Aku dapat merasakan seseorang ada di hadapanku. Aku mendongak. Benar saja, Naka sedang berdiri menjulang di hadapanku. Aku membenahi posisiku dan tersenyum begitu pemuda ini duduk di hadapnku.
Naka berbicara dengan pelan, “Tugas kamu udah selesai, Alice? Butuh bantuan?”
Aku menjawab ragu-ragu, “Emh, udah, Naka,” setelah itu aku diam dan mulai membereskan barang-barangku.
“Kata Diva kamu mau ikut main nanti malam? Mau berangkat bareng aku, Alice?” ucap Naka tiba-tiba.
Aku menatapnya, “Diva ngomong gitu, ya? Sebenarnya ….” Aku diam. aku kembali mempertimbangan perkataan Diva yang mengajakku untuk bergabung nanti malam. Namun, bukannya aku tak mau, aku tak boleh boros atau uangku akan habis. Pemasukkan sudah tak ada.
“Aku harus cari kerja, Naka. Aku nggak bisa, maaf.” ucapku akhirnya. Aku berdiri, Naka pun ikut berdiri dan mensejajarkan badannya dengan badanku.
Naka memandang wajahku, “Kamu butuh pekerjaan, Alice?” aku mengangguk pelan.
“Iya, Naka,”
Naka membasahi bibirnya sebelum berbicara padaku, “Sebenarnya, kakak aku lagi butuh tenaga pengajar sekaligus pengasuh buat putranya. Kalo kamu mau, nanti aku kenalin sama kakak aku Alice, gimana?”
Aku memandangnya tak enak hati, “Naka, aku nggak bisa apa-apa. Aku juga nggak mau bikin kamu repot ….”
Naka tertawa mendengar jawabanku, “Alice, kamu nggak perlu jadi super power. Keponakanku anaknya nggak nakal, aku yakin kamu nggak akan repot buat jagain dia. Tapi, itu kalo kamu mau, sih.”
“Aku nggak mau bikin kamu malu dengan rekomendasiin aku ke kakak kamu, Naka.” Ucapku pelan.
“Aku yakin kamu bisa, Alice! Anggap aja ini kompensasi kejadian tadi pagi. Kamu mau, ‘kan?” aku akhirnya mengangguk mengiyakan.
“Mau ketemu kakak aku sekarang?” aku menatapnya ragu.
“Sekarang, Naka?” Naka mengangguk sambil tertawa.
Aku menggeleng dan berkata dengan suara pelan, “Aku takut, Naka ….”
Jemari lembut Naka hinggap di kepalaku dan mengelusnya dengan lembut. Aku terbuai dengan sikap manis Naka, “Jangan takut, Alice. Aku yakin kakakku bakal suka sama kamu, kayak aku. Hehe ….”
Aku seketika tertawa mendengar godaan yang keluar dari mulut Naka. Dasar! Godaannya tak akan membuatku tersipu.
Aku menghentikan tawaku begitu menyadari Naka menatapku intens, aku menunduk dan menyembunyikan wajahku yang tiba-tiba menghangat ditatap begitu intens oleh Naka.
“Jadi, sekarang kita ketemu sama kakakku?” tanyanya sekali lagi. Aku akhirnya mengangguk pelan dan mengabaikan sejenak debaran di hatiku.
Memutuskan untuk bekerja adalah keputusan yang sangat kupertimbangkan jauh-jauh hari. Sudah tahun kedua aku kuliah di Universitas dan jauh dari kota kelahiran, selama itu pula aku tak pernah bekerja setelah bertemu dengan Dean.
Pria dewasa itu memenuhi segala kebutuhanku bahkan lebih, namun aku harus bersedia menghangatkan ranjang pria itu kapan pun yang beliau ingin. Aku benar-benar seperti wanita menjijikkan yang menjual diri untuk memnuhi kebutuhan hidup.
Sekarang, aku tak seperti itu lagi. Aku akan bekerja keras dan tak akan berhubungan lagi dengan Dean. Aku tak ingin menjadi wanita menjijikkan seperti dulu.
Naka menggandeng lenganku dan kubiarkan begitu saja. Aku lupa jika sedang berada di kampus dan membuatku menjadi pusat perhatian di sini. Aku menunduk malu saat tak sengaja mataku bertatapan dengan Diva, gadis itu menatapku dengan mata yang menggoda.
Aku tak ingin gadis itu berpikir yang aneh-aneh tentangku dan Naka. Aku menghempaskan lengan Naka, sedangkan pemuda yang di sampingku justru tertawa.
Aku berkata dengan suara pelan, “Ayo, Naka aku malu diliatin orang-orang.” Aku berjalan lebih dulu dan melupakan sejenak keberadaan Naka yang ada di belakangku.
