Fika tak menyangka jika pekerjaan yang dimaksud Galang 24 jam itu, mengharuskannya untuk tinggal satu rumah dengan bos kejamnya itu. Hari pertamanya tinggal di rumah itu sudah menggambarkan hari-hari selanjutnya, dimana ia hanya bisa tidur 3 jam per harinya karena harus menyamakan jadwal tidurnya dengan jadwal tidur Galang.
Definisi gila kerja memang pantas disematkan pada Galang. Pagi, siang, sore, hingga malam yang ia lakukan hanya bekerja. Fika heran, memangnya pekerjaan seorang pemilik perusahaan harus sebanyak itu? Bukankah pemilik atau owner perusahaan itu hanya mengawasi pekerjaan pegawainya? Akan tetapi, sekilas Fika membaca file-file yang dikerjakan Galang merupakan file-file dengan bidang yang berbeda. Artinya, pria ini memang memiliki bisnis lain selain perusahaan tempat Fika bekerja. ‘Seharusnya, pria kaya seperti Pak Galang tidak sulit mengeluarkan uang untuk membeli laptop baru atau sekadar menggajiku sebagai karyawannya. Aku juga yakin, gaji yang kudapatkan tak akan seberapa dibandingkan jumlah kekayaannya ini,’ batin Fika sambil memerhatikan sekeliling rumah Galang yang penuh dengan furniture antik. Plap! Sebuah amplop yang cukup tebal dijatuhkan oleh Galang di atas meja tempat Fika berdiri. Fika mendongakkan kepalanya tak paham. “Saya memperkerjakan kamu tanpa gaji, tapi saya tidak ingin nenek kamu ikut menanggung kesalahan bodoh yang dilakukan cucunya. Kirimkan uang ini untuk berobat nenekmu.” Fika masih bergeming di tempatnya. Ia mulai berpikir apakah Galang bisa membaca pikirannya? “Jika kamu tidak ingin mengambil uang ini, maka akan saya ambil kembali.” Fika tidak menyangka, pria yang ia anggap tak punya hati ini rupanya masih memiliki rasa iba. Tangan Galang yang hendak mengambil kembali amplop uang yang ia berikan tadi, kalah cepat dengan tangan Fika yang sudah lebih dulu mengambil amplopnya. “Kalau sudah memberi itu tidak baik diambil lagi, Pak. Terima kasih, Pak Galang,” ucap Fika dengan senyumannya yang dibalas tatapan datar Galang. ‘Uangnya banyak sekali, kira-kira ini untuk berapa bulan gaji, ya?’ batin Fika saat meraba ketebalan amplop uang yang diberikan Galang. “Saya mau kamu menyimpan nomor saya. Nomor saya 0812218 ….” Galang menyebutkannya tanpa jeda. “Tidak ada pengulangan,” tambahnya. “Baik, Pak, saya akan menyimpan nomornya,” jawab Fika. “Kamu yakin ingat semua angka yang saya sebutkan?” Ia ingat betul menyebutkan nomornya tanpa jeda dan tanpa pengulangan. Rasanya hampir mustahil gadis itu bisa mengingatnya hanya dengan sekali mendengarnya. Nomor telepon Galang juga bukan nomor cantik yang angkanya bisa dengan mudah diingat. “Ingat, Pak.” Fika mengulang nomor telepon Galang tanpa ada satu angka pun yang keliru. “Ok,” jawab Galang singkat. Sejujurnya ia sedikit kagum dengan kemampuan langka gadis itu. Ia berharap gadis ini akan benar-benar memperbaiki kesalahannya dan bisa menjadi asistennya yang baik ke depannya. “Lanjutkan bekerja,” ucap Galang sambil menunjuk tumpukan map berwarna warni di meja kerjanya. Fika diminta untuk menginput setiap data dari hardcopy itu agar menjadi softcopy. Memang, hari ini mereka bekerja dari rumah karena menurut Galang, hari ini tidak ada hal yang mengharuskannya datang ke kantor. Selain itu, Galang juga ingin mengukur seberapa jauh kemampuan Fika dalam hal administrasi dan teknologi. Galang sengaja