Lian sedang tidak baik-baik saja saat ini. Bagaimana bisa baik-baik saja kalau mata ini memandang begitu jelas keberadaan Mahesa yang ada di hadapannya namun berpura-pura lupa seolah tidak tau siapa aku yang sebenarnya.
Jelas saja itu membuatku sakit hati yang begitu dalam pada dirinya. Apalagi semua itu dia lakukan di depan kedua orangtuaku dan juga kedua orangtuanya.
Kemarin Mahesa pernah bilang padaku kalau dia melakukan hubungan dengan adikku adalah sebuah keterpaksaan. Namun yang ku lihat tidak begitu. Dengan sabarnya dia memperlakukan adikku sebagai orang yang di kasihinya. Menanggapi setiap obrolan Raisa seperti orang yang sudah kenal satu sama lainnya dan terkadang tidak sungkan memperlihatkan kemesraan di depan banyak orang. Apa begitu yang dinamakan keterpaksaan?
Ah benar-benar munafik. Kata-kata yang diberi tidak sama dengan realita yang ada. Lian tidak pernah meragukan bakat akting terpendam yang dimiliki seorang Mahesa. Mahesa patut di acungi jempol. Kemarin Mahesa terlihat begitu kehilangan hubungan kami dan ingin memperbaikinya namun saat di dekat Raisa, Mahesa malah bersikap tidak terjadi apa-apa dan acuh sama Lian. Apa itu yang disebut masih cinta? Tidak menghargai Lian sebagai mantan yang sangat terluka saat ini dan bersikap manis di depan semua orang.
Dan kini apa yang dia mau sebenarnya? Menghampiri Lian di saat orang-orang itu sedang sibuk makan di ruang makan dan menganggap semua baik-baik saja. Seharusnya Mahesa memikirkan perasaan keluarganya dan keluargaku, bukannya keegoisan diri sendiri. Bisa saja orang yang melihat kami berdua di sini menafsirkan lain kalau kami mempunyai hubungan lebih dari sekedar teman. Mendatangi wanita yang tak lebih selain Kakak Ipar tapi terlihat akrab dan sekarang pancaran wajahnya malah seperti orang merana.
Oh yang benar saja, mereka akan ragu melihat hal itu.
"Ngapain kamu ke sini? Kamu nggak takut ada yang lihat kalau kamu ketemu aku di sini? Nanti di kira kita ada apa-apa lagi. Aku nggak mau di bilang perebut pacar orang ya. Lebih baik kamu pergi sana. Aku ingin di sini sendiri."
Mahesa mendecak dan aku makin benci itu.
"Pergi sana gue nggak suka sama lo!"
Ingin sekali Lian bilang begitu sama dia. Tapi yang terjadi malah menatapnya dengan penuh kebencian. Tak ada lagi rasa cinta itu yang dulu Lian taruh di dalam hatinya. Ini terjadi setelah pertemuan demi pertemuan yang memperlihatkan bagaimana sosok Mahesa yang sebenarnya. Dia tidak lagi mau berjuang bersama denganku sampai kami menikah. Malah dia memilih jalur aman supaya dia bisa hidup dengan tenang dan damai supaya dia bisa menikmati hidup tanpa susah sekalipun.
"Aku nggak mau orang lain berpikir macam-macam Mahesa. Untuk apa kamu ke sini kalau untuk memperburuk keadaan. Kamu tau kan, adikku itu udah suka sama kamu. Jangan kamu sakiti dia dengan cara licik seperti ini. Kamu mau menghancurkan hati adikku? begitu cara kerjamu? Iya?!"
"Apa sih yang kamu bilang. Aku nggak ngerti."
Lian menarik nafas dan mengembuskan nafas panjang. Lian kira ngomong sama dia sekali dua kali udah ngerti. Tapi kenapa harus berkali-kali biar dia ngerti. Bukannya Mahesa itu laki-laki pinta ya? Tapi kenapa dari penjelasanku dia tidak mengerti apa-apa. Heran aku ini.
"Aku tanya kamu itu ngapain di sini?"
"Aku itu ke sini karna Raisa suruh aku lihat kamu. Kamu itu lama nggak datang-datang. Jadi dia minta aku suruh lihat kamu."
Lian menyipitkan matanya untuk memandang laki-laki yang beda satu tahun ini darinya. Lian pun berpikir kemudian. Meneliti matanya yang sedang menatapnya sendu namun masih nampak sikap datarnya. Pikirannya berpindah, apa benar Raisa menyuruh Mahesa untuk menemui dia?
Ah masa sih?! Tak mungkin Raisa berpikiran begitu. Masa ya dia menyuruh Mahesa menemuiku. Itu sangat mustahil kan. Pasti ini akal-akalan dia saja. Tapi bisa saja kan Raisa yang menyuruhnya ke sini. Ah tidak mungkin, aku mulai ngawur. Aku harus berpikir jernih.
"Bilang sama Raisa aku akan segera menyusul. Aku sedang tidak enak badan. Jadi dia tidak usah khawatir."
"Kamu sedang sakit Lian?"
"Tidak usah pedulikan diriku. Kamu urusi saja hubunganmu dengan adikku itu."
"Lian apa aku tidak berarti lagi untukmu?"
"Tidak. Kamu tidak ada artinya lagi buat aku. Maaf, setelah adikku bilang kalau kamu adalah pacarnya dan kalian sudah merencanakan untuk menikah. Saat itu juga, aku telah memutuskan untuk tidak lagi mengingatmu dalam pikiranmu, tidak akan ada lagi cinta untukmu dan yang pasti aku sudah membuang jauh-jauh hubungan dengan laki-laki jika itu akan menyakitiku lagi. Bodohnya aku berpikiran seperti itu. Hanya karna kesalahan satu laki-laki malah membuatku terluka dan tidak mau lagi berhubungan. Padahal tidak selalu begitu kan. Bisa saja yang ku temui berikutnya adalah laki-laki yang baik dan mau menerima aku apa adanya."
Lian tertawa sinis atas perkataannya sendiri. Tidak mungkin Lian bisa seberani ini. Ini mustahil. Tidak pernah Lian berkata ketus pada orang lain. Lian tau ini adalah sebuah keterpaksaan yang terjadi karna ulah seseorang dan siapa lagi kalau bukan Mahesa.
"Ya sudahlah kamu tidak usah memikirkan aku. Aku seperti ini memang sudah takdirnya. Jadi kamu tidak usah khawatir. Aku berharap kamu bisa hidup bahagia. Hanya itu."
Lian kira Mahesa akan pergi setelah Lian mengatakan kenyataan pahit tentang dirinya sendiri. Tapi yang ada malah Mahesa berdiri menunduk di sana dengan tangan yang terkepal kuat.
Sebenarnya Lian masih ingin menikmati malam hari itu sendiri di taman. Merenungi nasib buruknya itu. Namun begitu melihat Mahesa yang tidak kunjung pergi, Lian memilih untuk pergi darinya. Daripada di sini yang berakibat menimbulkan fitnah. Lebih baik Lian mengalah untuk pergi saja.
Aku berjalan melewatinya dan berbisik sebelum aku pergi.
"Jangan lama-lama di sini, adik iparku."
***
Lian memutuskan untuk pergi pagi-pagi sekali untuk pergi ke kampus daripada Lian berlama-lama di rumah. Lebih baik Lian bergegas pergi ke kampus daripada di rumah yang membuatnya binggung mau apa. Lagipula, sekarang Mahesa setiap pagi selalu datang ke rumah untuk menjemput Raisa untuk pergi ke sekolah. Jadi Lian memilih sebaiknya pergi lebih cepat dari biasanya supaya kalau Raisa melihat Lian masih di rumah, Raisa pasti bilang sama Lian kalau Lian lebih baik pergi bareng saja sama mereka. Lian bukan tipe wanita yang begitu. Lebih baik Lian pergi sendiri daripada numpang tapi melihat kemesraan kedua orang itu. Lian masih punya harga diri dan juga hati. Kasihan hati dan mata ini kalau melihat dia bersama dengan wanita lain selain dirinya.
Sesampainya Lian di kampus, Lian langsung berjalan ke taman kampus yang sangat nyaman karna di tumbuhi banyak pohon di sana. Lian memilih untuk menyendiri dulu sebelum masuk ke dalam kelas. Daripada Lian langsung masuk ke dalam kelas yang masih sepi.
Sembari menikmati pemandangan pagi hari itu, untuk menemaninya, Lian mengambil I-pod yang Lian taruh di dalam tas lalu Lian dengarkan musik yang ada di sana. Lagu kesukaannya terdengar mengalun lembut masuk ke dalam indera pendengarannya. Lian pun ikut bernyanyi sembari mendengarkan lagu itu.