Aku sudah berjalan cukup jauh, aku menoleh ke belakang dan tak sengajakan menyaksikan Naka yang sedang mengacak-acak rambut seorang gadis. Aku membalikkan badanku cepat, entah mengapa hatiku tak suka melihat pemandangan itu, Naka bersama gadis lain.
Aku masih berdiri sembari memandangi Naka yang masih berbicara bersama gadis lain. Aku terlalu fokus memandanginya dan tak menyadari saat Naka melambaikan tangannya ke arahku, jangan lupakan senyumannya yang membuat jantungku memompa darah dengan cepat.
Tanpa sadar, aku ikut tersenyum dan ikut melambaikan tanganku ke arahnya. Senyuman manisku masih terpasang di bibirku, Naka masih berbicara pada gadis asing itu. Naka memberikan isyarat untuk menunggu sebentar, dan aku kembali mengangguk.
Aku menatap perutku yang kembali keroncongan, rasanya sakit sekali. Pandanganku kembali menatap Naka yang masih berbicara dengan gadis asing itu, mungkin pembicaraannya masih lama.
Aku membalikkan badanku dan berjalan mendatangi kursi Taman yang tak jauh dari sini. Badanku terasa sangat lemas, mungkin karena perutku belum terisi apapun. Aku kembali merogoh tas yang ada di bahuku, mencari beberapa uang tunai yang mungkin saja terselip dibalik lipatan-lipatan buku.
Tak kutemukan, aku ingin menangis karena perutku benar-benar terasa lapar. Aku tak memiliki apapun untuk mengisi perutku yang keroncongan. Selempar uang pun tak kumiliki. Uangku kemungkinan terselip di dompet lainnya, sudah pasti dompet itu tertinggal di Kos.
Aku mendongak saat sadar Naka sudah berdiri dengan tegaknya di hadapanku. Naka duduk di sampingku dan kembali mengacak-acak puncak kepalaku hingga rambutku menjadi berantakan tak tertata rapi seperti sebelumnya.
Naka berkata sambil menampilkan senyuman manisnya, “Tadi lama, ya? Maaf, gadis tadi temanku.” Aku mengangguk singkat.
Sungguh, aku sudah tak bisa menahan rasa nyeri di perutku. Aku menatapnya dan berkata dengan suara rendah, “Naka, boleh aku pinjam uang kamu? Tolong, aku butuh banget ….”
Sial, wajahku pasti sudah memerah karena menekan egoku untuk mengatakan kalimat itu. Aku dan Naka baru bertemu tadi pagi dan aku sudah berani meminjam uang padanya. Astaga, aku sangat malu dan rasanya ingin menenggelamkan tubuhku di Samudera terdalam saja. Aku sungguh merasa sangat malu.
Aku menunduk karena tak mendengar jawaban dari Naka. Aku berkata dengan cepat, “Tidak-tidak, aku cuma bercanda. Jangan dianggap serius, Naka. Aku cuma bercanda, sungguh!”
Wajahku pasti memerah kembali, setelah mengatakan jika aku sedang bercanda, perutku berbunyi dengan nyaring. Astaga, mengapa cacing yang ada di dalam perutku tak tahu kondisi jika ingin berbunyi, sih! Apa cacing sialan ini tak malu jika berbunyi dengan seenaknya.
Aku mendongak dan menatap Naka yang tertawa terpingkal-pingkal, bahkan Naka sampai memegangi perutnya. Ia berkata disela-sela tawanya yang menggelegar, “Kamu laper, Alice? Kenapa kamu nggak ngomong, sih? Astaga, kamu benar-benar lucu, Alice! Cacing yang ada di perutmu itu sampai merengek minta makan karena nggak kamu kasih makan.”
Aku menunduk malu, “Naka, diem ih! Aku malu, Naka ….” Ucapku sambil merengek seperti bayi. Aku pikir Naka akan menghentikan tawanya jika aku merengek, tapi tidak. Naka bahkan tertawa semakin keras, ia bahkan memukuli pahanya sendiri.
Aku hampir saja akan menangis karena tawa Naka tak kunjung reda, mataku sudah mulai memerah karena sudah tak tahan dengan ejekkan yang Naka lemparkan padaku.
Aku berbicara pelan, “Naka diem, aku malu ….”
Aku menunduk dan menutupi wajahku dengan kedua tanganku. Tawa yang keluar dari mulut Naka akhirnya reda juga, pemuda itu memaksa untuk melihat wajahku. Aku tak mengijinkannya, tanganku tetap pada posisi menutupi wajahku.
