Wajah Roni memucat. Begitu juga dengan Arni yang langsung menunduk. Tidak berani menatap Nana yang tengah mengamati ekspresi mereka. Saat Roni menatapnya, Nana pura-pura terkejut. Wanita itu batuk sampai menyemburkan sedikit air yang diminumnya.
“Kok Maher bilang gitu sama Ayah?” tanya Nana pura-pura heran.
“Soalnya.”
“Maher salah paham saat melihatku dan Arni Dek. Posisi kami seperti berciuman padahal aku hanya membantu Arni memasang sabuk pengaman.” Roni buru-buru bicara.
“Nggak kok,” bantah Maher kesal.
“Sudah sayang. Nanti Maher ceritakan setelah pulang sekolah. Mama akan dengarkan,” kata Nana menengahi. Tidak sanggup menahan tawanya melihat wajah Arni kian pucat. Nana takut adik tirinya akan pingsan sekarang.
“Dek,” seru Roni memelas.
“Tenang saja Mas. Aku percaya padamu. Namanya juga anak kecil. Maher hanya butuh didengar. Nanti aku yang luruskan setelah dia cerita.” Nana mengusap bahu sang suami mesra. Mengambil tisu lalu mengusap dahi Roni yang berkeringat dingin.
Ia melirik Arni yang memandang mereka tajam. Saat pandangan mereka bertemu, Arni menunduk. Tidak berani menantang balik Nana.
“Terima kasih karena selalu percaya padaku Dek.” Roni memegang tangan Nana lalu mengecupnya mesra.
Rasanya sama seperti tadi malam. Sangat menjijikan. Nana berusaha menahan ekspresinya.
“Ya sudah kita lanjut sarapan. Nanti kalian terlambat.”
Sarapan pagi itu hanya diisi dengan celoteh anak-anak. Roni menanggapi dengan gaya lucunya. Tidak terpengaruh dengan kejadian sebelumnya dimana Maher hampir membongkar rahasia mereka. Usai sarapan, Nana membereskan meja makan. Membiarkan Roni menggendong Dinda.
“Oh ya Ar. Lebih baik mulai sekarang kamu naik motor punya Papa saja. Nanti biar aku yang antar.” Nana mengambil Dinda dari gendongan suaminya.
“Kenapa Mbak? Kan lebih cepat kalau Mas Roni yang mengantarku.” Arni keberatan.
“Iya Dek. Aneh banget kamu minta Arni berangkat sendiri.” Roni bangkit.
“Biar Maher nggak salah paham. Aku nggak mau Maher menganggap kalian berhianat di belakangku. Yah walaupun Maher belum paham dengan bahasa itu. Kalian setujukan?” tanya Nana santai.
“Oke aku setuju. Apapun akan aku lakukan agar kamu tidak salah paham.” Roni mengecup keningnya mesra.
Lagi-lagi Nana menatap Arni yang mengalihkan pandangannya. Inilah yang ia mau. Bermesraan di depan adik madunya agar Arni cemburu. Mereka keluar dari ruang makan. Arni masuk ke kamarnya dan menutup pintu hingga berdebum keras. Roni terlihat khawatir menatap pintu kamar istri mudanya. Namun begitu menatap Nana, ekspresinya berubah.
“Kamu masih punya waktu sebentar Mas?” tanya Nana lembut.
Roni melihat jam tangan yang melingkar di pergelangan tangan kanannya. Jam tangan hadiah dari Nana dengan ukiran nama mereka.
“Iya. Aku masih punya waktu. Kamukan yang selalu menyuruhku berangkat pagi agar tidak terburu-buru.” Roni mencubit hidung istrinya gemas. Nana hanya tersenyum. Mereka duduk di sofa.
“Sebentar lagi ulang tahun Mama. Kamu ingatkan?”
“Tentu saja aku ingat. Memangnya kenapa?” tanya Roni heran.
“Aku mau beli satu set perhiasan untuk Mama. Harganya tiga puluh juta.” Nana menunjukkan set perhiasan yang dimaksud.
Mata Roni membulat. Wajahnya gugup. Sepertinya dia bisa menebak apa yang diinginkan istrinya.
“Terus?”
“Tapi uangku bulan ini tinggal lima juta Mas. Aku mau minta tunjangan dan bonusmu agar kita bisa membeli hadiah untuk Mama. Coba lihat hpmu. Aku mau melihat saldo tabunganmu sekarang.” Nana menadahkan tangannya.
Roni terdiam. Bingung harus menjawab apa. Saldo tabungannya memang masih utuh bulan ini, tapi pria itu punya rencana lain untuk Arni. Dia bangkit. Berpikir cepat untuk mengarang alasan.
“Aku lupa kalau hari ini ada rapat Dek. Kita bicarakan nanti ya.” Pria itu mengambil tas kerja. Hendak mengambil tas Maher.
“Kalau begitu beri aku akses memeriksa mobile banking. Nanti aku buka sendiri di hpku.” Nana berdiri. Mengeluarkan hpnya lalu membuka aplikasi mobile banking.
“Nanti saja Dek.”
“Sekarang Mas. Aku harus membeli perhiasan Mama hari ini agar besok bisa diberi kertas kado. Lusakan ulang tahun Mama.” Nana mengulurkan hpnya.
Roni mengusap wajah pias. Dia terpaksa menuruti keinginan sang istri. Arni keluar dari kamar. Menatap mereka dengan pandangan yang sulit dibaca. Adik madu Nana itu duduk di sofa tunggal.
“Sudah. Kalau ada pertanyaan, simpan saat aku pulang nanti. Jangan berprasangka buruk. Oke?”
“Iya. Aku tidak pernah curiga padamu Mas.” Nana menyalami tangan suaminya.
Kemudian Maher menyalami tangannya. Ia mengantar suami dan si sulung ke garasi. Membuka pagar agar mobil Roni bisa keluar. Bersama Dinda yang masih berceloteh, mereka melambaikan tangan begitu mobil Roni keluar.
Senyum Nana pudar. Sudut bibirnya terangkat. Memandang sinis kepergian sang suami. Mbak Wiwin pulang saat Nana hendak menutup gerbang.
“Nanti aku titip Dinda ya Mbak. Aku mau mengantar Arni ke rumah kontrakan Papa lalu pergi ke toko emas.”
“Iya Mbak.”
Nana dan Mbak Wiwin masuk ke dalam. Mbak Wiwin berlalu ke dapur. Hendak menata barang belanjaan. Nana meletakan Dinda di karpet. Membiarkan bayinya bermain sendiri lalu duduk disamping Arni.
“Kamu belum janjian bertemu dengan dosen pengampu skripsikan Ar?” Nana meraih remote TV. Memilih chanel kartun yang aman untuk Dinda.
“Belum Mbak. Hari ini mau revisi dulu di perpustakaan,” jawab Arni santai. Ia tidak mau membuat kontak mata dengan kakak tirinya.
“Baguslah. Jadi aku bisa mengantarmu lebih siang sampai Mbak Wiwin selesai bekerja dan bisa menjaga Dinda.” Nana bersandar. Mengamati perut Arni yang tertutup dengan cardingan berwarna biru muda.
Baru ia sadari kalau pipi Arni lebih berisi. Sejak tinggal di rumah ini, Arni juga memakai pakaian panjang. Kaos longgar dan celana semata kaki. Dulu Nana mengira karena Arni bersikap sopan di rumah ini agar tidak memancing fitnah antara dirinya dan Roni. Namun baru Nana sadari sekarang kalau itu mungkin cara Arni untuk menutupi kehamilannya.
“Kamu lebih gemuk ya Ar. Padahal makanmu sedikit.” Pancing Nana.
Tubuh Arni menegang. Tangannya perlahan menurukan ponsel lalu memasukannya dalam tas.
“Hanya perasaan Mbak Nana saja. Mungkin aku lebih gendut karena sedang fokus membuat skrisi.” Arni bangkit. Menggendong tas kuliahnya.
“Aku tunggu di kamar ya Mbak. Mau istirahat dulu sebelum nanti sibuk di perpustakaan.” Tanpa menunggu jawaban Nana, Arni melangkah masuk ke kamarnya.
Begitu pintu tertutup, ekspresi Nana berubah. Ia menyilangkan tangan di depan dada. Menatap tajam pintu kamar Arni.
“Dasar pengecut. Ternyata dia tidak berani berhadapan langsung denganku.”
***
Nana hanya mengantar Arni ke rumah kontrakan orang tua mereka yang berada di komplek sebelah. Wanita itu melajukan mobilnya menuju toko emas terbesar di kota ini. Dia memarkirkan mobil. Nana tidak langsung turun. Ia mengambil hp. Membuka mobile banking untuk melihat saldo tabungan Roni.
“Hanya ada lima belas juta?” Nana menggeleng tidak percaya.
