"Ada apa ini? Malam-malam pada ribut?" tanya Bu Aini, seraya berjalan ke arahku dan Mas Anton, yang masih berdiri tak jauh dari tangga penghubung.
Napas Mas Anton memburu seiring amarahnya yang membuncah, ekspresi wajahnya terlihat begitu marah, dia menoleh sekilas padaku dengan tatapan nyalang. Kemudian tatapannya beralih pada Bu Aini.
"Bu, anak ibu sudah mengganggu istri saya, dia sudah meniduri Intan! Mana laki-laki brengsek itu!" tuduh Mas Anton dengan menyeringai wajah dan matanya memerah diliputi amarah, aku hanya bisa menunduk, dalam karena takut, dari mana dia tahu soal ini?
"Apa benar, yang dikatakan suamimu itu Intan? Jawab?!" tanya Bu Aini menatapku, hatiku begitu gusar takut pada kak Novi juga malu pada semuanya, jika kelakuan kami tadi sampai ada buktinya. Bibir pun terasa kaku, lidah terasa kelu, tak sanggup untuk berucap, seakan mulutku ini ada yang membungkam.
Kak Novi pun ikut mendekat ke arahku, dia menatapku dengan tatapan tak
"Mas," lirihku seraya meraih tangannya, ia bergegas menepis tanganku. "Aku tak sudi, menyentuhmu lagi! Wanita kotor," "Mas, kenapa kamu mengatakan bahwa aku ini wanita kotor? Aku tidak pernah melakukan apapun dengan Mas Arkan, percayalah!" Tubuhku merosot ke bawah, memohon dan bersimpuh di kaki Mas Anton. "Bagaimana, aku bisa mempercayaimu, sedangkan rekaman di ponselku, menunjukkan kegilaan kamu dengan kakak iparmu, di atas ranjang, sekuat apapun kamu mengelak, takkan pernah berhasil. Aku punya bukti yang kuat, dari rekaman kamera tersembunyi yang aku pasang di kamar." Jadi Mas Anton sengaja memasang cctv di dalam kamarku, bukannya dia mengatakan bahwa ibunya yang memberitahu Mas Anton, soal perasaannya yang mulai tak enak, tentang rumah tangga anaknya, ternyata ini alasan di balik semua rencananya. Ternyata Mas Anton diam-diam mengintai kami, dia sengaja beralasan ingin menunggui ibunya di rumah sakit, padahal dia sedang mengawasiku da
"Tolong ... Hentikan! Jangan bertengkar lagi!" teriak Bu Aini menghambur pada Mas Arkan juga Mas Anton. "Sudah! Sudah, kita bicarakan ini dengan kepala dingin, jika terus seperti ini tidak akan menemukan titik terang," ucap Pak Broto menimpali, dan melerai pertikaian antara kakak dan adik ipar tersebut. "Tidak! Aku harus memberi pelajaran pada anak anda Bu Aini, maaf," jawab Mas Anton tegas, dengan napas tersengal, dipenuhi amarah. Aku benar-benar tak pernah menyangka akan seperti ini jadinya, keluargaku akan hancur dalam sekejap, karena perselingkuhanku dengan Mas Arkan, yang menimbulkan masalah serumit ini. "Mas, sudah, hentikan! Dengar perkataan ayah!" Kak Novi menarik tangan Mas Arkan, aku pun bergegas menarik tangan Mas Anton, dengan sekuat tenaga saat mereka sudah bersiap untuk saling memukul. Mas Anton memandangku sekilas dengan tatapan sengit. "Ini yang kamu mau kan, kamu mau menghancurkan semuanya, hah?!" hardik Mas Anton, memutar tan
"Mas Arkan ... aku benar-benar tak pernah menduga. Intan Kakak juga tidak pernah menyangka sedikit pun, kamu bisa berbuat seperti ini, sakit hati Kakak, sakit ...," pekik kak Novi dengan suara tercekat, seraya menengadahkan wajahnya, tubuhnya pun merosot dari sofa tempat ia duduk. Aku bersimpuh di pangkuan kak Novi, kugenggam erat tangannya, lalu kucium agar dia berkenan memaafkan segala kesalahan dan dosa, yang telah aku perbuat padanya. "Aku menyesal Kak, aku sudah berbuat salah, aku mohon ampuni aku kak! Kakak masih ingat kan? Dulu Papa bilang apa, kita jangan sampai pisah dan bercerai berai! Kakak ingat kan, pesan terakhir Papa?" Aku memohon, menatap wajahnya dengan mengiba. Kak Novi menarik napas begitu berat, ia gigit bibirnya yang bergetar menahan segala rasa sakit dalam hatinya. "Andai Papa tahu, tentang semua ini, kakak yakin dia akan merasa sangat kecewa, terhadapmu Intan, melakukanmu benar-benar di luar dugaan kami," "Kakak, tolong! Jangan
"Mas, jangan tinggalkan aku, kita, kita bisa selesaikan semuanya! Aku yakin kita akan baik-baik saja," ucapku terbata-bata, kupeluk lengannya lebih erat lagi, dia balas menatapku dengan ekor matanya yang begitu tajam. "Minggir! Ini sudah selesai, dan tak ada yang perlu diperbaiki," jawabnya. Kemudian Mas Anton menghempaskan tanganku, hingga aku pun terhuyung ke belakang. "Ah ... Mas," jerit ku seraya menahan tubuh, menjaga keseimbangan agar tak jatuh. Mas Arkan yang melihatku terhuyung, dengan cepat ia lari menghampiriku, dan sigap menangkap tubuhku yang hampir ambruk, dia menatapku dengan mimik wajah penuh kekhawatiran. "Kamu, tidak apa-apa kan, Intan?" tanya Mas Arkan cemas. Aku menggeleng, dia hanya balas mengangguk dengan seulas senyuman yang begitu menawan. Lalu dia menatap Mas Anton dengan tatapan kesal. "Anton, kau jangan kasar pada Intan! Setidaknya kau bersikaplah lembut pada perempuan," lanjut Mas Arkan membelaku. Aku menoleh seraya