Namun tanpa sepengetahuannya, Mahesa yang melihatnya dari kejauhan ikut bernyanyi menyanyikan lagu itu. Lagu yang sering kali kami nyanyikan setiap kali kami selalu bersama.
Satu kuliah telah terlewati, tinggal satu kuliah lagi dan setelahnya hari ini selesai. Lian dan Zia keluar kelas untuk makan siang terlebih dahulu lalu setelahnya kami masuk kelas lagi untuk kuliah.Saat kami melewati lapangan, Lian tak sengaja melihat Mahesa yang berjalan bersama dengan teman-temannya mengarah pergi ke tempat yang sama yaitu kantin. Lian berusaha untuk diam meskipun Lian tau kalau Mahesa yang sedang berjalan di sana juga tak sengaja melihat ke arahnya.Begitu sampai di kantin, suasana ramai sangat terasa di sana. Memang jam sekarang adalah jam istirahat, makanya banyak yang makan di jam-jam segini. Begitu juga dengan meja yang ada di kantin itu, semuanya sudah terlihat terisi."Wah ramai sekali ya, kita bisa nggak ya makan di sini? Penuh, kayaknya nggak akan bisa deh. Kecewa," ujar Zia yang melihat betapa banyaknya orang yang berada di sana."Kalau gitu kita beli roti saja lalu makan di taman, gimana?" Zia kembali
"Yah hujan, gimana kita bisa pulang ya," ujar Zia yang saat ini sedang berdiri di sampingku. Kami mau pulang ke rumah tapi hujan turun seketika membuat kami berteduh di halte kampus."Kita tunggu sebentar lagi aja. Kali aja hujannya berhenti. Nggak usah kecewa gitu ah kayak kenapa aja.""Bener sih. Tapi ini deres banget Lian. Kayaknya kita bakalan pulang telat nanti deh. Bisa-bisa kita pulang jam setengah tujuh lewat."Lian berusaha acuh dengan menggerakkan bahunya ke atas. Tak tau harus bilang apa di saat seperti ini. Hujan adalah anugerah dari Allah, siapa yang tau akan diturunkan hujan saat kami mau pulang.Bersabar, itu yang bisa Lian lakukan sekarang. Menerobos hujan sama saja dengan berakhir dengan baju yang akan basah nantinya dan akan tercetak bagaimana bentuk tubuh bagian atasnya saat ini.Lian menggunakan kemeja putih longgar yang nyaman untuk Lian kenakan jika ada acara at
Mobil Mahesa berhenti di depan rumahku. Aku sudah bilang sama dia kalau aku di turunkan saja tak jauh dari rumah. Tapi Mahesa tetap keukeh sama pendiriannya dan bilang kalau dia tidak mau aku kehujanan. Alhasil yang terjadi sekarang membuat aku tidak bisa berkutik di depan Mama dan Raisa.Suara mobil Mahesa yang berhenti itu terdengar sampai ke dalam rumah dan itu membuat Raisa langsung membuka pintu dan berteriak senang memanggil nama Mahesa.Namun setelah aku keluar dari mobil Mahesa. Raut wajah senang Raisa itu tergantikan dengan raut wajah binggung bercampur penasaran. Kenapa bisa aku ada di dalam mobil pacarnya.Aku langsung berlari ke depan teras begitu keluar dari mobil dan berdiri di depan Raisa dan juga Mama yang baru saja datang dari dalam rumah."Kakak sama Kak Mahesa kenapa bisa satu mobil.""Itu." Aku merasa kesulitan untuk mengatakannya. Ada perasaan tidak enak ma
Sebelumnya Lian tidak mengetahui apa yang tengah terjadi antara Raisa dengan Mahesa. Namun, setelah Raisa menceritakan tentang Mahesa yang suka menceritakan wanita lain di saat mereka sedang bersama membuat Lian miris mengetahui hal itu.Sebagai wanita sekaligus Kakak dari Raisa sendiri. Lian tidak bisa menerima atas kenyataan yang terjadi antara mereka berdua. Berani benar Mahesa cerita tentang wanita lain di saat mereka sedang bersama. Memangnya adikku itu dianggap apa? Aku sebagai Kakaknya tidak bisa terima. Apa sih yang ada di dalam pikiran Mahesa itu? Aku tidak suka dia memperlakukan adikku seperti itu. Seperti tidak dianggap sama sekali.Bagaimana pun Mahesa kan sudah menginginkan Raisa sebagai pacar sekaligus calon istri untuknya kelak. Untuk masa depannya. Masa ya Raisa harus menderita begini. Siapa sih yang mau mendengarkan wanita lain di saat mereka sedang bersama. Padahal yang Lian dengar hubungan mereka juga belum terlalu lama tapi Raisa sudah mendapatkan k