Ia hanya melihat satu set perhiasan Arni di rumahnya yang senilai tiga puluh juta. Kemana tunjangan dan bonus Roni selama ini? Jika suaminya berkelit untuk pengobatan papa tirinya, Nana tahu kalau biayanya tidak sampai puluhan juta. Sekarang papa tirinya kontrol dengan BPJS. Jika menebus obat yang bagus mungkin hanya dua sampai tiga juta.
“Apa Arni punya harta lain yang disembunyikan?” Nana menghela nafas. Ia menggeleng. Berusaha mengenyahkan pemikiran itu sekarang.
“Tidak masalah. Yang penting bonus bulan ini bisa aku kuasai. Toh besok Mas Roni gajian. Aku akan mentransfer bonusnya ke rekeningku.” Nana mengirim sisa tabungan ke rekeningnya lalu turun dari mobil.
Dia memilih gelang dan cincin senilai sepuluh juta untuk ibu mertuanya lalu masuk ke mobil. Sayangnya di perjalanan pulang, ban mobilnya tiba-tiba kempes. Nana berhenti di depan salah satu apartemen. Dia turun dari mobil. Ternyata ada paku yang tercecer di sepanjang jalan. Tidak hanya Nana, beberapa kendaraan lain juga terpaksa menepi karena ban yang kempes.
“Terus bagaimana denganku Mas? Aku juga mau beli perhiasan.”
Suara yang familiar itu membuat Nana menoleh. Ia melihat mobil Roni hendak memasuki wilayah apartemen itu.
“Apa yang mereka lakukan di sini?”
Tubuh Arni seketika tegak membaca pesan itu. Dia menggigit jarinya panik. Satu hal yang Arni sadari sekarang kalau dia tidak bisa memanfaatkan konglomerat itu lagi. Denting pintu lift yang terbuka di lobby menyandarkan Arni dari pikirannya. Wanita itu segera keluar dari lift. Berjalan melewati beberapa polisi yang berjaga di pintu depan. Seperti yang Mita katakan tadi.“Aku harus segera memesan taksi online,” gumam Arni begitu ia sudah tiba di teras.Setelah mendapat taksi online pesanannya, Arni juga memesan jasa pindahan sekarang juga. Itu adalah rumah Danu. Sudah pasti akan diperiksa. Arni tidak ingin terlibat dulu dengan Danu yang bisa membuatnya ikut terseret dalam masalah ini.Arni masih sibuk dengan ponselnya. Kali ini dia memesan hotel yang akan di tempati selama tiga hari ke depan kemudian mencari rumah kontrakan yang bisa dihuni secepatnya. Dia menyimpan beberapa alamat sekaligus.Suara klakson mobil yang berbunyi membuat Arni memasukan ponselnya. Dia segera masuk ke mobil.
Arni melangkahkan kakinya dengan percaya diri masuk ke perusahaan. Derap langkahnya cepat. Menyusuri lorong menuju lift lalu segera masuk tepat setelah pintu lift terbuka. Hanya ada dua orang karyawan yang masuk bersamanya. Salah satu dari mereka menekan nomor lantai yang ditempati divisi marketing. Sedangkan Arni menekan nomor lantai ruang manajer yang berada tepat di bawah nomor lantai yang ditempati CEO.Dua karyawan di belakang Arni berbincang santai tentang pekerjaan. Sedangkan Arni mengetuk kaki kirinya berulang kali. Tidak sabar ingin segera sampai di ruangan Danu. Ia menaikan tas ke bahunya. Selain ponsel dan dompet, Arni juga memasukan surat dan foto-foto yang dikirim Nana.“Eh kamu tahu nggak kalau gossip Pak Danu selingkuh,” kata salah satu karyawan yang terdengar nyaring dan cempreng.“Iya. Padahal Pak Danu terdengar sangat setia. Ternyata dia bisa selingkuh juga, tapi kabar kalau petinggi perusahaan selingkuh itu sudah biasa di kalangan pekerja seperti kita. Aku justru me
