"Bagaimana Delon, apakah mantan suami adikmu sudah kamu keluarkan dari kantor?"
Malam itu bunda sengaja mendatangi Delon di ruang kerjanya, mungkin beliau penasaran dengan perkembangan kelanjutan hubungan antara putri dan mantan menantunya.
"Tidak, Bun. Ratna memaafkan Rizal." Delon menjawab dengan mengalihkan pandangan ke arah Bunda, menyambut wanita yang mendatanginya.
"Apa maksudmu? Apakah dia mau rujuk?" tanya Bunda, dengan menarik salah satu kursi yang ada di depan meja yang di pakai anaknya meletakkan laptop. Untuk beliau duduki.
"Tidak ... bukan itu maksudku, Bun. Ratna memaafkan Rizal, tapi tidak untuk rujuk. Bahkan Ratna menolak ajakan Rizal."
Delon menjelaskan, kemudian menghela nafas panjang, dan kembali mengalihkan pandangannya ke arah laptop, mengutik sebentar kemudian menutupnya.
"Jadi, sekarang apa keputusanmu tentang Rizal?"
"Bunda, tidak usah berbasa basi, sebenarnya apa yang ingin
Ratna menghela nafas panjang, pagi tadi, untuk ke dua kalinya dia telah menerima gaji, dan siang ini dengan surat yang semalam dibuatnya dengan bantuan kakaknya. Perempuan cantik yang mengikat rambut nya serupa dengan ekor kuda itu mantap memutuskan untuk resign dari salon.Ratna, Nay dan Rafi sepakat untuk bekerja sama membangun kafe di rumah Rafi."Bismillah," desis Ratna lirih, sambil memejamkan matanya sesaat, kemudian membukanya lagi.Took! Took!Dengan wajah tegang, Ratna mengetuk pintu ruangan kerja pak Aldo. Berulang kali dia terlihat mendesah dan membuang nafas kasar."Masuk!" Terdengar jawaban dari dalam."Permisi, Pak," pamit Ratna yang membuka pintu dan menunjukkan hanya wajahnya saja."Ratna, masuk!" Seru pak Aldo, tanpa memandanginya."Duduk lah, dan katakan ada maksud apa ke sini?" sambung lelaki yang masih dengan mata terus menatap laptop di mejanya.Sikap pak Aldo yang benar
"Hei, kamu sudah?" tegur Nay, saat mereka berpapasan di pintu masuk ke ruangan dalamRatna tersentak, dia menghentikan langkahnya saat tangan Nay mencolek lengannya."Eh, apa!?" tanya Ratna, rupanya dia tadi melangkah sambil melamun. Hingga tak menyadari saat berpapasan dengan Nay tadi."Kamu sudah belum, ngasih surat pengunduran dirinya?" Nay bertanya dengan tangan kiri melambaikan map berwarna merah ke arah Ratna."Su–sudah, aku sudah." Ratna gelagapan menjawab pertanyaan sahabatnya."Kamu kenapa, Ratna? Sakit, ya?" Mendengar nada bicara Ratna, Nay langsung memicingkan matanya, menatap penuh selidik.Tangan kanan Nay sontak meraba kening Ratna. Dengan tatapan mata yang tampak khawatir."Enggak, kok. Hanya terlalu memikirkan rencana untuk kafe kita nanti," Ratna berbohong, tentu saja dia tak mungkin menceritakan apa yang terjadi sebenarnya."Jangan terlalu di pikir, Rat. En
Mendengar apa yang tadi Ronald serukan. Sontak hati Ratna berdebar. Apalagi saat melihat sebuah mobil yang ia hafal siapa pemiliknya, berhenti menepi dan memilih parkir di seberang jalan."Aku ke kamar mandi dulu, ya." Ratna pamit buru- buru ke Nay, dan segera masuk ke dalam rumah Rafi. Tanpa menunggu jawaban dari sahabatnya itu.Tak ada yang ia lakukan di kamar mandi, selain mencoba menenangkan debaran hatinya. Tampak berulang kali Ratna menarik nafas panjang melalui hidung, dan membuangnya perlahan melalui mulut.Membasahi kedua kakinya dengan beberapa siraman air, baru kemudian keluar dari kamar mandi setelah dirasa lebih dari cukup.Dengan perlahan, Ratna melangkah mendekati pintu. Terdengar olehnya, gelak tawa di luaran sana, termasuk suara dari orang yang entah kenapa membuat Ratna jadi gelisah seperti ini."Aduh!" serunya dengan suara tertahan, tampak kebimbangan di raut wajah Ratna, antara meneruskan langkahnya atau berdiam diri saja
