Nana tidak sanggup lagi melihat layer ponselnya. Dia menutup rekaman itu. Hatinya memang hancur berkeping-keping, tapi tidak ada lagi air mata yang membasahi pipinya. Jika menuruti kata hati, Nana ingin memanggil ketua RT dan para warga lalu menggerebek mereka. Menelepon mertuanya agar datang kesini dan menunjukkan kalau Roni selingkuh.
Semua bukti yang Nana dapat sudah lebih dari cukup. Dia bisa berpisah dari Roni, mendapat semua harta dan hak asuh anak-anak. Namun melihat perhiasan di kamar Arni, Nana ingin mengambil semuanya. Akan ia buat suami dan adik tirinya berada di titik terendah karena berani bermain api di belakangnya.
“Aku harus tahu rencana mereka.” Nana membuka rekaman lagi.
Ternyata Arni dan Roni baru saja berhubungan. Mereka bersandar ke tempat tidur. Arni bersandar di dada Roni. Memakai selimut hingga ke dada. Memperlihatkan bahu yang terbuka.
“Apa kamu sudah memberi obat tidur ke Mbak Nana?”
“Dia tidur sebelum aku memberinya air berisi obat tidur.”
“Bagaimana kalau Mbak Nana bangun dan mencarimu?” Arni khawatir. Wanita itu bangkit dengan siku yang bertumpu ke kasur.
“Tenang saja. Nana tidak akan curiga. Aku sudah menyalakan lampu kamar mandi. Dia pasti mengira aku sedang disana. Lalu Nana akan meminum air itu dan terlelap sampai pagi.”
“Syukurlah.” Arni bersandar lagi ke dada suaminya.
“Aku mau beli perhiasan baru Mas. Harganya lima puluh juta.”
Tangan Nana mengepal erat. Semudah itu Arni meminta perhiasan mahal pada suaminya. Sedangkan dia selalu menahan diri untuk kebutuhan rumah dan anak-anak. Walaupun gaji Roni yang diberikan dua puluh juta, tapi Nana selalu mengatur keuangan sebaik mungkin agar punya uang dingin untuk tabungan di masa depan. Namun Arni dengan mudah meminta semua itu pada Roni.
“Bulan depan ya. Bonusku bulan ini hanya dapat lima belas juta.”
“Ambil saja dari tabungan Mbak Nana. Dia tidak akan curiga.” Arni merajuk dengan nada manja.
Rasanya Nana ingin muntah. Baru ia sadari kalau Arni kerap bersikap manja pada Roni di depannya. Roni juga tidak segan memuji Arni seperti melontarkan kata lucu atau menggemaskan.
“Nana selalu melihat saldo dan mencetak bukunya di bank. Tidak mungkin aku mengambil uang tabungan kami.”
“Kalau begitu minta pada ibumu. Bilang saja seperti dulu. Untuk memberi kejutan pernikahan pada Mbak Nana.”
“Ide bagus sayang.”
Tawa mereka sangat memuakan di telinga Nana. Jadi pria itu pernah berbohong pada ibunya demi mengabulkan keinginan Arni.
“Kapan kamu akan mengakui pernikahan kita? Aku ingin kamu meresmikan penrikahan kita secepatnya.”
Dada Nana berdebar kencang. Pernikahan?
“Sabar sayang. Kamu tahu sendiri alasanku merahasiakan pernikahan kita bahkan dari keluargaku sendiri. Ibu tidak akan setuju. Dia bisa menghibahkan semua bagianku pada Nana.”
“Masa aku harus menunggu ibumu pergi selamanya?” tanya Arni ketus. Kepalanya menjauh. Rebah di bantalnya sendiri.
“Ya mau bagaimana lagi. Sabar ya. Ada saatnya kita bisa mengumumkan hubungan ini.”
“Aku lelah Mas. Untuk berhubungan denganmu saja harus diam-diam seperti ini atau pergi ke tempat lain agar tidak dicurigai Mbak Nana. Aku ingin menunjukkan pada dunia kalau aku juga istrimu.”
“Iya aku paham. Kamu sabar dulu. Aku akan pikirkan caranya.” Roni mengecup Arni cepat.
Sepertinya mereka akan melakukan ronde kedua. Nana menutup rekaman. Ia mengacak sedikit rambutnya. Seolah baru bangun tidur lalu turun ke bawah. Begitu menginjakan kaki di lantai satu, terdengar suara yang sangat menjijikan.
“Suara apa itu?” Nana mengeraskan suaranya.
