Share

Bagian 2

Author: Adriana
last update Last Updated: 2024-09-28 23:16:14

Dengan hati-hati, Kaelan membuka pintu belakang mobil dan membaringkan tubuh Ayu di sana, memastikan dia nyaman meskipun dalam keadaan tak sadar.

Setelah itu, ia berdiri sejenak memandang gadis itu dengan ekspresi yang lebih lembut dari sebelumnya. Ada sesuatu yang berbeda dalam tatapannya, seolah-olah gadis ini memiliki arti yang lebih besar dari sekadar mangsa.

Kaelan menutup pintu mobil dengan lembut, lalu berjalan ke kursi pengemudi. Saat ia duduk di balik kemudi, pria itu melirik ke kaca spion, melihat Ayu yang masih terbaring tak sadarkan diri.

Dengan tarikan napas panjang, Kaelan memutar kunci kontak, dan mesin mobilnya menderu halus.

“Aku mencium aroma yang unik dalam tubuhnya. Aroma yang berbeda dari manusia yang pernah aku temuk,” gumamnya pelan, sebelum mobil itu meluncur dengan kecepatan yang senyap menembus jalanan berliku di sekitar Hutan Halimun, menembus kegelapan yang semakin pekat.

Dia berencana membawa gadis ini ke penthouse mewahnya di pusat Jakarta, jauh dari desa terpencil di kaki bukit.

Di sana dia bisa menyelidiki lebih dalam tentang gadis ini, tentang aroma yang membuatnya tertarik dan merasa perlu membawanya.

Sementara itu, di sebuah rumah sederhana mulai dipenuhi kecemasan. Ratna yang tidak lain adalah ibunya Ayu tidak bisa berhenti mondar-mandir di ruang tamu. Wajahnya pucat dan matanya terus-menerus melirik ke arah pintu depan yang masih tertutup rapat.

"Pak, Ayu belum juga pulang," katanya dengan nada cemas, menghentikan langkahnya sejenak dan menatap suaminya yang duduk dengan wajah penuh kerut kecemasan di kursi kayu usang.

Pak Darto mengangguk pelan, pandangannya tak lepas dari jendela yang mengarah ke luar rumah. Matahari telah sepenuhnya terbenam, dan langit yang semakin gelap menambah rasa takut yang menggelayuti pikirannya.

"Dia pergi untuk mengumpulkan kayu bakar di perkebunan pinus. Seharusnya sudah kembali sekarang," ujar Pak Darto dengan nada berat.

Dia adalah seorang pria yang jarang memperlihatkan kekhawatirannya, tetapi malam ini berbeda. Ada sesuatu yang tidak beres.

Ratna meremas tangannya dengan gugup, mencoba menahan air mata yang mulai menggenang.

"Pak, aku takut ada yang terjadi pada Ayu. Orang-orang desa sering bicara tentang hewan buas di hutan..."

Pak Darto menarik napas dalam-dalam, mencoba menenangkan istrinya meski hatinya sendiri dihantui ketakutan yang sama.

"Aku akan pergi mencarinya," katanya akhirnya, berdiri dengan tegas. Dia mengenakan jaketnya dan meraih senter di meja.

"Tapi, Pak... gelap sekali di luar. Bagaimana kalau—"

"Seseorang harus mencarinya, Bu. Kalau aku tidak pergi sekarang, siapa yang tahu apa yang bisa terjadi?" jawabnya dengan rasa khawatir.

Dengan langkah berat, Pak Darto membuka pintu dan melangkah keluar ke malam yang dingin. Ratna berdiri di ambang pintu, mengawasi suaminya yang semakin menjauh, membawa cahaya senter yang bergetar di antara bayangan pepohonan.

Kembali lagi ke dalam mobil Kaelan, Ayu mulai bergerak perlahan. Tubuhnya yang lemah masih terasa berat, tetapi kesadarannya mulai pulih. Kelopak matanya bergetar sebelum akhirnya terbuka dan ia melihat langit-langit mobil yang asing di atasnya.

"Di mana aku...?" gumam Ayu, suaranya serak dan pelan.

Kaelan mendengar suara lemah itu dan menoleh sekilas ke belakang. "Kau sudah bangun," katanya dengan nada dingin.

Ayu berusaha duduk, tetapi tubuhnya masih terasa lemah. Pikirannya mulai memutar kembali apa yang terjadi sebelum ia pingsan.

Ingatan tentang serigala besar, suara erangan, dan kawanan serigala yang mengelilinginya perlahan kembali. Jantungnya berdegup kencang.

"Siapa kau? Apa yang terjadi? Di mana aku?" tanyanya dengan suara yang bergetar, mencoba memahami situasi di sekitarnya.

Kaelan tidak menjawabnya, dia hanya fokus mengemudi.

“Apakah kamu yang menyelamatkan aku dari kawanan serigala di hutan?” Tanya Ayu.

“Kau berpikir seperti itu?” Bukannya menjawab, Kaelan balik bertanya.

"Hmm, baiklah anggap saja begitu. Kau aman. Sekarang! Aku menyelamatkanmu dari serigala-serigala itu. Mereka hampir membunuhmu."

Ayu terdiam, mengingat sosok serigala besar yang paling menakutkan. Ia ingat mata merah yang menyala. Tapi saat ia melirik ke arah mata pria itu dari kaca spion, tatapan matanya sama persis.

"Apa... apa kau..." Ayu terdiam, belum berani mengungkapkan kecurigaannya.

Kaelan menyela sebelum Ayu bisa menyelesaikan pertanyaannya. "Kita sedang dalam perjalanan ke Jakarta. Kau akan aman di sana. Tidak ada yang bisa melukaimu."

Ayu merasa kebingungan. Jakarta? Mengapa dia harus dibawa ke Jakarta? Dia harus pulang, keluarganya pasti khawatir.

"Aku... aku harus pulang. Ibu dan bapakku pasti sedang mencariku."

Kaelan menatap Ayu dari kaca spion dengan sorot mata yang tak terbaca. "Mereka tidak akan bisa melindungimu. Kau lebih aman bersamaku."

"Apa maksudmu? Kenapa kau bicara seperti itu?" tuntut Ayu, kini mulai sadar bahwa ada sesuatu yang tidak beres dengan pria ini.

Meskipun dia tampan dan berbicara tenang, ada aura misterius yang membuatnya merasa tidak nyaman.

“Jangan bilang kau mau menculikku?” Celetuk Ayu.

Mendengar apa yang di ucapkan Ayu, dia hanya tertawa sembari semakin mempercepat laju kendaraannya.

“Hahaha! Kau berpikir aku ini penculik?” Tanya Kaelan.

Ayu semakin cemas saat Kaelan terus tertawa renyah, nada suaranya membuat bulu kuduknya meremang. Tidak ada hal yang lucu dari situasinya, tapi Kaelan tertawa seolah-olah ia telah mendengar lelucon yang paling menggelikan.

"Apa yang kau tertawakan?" tanya Ayu dengan nada tidak sabar, wajahnya penuh kebingungan.

Kaelan melirik kaca spion, menatap Ayu dengan tatapan penuh teka-teki.

"Kau benar-benar ingin turun di sini?" tanyanya dengan nada menggoda, seolah ia sedang menguji keberanian Ayu.

Ayu terdiam sejenak. Ia tidak tahu apakah pria ini serius atau hanya mempermainkannya, tapi sesuatu di dalam dirinya mengatakan bahwa dia harus segera keluar dari mobil ini.

"Ya," jawab Ayu dengan tegas, meskipun suaranya terdengar sedikit gemetar. “Turunkan aku di sini."

Kaelan tersenyum kecil, memperlambat laju mobil, tapi tidak berhenti. "Kau yakin? Jika kau turun sekarang, kau tidak akan lagi berada di desamu. Kita sudah sangat jauh dari tempat itu. Hanya ada hutan dan jalan yang sepi di sini."

Ayu memandangi jalanan di luar jendela, melihat pohon-pohon gelap yang berderet di sepanjang jalan. Tidak ada tanda-tanda kehidupan, hanya kegelapan yang mendalam. Rasa takut menyelinap ke dalam dirinya, tapi ia mencoba menyembunyikannya di balik wajah yang berani.

"Aku tidak peduli," jawab Ayu, "Aku harus pulang. Keluargaku pasti khawatir. Kumohon, turunkan aku."

Kaelan mengangkat alis, terkesan dengan keberanian Ayu. "Kau benar-benar keras kepala, ya?" Dia kembali tertawa kecil, suaranya menggema dalam kabin mobil yang sunyi. "Baiklah, kalau itu yang kau inginkan."

Mobil perlahan berhenti di tepi jalan yang gelap, hanya diterangi oleh sinar redup dari lampu depan mobil.

Kaelan menatap Ayu sejenak sebelum berbicara lagi.

"Kalau kau benar-benar ingin turun, silakan. Tapi ingat, jalan ini panjang dan berbahaya. Aku tidak akan bertanggung jawab atas apa yang mungkin terjadi."

Ayu merasa merinding mendengar kata-kata itu, tapi ia sudah memutuskan. Dia tidak bisa terus berada di dekat pria yang misterius ini.

"Aku akan baik-baik saja," katanya, meskipun hatinya dipenuhi ketakutan.

