek