Share

Bab 3

Amira langsung menandatangani surat perjanjian kontrak itu tanpa berpikir dua kali. Ia tidak memiliki waktu untuk membacanya.

Sampai saat ini, ia masih belum bisa berpikir jernih karena ibunya sedang di operasi.

"Semoga operasinya berjalan lancar."

"Terima kasih." Lirih gadis itu.

Marco satu-satunya orang yang menemani Amira disana. Namun, ia duduk di kursi tunggu bukan karena tanpa alasan, tapi karena setelah operasi itu ia akan membawah Amira, sebagaimana yang tercantum dalam kontrak mereka.

Tak berselang lama pintu operasi terbuka. Muncul dari dalam sana dokter yang menangani ibunya Amira.

"Keluarga pasien?"

Amira lekas menghampiri dokter itu. Tubuhnya gemetar. Kakinya lemas. Semoga ia mendapat kabar baik.

"Maaf harus menyampaikan ini, tapi nyawa pasien tidak tertolong." Dokter itu mengutarakan kalimatnya tanpa bertele-tele.

Membuat Amira seketika terjatuh. Ia menangis sambil berteriak histeris, menolak kenyataan yang ada. Kenyataan cukup memukulnya.

Marco turut merasakan apa yang dirasakan Amira saat ini. Gadis itu telah berkorban banyak untuk ibunya, tapi ibunya malah pergi untuk selama-lamanya.

Marco kemudian melaporkan situasi disana kepada Aidan. Mereka terpaksa memberikan waktu kepada Amira untuk berkabung.

1 minggu kemudian …

Fisik dan mental Amira sekarang sudah lebih baik. Perlahan ia mulai mengikhlaskan kepergian sang ibunda.

Kini gadis itu sedang berada di sebuah cafe bersama Marco, hari ini Marco akan membawa Amira.

"Ini kontrak perjanjiannya. Silahkan dibaca, kamu pasti tidak sempat membacanya kemarin." Marco menyodorkan sebuah  map kepada Amira.

Amira hanya diam dan menerima itu. Lalu membacanya. Ia tidak membaca secara menyeluruh, hanya point-point penting saja.

Wajib tinggal di tempat yang telah disediakan Tuan Aidan Salvador.

Selalu mengikuti apapun yang menjadi perintah Tuan Aidan Salvador. Dilarang membantah.

Kontrak berlangsung selama satu tahun.

Mungkin hanya tiga hal penting itu yang bisa Amira tangkap.

"Boleh aku bertanya?" Ujar gadis itu.

"Silahkan."

"Bagaimana jika seandainya dalam waktu dekat aku mengembalikan uang Tuan Aidan, apa kontrak ini masih akan berlaku?"

"Kontrak tetaplah kontrak. Kamu sudah menandatanganinya dengan keadaan sadar tanpa paksaan. Disitu tidak tertulis kamu bisa mengembalikan uang Tuan Aidan, maka kontrak itu tetap berlaku meski kamu memiliki cukup uang untuk membayar kembali uang Tuan Aidan."

Amira mengangguk pelan. Sampai disini ia cukup paham. Rasanya seperti terkekang, karena ia harus melakukan semua perintah Tuan Aidan.

"Jika sudah selesai, aku akan mengantarmu ke tempat yang sudah disiapkan. Mari." Marco bangkit menuju mobil, diikuti Amira di belakangnya.

Mobil itu kemudian melaju, membela keramaian kota hingga memasuki kompleks perumahan elite.

Mobil itu berhenti pada sebuah rumah minimalis bergaya modern. Marco mengajak Amira masuk.

Kunci rumah, ponsel, atm dan buku rekening, semua Marco berikan kepada Amira.

Amira menatap bingung semua benda-benda itu. Tatapnya bertanya kepada Marco.

"Gunakan ponsel ini. Tuan Aidan akan menghubungimu menggunakan ponsel itu. Selanjutnya atm dan rekening, Tuan Aidan akan mengirim setiap bulannya 100 juta untuk kebutuhanmu. Di garasi juga sudah disediakan kendaraan roda empat dan roda dua, kamu bisa menggunakannya."

Amira tercengang. Haruskah ia senang mendapatkan semua fasilitas ini? Ia bungkam tanpa berkata-kata. Ingin menolak, tapi ini perintah Tuan Aidan dan jelas tertulis di kontrak dilarang membantah.