meminta gadis itu menyalin setiap file hardcopy menjadi softcopy karena ingin tahu apakah gadis itu mampu mengoperasikan perangkat elektronik dengan baik atau tidak. Galang sempat membaca CV milik Fika, ia tak percaya dengan kemampuan yang dicantumkan Fika di CV-nya hanya karena gadis itu bukan lulusan sarjana. Di luar dugaannya, gadis itu bisa menyelesaikan pekerjaan sebanyak itu dengan waktu yang cukup singkat tanpa kesalahan. “Selesai, Pak.” Fika menunjukkan layar komputer di mana setiap file hardcopy sudah dibuat menjadi softcopy. “Ok, lanjut periksa akurasi data-data ini.” Galang kembali menyodorkan setumpukan file berbeda pada Fika. Gadis itu menghela napas panjang, lalu melanjutkan pekerjaannya. Galang tahu, gadis itu lelah, tapi ia ingin asisten yang bisa menyeimbangi durasi kerjanya. Jadi, ia akan terus memantau sejauh mana Fika bisa memenuhi kriteria asisten pribadinya.Harum masakan yang dibuat oleh Fika, menyebar ke setiap penjuru rumah. Awalnya, Fika berniat masak diam-diam dan menghidangkannya di meja makan tanpa diketahui siapa pun. Jika baunya menyebar seperti ini, bukan hanya seisi rumah Galang, bahkan tetangga lainnya pun bisa ikut mencium baunya. Fika mengibas-ngibaskan tangannya untuk menghilangkan uap masakan yang sedang ia siapkan. Fika tak ingin Galang turun dan menyadari hal ini. Terakhir kali, Galang meminta Fika menemui Rifal dengan perkataan yang sedikit membingungkan bagi Fika sendiri. Fika merasa, pria itu mungkin sedikit kesal karena Rifal terus-menerus meneleponnya selagi ia bekerja dengan Galang. Maka dari itu, Fika membuat masakan ini dengan harapan Galang akan bersikap seperti biasa.Fika membawa semangkuk jamur yang ia masak dengan santan menuju ke meja makan. Sesampainya di meja makan, ia mulai menata semua jenis masakan yang telah ia siapkan. Disaat yang bersamaan, anak rambut Fika terus menjuntai men
Fika membawa semangkuk sup ayam hangat untuk diberikan kepada Galang. Entah motivasi dari mana, tiba-tiba saja Fika ingin memasak sesuatu untuk untuk pria itu. Seminggu belakangan ini, ia lebih sibuk dari biasanya. Fika harus melakukan dua pekerjaan sekaligus. Pekerjaan Galang dan tentu pekerjaan dirinya sendiri untuk mengasisteni segala kegiatan Galang selama ia sakit. Setelah selesai mengurus berkas-berkas di kantor, Fika pulang dan pergi ke kamar Galang untuk memeriksa keadaan pria itu. Pintu kamar Galang terbuka sebagian. Fika mengetuk perlahan dan meminta izin untuk masuk. Terdengar suara grasah-grusuh dari dalam kamar Galang dan suara sebuah benda jatuh. Karena takut terjadi sesuatu pada Galang, Fika masuk tanpa izin dan mendapati Galang dengan pakaian yang baru terpasang setengah. Fika hendak menutupi wajahnya dengan tangan, namun ia ingat saat ini sedang membawa nampan berisi semangkuk sup ayam.“Maaf, Pak. Saya kira Bapa
Siang ini, Fika harus dua kali bolak-balik ke kantor dan rumah sakit untuk mengambil dokumen penting, yang menurut Galang tidak bisa dipercayakan kepada orang lain. Fika pikir, dokumennya hanya akan disimpan oleh Galang dan ia urus setelah ia sembuh nanti. Rupanya, Galang meminta Fika untuk mengantar dokumen yang telah ditandatangani untuk diberikan kepada sekretaris di kantornya.“Pak, bisakah sekretaris Bapak yang datang ke sini untuk mengambilnya? Lutut saya rasanya lemas sekali bolak-balik dari kantor ke sini,” keluh Fika.“Dia sedang ada tugas lain dan tidak bisa mengambil dokumennya ke sini. Kalau kamu tidak mau mengantarnya, biar saya saja,” ujar Galang sambil menyibakkan selimutnya dan berusaha duduk. “Jangan, Pak, biar saya saja,” tolak Fika dengan cepat. Kedua tangannya berusaha menahan pergerakan Galang agar kembali berbaring. Dokter bilang, Galang belum boleh beraktivitas berat apalagi pergi ke kantor. Saat ini, kaki dan tangannya masih bel
