“Kamu bicara apa sih Dek?” Roni membantah. Dengan tenang dia duduk disamping Nana.
Pria itu mengangkat tangannya. Seolah menunjukkan perban yang tiba-tiba membelit pergelangan tangan kanannya. Nana tahu kalau Roni mengambil perban itu dari kotak P3K di mobil.
“Lihat nih. Tadi tanganku nggak sengaja kena air panas waktu aku mau buat kopi. Jadi aku pergi ke apotek dua puluh empat jam lagi. Namun sampai sana apoteker menyuruhku periksa di klinik yang masih menyatu dengan apotek agar bisa diresepkan antibiotik. Ada beberapa orang yang sedang periksa. Jadi aku menunggu.” Roni menjelaskan kebohongannya dengan lancar. Mengalir begitu saja dari mulutnya.
Nana berusaha mengatur wajahnya sebaik mungkin karena Roni terus menatapnya dengan pandangan menyelidik. Pria itu pasti sudah dengar alasannya tidak minum air yang disiapkan oleh Roni. Nana ingin berakting seapik mungkin seperti suaminya agar bisa mengambil semua hak yang sudah ia berikan pada Arni.
“Oh begitu.” Nana mengangguk. Mengikuti permainan Roni. Bukan. Lebih tepatnya permainan yang Nana ciptakan agar Roni dan Arni tidak mencapai puncak bersama.
“Ya sudah naik yuk. Sudah malam.” Roni merangkul bahu istrinya.
Mereka naik ke lantai dua lalu masuk kamar. Nana menatap sang suami yang rebah lebih dulu. Ia duduk di tepi ranjang. Diam-diam mengusap bahunya yang tadi dipegang Roni. Rasa jijik itu masih menggelenyar. Baru kali ini Nana bergidik karena disentuh orang. Terutama suaminya sendiri.
Selama berumah tangga. Nana baru tahu kalau Roni sangat jago berakting. Ia bertanya-tanya. Apakah ini pertama kalinya Roni punya hubungan dengan wanita lain? Bagaimana sikap Roni yang sebenarnya? Apa dia juga pernah selingkuh di kantor?
Nana menghela nafas. Walaupun dia tidak menangis lagi, tapi hatinya tetap sakit. Seperti tersayat sembilu. Ternyata Nana tidak tahu apapun tentang Roni. Dia mengira Roni adalah suami dan ayah terbaik untuk keluarga mereka.
“Kamu belum tidur Dek?” Roni membuka matanya. Menatap Nana heran.
“Nggak bisa tidur Mas. Mungkin karena aku terlanjur begadang menunggumu pulang. Kamu tidur saja dulu. Aku mau buat teh hangat di dapur.”
“Ya sudah. Nanti langsung tidur ya.”
“Iya Mas.” Nana mengangguk lalu melangkah keluar kamar.
Sekali lagi ia menghela nafas berat. Pikirannya melayang tidak tentu arah. Hatinya sangat siap berpisah. Namun bagaimana dengan anak-anak? Terutama Maher yang sangat dekat dengan ayahnya. Hati si kecil akan terkoyak saat ia mengusir paksa Roni keluar dari rumah ini.
Nana duduk di kursi. Sikunya bertumpu pada meja dapur. Kepalanya mendadak pusing. Sejak kemarin Nana hanya memikirkan tentang dendamnya pada Roni dan Arni. Dia belum memikirkan perasaan Maher yang sebenarnya. Apalagi anak itu juga terlibat menjaga rahasia ayah dan ibu tirinya.
“Apa yang harus kulakukan?” Nana meraup wajahnya bingung.
Suara jarum yang terus bergerak menyadarkan lamunan Nana. Dia harus segera membuat teh hangat agar bisa tidur malam ini. Saat membuka lemari dapur bagian atas, dia tidak menemukan kotak teh yang biasanya ia minum. Nana mencari di lemari bawah hingga ke pojok.
“Kok ditaruh di pojok sih?” tanya Nana bingung melihat kotak yang familiar.
Matanya membulat kaget melihat kotak susu untuk ibu hamil. Susu ini jelas bukan miliknya. Berarti kemungkinan besar susu ini milik Arni dan adik madunya itu tengah hamil. Rasa sakit itu kembali menyusup dalam dadanya. Nana menatap kotak susu itu datar. Tidak ada lagi air mata yang mengalir.
“Nana sayang,” panggil Roni khawatir.
Kini Roni yang kaget melihat Nana memegang kotak susu itu. Nana berusaha mengatur ekspresinya. Ia membaca kemasannya dengan seksama. Susu untuk ibu hamil trimester kedua. Berarti Arni bisa jadi sudah mengandung dan memasuki trimester kedua. Jika adik madunya baru hamil, dia akan membeli susu untuk trimester pertama.