Naka mendekati telingaku, ia berkata dengan suara rendah membuat badanku bergetar, “Aku bakal pinjemin kamu uang, tapi kamu harus bayar dengan 3 permintaan dari aku. Setuju?”
Aku menjauhkan tangan yang menutupi wajahku, aku tak memikirkan apapun lagi, karena fokusku sudah hancur akibat perutku yang meronta-ronta minta diisi. Aku menganggukkan kepalaku saja, dan senyuman Naka merekah dengan sempurna.Langsung saja Naka membawaku ke Kedai Makan dekat kampus. Setelah makanan tiba di hadapanku, aku menyantapnya langsung dengan cepat. Seketika, aku melupakan kehadiran Naka, aku tak lagi memikirkan apakah Naka akan merasa jijik dengan caraku makan saat ini. Benar-benar tak mempedulikan itu lagi.Setelah makanan yang ada di dalam piringku bersih tak bersisa, aku tak sengaja bersendawa dengan kencang. Cepat-cepat aku menutupi mulutku dan memukul-mukul kepalaku karena begitu tak memiliki etika. Aku berkata pelan sambil menyembunyikan wajahku, “Naka, maaf … kamu pasti jijik sama aku, ya?”
Tangan Naka mengarah ke kepalaku dan mengacak rambutku dengan gemasnya. Aku biarkan saja walaupun jantungku berdetak di atas rata-rata dengan perlakuan Naka barusan. Naka berbicara lagi, “Jangan takut, Alice aku pasti bantu kamu, kok!” Naka menampilkan senyuman yang menawan.Wajahku cukup memerah mendapatkan perlakuan seperti itu. Jantungku berdegub dengan kencangnya, aku dan Naka saling memandangi satu sama lain, lalu tawa Naka yang menggelegar memutuskan tatapan diantara kami.Aku menunduk, rasanya sangat malu. Wajahku pasti sudah memerah saat ini. Entah mengapa saat bersama Naka suasana hatiku selalu saja bahagia.Suara pintu terbuka mengalihkan perhatianku. Dean berada di sana, ia mendekati Kenzo dan mengendong anak lelaki itu lalu mengecup pipinya.Aku tanpa sadar memandangi Dean terlalu intens membuat Naka menyadarinya. Aku tersenyum tak enak dan menatap Dean dengan canggung.“Kamu ngerasa aneh ya liat Pak Dean kayak gitu sa
Pintu kamar inapku terbuka, aku menatap temanku yang membuka pintu tersebut. Aku tersenyum padanya, namun Diva langsung saja memelukku dengan erat. Diva bahkan meneteskan air matanya melihat kondisiku sekarang.Aku hanya bisa tersenyum, aku tersenyum karena masih Diva mengkhawatirkanku. Di sela-sela tangisannya yang belum berhenti, Diva memukul lenganku pelan, ia berbicara dengan nada jengkel khasnya, “Siapa yang bikin kamu kayak gini, Alice? Siapa pelaku yang bikin kamu hamil, hah?”Pikiranku langsung tertuju pada Dean, tentu saja tak mungkin aku mengatakan pada Diva jika Dosen yang bernama Deanlah ayah dari janin yang sedang kukandung. Aku tak bisa membayangkan bagaimana reaksi yang akan Diva tunjukkan, atau bagaimana Naka bisa memandangku sebagai gadis penghancur rumah tangga orang lain atau sebagai gadis yang baik seperti yang Naka bilang beberapa waktu yang lalu.Aku tersenyum tipis, tak menjawab pertanyaannya, hanya diam saja yang bisa kulakuka
Hubunganku dengan Naka menjadi lebih dekat karena kami tinggal satu atap. Aku benar-benar merasa gila karena berdekatan dengan Naka membuat wajahku selalu saja memanas, karena Naka benar-benar tampan bak pangeran di negeri dongeng, tidak sejujurnya Naka lebih tampan dari pangeran manapun.Mataku menatap Naka yang keluar dari kamarnya, pemuda itu melemparkan senyuman manisnya padaku yang kusambut dengan senyum malu-malu.“Pagi, Alice. Kamu kelihatan lebih sehat dan tambah cantik aja, hehe.” Aku menundukkan kepalaku mendengarkan godaan receh dari Naka, walau aku tahu jika itu hanyalah godaan receh, tetapi aku begitu menyukainya.“Pagi, Naka!” jawabku pelan. Aku menuangkan segelas susu dan memberikannya pada Naka.“Minum dulu, Naka!” segelas susu itu disambut Naka dengan senyuman indah bagai bunga mawar yang mekar di pagi hari. Sial, aku selalu saja terpesona akan senyuman indah itu.Naka meletakkan gelas begitu sus
