Sahabat adalah maut. Dia yang aku cintai, ternyata sudah lama menjalin hubungan dengan sahabatku sendiri. Orang paling dekat, yang aku kira paling baik dan paling memahami kondisiku, ternyata dia yang paling jahat. Lihat saja, apa yang akan aku lakukan setelah kalian mempermainkanku.
Lihat lebih banyak"Kalian ...." Jantungku hampir saja terlepas dari tempatnya ketika melihat suami dan sahabat sendiri berpelukan di sebuah ruangan dalam rumah sakit.
Tadinya aku ingin menjenguk Dinda, sahabat yang sejak kecil begitu dekat denganku. Bahkan rumah kami hanya sebatas pagar saja. Dia kecelakaan mobil bersama suaminya kudengar. Namun, kini kudapati kenyataan kalau pria yang baru saja menghalalkanku enam bulan lalu itu tengah berpelukan dengan dia. Sekujur tubuhku bergetar melihat mereka yang tak berkutik sama sekali. Dinda melihatku, tapi dia menunduk dan malah semakin mengeratkan pelukannya. Sementara Mas Ali, dia dalam posisi memunggungiku. "Tega sekali kalian!" Barulah setelah aku membentak dengan suara tinggi dan membanting buah tangan terbungkus plastik yang kubeli di supermarket tadi, Mas Ali baru menoleh. "Ayu!" Mas Ali memekik namaku. Wajahnya memucat seketika. "Tunggu, kamu salam paham." "Aku tidak butuh penjelasan dari dua orang pengkhianat seperti kalian!" Air mataku tumpah seketika. Aku bergegas pergi dari sana dengan berlari. Dadaku sesak, dan perih seperti baru saja terkena goresan benda taj4m, lalu dialiri cairan asam. Aku berlari sampai di dekat sepeda motor. Kulihat Mas Ali berlari ke arahku, tapi aku tak peduli lagi. Kutinggalkan dia di sana sendirian. "Ayuu!" teriaknya dan sengaja kuabaikan. Sambil mengusap wajah yang sudah sembab, aku terus melajukan kendaraan roda dua yang kubeli dari hasil jerih payah kerja selama satu tahun lamanya. Sesampainya di rumah yang kutinggali bersama Mas Ali, aku langsung pergi ke kamar. Kubuka lemari dan mengeluarkan semua barang-barang dengan tangis yang semakin kencang. "Kamu jahat banget, Mas!" Saat napas semakin sesak, aku terduduk sejenak sambil mengulang apa yang kulihat tadi. Belum lama aku menata pakaian ke dalam koper, kudengar suara langkah kaki masuk ke dalam rumah. Aku tahu siapa yang datang. Dan aku, tak peduli lagi. "Ayu!" Mas Ali mencegah tanganku yang tengah menata pakaian. Namun, aku segera menghempaskannya. "Kamu salah paham, Yu! Dengarkan aku dulu!" "Salah paham? Kamu kira aku tuli, Mas? Aku dengar semua yang kamu katakan tadi sama Dinda! Kamu akan jagain dia kan? Setelah suaminya meninggal? Silakan!" Aku kembali menatap pakaian. "Iya tapi maksudnya ...." Nyatanya dia tidak bisa menjelaskan padaku dengan sejelas-jelasnya. "Maksudnya kamu bersedia menikahi dia, kan? Begitu? Silakan! Aku enggak apa-apa. Asalkan Mas melepaskan aku." "Tidak, Yu! Aku tidak akan melepaskanmu. Meskipun aku punya amanah besar itu. Aku tidak bisa jauh darimu," katanya lagi sambil mengiba. "Mas tau, ciri-ciri lelaki egois? Ya, dia punya sifat seperti Mas! Sudah, temani saja dia di sana! Dan biarkan aku pergi. Talak aku sekarang! Daripada harus melihat suami dan sahabat sendiri berpelukan dan diam-diam mengikat janji! Aku mu4k!" Aku mendorong tubuh pria berkemeja putih itu. Lalu berdiri hendak pergi. Namun, Mas Ali tetap mencegahku. Dia memeluk dari belakang dengan begitu erat. "Tolonglah, Yu! Ngertiin keadaannya. Bukan aku yang menginginkan semua itu." "Lantas