Nana ingat beberapa bulan lalu saat Arni belum tinggal bersamanya, dia sempat datang ke rumah kontrakan yang dihuni ibu dan papa tirinya. Arni sedang sakit dan terus muntah. Ia datang bersama Roni yang membawa banyak barang. Roni terus bertanya kondisi Arni. Memberi perhatian yang tampak berlebihan karena hubungan mereka hanya sebatas kakak dan adik ipar.
Satu bulan kemudian, orang tuanya meminta Arni tinggal disini. Nana menerima dengan lapang hati. Mengijinkan Roni membantu biaya perawatan papa tirinya dan membiayai kuliah Arni. Merasa semuanya baik-baik saja.
“Kamu jangan salah paham.” Suara Roni membuyarkan lamunannya. Nana kembali ke dunia nyata.
“Apa maksud kamu Mas?” tanya Nana lembut. Dia meletakan kotak susu itu di meja.
“A—aku, aku,” ucap Roni bingung.
“Aku lagi cari kotak teh yang biasanya kuminum. Nggak ketemu. Kamu lihat nggak Mas?” Nana berjongkok lagi. Pura-pura mencari barang yang ia maksud.
“Emm aku nggak lihat Dek,” jawab Roni kikuk.
“Ya sudah aku minum air hangat saja.” Nana beranjak. Mengambil air hangat dari dispenser lalu memasukan kotak susu ke tempatnya semula.
“Dek,” panggil Roni pelan.
“Iya. Kenapa Mas?” tanya Nana pura-pura heran.
Nana berusaha menahan tawa. Puas melihat sang suami yang kelimpungan seperti ini. Salah siapa bermain api. Dia sendiri yang akan terbakar. Nana hanya harus menghindar dan bermain cantik.
“Kamu tidak bertanya tentang kotak susu itu?” tanya Roni hati-hati.
“Kenapa aku harus bertanya? Kotak susu itukan punyaku, tapi tidak habis saat usia kandungan masuk trimester tiga. Jadi aku minta Mbak Wiwin menyimpannya. Siapa tahu ada saudara atau tetangga kurang mampu yang butuh.” Nana tertawa lalu berjalan melewati Roni.
Dapat ia dengar helaan nafas lega suaminya. Nana tersenyum sinis. Ini baru permulaan. Nana akan membuat permainannya lebih seru lagi.
Roni berjalan di belakangnya. Mereka berbaring dengan pikiran berkecamuk. Roni yang tiba-tiba khawatir dan Nana yang ingin memberi pelajaran pada suami dan adik tirinya. Ah tidak hanya adik tiri, tapi juga adik madu.
***
“Maher sudah siap. Ganteng banget anaknya Mama,” seru Nana ceria setelah merapikan rambut Maher. Langit gelap sudah berganti cerah. Jarum jam menunjukakn pukul setengah enam pagi.
“Iya dong anak Mama dan Ayah gitu loh,” jawab Maher percaya diri. Nana mengecup pipi putranya gemas. Meskipun hatinya tercubit mendengar Maher juga memuji ayahnya. Kebiasaan yang Nana tanamkan sejak kecil.
“Maher tahu nggak kalau mencium orang selain keluarga itu tidak boleh.” Nana memulai pembicaraan.
Dia harus menjelaskan sesederhana mungkin agar putranya paham dan tidak menganggap kalau apa yang ayahnya lakukan pada tantenya itu wajar. Justru sebaliknya. Bagi Maher dia harus menganggap kalau perbuatan mereka terlarang.
“Tahu Ma. Kata Ayah kita hanya boleh mencium keluarga.” Maher mengangguk.
Nana mengepalkan tangannya. Menghela nafas untuk mengatur emosi agar tidak meledak di depan anaknya. Bisa-bisanya Roni memberikan informasi yang keliru pada buah hati mereka agar bisa tetap bermesraan di depan Maher.
“Bagus sayang. Mencium keluarga berarti hanya Ayah yang boleh mencium pipi Mama. Begitu juga sebaliknya. Terus Ayah dan Mama yang mencium kakak dan adek. Begitu juga sebaliknya. Tidak boleh ada orang luar yang melakukannya. Termasuk Tante Arni dan adik-adiknya Ayah. Apa Maher mengerti?” tanya Nana lembut.
Bocah kecil itu mengerjapkan matanya bingung. Jari kecilnya menggaruk rambut yang sudah rapi hingga sedikit berantakan. Nana merapikan rambut anaknya lagi. Membiarkan Maher memproses informasi yang baru saja ia sampaikan.