Minuman yang Naka tuangkan sudah habis kutegak. Aku hendak mengambil sekaleng soda, jaraknya cukup jauh dari tempatku. Melihat aku kesulitan, Naka berinisiatif mengambil soda itu untukku.Aku menunggu Naka membukakan kaleng soda, namun Naka tak memberikannya padaku. Naka meminumnya, “Aku mau soda, Naka.”Naka memandangiku kemudian pemuda itu menggeleng singkat, “Kamu baru keluar dari rumah sakit, Alice. Nggak boleh minum soda dulu, okay?”Aku memanyunkan bibirku tanda tak setuju, “Ayolah, aku lagi pengen minum soda, Naka,”Naka tetap tidak memberikan soda walau seteguk saja, “Tidak, Alice kamu masih sakit, nggak boleh minum soda dulu.”Mendengar jawaban dari Naka, bibirku secara otomatis merengut. Aku tak lagi berbicara, aku menjadi pendnegar saja saat teman-teman lainnya mulai berbicara ringan satu sama lain.“Teman-teman, ayo kita memainkan permainan yang seru!” ucap Diva dengan s
Aku tengah duduk di meja ditemani setumpuk jurnal, cukup membuat kepalaku berdenyut. Aku berdengus sebal tatkala suara-suara bising menggangu konsentrasiku. Aku menahan diriku untuk sedikit bersabar, lagipula aku sedang duduk di tempat umum, wajar saja ada banyak kebisingan.Sedang di sampingku, tadi ada Naka yang sekarang sedang izin ke toilet. Aku menunggunya yang cukup lama belum juga kembali.Aku menarik gelas yang berisi jus jeruk dan kutegak saja untuk mengurangi dahaga. Aku cukup sebal karena aku ditinggal sendiri tetapi mau bagaimana lagi, tidak mungkin aku mengikuti Naka hingga ke toilet.Aku menatap ke arah sumber suara yang lagi-lagi memecah konsentrasiku. Pintu kafe terbuka, muncul Diva dan Anna yang mendatangiku. Diva langsung mencomot makanan ringan yang ada di meja, aku menatapnya sedikit malas. Tak berbeda dnegan Diva, Anna juga mengambil gelasku yang berisi jus jeruk, langsung saja ditegak hingga tak bersisa.Aku memandangi mereka b
Aku berjalan melintasi koridor yang ramai, ucapan-ucapan tak mengenakkan terdengar di telingaku. Aku meremas gaun yang kukenalan, mataku kupejamkan berharap berbagai perkataan yang membuatku sakit hati segera hilang.Aku memandang ke depan, ada Naka dan Diva yang berjalan mendatangiku. Naka langsung memelukku erat, Diva berdiri saja di sampingku.Naka berkata dengan nada khawatir, "Astaga, Alice kamu tidak apa-apa, 'kan? Apa mereka menyakitimu?"Aku menggeleng, "Aku tidak apa, tapi ...."Diva langsung menyelang percakapanku dan Naka, "Alice, kamu pulang ke kos aku!"Naka menggeleng tegas, "Apa-apaan Diva, Alice tetap tinggal di Apartemenku!"Diva tertawa remeh memandang Naka, "Naka, semua ini terjadi karena kamu memaksa Alice untuk tinggal di Apartemen kamu! Kamu itu biang masalah, sadar dong!"Naka tak mendengarkan perkataan Diva, pergelangan tanganku ditarik oleh Naka dan dibawa ke dalam mobilnya. Naka berkata pelan, "Kamu akan tetap tinggal di A
Matahari telah kembali pada tempatnya, tetapi Naka belum juga kembali. Perasaan dongkol nan kecewa menguasai diriku, aku berjalan sembari menyiapkan beberapa barang untuk kubawa ke kampus sambil menghentak-hentakkan kaki."Brengsek, aku pengen banget gigit orang!" ucapku yang sebenarnya kutujukan pada Naka."Sial, nyebelin banget sih jadi cowok!""Udahlah, mending ke kampus sekarang aja, semoga aku nggak ketemu sama wajah Naka." Aku mengumpulkan buku dan jurnal menjadi satu lalu kumasukkan ke dalam tas yang biasa kupakai saat ke kampus.Tibalah di kampus setelah aku menaiki transportasi umum. Jarak Apartemen Naka sebenarnya tak terlalu jauh, hanya 15 menit saja. Namun tetap saja akan terasa lama jika ditempuh dengan berjalan kaki.Aku melintasi gedung dan masuk ke dalam gedung Fakultas. Saat berjalan telingaku tak sengaja menangkap para gadis yang sedang membicarakanku. Hatiku kembali menjadi dongkol.Aku berjalan dengan cepat, aku berusaha