Derap langkahnya cepat menuju kamar Arni. Dia mengetuk pintu tiga kali lalu berkata. “Arni apa yang kamu lakukan.”
Suara menjijikan tadi langsung lenyap. Nana tersenyum sinis. Dia senang bisa membubarkan kenikmatan di tengah jalan. Rasanya pasti menyakitkan.
“Arni,” panggil Nana lagi.
Tidak ada jawaban dari dalam. Ia mundur lalu membuka kamar Maher.
“Mas Roni juga tidak ada disini. Dia kemana sih?” Lagi-lagi ia bicara keras agar suami dan adik tirinya mendengar.
Nana duduk di sofa. Melihat rekaman CCTV lagi. Arni dan Roni duduk dalam diam. Wajah mereka memerah dan tegang. Bibir mereka bergerak saling berbisik. Nana tidak bisa mendengar suaranya.
Roni memakai bajunya lalu sembunyi di kamar mandi. Setelah memastikan Roni menutup pintu, Arni memakai bajunya. Wanita itu berjalan menuju pintu. Nana menutup rekaman kamera CCTV. Tidak lama kemudian suara pintu terbuka terdengar.
“Kenapa Mbak Nana memanggilku?” Arni pura-pura menguap.
“Aku hanya ingin bertanya kalau kamu melihat Mas Roni. Dia tidak ada di lantai dua maupun di bawah.”
“Mungkin Mas Roni keluar karena ada barang yang mau dibeli,” jawab Arni gugup.
“Kamu sakit lagi? Mungkin kamu minta Mas Roni membelikan obat seperti kemarin.”
“Nggak Mbak.” Arni menggeleng.
“Aku baik-baik saja dan tidak minta tolong Mas Roni. Mbak Nana naik saja. Nanti Mas Roni juga pulang.” Arni menutup pintu lalu duduk disampingnya.
“Aku mau tunggu Mas Roni disini. Kamu saja yang tidur dulu. Bukannya kamu sibuk ke kampus buat menyusun skripsi dan bimbingan ke dosen?” Nana menyunggingkan senyum manisnya. Berusaha bersikap biasa saja. Seolah dia belum mengetahui apapun.
“Ya sudah aku masuk dulu. Mbak Nana nggak ambil minum? Biasanya mudah haus kalau baru bangun.” Arni menatapnya curiga.
“Tadi sudah minum di dapur lantai dua. Sebenarnya sudah ada air yang disediakan Mas Roni, tapi saat akan minum aku tidak sengaja tersandung lalu menumpahkannya. Jadi aku mengambil air lagi di dapur.”
“Oh begitu.” Arni mengangguk kikuk.
“Aku masuk dulu Mbak. Kamu juga jangan begadang. Sebentar lagi Mas Roni pasti pulang.”
“Iya Ar.”
Arni masuk kamarnya. Nana berusaha menahan tawa melihat wajah adik tirinya yang panik.
“Ah. Sekarang dia tidak hanya adik tiri, tapi juga adik maduku.” Nana menghela nafas pahit. Cepat sekali ekspresinya berganti.
Mereka sudah menikah. Entah sejak kapan. Itu berarti mungkin papa tirinya juga terlibat. Tidak mungkin Arni menikah menggunakan wali hakim saat papanya masih hidup.
“Apa Ibu juga tahu?” gumam Nana bertanya-tanya.
Nana akan sangat terluka jika ibunya tahu serta mendukung pernikahan Roni dan Arni. Meskipun selama ini sang ibu selalu membelanya saat berselisih dengan papa dan adik tirinya.
***
Sudah satu jam Nana menunggu. Roni belum keluar dari kamar Arni. Wanita itu memantau mereka dari kamera CCTV. Di sisi lain, ia terus berpikir bagaimana caranya mendapat uang pribadi Roni agar pria itu tidak memberikan bonusnya pada Arni.
Ia mendengar derit pintu yang perlahan dibuka lalu ditutup. Arni mengintip untuk yang kesekian kalinya. Dari rekaman, Nana melihat perdebatan mereka.
“Kamu alihkan perhatian Nana sekarang. Aku tidak mau dia semakin curiga.” Suara Roni cukup keras hingga terdengar di rekaman.
“Aku nggak mau. Justru dia akan curiga kalau aku memaksanya naik. Sudah biarkan saja. Nanti Mbak Nana akan ketiduran lalu kamu bisa keluar. Pura-pura bangunkan dia. Lebih baik kamu pikirkan sekarang alasan yang tepat saat Mbak Nana bertanya.”
