Share

Bab 6. Bertemu Kembali

Roma, Italia.

Miranda melepas kacamata hitamnya dan meletakkan ke atas kepalanya. Kini dia dan Helen melangkah keluar bandara menuju sopir yang telah menjemput di lobby.

“Ah, akhirnya kita pulang juga,” ucap Helen seraya merentangkan kedua tangannya. Dia memejamkan matanya menikmati embusan angin yang menyentuh kulitnya. 

Miranda mendesah pelan. “Sepertinya kau sangat senang.”

Helen berdecak tak suka. “Memangnya kau tidak suka kembali ke negaramu sendiri?”

“Aku menyukainya,” tukas Miranda dingin. “Hanya saja, aku tidak suka dengan tanggung jawab yang harus aku pegang nanti.”

Helen terkekeh. Dia langsung merengkuh bahu Miranda. “Well, lebih baik kau membicarakan pria tampan kemarin daripada membahas tentang pekerjaanmu. Aku yakin kau masih belum melupakan pria tampan itu.”

“Hentikan omong kosongmu, Helen. Aku tidak ingin kau membahas tentang pria itu lagi!” tukas Miranda menegaskan.

Helen kembali terkekeh. Dia bahkan tidak sanggup menahan tawanya melihat wajah kesal Miranda. Ya, dia memang sengaja menggoda sahabatnya itu.

“Baiklah, maafkan aku,” ucap Helen yang segera mengakui kesalahannya.

Saat tiba di lobby, Miranda dan Helen sudah melihat sopir yang menjemput mereka. Kini mereka masuk ke dalam mobil. Tak berselang lama, mobil yang membawa Miranda dan Helen mulai meninggalkan lobby bandara.

***

“Miranda? Kau sudah pulang?” Seorang wanita cantik berambut pirang menyapa Miranda dengan senyuman hangat di wajahnya. Sedangkan Miranda hanya melirik wanita itu sekilas.

“Seperti yang kau lihat,” tukas Miranda dingin dengan raut wajah datar.

“Miranda,” tegur Helen yang merasa tidak enak.

Ya, di hadapan Miranda adalah Rose Spencer, wanita cantik yang menjadi ibu tiri Miranda. Selama ini Miranda dan ibu tirinya memang tidak memiliki hubungan baik. Pasalnya, Miranda begitu membenci ibu tirinya. Namun, berbalik dengan Rose yang selalu berusaha bersikap ramah pada Miranda. Hanya saja, Miranda tidak memedulikan sifat ramah Rose.

“Apa kabar, Helen?” tanya Rose seraya menatap Helen.

“Aku baik, Bibi. Bagaimana denganmu?” Helen bertanya balik.

“Aku juga baik,” jawab Rose dengan senyuman hangat di wajahnya. Kemudian, dia mengalihkan pandangannya menatap Miranda. “Miranda, ayahmu memintamu dua jam lagi untuk segera ke perusahaan. Hari ini ayahmu mengatakan memiliki meeting dengan salah satu rekan bisnisnya. Dan kau diwajibkan untuk datang.”

Miranda membuang napas kasar. Baru saja dia sampai di rumah, dia sudah diminta ke perusahaan. Beruntung sebelumnya, dia sudah beristirahat cukup.

“Di mana Kak Darren? Apa dia tidak bisa menggantikanku?” tanya Miranda dengan nada kesal.

“Mereka sudah di perusahaan. Sekarang mereka menunggumu,” jawab Rose memberi tahu.

Miranda berdecak. “Ya, aku akan ke sana.”

Tanpa lagi berkata, Miranda langsung mengentakkan kakinya masuk ke dalam kamar bersama dengan Helen yang mengikutinya.

***

“Miranda, jadi kau akan ke kantor hari ini?” tanya Helen memastikan kala Miranda tengah mengganti pakaiannya.

“Ya,” jawab Miranda dengan nada malas. “Tidak ada pilihan lain, bukan? Aku malas berdebat dengan ayahku. Jadi lebih baik aku diam, dan tidak membuat masalah.”

Helen mengulum senyumannya. “Kau benar, setidaknya kau masih bersyukur pulang ke rumah tidak disambut dengan amarah ayahmu. Tapi kau diminta datang ke perusahaan.”

Miranda mendesah pelan. “Aku lebih baik mendapatkan sambutan amarah dari ayahku daripada aku harus mendatangi perusahaannya.”

Helen berdecak kesal. “Sudahlah, lebih baik kau berangkat sekarang. Aku akan menunggumu di sini.”

“Enak sekali kau bisa langsung tidur,” tukas Miranda kesal.

Helen terkekeh. “Selamat meeting, Nona Miranda. Semoga kau salah satu rekan bisnis ayahmu berwajah tampan.”

“Bicara denganmu sama seperti orang yang tidak waras! Otakmu hanya pria dan seks!” Miranda mendengkus tak suka. Dia langsung menyambar tas dan kunci mobilnya yang ada di atas meja, lalu berjalan meninggalkan Helen.

“Kau saja yang belum mencoba sensasi luar biasa. Aku yakin, nanti kau akan ketagihan.” Helen sedikit berteriak

***

Miranda melajukan mobilnya dengan kecepatan penuh. Ya, meski sedikit lelah, tapi dia memang tidak memiliki pilihan lain. Terpaksa dia harus menemani ayahnya meeting. Walau sebenarnya Miranda lebih memilih untuk tidur di rumah.