Setelah Mas Anton mengurungkan niatnya untuk pergi dari rumah ini, kami pun kembali masuk ke kamar masing-masing karena hari masih pukul empat pagi. Namun, berbeda dari malam yang lalu, aku dan Mas Anton pisah kamar mulai malam ini, aku tidur di kamarku yang biasa aku tempati. Sementara Mas Anton tidur di kamar bekas almarhum Om,nya kak Novi yang berada di lantai dua, tak jauh dari kamarku hanya selisih dua pintu, ruang tempat kerja papa dulu, dan bekas kamar almarhum Papa Bramantyo dan Mama Sofia. Kebetulan kamar itu tak ada yang menghuni, dan tetap terawat juga bersih, karena memang setiap hari dirapikan oleh asisten rumah tangga yang biasa bekerja paruh waktu di rumah ini. Ada rasa yang amat begitu hampa, sesaat setelah Mas Anton menalakku, juga sikap kak Novi yang berubah drastis dingin dan acuh padaku. Aku merasa hidup ini sendiri, tanpa teman dan saudara, suami pun tak memperdulikanku lagi. Aku terima dengan lapang dada, aku yang membuat kehancu
Kesalahan yang aku buat sudah begitu fatal, hingga semua orang di rumah ini terasa asing bagiku. "Intan, kamu sedang apa?" Suara bariton tiba-tiba mengusik lamunanku. Aku mendongak menatap wajah itu, senyum aku tampilkan meski ini terasa susah dan begitu berat. "Pak Broto, silahkan duduk, Pak!" ajakku sembari bangkit dan mempersilahkan Pria paruh baya, dengan setelan kemeja putih dan celana bahan warna hitam itu untuk duduk. Dia pun duduk di kursi berseberangan denganku. "Terima kasih," balasnya. Aku mengangguk kecil. Kemudian kedua tangannya dilipat diatas meja. "Omong-omong, kamu kok sendirian? Yang lain kemana?" lanjutnya seraya menoleh dan mengedarkan pandangannya ke arah dapur. "Gak tahu." Aku menggeleng pelan. "Mungkin, masih pada di kamar masing-masing, makanya saya menunggu semuanya untuk sarapan, tapi tak ada yang datang dan berkenan menyantap hidangan yang saya buat ini, Pak," jawabku pelan. Pak Broto menarik napas panjang, sembari m
"Aku permisi Mas, mau ajak yang lain untuk sarapan!" ucapku seraya bangkit dari duduk. Tangan Mas Arkan tiba-tiba menarik tanganku, menahan agar aku tak beranjak. Aku menatap genggaman tangannya yang melingkar di pergelangan tanganku, sentuhannya begitu hangat menjalari ke seluruh nadiku, hingga menggetarkan hati ini. Mataku terpejam, sambil menggigit bibir untuk menetralkan debaran jantung ini yang tak karuan. Ya Tuhan ... kenapa cinta di hati ini begitu besar padanya, sehingga semua orang merasa tersakiti, atas cinta yang kami miliki. "Mas, tolong lepaskan aku! Kita sudah cukup membuat keributan di rumah ini, dan sudah cukup merusak keharmonisan seluruh keluarga kita!" sergah ku berusaha melepaskan genggamannya. "Mas mencintai kamu Intan, kau tahu itu, kan? Hati Mas hanya untuk kamu, apa kamu mau menikah dengan Mas?" Kata-kata itu keluar lagi dari mulutnya, membuat aku terpaku, dan tak bisa menjawabnya. Dia mendongak kemudian bangkit, memaks
"Untuk apa Anton? Kau mau mempermalukan kami, hah?" tanya Mas Arkan mengangkat wajahnya ke arah wajah Mas Anton. "Tidak! Aku hanya butuh keadilan, satu jam lagi Pak RT juga Pak lurah akan hadir, kalian segera lah bersiap-siap, untuk semua ini!" ucap Mas Anton dengan tegas. "Dan kamu Intan, bicaralah pada Ayah dan Ibu! Jelaskan kepada mereka, tapi, jangan membuat mereka syok, juga jangan membuat mereka sakit hati, tentang apa yang sudah kau perbuat, jelaskan sebaik-baiknya, bahwa menantu kesayangannya tidak bisa hidup lagi bersamaku." Mas Anton tersenyum kecut, tanpa menatapku. "Mas ... ampuni aku!" Bibirku rasanya kelu untuk berucap, kutarik napas dan mengembuskannya dengan kasar, aku menyesal membuat Mas Anton begitu tersakiti karena ulahku, dia memang sangat mencintaiku, meskipun aku tak begitu mencintai dia. Namun, kesalahanku, karena aku tak bisa menghargai perasaan dan ketulusannya. "Aku sadar, Intan. Kakak iparmu banyak uang, apapun yang kau min