“Berarti Ayah tidak boleh mencium Tante Arni?” tanya Maher memastikan.
Nana mengangguk. “Iya sayang. Yuk kita ke ruang makan sekarang.”
Ia membiarkan Maher berjalan dulu lalu menggendong Dinda yang sejak tadi bermain di karpet. Saat masuk ke ruang makan, Roni dan Arni sudah duduk lebih dulu disana. Nana mendudukan Dinda di kursi bayinya. Terdengar suara Mbak Wiwin yang masih berkutat di dapur. Nana meninggalkan mereka untuk membantu Mbak Wiwin.
“Sarapan dulu Mbak,” ajak Nana untuk yang kesekian kalinya.
“Nggak Mbak. Saya ke pasar dulu. Nanti baru mandi terus sarapan,” jawab Mbak Wiwin lalu pamit keluar.
Nana duduk di kursinya lagi. Kali ini dia menuangkan minuman untuk Roni. Meletakannya di depan sang suami bersamaan dengan Arni.
“Maaf ya Ar. Mulai sekarang aku yang akan melayani semua kebutuhan suamiku. Walaupun untuk hal-hal kecil seperti mengambil nasi dan menuangkan air. Aku terlalu merepotkan kamu selama ini.” Nana tersenyum. Menggeser gelas pemberian Arni.
“Iya nggak masalah Mbak.” Arni memaksa senyumnya terbit.
Suasana ruang makan sempat hening sejenak. Nana melihat Maher yang memindai semua orang yang ada di sana. Lalu pandangan si kecil jatuh pada ayahnya.
“Ayah nggak boleh lagi mencium Tante Arni. Kata Mama yang boleh mencium Ayah itu cuma Mama, Maher dan Dinda,” kata Maher polos.
“Untuk apalagi kamu datang kesini?” tanya Nana ketus. Tidak menjawab pertanyaan Arni sebelumnya.Arni menghentakan kaki kesal. Duduk di kursi tunggu. Menatap interior warung yang sederhana dengan warna merah bata. Nyaman dengan kipas angin yang terus berputar. Menyejukan udara dari teriknya sinar matahari pukul dua belas siang.“Aku hanya ingin tahu kenapa rencanaku bisa gagal kemarin. Ternyata karena kau minta bantuan pacarmu.” Arni tersenyum sinis. Melipat tangannya di depan dada. Mengangkat kaki kanannya yang kemudian bertumpu ke kaki kiri.Stocking putih menyamarkan pahanya yang hanya memakai rok di atas lutut. Sejujurnya penampilan Arni sangat norak karena memakai kaos tanpa lengan dengan motif bunga dan rok berwarna merah. Apalagi pulasan mekapnya yang sangat menor.“Kami tidak berpacaran,” bantah Nana tidak terima. Inilah yang ia takutkan jika berinteraksi dengan lawan jenis saat masih dalam masa iddah. Akan ada orang yang membuat asumsi sendiri. Seperti Arni.“Halah aku nggak
“Benarkah? Lalu apa jawabanmu Di?” tanya Nana menempelkan ponsel ke telinga.Jam sepuluh malam Diah menelepon. Menceritakan kunjungannya saat membesuk Roni di penjara bersama Intan. Serta permintaan Roni untuk membujuknya datang.“Aku menolak. Lagipula Mbak Nana pasti sibuk mengurus warung, membuat novel dan menjaga anak-anak. Oh ya. Mbak Nana kasih balasan apa sama Pak Andra?” tanya Diah mengalihkan percakapan. Suaranya terdengar sarat akan godaan.“Kami hanya makan bersama di warung dengan anak-anak. Selain itu, Andra juga memintaku berteman. Aku terpaksa setuju sebagai bentuk rasa terima kasihku padanya,” jawab Nana.“Wah sudah panggil nama nih,” Diah menggoda lagi. Tawanya terdengar sangat puas dari sebrang telepon.“Namanya juga berteman.” Nana hanya bisa menggeleng. Merebahkan tubuhnya disamping Dinda yang terlelap.“Sepertinya Pak Andra suka sama kamu Mbak. Kalau masa iddahmu selesai dan dia mendekatimu, terima saja,” ucap Diah membuat Nana termenung.Orang kaya seperti Andra s
