Aku duduk di kursiku dan tak kusangka Naka ikut duduk di sampingku. Pemuda ini berkata tepat di telingaku, “Gimana kalo kita bener-bener pacaran?”
Aku menggeleng sambil tertawa pelan, “Apa sih! Kita aja nggak kenal, tau!”
Naka tertawa mendengar ucapanku. Ia kembali mendekati telingaku dan membisikkan sesuatu di sana, “Tapi, aku kenal kamu udah lama, Alice.”
Aku menatap wajahnya yang masih menampilkan senyuman. “Kamu kenal aku? Gimana bisa?” tanyaku heran.
Naka hendak menjawab, namun Dosen sudah tiba di kelas. Tetap saja Naka tak memperdulikan pembicaraan Dosen di depan. Naka hanya memandangiku saja dan berkata pelan, “Kamu gadis tercantik di Fakultas. Siapa yang nggak kenal kamu, Alice?”
Aku tertawa mendengar godaan dari Naka. “Astaga, masih banyak yang lebih cantik dari aku, Naka.”
Naka menjawab lagi, tak lupa senyuman menggodanya ia tampilkan di bibirnya, “Tapi, kamu yang paling cantik, Alice.”
Aku kembali tertawa mendengar ucapan dari mulut Naka. Aku mencoba fokus pada pembicaraan Dosen di depan sana, namun lagi-lagi Naka berbicara, “Mau minum kopi setelah kelas selesai, Alice?”
Aku menatapnya dan mulai menimbang-nimbang ajakannya. “Sebagai kompensasi karena udah ngelempar kaleng kosong tadi pagi.” Lanjut Naka. Aku mengangguk pelan.
“Boleh,” ucapku pelan. Entah mengapa, bibirku selalu tersenyum jika berbicara dengan Naka seolah melupakan perasaan dongkol tadi pagi.
“Kalau begitu, ayo, Alice!” Naka menarik pelan lenganku. Aku menatapnya dengan raut kebingungan.
“Sekarang, Naka? Tapi, Pak Dosen ....”
“Dosen udah keluar dari tadi, Alice. Kamu dari tadi ngelamun, sih!” aku baru menyadari jika kelas mulai kosong. Aku berdiri dan mulai mengikuti langkah kaki Naka yang berjalan dengan pelan.
Di sepanjang koridor, ada banyak gadis yang menyapa Naka dan dijawab oleh pemuda itu dengan kedipan mata gedit. Tiba-tiba saja, aku tak menyukai itu. Aku sedikit tak menyukai saat Naka lebih terfokus pada gadis lain dan tak mengajakku berbicara di sepanjang jalan.
Aku menghentikan langkahku dan melepaskan cekalan tangan Naka di lenganku dengan pelan. Aku berkata sambil memandang wajahnya, “Aku nggak bisa, Naka, maaf. Aku harus ngelanjutin tugas yang mau aku kumpulin siang ini. Permisi.”
Aku meninggalkannya tanpa mendengarkan perkataannya terlebih dahulu. Tiba-tiba saja suasana hatiku menjadi tak bagus. Sejujurnya, aku pun tak tahu apa yang terjadi padaku. Apa karena Naka yang tak mengajakku berbicara di sepanjang jalan? Atau karena beberapa gadis yang mengenalnya lebih dulu dari pada aku?
Perasaan ini membuatku pusing. Aku bahkan kembali membiarkan beberapa jurnal yang ada di hadapanku saat ini. Memikirkan tentang Naka tiba-tiba saja membuatku tak berselera melanjutkan tugas.
Tiba-tiba Diva duduk di hadapanku. Aku memandangnya dengan raut wajah kusut. Diva berkata sambil tertawa, “Kamu mikirin Naka, ya? Denger Alice, Naka itu cowok populer di Fakultas.”
Aku menjawabnya dengan nada malas, “Kenapa kamu bahas dia sih, Diva? Ini nggak ada sangkut pautnya sama dia!” ucapku tersunggut-sunggut.
Diva tertawa dan menatapku tak percaya, “Maaf ya, Alice untuk tadi pagi. Sebenarnya, Naka tuh udah lama mau dekat sama kamu. Diam-diam dia minta tolong sama aku buat ngajak kamu main bareng dia. Eh, setiap aku ajak main, kamu pasti ada aja alasan nggak ikut. Mau ngerjain tugaslah, mau konsultasi sama Pak Deanlah, mau tidurlah, banyak banget alasan kamu tau nggak!” gerutu Diva. Aku menjadi tak enak hati padanya. Aku menunduk dan meminta maaf.
“Maaf, Diva aku nyebelin banget, ya?”
“Iyalah! Kamu nyebelin banget sampai nggak ada waktu buat kumpul-kumpul bareng kita! Kamu bahkan nggak kenal sama cowok sepopuler Naka di Fakultas!” aku mengangguk pelan dan berkata kembali, “Maaf, Diva,”
“Ck! Pokoknya nanti malem kamu ikut kita main! Nanti aku ajak Naka, deh!” aku menggelengkan kepalaku tak setuju atas ucapan diva.
