Aku membuka pintu Supermarket yang jaraknya tak jauh dari tempat tinggalku. Perutku berbunyi keroncongan pagi ini, aku akan membeli beberapa makanan ringan yang bisa mengganjal isi perutku agar bisa beraktivitas dengan baik.
Setelah selesai memilah makanan ringan, segera aku berjalan menuju kasir untuk menyelesaikan proses transaksi. Aku merogoh tas yang kubawa untuk mencari dompetku, setelah menemukan aku menyerahkan kartu untuk membayar belanjaanku.
“Mohon maaf, kak kartunya tidak bisa dipakai.” Ucap seorang kasir yang melayaniku.
Aku tersenyum malu dan kembali menyerahkan kartu yang lain, namun lagi-lagi kasir kembali berbicara, “Sepertinya kartu ini juga tidak bisa dipakai, Kak.”
Jantungku mulai berdebar, aku menyerahkan kartu yang lain lagi dan jawabannya tetap sama, tidak bisa. Aku menatap belanjaanku dan memegangi perutku yang keroncongan, “Maaf, kak saya cancel, ya. Nggak ada uang tunai, hehe,”
Kasir itu pun hanya mengangguk dan tersenyum tipis. Sedangkan aku hanya tertunduk malu, aku memandangi ketiga kartu yang diberikan oleh Dean. Sepertinya, Dean mengabulkan keinginanku tadi malam dan memblokir semua fasilitas yang pernah pria itu berikan padaku.
Ah, sial, aku tak memiliki uang sepeser pun. Bagaimana aku hidup ke depannya, aku tak bisa mencari pekerjaan disaat sibuknya segala aktivitas akademis maupun non akademis.
Aku mendengus malas, perutku masih terasa lapar dan tak akan kenyang jika tak diisi. Dan tiba-tiba saja, keningku terkena lemparan kemasan kaleng kosong.
Aku menunduk dan memungut sampah kaleng minuman itu tepat di samping sepatuku. Aku menatap sekeliling untuk mencari siapa pelaku yang telah membuat keningku memerah. Namun, mataku tak menangkap adanya tanda-tanda pelaku di sekitar sini. Aku pun melemparkan kaleng kosong itu dengan kasar dan berjalan dengan cepat sambil menghentak-hentakkan kakiku.
“Tunggu, gadis yang pakai gaun motif bunga-bunga.” Aku menoleh saat seseorang memanggilku dengan menyebutkan ciri-ciri gaun yang sedang kupakai saat ini.
Aku berdiri dan menunggu seorang pemuda yang berjalan menghampiriku. Setelah tiba tepat di hadapanku, langsung saja ia berkata dengan nafas yang tak beraturan. “Sebelumnya aku minta maaf karena udah buang sampah sembarang dan kena kepala kamu. Ini kesalahan aku dan maaf untuk itu.”
Aku memutar bola mataku malas mendengar ucapan dari pemuda ini, “Lain kali buang sampah pada tempatnya. Nggak sopan lempar-lempar sampah, apalagi kaleng. Kalo kena jidat orang rasanya sakit. Ngerti?”
Ia terlihat membasahi bibirnya dan kembali menjawab pelan, “Iya, aku minta maaf. Jidat kamu merah ya kena lemparan kaleng tadi?”
Aku mengangguk sambil menunjukkan keningku yang terasa nyeri akibat terkena lemparan kaleng. Pemuda asing ini mendekati bibirnya ke keningku dan mengecupnya dengan tak tahu malu.
Aku memukul lengannya dengan kasar dan langsung berkata dengan nada tak suka, “Nggak sopan banget jadi orang! Pergi sana, belajar tata krama dulu dong!”
Aku menjauhi pemuda asing ini dan berlari dengan cepat sambil mengusap-usap keningku bekas kecupan pemuda tadi. Hatiku terasa sangat dongkol karena selalu saja mendapatkan perlakuan seperti itu.
Pelataran kampus sudah terlihat, aku menambah kecepatan lariku namun pemuda tadi melingkarkan lengannya di bahuku. Aku ingin melepaskannya, namun ia tersenyum tipis ke arahku.
Salah satu temanku yang bernama Diva memanggilku dengan suara khasnya, “Alice, kamu pacaran ya sama si Pangeran Naka?”
Aku menatap Diva tak paham. “Ngomong apa sih, Diva?”