Kaelan menggelengkan kepala, senyum tipis masih menghiasi bibirnya. "Baiklah, itu pilihanmu." Dia menekan tombol untuk membuka pintu belakang mobil.

Ayu ragu sejenak, tapi akhirnya mengumpulkan keberaniannya dan melangkah keluar dari mobil. Udara dingin malam segera menyambutnya, dan suara gemerisik angin yang bertiup di antara pepohonan terdengar mengintimidasi.

Kaelan mengamati Ayu dari dalam mobil sambil menyeringai.

“Kita lihat, apah kau akan takut dengan suaraku?” Batinnya.

“Aauuuu, aauuuu!” Kaelan membuat suaranya seakan-akan jauh dari dalam hutan.

Hal itu membuat Ayu merasa merinding. Tapi ia tetap berjalan menjauh dari mobil, meskipun jalanan itu tampak tak berujung dan penuh kegelapan.

“B-bagaimana jika serigala itu kembali muncul?” Batinnya terus bergemuruh.

Sedangkan Kaelan tetap duduk di kursi pengemudi, memperhatikan setiap langkah Ayu dari kaca spion, sambil tersenyum tipis.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Cinta Untuk Keturunan Terakhir Wolfric   Bagian 27

    Malam itu Kaelan melangkah perlahan di bawah cahaya rembulan yang samar, mencoba menghindari setiap bunyi ranting atau dedaunan kering yang bisa membongkar keberadaannya. Di balik jendela kamar, istrinya tampak sedang berbicara dengan ibunya. “Huh, untung saja aku bergerak cepat.” Gumamnya pelan. Dia melesat mengitari rumah mertuanya hingga berhenti tepat di depan pintu. Dengan perlahan dia mengetuk pintu tersebut. Tok, tok, tok! Sementara itu di dalam Ayu dan ibunya menoleh saat mendengar ketukan pintu. “Bu, sepertinya itu Mas Kaelan.” Ucap Ayu. “Kamu sudah berbaikan dengan suamimu yu?” Tanya sang ibu. “Hmm, iya bu. Sebenarnya itu hanya kesalahpahaman.” Ujar Ayu beralasan. “Ya sudah, cepat bukakan pintu yu. Kasian suamimu.” Ucap sang ibu dengan lembut. Ayu bergegas menuju ruang tamu untuk membukakan pintu. Sesampainya di depan pintu, Ayu menarik napas panjang sebelum akhirnya memutar gagang pintu. Begitu pintu terbuka, Kaelan langsung menerobos masuk tanpa berkata sepatah k

  • Cinta Untuk Keturunan Terakhir Wolfric   Bagian 26

    Malam itu langit tampak gelap gulita, tidak ada bintang satupun menghiasi langit Jakarta. Kawlan tampak berdiri di depan jendela besar yang menghadap ke arah kota besar. Setelah pertengkaran dengan Ayu di memutuskan menenangkan diri di Markas bangsa serigala. Di sisi lain Leo tampak sibuk dengan benda pipih yang baru di belikan Fors. “Kae, ini bagaimana menggunkannya?” Tanyanya. Pria tampan itu menghiraukan seruan sahabatnya, tatapannya kosong. “Kae…tolong lah! Aku tidak mengerti menggunakan benda canggih ini.” Gerutunya sambil mengangkat ponsel yang ada di tangannya. Kaelan berbalik, tatapannya tajam seolah Leo telah mengganggunya. “Kau sangat berisik! Aku pergi,” katanya yang langsung nyelonong begitu saja. “Kau mau kemana kae?” Teriaknya lalu kembali fokus pada benda yang di pegangnya. Dia terus menggerutu sambil menatap layar ponselnya. Matanya terpaku pada beberapa ikon warna-warni yang bergerak di layar, merasa sedikit kebingungan dan frustrasi. Dengan ragu-ragu, ia me

  • Cinta Untuk Keturunan Terakhir Wolfric   Bagian 25

    "Jadi, maksudmu aku harus meninggalkan hutan dan hidup di antara manusia seperti yang kau lakukan?" Leo menatap Kaelan dengan sorot penuh keraguan. "Aku tidak sekuat itu, Kaelan. Menyaksikan bangsa kita dibantai, lalu hidup berdampingan dengan para pembunuh itu... bukan hal yang mudah." Kaelan mengangguk pelan, memahami keraguan sahabatnya. "Aku tahu, Leo. Tapi kita tidak punya pilihan lain. Dunia ini telah berubah, dan kita harus menyesuaikan diri atau punah. Aku tidak bisa membiarkan kenangan masa lalu menjadi penghalang. Kita butuh keturunan yang kuat untuk melanjutkan garis keturunan bangsa serigala." Leo terdiam tampak berpikir dejenak sebelum kembali berargumen. "Bagaimana jika mereka tahu kita masih hidup, Kaelan? Jika manusia tahu keberadaan kita… apa yang akan terjadi?" Kaelan menarik napas dalam-dalam, lalu menatap sahabatnya dengan tegas. "Itu risiko yang harus kita ambil. Kita tidak bisa bersembunyi selamanya. Selama kita bisa beradaptasi, tidak ada yang perlu kita

