Fika Anindya--seorang gadis berambut pendek yang sedang mencari pekerjaan, dipertemukan dengan teman lamanya yang mengajaknya bekerja di tempat ia bekerja. Perusahaan tempat Fika bekerja dimiliki oleh seorang Bos Tampan yang terkenal kejam dan kurang manusiawi dalam menugaskan sesuatu kepada karyawannya. Fika yang diwanti-wanti oleh temannya agar tidak pernah berurusan dengan pria kejam itu justru melakukan kesalahan fatal yang membuat kehidupannya menjadi rumit. Berurusan dengan seorang pria seperti Galang bukanlah hal mudah bagi Fika. Seperti apa kelanjutan kisah mereka? Dan bagaimana kisah mereka dimulai? Semuanya akan terjawab hanya dengan membaca cerita lengkapnya di sini.
Lihat lebih banyakSiang hari yang terik, dengan matahari yang tepat berada di atas kepala tak membuat seorang gadis berambut sebahu itu menyerah untuk mencari pekerjaan. Fika Anindya, menyusuri sepanjang jalan kota yang dipenuhi debu dan asap kendaraan itu. Sudah banyak tempat yang ia datangi minggu ini, tapi ia masih belum mendapatkan panggilan kerja dari manapun. Sesulit itu mencari pekerjaan di kota besar.
Fika mengipasi dirinya dengan map cokelat yang ia pegang. Keringat bercucuran dari kening dan lehernya. Fika menatap minimarket di depannya. Ia memasuki minimarket itu untuk sekadar membeli minuman dingin yang bisa membasahi tenggorokannya. Setelah memilih sebotol milktea, ia pergi ke kasir untuk membayarnya. Dengan ragu, Fika bertanya, “Mbak, di sini ada lowongan kerja, tidak, ya?” ‘Astaga, bodoh sekali. Padahal aku tidak berniat melamar pekerjaan di sini,’ gerutunya di dalam hati. Kasir minimarket yang menggunakan lipstick merah menyala itu pun tak langsung menjawab. Ia menelaah penampilan Fika dari atas hingga ke bawah, kemudian kembali memalingkan wajahnya ke layar komputer. “Tidak ada, Mbak. Di sini sudah kebanyakan karyawan. Lagipula, Mbak tidak cocok kerja di tempat seperti ini, cari ke tempat lain saja. Totalnya 8.000 rupiah,” tukasnya ketus. Fika mengambil dompet dari tas selempang yang ia gunakan dan menyodorkan selembar uang berwarna merah muda terakhir yang dimilikinya. “Kembaliannya 92.000 rupiah, ya. Ini struknya. Silakan berikutnya.” Kasir itu seolah mengusir Fika secara tidak langsung. ‘Galak sekali. Semoga cepat tua!’ umpatnya dalam hati. Fika mengedarkan pandangannya ke sekeliling mencari tempat untuknya duduk. Tanpa sengaja, Fika melihat seseorang yang tak asing baginya hendak memasuki mobil hitam yang terparkir di depan minimarket tempat ia berdiri. “Dimas!” panggilnya. Pria berjas hitam dengan kemeja biru tua itu menoleh sambil mengernyitkan dahinya. Mencoba mengingat siapa gadis yang memanggilnya. “Fika? Ini kamu? Kamu di Jakarta?” tanyanya. “Iya, ini aku. Kamu apa kabar?” Dimas mengurungkan niatnya untuk memasuki mobil. “Aku baik. Kabarku baik. Kamu sendiri bagaimana? Sedang apa kamu di sini?” “Aku baik, Dimas. Aku … sedang mencari pekerjaan,” jawab Fika sedikit menurunkan nada bicaranya. “Pekerjaan? Ayo kerja di kantorku,” ajaknya tanpa basa-basi, membuat mata Fika membulat sempurna. “Kamu punya lowongan kerja? Aku mau, kerja apa saja, Dimas.” “Ikut aku. Kita ke kantor sekarang, ya.” “Sekarang?” Fika meyakinkan. “Iya, ayo.” Fika memasuki mobil yang dikemudikan Dimas. Mereka berbincang-bincang panjang, saling bertukar cerita selama terpisah beberapa tahun terakhir karena Dimas yang harus kuliah, dan Fika yang harus tetap merawat neneknya yang sakit-sakitan. Dimas juga mengatakan bahwa selama ini ia berusaha mencari Fika atau informasi mengenai gadis itu. Namun, tak ada hal yang bisa ia dapatkan. “Aku bisa merekomendasikan pekerjaan