Share

BAB 5| Membayar dengan Tiga Permintaan

Aku dapat merasakan seseorang ada di hadapanku. Aku mendongak. Benar saja, Naka sedang berdiri menjulang di hadapanku. Aku membenahi posisiku dan tersenyum begitu pemuda ini duduk di hadapnku.

Naka berbicara dengan pelan, “Tugas kamu udah selesai, Alice? Butuh bantuan?”

Aku menjawab ragu-ragu, “Emh, udah, Naka,” setelah itu aku diam dan mulai membereskan barang-barangku.

“Kata Diva kamu mau ikut main nanti malam? Mau berangkat bareng aku, Alice?” ucap Naka tiba-tiba.

Aku menatapnya, “Diva ngomong gitu, ya? Sebenarnya ….” Aku diam. aku kembali mempertimbangan perkataan Diva yang mengajakku untuk bergabung nanti malam. Namun, bukannya aku tak mau, aku tak boleh boros atau uangku akan habis. Pemasukkan sudah tak ada.

“Aku harus cari kerja, Naka. Aku nggak bisa, maaf.” ucapku akhirnya. Aku berdiri, Naka pun ikut berdiri dan mensejajarkan badannya dengan badanku.

Naka memandang wajahku, “Kamu butuh pekerjaan, Alice?” aku mengangguk pelan.

“Iya, Naka,”

Naka membasahi bibirnya sebelum berbicara padaku, “Sebenarnya, kakak aku lagi butuh tenaga pengajar sekaligus pengasuh buat putranya. Kalo kamu mau, nanti aku kenalin sama kakak aku Alice, gimana?”

Aku memandangnya tak enak hati, “Naka, aku nggak bisa apa-apa. Aku juga nggak mau bikin kamu repot ….”

Naka tertawa mendengar jawabanku, “Alice, kamu nggak perlu jadi super power. Keponakanku anaknya nggak nakal, aku yakin kamu nggak akan repot buat jagain dia. Tapi, itu kalo kamu mau, sih.”

“Aku nggak mau bikin kamu malu dengan rekomendasiin aku ke kakak kamu, Naka.” Ucapku pelan.

“Aku yakin kamu bisa, Alice! Anggap aja ini kompensasi kejadian tadi pagi. Kamu mau, ‘kan?” aku akhirnya mengangguk mengiyakan.

“Mau ketemu kakak aku sekarang?” aku menatapnya ragu.

“Sekarang, Naka?” Naka mengangguk sambil tertawa.

Aku menggeleng dan berkata dengan suara pelan, “Aku takut, Naka ….”

Jemari lembut Naka hinggap di kepalaku dan mengelusnya dengan lembut. Aku terbuai dengan sikap manis Naka, “Jangan takut, Alice. Aku yakin kakakku bakal suka sama kamu, kayak aku. Hehe ….”

Aku seketika tertawa mendengar godaan yang keluar dari mulut Naka. Dasar! Godaannya tak akan membuatku tersipu.

Aku menghentikan tawaku begitu menyadari Naka menatapku intens, aku menunduk dan menyembunyikan wajahku yang tiba-tiba menghangat ditatap begitu intens oleh Naka.

“Jadi, sekarang kita ketemu sama kakakku?” tanyanya sekali lagi. Aku akhirnya mengangguk pelan dan mengabaikan sejenak debaran di hatiku.

Memutuskan untuk bekerja adalah keputusan yang sangat kupertimbangkan jauh-jauh hari. Sudah tahun kedua aku kuliah di Universitas dan jauh dari kota kelahiran, selama itu pula aku tak pernah bekerja setelah bertemu dengan Dean.

Pria dewasa itu memenuhi segala kebutuhanku bahkan lebih, namun aku harus bersedia menghangatkan ranjang pria itu kapan pun yang beliau ingin. Aku benar-benar seperti wanita menjijikkan yang menjual diri untuk memnuhi kebutuhan hidup.

Sekarang, aku tak seperti itu lagi. Aku akan bekerja keras dan tak akan berhubungan lagi dengan Dean. Aku tak ingin menjadi wanita menjijikkan seperti dulu.

Naka menggandeng lenganku dan kubiarkan begitu saja. Aku lupa jika sedang berada di kampus dan membuatku menjadi pusat perhatian di sini. Aku menunduk malu saat tak sengaja mataku bertatapan dengan Diva, gadis itu menatapku dengan mata yang menggoda.

Aku tak ingin gadis itu berpikir yang aneh-aneh tentangku dan Naka. Aku menghempaskan lengan Naka, sedangkan pemuda yang di sampingku justru tertawa.

Aku berkata dengan suara pelan, “Ayo, Naka aku malu diliatin orang-orang.” Aku berjalan lebih dulu dan melupakan sejenak keberadaan Naka yang ada di belakangku.