"Assalamualaikum!" Suara salam dari Mila yang turun dari motor Rafi membuat Nay kembali menghentikan ucapannya."Wa alaikumussalam." Terdengar jawaban dari semua yang ada, dengan pandangan mata kini teralih ke arah Mila yang melangkah mendekat dengan menggendong Lauren."Kok lama, banget?" tanya Ratna. Setelah tak ada lagi jarak diantara dirinya dengan Mila."Tadi mantanmu datang ke rumah, mau ketemu Nay, karena Nay nggak ada ya ... terpaksa aku yang nemuin," sahut Mila dengan suara agak tertahan. Namun, tetap saja terdengar oleh semua orang yang ada. Kecuali pak tukang yang sedang bekerja."Mau ngapain dia?" tanya Ratna, yang tampaknya masih penasaran dengan pernyataan Mila."Ngakunya sih mau silahturahmi," sahut Mila, tangan kanannya meraih kue di tengah bale, dan langsung melahapnya."Iiish ...." Ratna langsung memutar bola matanya dengan gusar."Selamat aja dia nggak ketemu ma aku," seru Nay, sambil menahan senyu
Lima belas hari waktu yang dibutuhkan untuk mewujudkan sebuah cafe impian Ratna. Tentu saja dengan di bantu oleh Delon.Ratna, Nay dan Rafi kini menyibukkan hari hari mereka di cafe, bertiga bergotong royong melakukan semuanya bersama, dari memasak, melayani hingga membersihkan cafe, dibantu oleh enam orang yang mereka terima untuk membantu bekerja di cafe.Selain tempat yang sengaja di desain sangat menyenangkan, promosi yang mereka bertiga, lakukan pun sangat gencar, tidak heran bila setiap hari cafe selalu ramai."Maaf, cafe sebentar lagi mau tutup, jadi–""Ish, sombong banget! Mana owner-nya?" potong seorang tamu perempuan, yang datang bersama kedua temannya, yang tampak bukan asli pribumi.Malam itu jam memang sudah hampir menunjukkan waktu tutup cafe. Jadi bukan salah karyawan perempuan itu, yang mengingatkan sang tamu."Maaf, ada yang bisa saya ban–" ujar Nay yang datang saat mendengar keramai
Malam ini Diandra setuju untuk pulang ke rumah bersama Ratna, setelah sebelumnya mengantar teman bulenya dulu ke hotel.Selama di perjalanan. Barulah Diandra memperkenalkan temannya yang bernama Carlos dan Ken pada Ratna, tentu saja menggunakan bahasa asing, tapi bukan bahasa Inggris."Nanti kita tidur di kamarmu, ya?" tanya Diandra, dengan tetap fokus mengendarai mobil."Eh, kenapa harus di kamarku? Kamarmu sendiri kan ada," seru Ratna yang tampaknya keberatan dengan permintaan Diandra."Akuu ....""Kamu masih istimewa di hati Bunda, Diandra." Ratna sepertinya paham dengan keadaan yang Diandra rasakan."Mmm ....""Sudahlah, jangan berprasangka yang jelek jelek dulu, kau belum pernah ketemu dengan Bunda sejak ada aku kan?" Saat mendengar Diandra hanya membuang nafas panjang dengan kasar"Bagaimana kamu tah
"Setelah sarapan, aku harap kalian tidak langsung pergi karena ada yang harus bunda katakan," pinta Bunda pagi itu, saat Delon, Diandra dan Ratna baru saja mauk ke dalam ruang makan.Diandra yang berdiri, melirik ke arah Ratna dan Delon yang saat itu juga melakukan hal yang sama.Semua duduk terdiam, kecuali Ratna, dia membantu ART yang ada untuk menyiapkan sajian yang akan di letakkan di meja makan.Hingga saat makan pun, hening! Semuanya terdiam sepertinya sibuk dengan pikirannya masing masing.Bunda menyelesaikan sarapannya dengan cepat, kemudian berdiri sambil berkata, "bunda tunggu di ruang kerja."Tak ada yang menjawab ujaran Bunda, ketiganya terdiam dan hanya saling pandang. Saat langkah kaki Bunda meninggalkan ruang makan.Dan seperti ada yang mengomando, ketiganya sontak berdiri dan meninggalkan makan pagi yang belum selesai merek
"Bun ...." Mata Diandra membesar, menatap Delon yang terlihat sama kagetnya. Kemudian beralih menatap sang Bunda, mencari kebenaran di binar mata perempuan yang sudah mengasuhnya itu."Kenapa, masih mau sembunyikan masalah ini dari Bunda? Mau berapa lama lagi?" goda Bunda yang menatap sinis ke arah Delon dan Diandra, bergantian.Namun, pandangan mata itu diartikan beda oleh Delon dan Diandra. Mereka menganggap itu pandangan kesal karena mereka berdua sudah tidak jujur pada Bunda"Mmm ... maaf, Bunda. Sebenarnya aku ingin mengatakan dari awal. Namun, tidak tahu harus di mulai dari mana? Aku hanya takut bunda tak mau merestui kami karena–" Delon menggantung ucapannya, tapi dia yakin Bunda dan Diandra tahu apa yang dimaksud oleh lelaki tampan yang menunduk, tak berani mengangkat kepalanya."Jadi ... kapan kalian akan menikah?" tanya Bunda yang kembali melangkah menuju kursinya."Bunda!?" pekik Diandra, matanya yang berkaca kaca