“Nggak deh, Diva. Aku ….”
“Tuh, ‘kan! Mulut kamu itu selalu ngeluarin alasan buat nolak ngumpul bareng kita! Denger ya Alice yang paling cantik, sekali-kali, kamu harus cari pacar dan kumpul bareng temen-temen, nggak di rumah mulu atau organisasi terus sama Pak Dean. Jangan-jangan kamu selingkuhan Pak Dean, ya?” aku membolakan mataku mendengar ucapan terakhirnya.
Suasana hatiku kembali memburuk. Dean adalah dosen sekaligus pembimbing di organisasi yang kuikuti. Aku memang terkenal selalu bersama Dean entah di Kampus atau di luar kampus dengan alasan organisasi. Padahal, tidak sepenuhnya urusan kampus atau organisasi.
Namun, itu sudah berakhir. Aku dan Dean sudah tidak ada hubungan apapun. Aku sudah memutuskannya semalam, dan juga akan keluar dari organisasi bimbingan Dean.
“Aku nggak gitu, Diva.” Ucapku sambil menunduk.
“Ck! Becanda, Alice. Pokoknya kamu ikut, ya! Nanti hubungin aku kalo kamu setuju buat gabung, okay? Jangan sia-siain Naka yang suka sama kamu, dia cowok baik walaupun genit sama banyak cewek.” Aku mengangguk saja dan membiarkan diva beranjak pergi.
“Iya-iya ….” Ucapku pelan.
Diva sudah menghilang dari pandanganku. Aku merebahkan kepalaku di atas meja perpustakaan. Suasana perpustakaan sedang sepi, tak banyak orang yang sedang duduk atau membaca buku di sini.
Aku membuka ponselku, tak ada pesan singkat yang masuk. Diva benar, sejak pertama aku menjadi mahasiswa, aku tak pernah sekali pun bergabung bersama teman-teman. Aku selalu sibuk sendiri dan menjadi kekasih gelapnya Dean dengan alibi aktif organisasi.
Namun, itu dulu. Sekarang aku tak lagi terikat dengan Dean. Aku sudah bebas seperti kali pertama aku menginjakkan kaki di Kota ini. Kota yang jauh dari keluargaku.
MATAKU berkaca-kaca ketika berdiri tepat di depan makam diva. Aku memejamkan kedua mataku dengan tangan yang bergetar.“Alice ….” Suara lirih itu terdengar membuatku mendongak menatap Naka.Aku mengusahakan diri untuk tersenyum tipis. “Aku tidak apa, Naka.” ujarku pelan.Naka mengangguk tipis, ia jongkok di depan makam dengan kedua tangannya menaruh bunga yang sudah ia persiapkan sebelumnya.“Diva, kunjungan kali ini … aku datang bersama Alice. Bukankah kamu merindukan temanmu, hm?” Naka terkekeh setelah mengatakan itu.“Sudah lama, ya … Gavin sekarang sudah bisa memukul keningku. Putramu itu sepertinya memiliki dendam pribadi, setiap bertemu pasti tangannya menuju keningku.” Naka menggerutu sambil tertawa.Aku meliriknya, sikap Naka sekarang terlihat jelas jika ia sedang sedih. Aku jongkok tepat di sampingnya. “Maaf … seharusnya aku menemuimu sejak dulu. Sekarang … kita tidak bisa mengobrol seperti dulu lagi.”Aku membasahi bibir bawahku, tanganku memainkan bunga baru yang tersebar d
Aku tertegun mendengarkan perkataannya. Jadi aku memberanikan diri untuk menatap kedua bola matanya dalam-dalam. “Apa maksudmu?”Naka terkekeh singkat. “Aku membayangkan jika kita bisa bersama seperti dulu.”“Berhentilah berkhayal, itu tidak akan pernah terjadi.” Ujarku ketus.“Bagaimana jika itu bisa terjadi?” suara bisikan Naka terasa hangat menyapu bagian leherku. Ia mulai mengecupi disepanjang leherku. Sedang mataku terpejam dengan kedua tangan terkepal kuat-kuat.“Alice, kamu bahkan tidak menolakku.” Ucapnya setelah lima menit berlalu.Aku langsung mendorongnya menjauh. “Menjauh dariku!” ujarku dingin, aku menunduk menyembunyikan wajahku yang terasa memanas.“Jangan seperti ini lagi, aku tidak menyukainya!”Setelah mengatakan itu, aku membalikkan badanku segera. Lenganku dicekal cukup kuat, tubuhku ditarik untuk lebih dekat dengannya. Ia langsung saja menyatukan bibir, tanganku bergetar dengan kepalan yang kuat.Aku ingin sekali mendorong tubuhnya, tetapi tanganku tak bisa digera