"Jika kamu sudah paham sampai disini, maka aku akan pergi sekarang." Marco hendak melangkah pergi, tapi ia teringat sesuatu.

"Nanti malam, Tuan Aidan akan datang. Dia menyuruhmu menyambutnya menggunakan pakaian yang sudah disediakan di lemari."

"Iya." Singkat Amira disertai anggukan kepala.

Marco kemudian pergi dari sana. Amira menutup pintu rapat. Netranya menyorot sekeliling. Ia menjelajah dan melihat-lihat setiap inci dari rumah itu.

Langkahnya terhenti depan lemari di kamar utama. Mungkinkah lemari itu yang dimaksud Marco tadi?

Amira membukanya perlahan, hingga ia menemukan tumpukan pakaian-pakaian seksi berserta lingerie.

"Apa dia menyuruhku menggunakan ini?" Amira mengangkat satu lingerie seksi. Ia menatapnya jijik. Sebelumnya ia tidak pernah mengenakan baju-baju seperti itu.

Ia tidak ingin memakainya. Itu bukan stylenya. Lagi pula rasanya mau muntah mengenakan baju seperti itu.

Namun, sepenggal kalimat dalam kontrak kembali teringat, 'Dilarang membantah perintah Tuan Aidan.'

Sore menjelang malam …

Sebuah mobil mewah memasuki halaman rumah tempat Amira tinggal.

Amira diam-diam mengintip. Memeriksa apakah itu Tuan Aidan? Pertanyaannya terjawab setelah seorang laki-laki tampan nan mempesona turun dari dalam mobil mewahnya.

"Selamat datang, Tuan." Seperti yang Marco katakan, Amira menyambut kedatangan Aidan di depan pintu.

Aidan menatap datar dan dingin wanita itu. Alisnya berkerut. Sepertinya telah terjadi sesuatu yang tidak disukainya.

"Apa asistenku tidak beritahu untuk mengenakan baju yang sudah disiapkan?" Suara bariton itu terdengar tegas dan sangat dingin tak tersentuh.

"Saya mengenakannya, Tuan." Amira kemudian menanggalkan kimono yang ia gunakan.

Tubuhnya tampil menggunakan lingerie hitam berpadu dengan kulit putihnya. Rambut panjangnya terurai indah membuat penampilannya sempurna dan seksi.

"Jangan lagi menutupi tubuhmu. Kau wajib menggunakan baju-baju itu, saat berada di rumah." Tegas Aidan dengan sorot mata tajam.

"Baik, Tuan."

Aidan mengambil tempat duduk di sofa, tepat di depan Amira. Dua maniknya menatap lurus, entah menikmati pemandangan tubuh Amira atau sedang melamun.

Tidak ada yang tahu karena pria itu tidak berekpresi. Wajahnya datar dan dingin.

Namun, Amira beramsumsi Aidan sedang memperhatikan tubuhnya yang sangat sangat seksi. Lingerie itu hanya menutup puting dan bagian intinya, sisanya terekspos sempurna.

Amira tidak nyaman berdiri disana. Kakinya juga sudah keram diajak berdiri terus. Maka ia memberanikan diri pergi ke dapur mengambilkan minum untuk Aidan.

"SIAPA YANG MENYURUHMU PERGI?!! HUH!!"  Mendadak pria itu berteriak kencang. Amira sampai tersentak mendengarnya. Buru-buru ia berjalan cepat, kembali ke tempatnya tadi.

"Ma-maafkan saya, Tuan." Jawab Amira menunduk. Ia tak berani menatap mata elang pria itu.

"Kau mau aku melecehkanmu disini?!!" Aidan masih membentak.

Sontak Amira terkejut. Dua matanya membulat lebar. Tubuhnya bergetar ketakutan. Siapa sangka ternyata beginilah keaslian Aidan Salvador.

Aidan bangkit. Ia mendekati Amira. Berputar mengelilingi tubuh seksi itu sambil memperhatikan setiap incinya.

Pakh!!!

Aghh!!!

Aidan menampar pantat Amira yang terekspos. Membuat gadis itu menjerit.

Amira sungguh tidak nyaman diperhatikan secara dekat seperti ini, belum lagi bajunya yang seperti itu.

Tapi apa daya, dia sudah terikat kontrak yang ia tanda tangani secara sadar.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status