untukmu. Tapi, saat ini mungkin hanya sebagai office girl. Karena untuk posisi lain, akan memerlukan banyak persetujuan, terutama dari pemilik perusahaan yang selalu menuntut semua pegawai di kantor untuk bekerja dengan sempurna. Dia seorang perfeksionis yang tidak suka kesalahan sekecil apapun. Apakah kamu mau? Menurutku, gajinya cukup besar untuk pegawai baru sepertimu.” Fika mengangguk setuju. “Ayo kutunjukkan seisi kantor padamu.” Fika mengekori Dimas dari belakang dan menyimak setiap perkataan Dimas. “Ini ruang kerjaku. Sedangkan di sana, ruangan Bos Besar. Usahakan hindari pekerjaan yang mengharuskan kamu berinteraksi dengan dia, ya. Dia terlalu serius dan gila kerja. Dia juga kadang tidak manusiawi jika menghukum karyawan yang melakukan kesalahan. Kupikir, aku tidak perlu menjelaskan seperti apa yang kumaksud tidak manusiawi itu.” Dimas menunjuk sebuah ruangan berpintu kaca buram di seberang ruangannya. “Bukannya biasanya bos besar itu jarang ke kantor, ya, Dim?” tanya Fika. “Entahlah. Dia berbeda dari yang lain. Dia selalu ingin memantau kinerja setiap karyawannya, untuk memastikan semua pekerjaan dilakukan dengan sempurna.” “Siapa dia?” tanya Shani—pegawai perempuan senior pada Dimas sambil menelisik penampilan Fika. “Dia temanku yang akan bekerja di sini mulai besok.” “Oh,” Shani mendelikkan matanya lalu menumpahkan kopi yang sedang ia minum di hadapan mereka.Harum masakan yang dibuat oleh Fika, menyebar ke setiap penjuru rumah. Awalnya, Fika berniat masak diam-diam dan menghidangkannya di meja makan tanpa diketahui siapa pun. Jika baunya menyebar seperti ini, bukan hanya seisi rumah Galang, bahkan tetangga lainnya pun bisa ikut mencium baunya. Fika mengibas-ngibaskan tangannya untuk menghilangkan uap masakan yang sedang ia siapkan. Fika tak ingin Galang turun dan menyadari hal ini. Terakhir kali, Galang meminta Fika menemui Rifal dengan perkataan yang sedikit membingungkan bagi Fika sendiri. Fika merasa, pria itu mungkin sedikit kesal karena Rifal terus-menerus meneleponnya selagi ia bekerja dengan Galang. Maka dari itu, Fika membuat masakan ini dengan harapan Galang akan bersikap seperti biasa.Fika membawa semangkuk jamur yang ia masak dengan santan menuju ke meja makan. Sesampainya di meja makan, ia mulai menata semua jenis masakan yang telah ia siapkan. Disaat yang bersamaan, anak rambut Fika terus menjuntai men
Fika membawa semangkuk sup ayam hangat untuk diberikan kepada Galang. Entah motivasi dari mana, tiba-tiba saja Fika ingin memasak sesuatu untuk untuk pria itu. Seminggu belakangan ini, ia lebih sibuk dari biasanya. Fika harus melakukan dua pekerjaan sekaligus. Pekerjaan Galang dan tentu pekerjaan dirinya sendiri untuk mengasisteni segala kegiatan Galang selama ia sakit. Setelah selesai mengurus berkas-berkas di kantor, Fika pulang dan pergi ke kamar Galang untuk memeriksa keadaan pria itu. Pintu kamar Galang terbuka sebagian. Fika mengetuk perlahan dan meminta izin untuk masuk. Terdengar suara grasah-grusuh dari dalam kamar Galang dan suara sebuah benda jatuh. Karena takut terjadi sesuatu pada Galang, Fika masuk tanpa izin dan mendapati Galang dengan pakaian yang baru terpasang setengah. Fika hendak menutupi wajahnya dengan tangan, namun ia ingat saat ini sedang membawa nampan berisi semangkuk sup ayam.“Maaf, Pak. Saya kira Bapa