Roni mengacak rambutnya kesal. Mereka terpaksa menunggu di kamar Arni. Alih-alih menemani sang suami yang masih terjaga, Arni memilih tidur lebih dulu. Nana tertawa melihat tampang kesal Roni.
Detik demi detik berlalu. Berubah menjadi menit. Lalu berubah lagi menjadi jam. Tidak terasa dua jam berlalu lagi. Roni masih terjaga. Pria itu bolak-balik membuka pintu. Melihat apakah dirinya sudah naik atau belum.
“Kapan Nana akan naik?” Bisik Roni cukup keras. Pria itu menutup mulutnya karena kelepasan bicara.
“Mas Roni.” Nana berbalik. Menangkap basah suaminya yang langsung menutup pintu. Dia menahan tawanya. Rasanya menyenangkan membuat sang suami ketakutan.
“Perasaan tadi aku mendengar suara Mas Roni.” Nana bicara keras lagi.
“Kemana sih dia? Pergi berjam-jam tanpa membawa hp.”
Kali ini, Nana berbaring di sofa. Jarum jam sudah menunjukkan pukul satu malam. Dia membuka pekerjaannya sebentar. Saat itulah, Roni keluar dari kamar Arni. Berjalan mengendap-endap ke ruang tamu. Nana mendengar semuanya. Namun dia pura-pura tidak tahu. Nana akan mengikuti permainan Roni.
Terdengar suara pintu depan yang dibuka lalu ditutup. Roni masuk dengan percaya diri. Nana bangkit. Menatap suaminya marah.
“Kamu kemana saja Mas? Kenapa keluar malam-malam seperti ini? Apa kamu selingkuh?” tanya Nana beruntun.
“Untuk apalagi kamu datang kesini?” tanya Nana ketus. Tidak menjawab pertanyaan Arni sebelumnya.Arni menghentakan kaki kesal. Duduk di kursi tunggu. Menatap interior warung yang sederhana dengan warna merah bata. Nyaman dengan kipas angin yang terus berputar. Menyejukan udara dari teriknya sinar matahari pukul dua belas siang.“Aku hanya ingin tahu kenapa rencanaku bisa gagal kemarin. Ternyata karena kau minta bantuan pacarmu.” Arni tersenyum sinis. Melipat tangannya di depan dada. Mengangkat kaki kanannya yang kemudian bertumpu ke kaki kiri.Stocking putih menyamarkan pahanya yang hanya memakai rok di atas lutut. Sejujurnya penampilan Arni sangat norak karena memakai kaos tanpa lengan dengan motif bunga dan rok berwarna merah. Apalagi pulasan mekapnya yang sangat menor.“Kami tidak berpacaran,” bantah Nana tidak terima. Inilah yang ia takutkan jika berinteraksi dengan lawan jenis saat masih dalam masa iddah. Akan ada orang yang membuat asumsi sendiri. Seperti Arni.“Halah aku nggak
“Benarkah? Lalu apa jawabanmu Di?” tanya Nana menempelkan ponsel ke telinga.Jam sepuluh malam Diah menelepon. Menceritakan kunjungannya saat membesuk Roni di penjara bersama Intan. Serta permintaan Roni untuk membujuknya datang.“Aku menolak. Lagipula Mbak Nana pasti sibuk mengurus warung, membuat novel dan menjaga anak-anak. Oh ya. Mbak Nana kasih balasan apa sama Pak Andra?” tanya Diah mengalihkan percakapan. Suaranya terdengar sarat akan godaan.“Kami hanya makan bersama di warung dengan anak-anak. Selain itu, Andra juga memintaku berteman. Aku terpaksa setuju sebagai bentuk rasa terima kasihku padanya,” jawab Nana.“Wah sudah panggil nama nih,” Diah menggoda lagi. Tawanya terdengar sangat puas dari sebrang telepon.“Namanya juga berteman.” Nana hanya bisa menggeleng. Merebahkan tubuhnya disamping Dinda yang terlelap.“Sepertinya Pak Andra suka sama kamu Mbak. Kalau masa iddahmu selesai dan dia mendekatimu, terima saja,” ucap Diah membuat Nana termenung.Orang kaya seperti Andra s