Diva mendekatiku dan menampilkan senyum menggoda ke arahku, “Naka, Alice pura-pura nggak paham ya, hehe.”
Mataku membulat, aku menoleh dengan cepat dan menatap pemuda yang masih merangkulku. Aku melepaskan rangkulan itu dengan paksa dan meninggalkan Diva yang masih menggodaku dan pemuda tadi yang baru kuketahui bernama Naka.
Wajahku memanas saat Naka memanggil namaku membuat pusat perhatian tersorot ke arahku. Aku menyembunyikan wajah merahku akibat godaan yang dilemparkan oleh temanku. Diva benar-benar membuatku malu dan tak bisa berkutik.
“Teman-teman, ada pasangan baru nih, Alice sama Naka udah pacaran, Hehe.”
Ucapan Diva dengan suara yang cukup lantang membuat perhatian orang-orang lebih menyorot ke arahku dan Naka yang sudah berada di sampingku, entah sejak kapan. Aku berucap pelan, “Diva, aku nggak ada apa-apa sama Naka. Jangan malu-maluin deh!”
Setelah mengatakan itu, aku berlari karena sudah tak sanggup memandang wajah menggoda dari Diva. Benar-benar menyebalkan.
MATAKU berkaca-kaca ketika berdiri tepat di depan makam diva. Aku memejamkan kedua mataku dengan tangan yang bergetar.“Alice ….” Suara lirih itu terdengar membuatku mendongak menatap Naka.Aku mengusahakan diri untuk tersenyum tipis. “Aku tidak apa, Naka.” ujarku pelan.Naka mengangguk tipis, ia jongkok di depan makam dengan kedua tangannya menaruh bunga yang sudah ia persiapkan sebelumnya.“Diva, kunjungan kali ini … aku datang bersama Alice. Bukankah kamu merindukan temanmu, hm?” Naka terkekeh setelah mengatakan itu.“Sudah lama, ya … Gavin sekarang sudah bisa memukul keningku. Putramu itu sepertinya memiliki dendam pribadi, setiap bertemu pasti tangannya menuju keningku.” Naka menggerutu sambil tertawa.Aku meliriknya, sikap Naka sekarang terlihat jelas jika ia sedang sedih. Aku jongkok tepat di sampingnya. “Maaf … seharusnya aku menemuimu sejak dulu. Sekarang … kita tidak bisa mengobrol seperti dulu lagi.”Aku membasahi bibir bawahku, tanganku memainkan bunga baru yang tersebar d
Aku tertegun mendengarkan perkataannya. Jadi aku memberanikan diri untuk menatap kedua bola matanya dalam-dalam. “Apa maksudmu?”Naka terkekeh singkat. “Aku membayangkan jika kita bisa bersama seperti dulu.”“Berhentilah berkhayal, itu tidak akan pernah terjadi.” Ujarku ketus.“Bagaimana jika itu bisa terjadi?” suara bisikan Naka terasa hangat menyapu bagian leherku. Ia mulai mengecupi disepanjang leherku. Sedang mataku terpejam dengan kedua tangan terkepal kuat-kuat.“Alice, kamu bahkan tidak menolakku.” Ucapnya setelah lima menit berlalu.Aku langsung mendorongnya menjauh. “Menjauh dariku!” ujarku dingin, aku menunduk menyembunyikan wajahku yang terasa memanas.“Jangan seperti ini lagi, aku tidak menyukainya!”Setelah mengatakan itu, aku membalikkan badanku segera. Lenganku dicekal cukup kuat, tubuhku ditarik untuk lebih dekat dengannya. Ia langsung saja menyatukan bibir, tanganku bergetar dengan kepalan yang kuat.Aku ingin sekali mendorong tubuhnya, tetapi tanganku tak bisa digera
Setelah Naka mengatakan ada tempat yang harus kukunjungi, rasa penasaranku meningkat. Jadi, aku menyetujuinya.Naka membawaku menuju sebuah kamar yang letaknya sedikit di belakang, dekat dengan gudang. Melihatnya, aku sedikit bingung dan was-was apa yang akan Naka lakukan.Begitu pintu terbuka, suasana ruangan yang Naka tunjukkan padaku terasa begitu familiar. Aku mengamatinya dengan pandangan yang berbinar.“Kamar ini ….” Ucapku dengan suara tertahan, aku cukup kagum dengan nuansa kamar ini. Pasalnya, beberapa barang di kamar ini terasa manis bila dilihat.“Alice, apakah kamu merasakan sesuatu?” tanya Naka pelan.Aku mengangguk semangat. “Kamarnya terasa hangat, siapa pemilik kamar ini?”Naka berjalan mendekatiku, ia memegang pergelangan tanganku lalu menuntunku untuk mendatangi sebuah lemari kaca yang di dalamnya dipenuhi oleh boneka. Aku sangat mengenali boneka itu, jadi aku menatapnya dan berkata. “Boneka ini, bukankah ini adalah milikku?”Aku membuka lemari kaca lalu memeriksanya