  • Cinta Untuk Keturunan Terakhir Wolfric   Bagian 24

    Malam itu Kaelan duduk di ruang keluarga sambil membaca laporan pekerjaan di laptopnya. Sedangkan Ayu di sebelahnya sambil mengelus perutnya yang masih rata. “Mas…” panggil Ayu pelan. Kaelan menoleh, memasang senyum lembut. "Ada apa, Sayang?" Ayu menatapnya dengan wajah polos tapi penuh harap. "Aku kayaknya lagi pengen sesuatu." Kaelan mengangkat alis, lalu menyimpan laptopnya. “Pengen apa? Bilang saja, biar aku carikan.” Ayu menggigit bibirnya menunduk sedikit malu. "Aku pengen makan mangga muda, Mas... yang asam, terus dicocol sama sambal rujak yang pedesnya." Kaelan menahan tawa kecil mengingat kejadian saat ia mencoba sambal ijo untuk pertama kalinya.“Mangga muda ya? Hmm, sebentar aku coba lihat dulu di kulkas. Kalau nggak ada aku akan cari di luar.” Ayu tersenyum lebar, matanya berbinar penuh harapan. “Serius, Mas? Terima kasih ya!” Kaelan mengangguk lalu beranjak menuju dapur untuk memeriksa kulkas. Namun, setelah membuka pintu kulkas dan memeriksa isinya, ia hanya mend

  • Cinta Untuk Keturunan Terakhir Wolfric   Bagian 23

    Kaelan kembali membawa piring dengan sepotong roti panggang berisi telur ceplok dan sayuran segar, memang terlihat biasa, tapi setidaknya bisa mengenyangkan istrinya. Ia tersenyum kecil, sedikit merasa bersalah."Maaf ya, sayang. Mungkin ini lebih cocok untukmu," katanya sambil meletakkan piring itu di depan Ayu.Ayu tersenyum tipis. "Nggak apa-apa, Mas. Aku ngerti kok."“Ya sudah cepat di makan.” Kata Kaelan.Kaelan melirik jam di tangannya, lalu dengan perlahan melepas celemek yang ia kenakan. Dia menghela napas sejenak sebelum menatap Ayu yang mulai menikmati roti panggang buatannya."Setelah makan, kamu istirahat saja ya, Sayang," ucap Kaelan sambil meletakkan celemeknya di meja. "Aku akan kembali tengah malam."Ayu menghentikan gerakannya, mengernyitkan alis. "Memangnha kamu mau ke mana?"Kaelan tersenyum paksa. "Aku ada rapat penting di kantor."“Rapat? Memangnya serigala punya kantor ya?” Tanya Ayu polos.Kaelan tersenyum sambil menggelengkan kepalanya.“Bukan, aku rapat bers

  • Cinta Untuk Keturunan Terakhir Wolfric   Bagian 22

    Pagi itu suasana rumah terasa berbeda. Ayu sibuk berkemas, memeriksa satu per satu barang yang akan dibawanya ke Jakarta. Hari ini ia akan ikut bersama suaminya, meninggalkan rumah orang tuanya untuk beberapa waktu.Ratna berdiri di ambang pintu kamar Ayu, memperhatikan putrinya dengan tatapan sedih. Sementara Darto duduk di ruang tamu sambil menunduk, mencoba menahan perasaan yang berkecamuk di dadanya. Darma adik laki-laki Ayu, mondar-mandir di depan kamar, tampak gelisah."Yakin nggak ada yang ketinggalan, Yu?" tanya Ratna, suaranya terdengar serak.Ayu berhenti sejenak, menatap ibunya dengan senyuman lembut. "Insya Allah nggak ada, Bu. Semua udah aku cek berkali-kali."Ratna menghela napas panjang. "Kamu bakal sering pulang, kan?"Ayu mendekat, menggenggam tangan ibunya. "Pasti, Bu. Lagian, Jakarta nggak jauh kok. Cuma beberapa jam aja."Darto yang sedari tadi diam, tiba-tiba angkat bicara. "Tetap aja, Ayu. Rumah ini bakal sepi tanpa kamu. Kita nggak terbiasa kalau kamu nggak di

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status