Siang ini, Fika harus dua kali bolak-balik ke kantor dan rumah sakit untuk mengambil dokumen penting, yang menurut Galang tidak bisa dipercayakan kepada orang lain. Fika pikir, dokumennya hanya akan disimpan oleh Galang dan ia urus setelah ia sembuh nanti. Rupanya, Galang meminta Fika untuk mengantar dokumen yang telah ditandatangani untuk diberikan kepada sekretaris di kantornya.“Pak, bisakah sekretaris Bapak yang datang ke sini untuk mengambilnya? Lutut saya rasanya lemas sekali bolak-balik dari kantor ke sini,” keluh Fika.“Dia sedang ada tugas lain dan tidak bisa mengambil dokumennya ke sini. Kalau kamu tidak mau mengantarnya, biar saya saja,” ujar Galang sambil menyibakkan selimutnya dan berusaha duduk. “Jangan, Pak, biar saya saja,” tolak Fika dengan cepat. Kedua tangannya berusaha menahan pergerakan Galang agar kembali berbaring. Dokter bilang, Galang belum boleh beraktivitas berat apalagi pergi ke kantor. Saat ini, kaki dan tangannya masih bel
Galang telah melewati proses operasi fraktur, namun saat ini ia masih belum sadarkan diri. Fika duduk tepat di samping tempat tidur Galang, menunggu pria itu sadar. Selama itu, Fika menatap lekat-lekat wajah Galang. “Wanita yang menandatangani surat persetujuan operasi Pak Galang kemarin, mengaku sepupunya Pak Galang. Tapi, Pak Galang bilang dia sudah tidak punya keluarga atau kerabat jauh. Jadi, sebenarnya siapa dia, ya? Dan, ke mana dia sekarang?” Fika bermonolog sambil mengerutkan keningnya.“Sadarlah, Pak. Banyak hal yang harus saya tanyakan. Terlebih, saya perlu memberitahu Pak Galang mengenai kerjasama kita dengan Pak Gallen. Maafkan saya jika ini akan merugikan perusahaan, tapi Media sudah melampaui batasannya. Dia tidak berhak menghina saya sejelek apapun saya. Saya tidak terima, Pak.” Fika bercerita, seolah Galang mendengarnya. Fika menggenggam tangan kanan Galang, ia mengelusnya perlahan. Halus sekali, pikirnya. Sedetik kemudian, dia teringa
“Dasar wanita gila! Apa hakmu menamparku?” tanya Medina berang. Fika membalasnya dengan tatapan tajam.“Apa maksudmu menampar istri saya di hadapan saya?” Gallen menambahkan.“Apa hakmu menyebutku jalang?” Fika membalikkan pertanyaan Medina.Medina terdiam sambil mengelus pipi kirinya. Gallen ikut memeriksa keadaan wajah Medina.“Saya sungguh tidak senang dengan perbuatan kamu ini! Saya ingin membatalkan kerja sama dengan perusahaan yang memperkerjakan karyawan yang kasar dan suka main tangan!” ujarnya sambil mengacungkan jari telunjuk kanannya tepat di hadapan wajah Fika.“Pertama, istri Anda yang lebih dulu mengatakan hal tidak menyenangkan terhadap saya. Kedua, Anda tidak bisa mencampurkan urusan pribadi dengan urusan pekerjaan. Di mana profesionalisme Anda sebagai pemilik suatu perusahaan, Pak?” Gallen kehilangan kata-kata untuk menjawab perkataan Fika. Memang benar, rasa-rasanya selama ini ia terus mencampurkan urusan pribadi dengan
Galang menatap foto Fika di ponselnya yang tengah fokus memperhatikan pembicara saat meeting beberapa waktu lalu. Galang terlambat menyadari, gadis itu sangat cantik di matanya sekarang. Seandainya sebelumnya ia bisa mengatakan perasaannya kepada Fika, mungkin ia akan merasa lega walaupun gadis itu menolaknya. Tetapi, yang terjadi saat ini, Fika sudah dimiliki pria lain, bahkan mereka sudah merencanakan pernikahan.Galang mulai berpikir, antara harus merebut gadis itu dari calon suaminya, atau justru merelakannya dengan pria yang Fika pilih. Untuk opsi pertama, ia pikir, Fika belum tentu akan bahagia bersamanya, apalagi jika ia mendapatkan Fika dengan paksaan. Mungkin, saat ini Galang akan merelakan sesuatu yang belum pernah menjadi miliknya, untuk dimiliki oleh orang lain. Dengan melihat Fika hidup bahagia dengan pria yang ia cintai, itu sudah cukup bagi Galang.Galang kembali menatap sepasang sejoli yang duduk berhadapan tak jauh dari tempat duduknya. M
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Komen