Galang telah melewati proses operasi fraktur, namun saat ini ia masih belum sadarkan diri. Fika duduk tepat di samping tempat tidur Galang, menunggu pria itu sadar. Selama itu, Fika menatap lekat-lekat wajah Galang. “Wanita yang menandatangani surat persetujuan operasi Pak Galang kemarin, mengaku sepupunya Pak Galang. Tapi, Pak Galang bilang dia sudah tidak punya keluarga atau kerabat jauh. Jadi, sebenarnya siapa dia, ya? Dan, ke mana dia sekarang?” Fika bermonolog sambil mengerutkan keningnya.“Sadarlah, Pak. Banyak hal yang harus saya tanyakan. Terlebih, saya perlu memberitahu Pak Galang mengenai kerjasama kita dengan Pak Gallen. Maafkan saya jika ini akan merugikan perusahaan, tapi Media sudah melampaui batasannya. Dia tidak berhak menghina saya sejelek apapun saya. Saya tidak terima, Pak.” Fika bercerita, seolah Galang mendengarnya. Fika menggenggam tangan kanan Galang, ia mengelusnya perlahan. Halus sekali, pikirnya. Sedetik kemudian, dia teringa
“Dasar wanita gila! Apa hakmu menamparku?” tanya Medina berang. Fika membalasnya dengan tatapan tajam.“Apa maksudmu menampar istri saya di hadapan saya?” Gallen menambahkan.“Apa hakmu menyebutku jalang?” Fika membalikkan pertanyaan Medina.Medina terdiam sambil mengelus pipi kirinya. Gallen ikut memeriksa keadaan wajah Medina.“Saya sungguh tidak senang dengan perbuatan kamu ini! Saya ingin membatalkan kerja sama dengan perusahaan yang memperkerjakan karyawan yang kasar dan suka main tangan!” ujarnya sambil mengacungkan jari telunjuk kanannya tepat di hadapan wajah Fika.“Pertama, istri Anda yang lebih dulu mengatakan hal tidak menyenangkan terhadap saya. Kedua, Anda tidak bisa mencampurkan urusan pribadi dengan urusan pekerjaan. Di mana profesionalisme Anda sebagai pemilik suatu perusahaan, Pak?” Gallen kehilangan kata-kata untuk menjawab perkataan Fika. Memang benar, rasa-rasanya selama ini ia terus mencampurkan urusan pribadi dengan
Galang menatap foto Fika di ponselnya yang tengah fokus memperhatikan pembicara saat meeting beberapa waktu lalu. Galang terlambat menyadari, gadis itu sangat cantik di matanya sekarang. Seandainya sebelumnya ia bisa mengatakan perasaannya kepada Fika, mungkin ia akan merasa lega walaupun gadis itu menolaknya. Tetapi, yang terjadi saat ini, Fika sudah dimiliki pria lain, bahkan mereka sudah merencanakan pernikahan.Galang mulai berpikir, antara harus merebut gadis itu dari calon suaminya, atau justru merelakannya dengan pria yang Fika pilih. Untuk opsi pertama, ia pikir, Fika belum tentu akan bahagia bersamanya, apalagi jika ia mendapatkan Fika dengan paksaan. Mungkin, saat ini Galang akan merelakan sesuatu yang belum pernah menjadi miliknya, untuk dimiliki oleh orang lain. Dengan melihat Fika hidup bahagia dengan pria yang ia cintai, itu sudah cukup bagi Galang.Galang kembali menatap sepasang sejoli yang duduk berhadapan tak jauh dari tempat duduknya. M