siapa yang menginginkan itu? Dia? Atau almarhum suaminya?" Saat kami masih berdebat, tiba-tiba ibunya Mas Ali muncul. "Ibu yang menginginkan itu." Seketika mataku melebar mendengar suara wanita tua yang selama ini cukup dekat denganku itu. Tanganku semakin dingin dan kaku saat melihat sosok sepuh itu di hadapanku. "Kenapa, Bu?" Tangisku pecah lagi karena tak pernah menyangkanya. "Sudah enam bulan kalian menikah, tapi belum juga dikaruniai keturunan. Biarkan Ali menikah lagi dengan Dinda. Ibu kenal baik dengan dia. Dia anaknya baik. Ibu yakin, dia pasti subur." Wanita tua dengan kacamata besar bertengger di atas hidungnya itu begitu yakin sekali dengan ucapannya. "Apa itu artinya Ayu enggak subur, Bu? Pernikahan kami belum ada setahun, Bu. Kami butuh waktu dan proses." Aku sampai terjatuh di lantai lagi, dan Mas Ali berusaha memegangi kedua lenganku. "Keputusan Ibu sudah bulat. Ibu juga tidak tega sama Dinda yang baru saja ditinggal mati suaminya. Biarkan Ali menjaganya. Lagipula, kamu kan juga sibuk mengurus ibumu yang sakit di rumah sakit enggak sembuh-sembuh." Makin menyayat hati ucapan mertuaku ini. "Ibunya Ayu memang sakit-sakitan, Buk. Itu karena memang sakit paru-paru stadium 4. Memang harus dirawat intensif. Meskipun begitu, Ayu tidak pernah lalai dari mengurus Mas Ali. Semua keperluan dia Ayu yang urus. Kapan pun Mas Ali butuh Ayu, Ayu siap, Buk. Tapi kenapa ini balasannya?" Ibunya Mas Ali tidak menjawab lagi. Wanita tua dengan tongkat kayu itu pergi begitu saja. Sementara aku hanya bisa meratapi nasib sambil terus menangisi kondisi ibu yang tiba-tiba membuatku lemas lagi. "Yu, kamu dengar sendiri, kan? Bukan maunya Mas semua itu. Mas enggak bisa menolak kemauan ibu." Mas Ali menyentuh lenganku lagi. Akan tetapi, aku menolaknya. Aku menjauh darinya. "Tolong, Mas, jangan siks4 aku. Aku tidak bisa hidup seperti ini. Kalian sudah membuatku hancur dan hilang rasa percaya." "Mas enggak ada niat seperti itu, Yu." "Aku enggak percaya lagi sama kamu, Mas. Tidak ada yang bisa kupercaya saat ini selain ibuku sendiri. Tega sekali kalian. Aku juga enggak nyangka, ibumu bisa seperti itu, Mas." Mas Ali meraih tubuhku lalu memeluknya. "Maafkan aku, Yu. Aku belum bisa jadi suami yang baik." Aku segera menjauh darinya. Lalu kembali bersiap-siap karena teringat ibu. Aku harus memastikan kondisi ibu di rumah sakit. "Kamu mau ke mana?" tanya Mas Ali dengan ekspresi khawatir. "Aku butuh waktu, Mas. Jangan sentuh aku!" Setelah mengatakan itu, aku langsung bergegas keluar lagi. Kutekan starter motor, lalu melaju keluar halaman rumah besar itu. *** Apa yang harus kukatakan pada ibu kalau Mas Ali diminta menikah lagi oleh ibunya. Lebih baik, ibu tidak tahu dan biarkan menjadi rahasia keluarga Mas Ali saja. Aku berjalan sambil berpikir menuju ke kamar ibu. Setelah kubuka, ibu ternyata baru saja selesai salat Ashar. Aku pun mendekatinya lalu duduk di kursi tunggal yang tersedia dekat brankar. "Buk," panggilku setelah ibu selesai salam. Entah apa yang memenuhi dadaku saat ini. Tiba-tiba aku tak tahan lagi menghentikan air mata yang tiba-tiba mengalir. Aku segera memeluk ibu yang masih terbaring dengar tasbihnya. "Ayu, kamu kenapa, Nak? Kamu sedih?" tanya ibu dengan suara serak. "Ayu cuman kangen ibu," jawabku sekenanya. "Ibu baik-baik saja, Nak. Suster di sini baik-baik. Mengurus Ibu dengan lemah