Seperti ucapannya, Naka benar-benar tidak mengizinkanku untuk pergi dari rumahnya. Pada akhirnya, aku bermalam di rumahnya dengan perasaan setengah kesal.“Aku mengerti, aku akan bermalam di rumahmu.” Ucapku dengan penuh kekesalan.Setelah aku mengatakan itu, Naka tertawa bahagia. Ia mendekatkan tubuhnya ke arahku lalu berbisik tepat di telinga. “Kamu sendiri yang mengatakannya, jadi jangan menyesal.”Ia mengedipkan matanya dengan genit, aku bergidik ngeri melihatnya. “Aku tidak mau tidur sekamar denganmu!”“Eh, aku tidak mengatakan itu. Tapi jika kamu menginginkan untuk tidur bersamaku, yah aku tidak akan menolaknya, Alice.” Ia berkata sambil tertawa mengejek.“Apa-apaan, aku tahu isi kepalamu. Sudahlah, lebih baik aku pulang sekarang.” Ucapku dengan kesal.Naka menghentikan langkahku, ia berjalan semakin mendekatiku. “Aku hanya menggodamu. Baiklah, kamu tidurlah di kamarku, aku akan tidur di kamar lain. Di rumahku ada banyak kamar kosong, jadi tidak perlu menginap di tempat lain.” I
Aku datang menemui Javin. Dia sudah memutuskan untuk tinggal sendiri di apartemennya. Aku membawakan makanan kesukaannya dan menunggunya hingga waktunya pulang bekerja.Melihat suasana apartemennya, terasa begitu menenangkan. Sepi.Aku membaringkan tubuhku di kursi empuk, tanpa sengaja kesadaranku hilang. Aku terlelap hingga Javin datang membangunkanku.“Kenapa kakak tidak memberitahuku jika ingin datang berkunjung?” tanyanya sambil berjalan membawakan segelas air.“Aku hanya ingin menumpang beristirahat saja.” Ucapku sambil terkekeh.“Ada apa?” pertanyaan dari Javin membuatku melepaskan gelas yang kupegang.“Javin, menurutmu apakah seseorang perlu untuk menjadi jahat?” tanyaku tanpa menatap wajahnya.“Kak, setiap manusia memiliki sisi baik dan jahat. Jika sisi baik dan jahat lebih mendominasi, menurutku bisa merugikan diri sendiri atau orang lain. Tapi di sini, jika porsi baik dan jahatnya seimbang, itu lebih bagus.” Javin menatapku lurus dengan wajah dingin khasnya.“Apa yang ingin
Aku memukul lengannya kuat-kuat, kesal karena perkataannya berhasil membuat jantungku berdebar. “Apa yang kamu katakan?”“Aku hanya bercanda, kamu dari tadi tegang terus. Ada apa?” jawabnya seperti tak berdosa.“Itu karena kamu. Parfum itu menggangguku, cepat ganti baju sana!” ucapku pada akhirnya, persetan dengan rasa malu, aku benar-benar tidak bisa mengontrol isi pikiranku sekarang.“Memangnya apa yang salah dengan parfumku? Bukannya kamu paling menyukai bau parfum ini?” Naka malah mendekatkan tubuhnya ke arah tubuhku.“Coba cium, bukannya bau ini terasa menenangkan?” ia berkata sambil terkekeh pelan.Aku mendorongnya menjauhi tubuhku. “Ganti bajumu atau aku pergi?”Setelah aku mengatakan itu, ia menurut. Tangannya terangkat untuk melepas bajunya dan aku langsung terpekik kaget. “Jangan membuka bajumu di sini, aku seorang wanita, Naka!”“Alice, kamu sudah terbiasa melihat tubuhku. Ada apa denganmu?” ia tak menghiraukan ucapanku dan kembali melanjutkan kegiatannya untuk melepaskan b