"Terima kasih atas bantuannya Pak," kata Nana lega."Tidak masalah Bu Nana. Aku senang bisa membantumu," jawab Andra.Mereka duduk di dekat jendela. Andra sedang berkunjung ke warung Nana saat wanita itu panik karena video viral yang tersebar. Nana segera menghubungi Sania. Meminta pertolongan pada sahabatnya"Aku sudah menghubungi tim pengacara. Beri kami waktu satu hari untuk menyingkirkan video viral itu," kata Sania dari sebrang telepon."Satu hari tetap saja lama Mbak. Kita hubungi Mbak Tari sekarang," ucap Diah yang ikut panik."Iya. Aku akan menelepon Mbak Tari sekarang." Nana mengusap keningnya yany berkeringat.Hanya dengan membaca komentar-komentar netizen yang kejam bisa membuat jantungnya berdegup kencang. Apalagi ada netizen yang mengetikan nama warung dan lokasinya."Tidak perlu. Biar aku saja yang tangani." Andra berdiri disamping mereka. Membaca sekilas komentar netizen di hp Nana."Pak Andra," ucap Nana dan Diah bersamaan."Tidak perlu. Saya akan merepotkan anda," tol
“Pak Lucky mengajakmu pergi kemana Ar?” tanya Pak Indra saat mereka bersantai di ruang tengah rumah sederhana yang baru saja disewa Arni.Ia sudah mengumpulkan banyak pundi-pundi uang. Awalnya Arni ingin membeli rumah dua lantai yang besar. Sama seperti milik Roni dan Nana dulu. Namun Pak Indra tidak setuju Arni menghabiskan seluruh tabungannya hanya untuk membeli rumah. Pak Indra ingin Arni menabungkan uang itu demi kebutuhan mereka di masa depan.“Cuma ke hotel sama restaurant ayam krispi Pa. Sialnya hari ini Pak Lucky membawaku ke warungnya Mbak Nana,” jawab Arni kesal.“Apa? Nana jualan ayam krispi,” seru Pak Indra menghina. Dia tertawa puas membayangkan penderitaan yang sekarang dialami mantan anak tirinya.“Kenapa Papa tertawa? Apa Papa pikir Mbak Nana hidup susah?” tanya Arni heran.“Tentu saja. Uang sewa ruko pasti tidak cukup menyambung hidup. Karena itulah dia berjualan. Berapa sih pendapatan dari restaurant kecil ayam krispi?” Pak Indra mendengkus. Tatapannya yang tertuju
Pria itu berdiri saat jarak mereka sudah dekat. Bersalaman dengan Nana dan Mbak Wiwin. Wajahnya tampak kikuk. Jelas sekali tidak nyaman berada disini.“Anda mau bertemu saya Pak?” tanya Nana tanpa basa-basi.“Eh iya. Kebetulan saya baru pulang dari luar kota. Ada yang mau saya berikan untukmu,” jawab Andra malu.Sebenanrya Nana ingin menolak. Takut jika ada tetangga yang melihat dia menerima tamu semalam ini. Namun tidak etis jika dia menyuruh Andra pulang setelah jauh-jauh datang kesini.“Oh begitu. Mari masuk dulu.” Nana segera membuka pintu. Mempersilahkan Andra masuk ke dalam.Mbak Wiwin membawa anak-anak ke kamar mandi untuk cuci tangan dan kaki. Baru menidurkan Dinda di kamar utama. Nana ke dapur. Mengambil minuman untuk tamunya. Dia menyajikan segelas teh hangat dan setoples kue nastar.Pak Andra menikmati teh hangatnya dalam diam. Melirik Nana yang sibuk dengan ponselnya. Ia meletakan dua paper bag besar di meja. Mendorongnya ke arah Nana.“Ini hadiah untukmu dan anak-anak. Se
Roni kembali ke dalam sel. Setelah telepon Nana ditutup tanpa pamit. Dia bersandar ke dinding. Tidak tertarik ikut kegiatan olahraga diluar. Tubuhnya menggigil ketakutan. Jika Nana terkena sifilis maka kemungkinan besar Roni adalah pembawanya. Berarti sekarang dia juga terkena penyakit itu.“Siapa yang menularkannya padaku? Arni atau wanita lain?” Roni mengigit kuku jarinya bingung.Dia tidak bisa menebak siapa yang memberi penyakit itu padanya. Semua wanita yang pernah ia tiduri setelah Nana memberinya kesempatan kedua hanya empat orang. Arni dan tiga teman kerjanya yang dulu pernah saling menggoda.Jarum jam terus bergerak hingga tanpa terasa langit berubah malam. Jam sepuluh hampir semua tahanan sudah tidur. Hanya Roni yang terjaga. Dia duduk bersandar setelah pergi ke kamar mandi. Memeriksa miliknya sendiri. Tidak ada yang aneh. Jika Roni punya hp sekarang ia ingin mencari tanda-tanda gejala itu.“Siapa tahu Nana juga selingkuh dengan pria lain sehingga dia terkena penyakit itu.”