lembut." "Alhamdulillah kalau begitu, Buk. Ibu udah makan?" tanyaku mengalihkan perhatiannya. "Udah tadi makan siang." Ibu menghela napas panjang. "Kamu kenapa? Ceritalah, Yu! Ibu enggak mau jadi beban kamu. Jika kamu sedih karena memikirkan Ibu yang tak kunjung sembuh, maka Ibu enggak apa-apa dirawat di rumah." Hati anak mana yang tidak tersayat mendengarnya? Air mataku kembali tumpah dan aku kembali memeluk ibu. "Ibu harus dirawat di rumah sakit. Ayu enggak mau Ibu kenapa-kenapa lagi. Ibu harus sehat lagi." Belum lama setelah aku bicara begitu tadi, tiba-tiba ada yang mengetuk pintu ruangan rawat ini. Saat kulihat ke belakang, ternyata Mas Ali dan ibunya datang. bersambung...."Mas, udah belum? Calon istri saya mau melahirkan itu loh!" bentakku karena saking paniknya dan perawat lelaki di depanku itu malah terus bicara dengan perawat lain. Namun, rupanya pertanyaanku itu membuat mereka malah jadi mematung. "Kenapa, Mas? Kenapa malah menatap saya seperti itu?" tanyaku pada mereka. "Calon istrinya mau melahirkan?" Spontan dua perawat tadi bertanya. Aku menghela napas panjang seraya menggaruk kepala yang tiba-tiba terasa gatal. Pasti mereka mengira kalau aku ngapa-ngapain dulu dengan calon istriku. Sebelum kami menikah. Sial4n memang, nasib-nasib."Ceritanya panjang, Mas. Buruan bilang nomor kamarnya berapa dan di mana!" ucapku lagi setengah emosi. "Di kamar Matahari nomor 15, Pak. Makanya Pak, nikah dulu baru punya anak." Kalimat terakhir itu dia ucapkan lirih. Apa dia kira aku tidak dengar? Ingin sekali rasanya kuberi pelajaran pada mereka. Namun, sudah tidak ada waktu lagi sepertinya. Aku bergegas pergi ke ruangan yang mereka bilang tadi. Setelah sebel
"Aku juga minta maaf, Mas. Aku terlalu keras kepala."Sambil mendengarkan perkataannya, aku mengusap air mata yang luruh di pipinya. Ayu terus mengungkapkan apa yang ia rasakan setiap kali menyendiri. Kehamilan pertamanya itu, membuat dia sering stres. Tak ada yang bisa ia jadikan teman selain wanita tua di rumahnya dan anak kecil itu. Aku tahu, mereka saja tidak cukup sebab, sejatinya wanita yang tengah mengandung pasti rindu kasih sayang, belaian, perhatian dan waktu dari suaminya itu sendiri. Namun, Ayu tidak punya itu semua. "Aku akan berusaha melengkapi semua yang kamu butuhkan itu, Yu. Aku akan berusaha menjadi suami yang kamu inginkan. Kita mulai semuanya dari awal lagi. Aku dan kamu." "Tapi berjanjilah untuk benar-benar menyayangi anak ini, Mas. Meskipun dia bukan anak biologis kamu.""Aku janji, Yu."Setelah puas bicara berdua dan saling membuka hati, aku dan dia memutuskan untuk menikmati minuman air kelapa dari penjual pinggiran kota. Mengisi waktu bersama serasa kembali
"Kamu liat sendiri, kan? Dia itu belum bisa menerima aku. Sudah begitu dalam luka yang aku berikan padanya dahulu," ucapku kala itu saat tinggal aku dan Syifa saja. "Ya, tapi bagaimanapun juga masih ada kesempatan dan masih banyak cara. Jangan lemes gitu, dong! Yang serius. Aku percaya, kok, kalau Mas masih berjodoh sama Mbak Ayu.""Aku enggak mau jadi beban dia. Dia lagi hamil, takut kenapa-kenapa aja nanti sama kandungannya. Kayaknya ada yang dia pikirkan tadi.""Tadi apa? Kalian habis dari mana?" "Dari rumah sakit. Aku beritahu soal perasaanku padanya. Tapi, dia malah kayak menolak.""Jangan putus asa dulu! Coba lagi kalau Anda belum beruntung. Aku rasa Mbak Ayu itu cuman butuh waktu.""Iya jelas lah. Suaminya juga belum ada setahun pergi. Kasihannya."Setelah itu kami kembali pulang. Kembali pada aktivitas masing-masing. Dan malam ini, aku termangu sendirian di kamar. Teringat Ayu lagi dan lagi. Dia terus yang ada di pikiranku. Aku tak tahu kenapa dia bisa begitu. Tiba-tiba mar
