Share

BAB 4| Berpacaran dengan Pangeran Fakultas?

Aku duduk di kursiku dan tak kusangka Naka ikut duduk di sampingku. Pemuda ini berkata tepat di telingaku, “Gimana kalo kita bener-bener pacaran?”

Aku menggeleng sambil tertawa pelan, “Apa sih! Kita aja nggak kenal, tau!”

Naka tertawa mendengar ucapanku. Ia kembali mendekati telingaku dan membisikkan sesuatu di sana, “Tapi, aku kenal kamu udah lama, Alice.”

Aku menatap wajahnya yang masih menampilkan senyuman. “Kamu kenal aku? Gimana bisa?” tanyaku heran.

Naka hendak menjawab, namun Dosen sudah tiba di kelas. Tetap saja Naka tak memperdulikan pembicaraan Dosen di depan. Naka hanya memandangiku saja dan berkata pelan, “Kamu gadis tercantik di Fakultas. Siapa yang nggak kenal kamu, Alice?”

Aku tertawa mendengar godaan dari Naka. “Astaga, masih banyak yang lebih cantik dari aku, Naka.”

Naka menjawab lagi, tak lupa senyuman menggodanya ia tampilkan di bibirnya, “Tapi, kamu yang paling cantik, Alice.”

Aku kembali tertawa mendengar ucapan dari mulut Naka. Aku mencoba fokus pada pembicaraan Dosen di depan sana, namun lagi-lagi Naka berbicara, “Mau minum kopi setelah kelas selesai, Alice?”

Aku menatapnya dan mulai menimbang-nimbang ajakannya. “Sebagai kompensasi karena udah ngelempar kaleng kosong tadi pagi.” Lanjut Naka. Aku mengangguk pelan.

“Boleh,” ucapku pelan. Entah mengapa, bibirku selalu tersenyum jika berbicara dengan Naka seolah melupakan perasaan dongkol tadi pagi.

“Kalau begitu, ayo, Alice!” Naka menarik pelan lenganku. Aku menatapnya dengan raut kebingungan.

“Sekarang, Naka? Tapi, Pak Dosen ....”

“Dosen udah keluar dari tadi, Alice. Kamu dari tadi ngelamun, sih!” aku baru menyadari jika kelas mulai kosong. Aku berdiri dan mulai mengikuti langkah kaki Naka yang berjalan dengan pelan.

Di sepanjang koridor, ada banyak gadis yang menyapa Naka dan dijawab oleh pemuda itu dengan kedipan mata gedit. Tiba-tiba saja, aku tak menyukai itu. Aku sedikit tak menyukai saat Naka lebih terfokus pada gadis lain dan tak mengajakku berbicara di sepanjang jalan.

Aku menghentikan langkahku dan melepaskan cekalan tangan Naka di lenganku dengan pelan. Aku berkata sambil memandang wajahnya, “Aku nggak bisa, Naka, maaf. Aku harus ngelanjutin tugas yang mau aku kumpulin siang ini. Permisi.”

Aku meninggalkannya tanpa mendengarkan perkataannya terlebih dahulu. Tiba-tiba saja suasana hatiku menjadi tak bagus. Sejujurnya, aku pun tak tahu apa yang terjadi padaku. Apa karena Naka yang tak mengajakku berbicara di sepanjang jalan? Atau karena beberapa gadis yang mengenalnya lebih dulu dari pada aku?

Perasaan ini membuatku pusing. Aku bahkan kembali membiarkan beberapa jurnal yang ada di hadapanku saat ini. Memikirkan tentang Naka tiba-tiba saja membuatku tak berselera melanjutkan tugas.

Tiba-tiba Diva duduk di hadapanku. Aku memandangnya dengan raut wajah kusut. Diva berkata sambil tertawa, “Kamu mikirin Naka, ya? Denger Alice, Naka itu cowok populer di Fakultas.”

Aku menjawabnya dengan nada malas, “Kenapa kamu bahas dia sih, Diva? Ini nggak ada sangkut pautnya sama dia!” ucapku tersunggut-sunggut.

Diva tertawa dan menatapku tak percaya, “Maaf ya, Alice untuk tadi pagi. Sebenarnya, Naka tuh udah lama mau dekat sama kamu. Diam-diam dia minta tolong sama aku buat ngajak kamu main bareng dia. Eh, setiap aku ajak main, kamu pasti ada aja alasan nggak ikut. Mau ngerjain tugaslah, mau konsultasi sama Pak Deanlah, mau tidurlah, banyak banget alasan kamu tau nggak!” gerutu Diva. Aku menjadi tak enak hati padanya. Aku menunduk dan meminta maaf.

“Maaf, Diva aku nyebelin banget, ya?”

“Iyalah! Kamu nyebelin banget sampai nggak ada waktu buat kumpul-kumpul bareng kita! Kamu bahkan nggak kenal sama cowok sepopuler Naka di Fakultas!” aku mengangguk pelan dan berkata kembali, “Maaf, Diva,”

“Ck! Pokoknya nanti malem kamu ikut kita main! Nanti aku ajak Naka, deh!” aku menggelengkan kepalaku tak setuju atas ucapan diva.

“Nggak deh, Diva. Aku ….”

“Tuh, ‘kan! Mulut kamu itu selalu ngeluarin alasan buat nolak ngumpul bareng kita! Denger ya Alice yang paling cantik, sekali-kali, kamu harus cari pacar dan kumpul bareng temen-temen, nggak di rumah mulu atau organisasi terus sama Pak Dean. Jangan-jangan kamu selingkuhan Pak Dean, ya?” aku membolakan mataku mendengar ucapan terakhirnya.

Suasana hatiku kembali memburuk. Dean adalah dosen sekaligus pembimbing di organisasi yang kuikuti. Aku memang terkenal selalu bersama Dean entah di Kampus atau di luar kampus dengan alasan organisasi. Padahal, tidak sepenuhnya urusan kampus atau organisasi.

Namun, itu sudah berakhir. Aku dan Dean sudah tidak ada hubungan apapun. Aku sudah memutuskannya semalam, dan juga akan keluar dari organisasi bimbingan Dean.

“Aku nggak gitu, Diva.” Ucapku sambil menunduk.

“Ck! Becanda, Alice. Pokoknya kamu ikut, ya! Nanti hubungin aku kalo kamu setuju buat gabung, okay? Jangan sia-siain Naka yang suka sama kamu, dia cowok baik walaupun genit sama banyak cewek.” Aku mengangguk saja dan membiarkan diva beranjak pergi.

“Iya-iya ….” Ucapku pelan.

Diva sudah menghilang dari pandanganku. Aku merebahkan kepalaku di atas meja perpustakaan. Suasana perpustakaan sedang sepi, tak banyak orang yang sedang duduk atau membaca buku di sini.

Aku membuka ponselku, tak ada pesan singkat yang masuk. Diva benar, sejak pertama aku menjadi mahasiswa, aku tak pernah sekali pun bergabung bersama teman-teman. Aku selalu sibuk sendiri dan menjadi kekasih gelapnya Dean dengan alibi aktif organisasi.

Namun, itu dulu. Sekarang aku tak lagi terikat dengan Dean. Aku sudah bebas seperti kali pertama aku menginjakkan kaki di Kota ini. Kota yang jauh dari keluargaku.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status