Aku sudah berjalan cukup jauh, aku menoleh ke belakang dan tak sengajakan menyaksikan Naka yang sedang mengacak-acak rambut seorang gadis. Aku membalikkan badanku cepat, entah mengapa hatiku tak suka melihat pemandangan itu, Naka bersama gadis lain.

Aku masih berdiri sembari memandangi Naka yang masih berbicara bersama gadis lain. Aku terlalu fokus memandanginya dan tak menyadari saat Naka melambaikan tangannya ke arahku, jangan lupakan senyumannya yang membuat jantungku memompa darah dengan cepat.

Tanpa sadar, aku ikut tersenyum dan ikut melambaikan tanganku ke arahnya. Senyuman manisku masih terpasang di bibirku, Naka masih berbicara pada gadis asing itu. Naka memberikan isyarat untuk menunggu sebentar, dan aku kembali mengangguk.

Aku menatap perutku yang kembali keroncongan, rasanya sakit sekali. Pandanganku kembali menatap Naka yang masih berbicara dengan gadis asing itu, mungkin pembicaraannya masih lama.

Aku membalikkan badanku dan berjalan mendatangi kursi Taman yang tak jauh dari sini. Badanku terasa sangat lemas, mungkin karena perutku belum terisi apapun. Aku kembali merogoh tas yang ada di bahuku, mencari beberapa uang tunai yang mungkin saja terselip dibalik lipatan-lipatan buku.

Tak kutemukan, aku ingin menangis karena perutku benar-benar terasa lapar. Aku tak memiliki apapun untuk mengisi perutku yang keroncongan. Selempar uang pun tak kumiliki. Uangku kemungkinan terselip di dompet lainnya, sudah pasti dompet itu tertinggal di Kos.

Aku mendongak saat sadar Naka sudah berdiri dengan tegaknya di hadapanku. Naka duduk di sampingku dan kembali mengacak-acak puncak kepalaku hingga rambutku menjadi berantakan tak tertata rapi seperti sebelumnya.

Naka berkata sambil menampilkan senyuman manisnya, “Tadi lama, ya? Maaf, gadis tadi temanku.” Aku mengangguk singkat.

Sungguh, aku sudah tak bisa menahan rasa nyeri di perutku. Aku menatapnya dan berkata dengan suara rendah, “Naka, boleh aku pinjam uang kamu? Tolong, aku butuh banget ….”

Sial, wajahku pasti sudah memerah karena menekan egoku untuk mengatakan kalimat itu. Aku dan Naka baru bertemu tadi pagi dan aku sudah berani meminjam uang padanya. Astaga, aku sangat malu dan rasanya ingin menenggelamkan tubuhku di Samudera terdalam saja. Aku sungguh merasa sangat malu.

Aku menunduk karena tak mendengar jawaban dari Naka. Aku berkata dengan cepat, “Tidak-tidak, aku cuma bercanda. Jangan dianggap serius, Naka. Aku cuma bercanda, sungguh!”

Wajahku pasti memerah kembali, setelah mengatakan jika aku sedang bercanda, perutku berbunyi dengan nyaring. Astaga, mengapa cacing yang ada di dalam perutku tak tahu kondisi jika ingin berbunyi, sih! Apa cacing sialan ini tak malu jika berbunyi dengan seenaknya.

Aku mendongak dan menatap Naka yang tertawa terpingkal-pingkal, bahkan Naka sampai memegangi perutnya. Ia berkata disela-sela tawanya yang menggelegar, “Kamu laper, Alice? Kenapa kamu nggak ngomong, sih? Astaga, kamu benar-benar lucu, Alice! Cacing yang ada di perutmu itu sampai merengek minta makan karena nggak kamu kasih makan.”

Aku menunduk malu, “Naka, diem ih! Aku malu, Naka ….” Ucapku sambil merengek seperti bayi. Aku pikir Naka akan menghentikan tawanya jika aku merengek, tapi tidak. Naka bahkan tertawa semakin keras, ia bahkan memukuli pahanya sendiri.

Aku hampir saja akan menangis karena tawa Naka tak kunjung reda, mataku sudah mulai memerah karena sudah tak tahan dengan ejekkan yang Naka lemparkan padaku.

Aku berbicara pelan, “Naka diem, aku malu ….”

Aku menunduk dan menutupi wajahku dengan kedua tanganku. Tawa yang keluar dari mulut Naka akhirnya reda juga, pemuda itu memaksa untuk melihat wajahku. Aku tak mengijinkannya, tanganku tetap pada posisi menutupi wajahku.

Naka mendekati telingaku, ia berkata dengan suara rendah membuat badanku bergetar, “Aku bakal pinjemin kamu uang, tapi kamu harus bayar dengan 3 permintaan dari aku. Setuju?”

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status