"Tunggu deh, Mbak! Jangan ngomong panjang lebar dulu! Aku ada sesuatu untuk Mbak." Syifa mengeluarkan ponselnya dari dalam tas. Lalu dia menelpon seseorang. Siapa yang dia telpon? Tampaknya serius sekali. Aku jadi was-was dan takut dia salah paham lagi. Jujur, aku tak mau memperpanjang urusan dengan Mas Ali lagi. Aku tidak ingin menyakiti siapa pun. "Fa, ada apa sebenarnya? Aku enggak bisa lama-lama. Harus jemput Bella juga ""Mbak tunggu aja! Aku mau semuanya kelar hari ini juga. Aku udah capek juga. Memangnya Mbak doang?"Aduh, Syifa kenapa jadi begini bicaranya? Kenapa dia makin kelihatan benci denganku? Aku pergi saja atau tunggu dulu? Sebenarnya aku juga tidak mau menyakitinya. Tapi ....Sebuah mobil masuk ke halaman supermarket. Lalu keluar seorang pria berjas hitam dengan kerah kemeja putih yang terlihat semakin membuatnya tampak menarik. Ya, dia Mas Ali. Lelaki itu datang menghampiri kami. "Maaf, aku telat." "Ngapain aja woi? Capek nih ngungguin. Sampe berakar," keluh Syif
"Ayu, Tante harap kamu bisa menjaga Marwah almarhum suami kamu. Belum genap 40 hari saja kamu sudah begini. Tante sebagai keluarga besar Dimas merasa kecewa sama kamu."Tante Bianca malah menuduhku seperti itu. Tapi, aku tidak menjawab apa pun. Biarlah takdir berjalan sebagaimana mestinya. Mereka tidak tahu yang sebenarnya terjadi. Aku sudah lelah. Aku hanya ingin fokus pada diriku sendiri dan calon anakku nanti. Tante Bianca hanya melihat sekilas apa yang terjadi. Jika dia berada di posisiku, pasti bisa mengerti. Setelah dua wanita itu pergi, kini Mas Ali terduduk lemas sambil menunduk. Aku tahu, dia pasti banyak pikiran dan bimbang. "Mas, pulanglah! Kamu harus istirahat.""Aku mau jagain kamu, Yu. Jangan pikirkan aku. Jika besok memang aku harus menikahi keponakan almarhum suami kamu, aku akan nikahi dia. Tapi, aku akan tetap menjagamu.""Enggak, Mas. Kamu enggak boleh gitu. Kasihan Syifa. Bukannya sejak awal kamu akan menikahi dia? Jadi, tolong jaga jarak denganku.""Hatiku hanya
"Mas, jangan lupa nanti malam kita ada acara makan malam sama keluarga aku," ucap Syifa saat kami baru saja selesai meeting. "Iya insyaallah aku datang," balasku sekenanya. Lalu bersiap kembali ke ruanganku sendiri. "Mas, tunggu!" cegahnya lagi. Aku pun berhenti tepat di depannya. "Ada apa lagi?""Nanti siang kita makan bareng kan? Ada yang ingin aku omongin." Gadis dengan blazer hitam ini menatapku penuh harap. "Nanti siang? Tapi aku tadi sudah beli buah kemasan. Sudah tinggal makan. Ada kerjaan lagi ini dari atas. Sekarang aja kamu bilang ada apa. Mau ngomong apa?"Tiba-tiba gadis itu cemberut. "Sekarang kamu kayak udah embbam ada waktu lagi buat aku. Kalau enggak sibuk sama kerjaan, ya sibuk bantuin Mbak Ayu. Entah kenapa aku rasa kalian aneh aja," celetuknya. Aku menghela napas panjang, tak mungkin aku bilang padanya kalau aku adalah mantan suami Ayu. "Itu hanya perasaan kamu aja, Fa. Aku biasa aja. Aku hanya niat menolong.""Tapi janji, ya! Pernikahan kita dimajukan tiga bul
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Komen