Setelah Naka mengatakan ada tempat yang harus kukunjungi, rasa penasaranku meningkat. Jadi, aku menyetujuinya.Naka membawaku menuju sebuah kamar yang letaknya sedikit di belakang, dekat dengan gudang. Melihatnya, aku sedikit bingung dan was-was apa yang akan Naka lakukan.Begitu pintu terbuka, suasana ruangan yang Naka tunjukkan padaku terasa begitu familiar. Aku mengamatinya dengan pandangan yang berbinar.“Kamar ini ….” Ucapku dengan suara tertahan, aku cukup kagum dengan nuansa kamar ini. Pasalnya, beberapa barang di kamar ini terasa manis bila dilihat.“Alice, apakah kamu merasakan sesuatu?” tanya Naka pelan.Aku mengangguk semangat. “Kamarnya terasa hangat, siapa pemilik kamar ini?”Naka berjalan mendekatiku, ia memegang pergelangan tanganku lalu menuntunku untuk mendatangi sebuah lemari kaca yang di dalamnya dipenuhi oleh boneka. Aku sangat mengenali boneka itu, jadi aku menatapnya dan berkata. “Boneka ini, bukankah ini adalah milikku?”Aku membuka lemari kaca lalu memeriksanya
Seperti ucapannya, Naka benar-benar tidak mengizinkanku untuk pergi dari rumahnya. Pada akhirnya, aku bermalam di rumahnya dengan perasaan setengah kesal.“Aku mengerti, aku akan bermalam di rumahmu.” Ucapku dengan penuh kekesalan.Setelah aku mengatakan itu, Naka tertawa bahagia. Ia mendekatkan tubuhnya ke arahku lalu berbisik tepat di telinga. “Kamu sendiri yang mengatakannya, jadi jangan menyesal.”Ia mengedipkan matanya dengan genit, aku bergidik ngeri melihatnya. “Aku tidak mau tidur sekamar denganmu!”“Eh, aku tidak mengatakan itu. Tapi jika kamu menginginkan untuk tidur bersamaku, yah aku tidak akan menolaknya, Alice.” Ia berkata sambil tertawa mengejek.“Apa-apaan, aku tahu isi kepalamu. Sudahlah, lebih baik aku pulang sekarang.” Ucapku dengan kesal.Naka menghentikan langkahku, ia berjalan semakin mendekatiku. “Aku hanya menggodamu. Baiklah, kamu tidurlah di kamarku, aku akan tidur di kamar lain. Di rumahku ada banyak kamar kosong, jadi tidak perlu menginap di tempat lain.” I
Aku datang menemui Javin. Dia sudah memutuskan untuk tinggal sendiri di apartemennya. Aku membawakan makanan kesukaannya dan menunggunya hingga waktunya pulang bekerja.Melihat suasana apartemennya, terasa begitu menenangkan. Sepi.Aku membaringkan tubuhku di kursi empuk, tanpa sengaja kesadaranku hilang. Aku terlelap hingga Javin datang membangunkanku.“Kenapa kakak tidak memberitahuku jika ingin datang berkunjung?” tanyanya sambil berjalan membawakan segelas air.“Aku hanya ingin menumpang beristirahat saja.” Ucapku sambil terkekeh.“Ada apa?” pertanyaan dari Javin membuatku melepaskan gelas yang kupegang.“Javin, menurutmu apakah seseorang perlu untuk menjadi jahat?” tanyaku tanpa menatap wajahnya.“Kak, setiap manusia memiliki sisi baik dan jahat. Jika sisi baik dan jahat lebih mendominasi, menurutku bisa merugikan diri sendiri atau orang lain. Tapi di sini, jika porsi baik dan jahatnya seimbang, itu lebih bagus.” Javin menatapku lurus dengan wajah dingin khasnya.“Apa yang ingin
Aku memukul lengannya kuat-kuat, kesal karena perkataannya berhasil membuat jantungku berdebar. “Apa yang kamu katakan?”“Aku hanya bercanda, kamu dari tadi tegang terus. Ada apa?” jawabnya seperti tak berdosa.“Itu karena kamu. Parfum itu menggangguku, cepat ganti baju sana!” ucapku pada akhirnya, persetan dengan rasa malu, aku benar-benar tidak bisa mengontrol isi pikiranku sekarang.“Memangnya apa yang salah dengan parfumku? Bukannya kamu paling menyukai bau parfum ini?” Naka malah mendekatkan tubuhnya ke arah tubuhku.“Coba cium, bukannya bau ini terasa menenangkan?” ia berkata sambil terkekeh pelan.Aku mendorongnya menjauhi tubuhku. “Ganti bajumu atau aku pergi?”Setelah aku mengatakan itu, ia menurut. Tangannya terangkat untuk melepas bajunya dan aku langsung terpekik kaget. “Jangan membuka bajumu di sini, aku seorang wanita, Naka!”“Alice, kamu sudah terbiasa melihat tubuhku. Ada apa denganmu?” ia tak menghiraukan ucapanku dan kembali melanjutkan kegiatannya untuk melepaskan b