“Kamu serius?” tanya Nana tidak percaya. Menatap Andra dengan getar ketakutan yang terasa kuat sekali.“Iya,” jawab Andra sambil mengangguk.“Apa para preman itu sudah tahu kalau Sania membantuku?” Nana meremas tangannya khawatir. Dia tahu ada sepuluh pengawal dan dua satpam dalam rumah Sania. Namun tetap saja Nana tidak bisa menyingkirkan rasa khawatirnya.‘Bagaimana jika mereka membawa senjata tajam atau senjata api?’ Batin Nana bergejolak.“Alasannya bukan karena kamu Na,” balas Andra tenang. Pria itu memberikan segelas air mineral yang selalu tersaji di meja ruang tamu pada Nana.Nana menerimanya. Meminum air mineral hingga tandas. Menurunkan rasa gugupnya yang mulai menguar.“Hah? Aku tidak mengerti? Bukannya kalau para preman itu mengepung rumah Sania, itu karena Sania membantuku ya?” tanya Nana heran.“Sepertinya para preman itu belum tahu keterlibatan Sania karena tidak menemukan bukti apapun saat kau menyusup masuk ke rumah sahabatmu lewat jalan belakang. Alasan rumah Sania d
Andra duduk di ruang tamu minimalis rumah kontrakan itu. Bu Ningsih duduk di sampingnya dengan mata berbinar. Memandang Andra kagum. Sebagai orang yang dulu pernah menjalankan perusahaan bersama mantan suaminya, Bu Ningsih tentu tahu siapa sosok Andra yang kini datang untuk menemui anak bungsunya.Seorang pengusaha muda yang menduduki jabatan CEO. Bu Ningsih sudah mendengar kabar kalau Andra fokus menjalankan perusahaan yang ada di Yogyakarta. Untuk sementara waktu perusahaan di Jakarta dipegang oleh adiknya.Wanita paruh baya itu tahu kalau dulu Roni bekerja di perusahaan Andra. Kemudian Roni terjerat kasus korupsi saat Nana mengajukan gugatan cerai. Itu juga terjadi karena Andra yang melaporkan Roni dan beberapa karyawan lain atas dugaan kasus korupsi.Entah bagaimana prosesnya hingga Andra bisa mengenal Nana. Namun Bu Ningsih sangat senang andai bisa menjodohkan mereka. Ia akan punya menantu kedua CEO dan menantu pertama dokter spesialis. Betapa beruntungnya hidup Bu Ningsih. Semua
“Hah. Kenapa aku harus menemui Mas Roni lagi? Bukankah sudah jelas kalau aku tidak ingin bertemu dengannya jika bukan karena urusan anak-anak?” tanya Nana kesal.Di depannya duduk Bu Ningsih yang sedang memangku Dinda. Menonton TV bersama anak-anak di rumah kontrakan Bu Ningsih yang minimalis. Dindingnya bercat abu-abu. Ada gerobak untuk warung kecil Bu Ningsih dihalaman depan. Selama ini gerobak itu mampu membuat Bu Ningsih memiliki uang jajan sendiri selain uang kiriman dari anak-anaknya.Walaupun bentuk rumah ini minimalis dengan ruang tamu dan dua kamar tidur serta dapur dan kamar mandi kecil di bagian belakang, tapi semua perabotan yang ada dalam rumah ini tergolong cukup mahal. Suami Tari, Deni, memberikan banyak barang bagus untuk mertuanya. Hubungan mereka juga sudah membaik sejak Bu Ningsih berpisah dari Pak Indra.Setelah berhasil menangkap beberapa preman yang mengintai kemudian menerobos rumahnya, detektif memastikan jika sisa pelaku aman dalam pengawasan mereka. Detektif
Suasana pagi di rumah Arni masih temaram karena belum ada orang yang bangun. Pak Indra dan Arni masih terlelap di kamar mereka masing-masing. Walaupun jarum jam sudah menunjukkan pukul delapan malam. Pak Indra yang semalam begadang untuk menonton pertandingan sepak bola. Sedangkan Arni yang baru pulang jam enam pagi setelah melayani klien yang sudah lama tidak ia temui.Klien itu adalah klien pertama setelah kontraknya selama sebulan dengan Pak Lucky selesai. Pak Lucky tidak masalah dengan Arni yang berhubungan dengan pria lain. Terutama karena klien kedua Arni punya jabatan dam kedudukan yang lebih tinggi. Setelah itu, Arni hanya mendapat pelanggan receh. Susah sekali mencari klien yang berasal dari kalangan konglomerat.“Permisi. Apakah ada orang di dalam?” Seorang pria yang memakai jaket hitam mengetuk rumah Arni tiga kali. Memanggil pemilik rumah yang masih terlelap.“Tolong buka pintunya.” Pria itu bicara lagi. Terus mengetuk pintu dengan jeda tertentu.Di kamarnya, Arni menggeli