"Terima kasih atas bantuannya Pak," kata Nana lega."Tidak masalah Bu Nana. Aku senang bisa membantumu," jawab Andra.Mereka duduk di dekat jendela. Andra sedang berkunjung ke warung Nana saat wanita itu panik karena video viral yang tersebar. Nana segera menghubungi Sania. Meminta pertolongan pada sahabatnya"Aku sudah menghubungi tim pengacara. Beri kami waktu satu hari untuk menyingkirkan video viral itu," kata Sania dari sebrang telepon."Satu hari tetap saja lama Mbak. Kita hubungi Mbak Tari sekarang," ucap Diah yang ikut panik."Iya. Aku akan menelepon Mbak Tari sekarang." Nana mengusap keningnya yany berkeringat.Hanya dengan membaca komentar-komentar netizen yang kejam bisa membuat jantungnya berdegup kencang. Apalagi ada netizen yang mengetikan nama warung dan lokasinya."Tidak perlu. Biar aku saja yang tangani." Andra berdiri disamping mereka. Membaca sekilas komentar netizen di hp Nana."Pak Andra," ucap Nana dan Diah bersamaan."Tidak perlu. Saya akan merepotkan anda," tol
“Pak Lucky mengajakmu pergi kemana Ar?” tanya Pak Indra saat mereka bersantai di ruang tengah rumah sederhana yang baru saja disewa Arni.Ia sudah mengumpulkan banyak pundi-pundi uang. Awalnya Arni ingin membeli rumah dua lantai yang besar. Sama seperti milik Roni dan Nana dulu. Namun Pak Indra tidak setuju Arni menghabiskan seluruh tabungannya hanya untuk membeli rumah. Pak Indra ingin Arni menabungkan uang itu demi kebutuhan mereka di masa depan.“Cuma ke hotel sama restaurant ayam krispi Pa. Sialnya hari ini Pak Lucky membawaku ke warungnya Mbak Nana,” jawab Arni kesal.“Apa? Nana jualan ayam krispi,” seru Pak Indra menghina. Dia tertawa puas membayangkan penderitaan yang sekarang dialami mantan anak tirinya.“Kenapa Papa tertawa? Apa Papa pikir Mbak Nana hidup susah?” tanya Arni heran.“Tentu saja. Uang sewa ruko pasti tidak cukup menyambung hidup. Karena itulah dia berjualan. Berapa sih pendapatan dari restaurant kecil ayam krispi?” Pak Indra mendengkus. Tatapannya yang tertuju
Pria itu berdiri saat jarak mereka sudah dekat. Bersalaman dengan Nana dan Mbak Wiwin. Wajahnya tampak kikuk. Jelas sekali tidak nyaman berada disini.“Anda mau bertemu saya Pak?” tanya Nana tanpa basa-basi.“Eh iya. Kebetulan saya baru pulang dari luar kota. Ada yang mau saya berikan untukmu,” jawab Andra malu.Sebenanrya Nana ingin menolak. Takut jika ada tetangga yang melihat dia menerima tamu semalam ini. Namun tidak etis jika dia menyuruh Andra pulang setelah jauh-jauh datang kesini.“Oh begitu. Mari masuk dulu.” Nana segera membuka pintu. Mempersilahkan Andra masuk ke dalam.Mbak Wiwin membawa anak-anak ke kamar mandi untuk cuci tangan dan kaki. Baru menidurkan Dinda di kamar utama. Nana ke dapur. Mengambil minuman untuk tamunya. Dia menyajikan segelas teh hangat dan setoples kue nastar.Pak Andra menikmati teh hangatnya dalam diam. Melirik Nana yang sibuk dengan ponselnya. Ia meletakan dua paper bag besar di meja. Mendorongnya ke arah Nana.“Ini hadiah untukmu dan anak-anak. Se
Roni kembali ke dalam sel. Setelah telepon Nana ditutup tanpa pamit. Dia bersandar ke dinding. Tidak tertarik ikut kegiatan olahraga diluar. Tubuhnya menggigil ketakutan. Jika Nana terkena sifilis maka kemungkinan besar Roni adalah pembawanya. Berarti sekarang dia juga terkena penyakit itu.“Siapa yang menularkannya padaku? Arni atau wanita lain?” Roni mengigit kuku jarinya bingung.Dia tidak bisa menebak siapa yang memberi penyakit itu padanya. Semua wanita yang pernah ia tiduri setelah Nana memberinya kesempatan kedua hanya empat orang. Arni dan tiga teman kerjanya yang dulu pernah saling menggoda.Jarum jam terus bergerak hingga tanpa terasa langit berubah malam. Jam sepuluh hampir semua tahanan sudah tidur. Hanya Roni yang terjaga. Dia duduk bersandar setelah pergi ke kamar mandi. Memeriksa miliknya sendiri. Tidak ada yang aneh. Jika Roni punya hp sekarang ia ingin mencari tanda-tanda gejala itu.“Siapa tahu Nana juga selingkuh dengan pria lain sehingga dia terkena penyakit itu.”