Kini Miranda mulai membelokkan mobilnya, memasuki gedung perusahaan milik keluarganya. Saat memarkirkan mobil, dia turun dan masuk ke dalam lobby. Terlihat para karyawan yang ada di area lobby langsung menundukkan kepalanya menyapa Miranda dengan sopan. Sedangkan Miranda membalasnya dengan senyuman tipis di wajahnya. Kemudian, Miranda mulai masuk ke dalam lift pribadi ayahnya.

“Selamat siang, Nona Miranda,” sapa Levon, assistant ayahnya menyapa Miranda yang melangkah keluar dari lift.

“Siang, di mana ayah dan kakakku?” tanya Miranda dingin.

“Tuan Besar Ryhan dan Tuan Darren sudah menunggu di ruang meeting,” jawab Levon. “Mari saya antar, Nona.”

Miranda mengangguk. Dengan wajah yang datar dan dingin, dia melangkahkan kakinya masuk ke dalam ruang meeting mengikuti assistant ayahnya itu.

“Miranda? Kau sudah datang?” Darren, kakaknya menyapa kala melihat Miranda memasuki ruang meeting.

“Kau sudah ada di sini, kenapa aku masih diminta untuk datang?” Miranda masih merungut sebal, dia menarik kursi dan duduk di samping Darren. Ya, dia menghindar duduk di dekat ayahnya. Mengingat sudah sejak tadi ayahnya menatap dirinya dengan tatapan tajam. Tentu Miranda tahu ayahnya akan marah padanya. Bagaimana tidak? Setelah dia menyelesaikan pendidikannya, dia bahkan masih belum kembali ke Roma selama tiga bulan. Sudah sepantasnya ayahnya itu akan marah padanya.

“Kau memang harus berada di sini. Sudah cukup bermain-main, Miranda. Kau harus memegang tanggung jawabmu,” tukas Ryhan dingin dan menatap putrinya dengan tatapan penuh peringatan.

Miranda mendesah pelan. “Ya, Dad. Aku mengerti. Sekarang di mana rekan bisnismu? Kenapa belum datang? Aku tidak suka menunggu terlalu lama. Jika dia tidak professional, lebih baik kau tidak perlu lagi bekerja sama dengannya,” jawabnya dengan nada kesal.

“Jaga bicaramu, Miranda. Dia adalah rekan bisnisku sudah sejak lama,” balas Ryhan meningatkan. “Nantinya, kau akan sering bertemu dengannya.”

‘Menyebalkan sekali,’ gerutu Miranda dalam hati.

“Maaf aku terlambat.” Sosok pria tampan dengan balutan jas formal melangkah masuk ke dalam ruang meeting.

“Apa kabar, Tuan Athes Russel?” Ryhan dan Darren langsung beranjak berdiri menyambut kedatangan sosok pria bernama Athes Russel.

“Apa kalian sudah lama menunggu?” Athes duduk tepat di hadapan Ryhan dan Darren. Miranda yang duduk di samping Darren mengerutkan keningnya kala melihat sosok pria yang duduk di hadapannya. Seketika wajah Miranda berubah menjadi pucat. Terlihat keterkejutannya melihat sosok pria yang dia kenali berada di hadapannya.

“Tidak, kami juga baru saja datang,” jawab Ryhan dengan ramah.

Athes mengalihkan pandangannya kala merasakan ada yang terus memperhatikannya. Tiba-tiba, raut wajah Athes berubah saat melihat sosok wanita cantik duduk dengan gelisah dan raut wajah gugup. Meski wanita itu sedikit menundukkan kepalanya, tapi dia tentu mengenali sosok wanita itu.

“Tuan Athes, perkenalkan ini Miranda, putri bungsuku. Dia baru saja menyelesaikan pendidikannya di London. Nantinya hotel milikku yang bekerja sama denganmu akan dipimpin langsung oleh Miranda. Aku menyerahkan kepemimpinan itu pada putriku,” ujar Ryhan memberi tahu seraya melirik Miranda.

“Miranda, dia adalah Tuan Athes Leonard Russel. Salah satu pemegang saham tertinggi di hotel yang akan kau pimpin. Mulai sekarang kau akan sering berhubungan dengannya,” tukas Ryhan memberi tahu putrinya.

Miranda bungkam. Dia begitu terkejut dengan apa yang dia dengar. Lidahnya terasa begitu kelu. Bahkan rasanya dia tidak bisa berkata-kata. Dia sedikit mengangkat wajahnya, menatap Athes dengan raut wajah yang panik, gugup, takut, dan cemas. Ingin rasanya Miranda melarikan diri, tapi itu tidak mungkin dia bisa lakukan. Demi Tuhan, Miranda tidak tahu harus berbuat apa. Bagaimana mungkin pria yang menjadi one night stand-nya adalah rekan bisnis ayahnya sendiri?

‘Bagaimana ini? Apa yang harus aku lakukan? Atau aku harus berpura-pura tidak mengingatnya? Habislah jika sampai Dad mengetahui ini,’ gerutu Miranda dalam hati. Ya, dia terus merutuki kebodohannya. Kenapa nasibnya sial sekali. Pria yang bekerja sama dengan ayahnya adalah teman kencan cinta satu malamnya.

“Apa ada hal yang kau pikirkan, Nona Miranda Spencer?” Suara Athes bertanya seraya menyunggingkan senyuman misterius, menatap Miranda. Sebuah senyuman yang tersirat menggoda. Terlihat wajah Athes tampak begitu santai kala menatap Miranda yang penuh dengan kegugupan dan kecemasan.

Komen (4)
goodnovel comment avatar
Isti Narko
mantap bgt
goodnovel comment avatar
Tasiana Kuri
crita y keren
goodnovel comment avatar
Imens Stivichi
mantap ceritanya
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status