Lian tidak bisa pergi karna tangannya saat ini di tahan oleh laki-laki yang tidak tau siapa sebenarnya.Lian melihat dari bawah sampai atas bagaimana penampilan laki-laki itu dan tak di sangka penampilan yang hadir di depannya Lian rasa sangat mengagumkan. Bisa di bilang boleh juga. Lian berusaha untuk tidak memberikan emosi berlebih dan ingin tau apa yang diinginkan laki-laki ini selanjutnya."Eh kita belum kenalan. Ayo kita kenalan dulu. Aku pengen tau kamu."Mendengar hal tidak berguna ini membuat Lian memutar bola matanya, lelah akibat pertemuan dengan laki-laki yang tidak di kenal ini di depan matanya.Jadi laki-laki ini mencegahnya untuk tidak pergi hanya ingin berkenalan. Basi!"Eh kamu itu cegat aku begini karna kamu mau kenalan sama aku? Begitu? ck. ck. ck. Aku nggak ada waktu buat ngeladenin kamu sekarang ya. Kamu salah orang kayaknya deh kalau ngajak aku kenalan. Sorry, aku mau masuk kuliah."Lian langsung beranjak per
"Zia aku ke rak sastra dulu ya. Aku pengen baca-baca novel di sana, kali aja ada novel baru yang baru aja terbit," ujar Lian begitu kami memasuki toko buku yang terbilang lumayan besar yang berada di pusat kota B itu.Zia mengangguk cepat dan Lian pun langsung melangkah ke arah rak yang bertuliskan sastra di atas raknya."Wah lumayan juga buku-buku yang ada di sini. Lumayan banyak dan sepertinya lengkap," ucap Lian dalam hati. Lalu matanya memandang satu persatu judul buku yang ada di rak buku itu beserta ringkasan cerita yang ada di belakangnya sampai pencariannya ke rak buku paling bawah namun buku yang ada di sana tidak ada yang membuatnya selera untuk membeli salah satunya.Lian pun mencari ke sebelahnya, tak dia sangka saat Lian melihat ke rak sebelah. Seorang laki-laki menjatuhkan satu buku yang dia pegang ke lantai dan menimbulkan bunyi bum yang teramat keras akibat dari buku yang terjatuh itu.Lian yang melihat seseorang menjatuh
Seperti dugaan Lian setelah nomer ponselnya di simpan oleh laki-laki yang bernama Axel itu. Tepat malam harinya saat Lian mau beranjak tidur, Axel mengirimkan pesan padanya. Isinya memang nggak lebih dari sekedar pedekate membosankan ala-ala anak muda yang sering Lian tau. Di dalam pesannya, Axel berkata hai lagi apa, udah makan belum, kamu lagi apa dan kata-kata lain yang sangat membosankan yang Lian tau itu tidak lah terlalu penting. Maka dari itu, pesan itu diabaikannya dan lebih baik Lian memilih tidur agar besok Lian bisa pergi ke kampus pagi-pagi seperti biasanya.Tok... Tok... Tok...Baru saja Lian mau menutup tubuhnya dengan menggunakan selimut lalu memejamkan mata. Pintu kamarnya diketuk entah oleh siapa. Setelah orang itu berkata, baru Lian mengerti kalau yang mengetuk pintu kamarnya adalah Raisa dengan sikap tidak sabaran."Kak bukain pintunya dong Kak, aku mau ngomong, kok pintunya di kunci sih Kak. Aku jadi nggak bisa masuk nih Kak. Kak
Raisa menelepon Mahesa dengan menggunakan ponselnya. Menunggu apa Mahesa masih ada di dalam rumah atau Mahesa sedang pergi keluar."Gimana? Mahesa ada di dalam nggak? Rumahnya kelihatan sepi gitu. Kayaknya nggak ada orang deh." Lian langsung bertanya begitu Raisa menutup teleponnya dan memperlihatkan wajah yang tak bisa terbaca. Kemungkinan besar kalau laki-laki itu tidak ada di sana. Rumahnya kelihatan sepi banget. Mungkin Mahesa sedang pergi keluar tapi ngapain juga dia pergi malam-malam begini. Aneh. Dari dulu rasanya tidak mungkin kalau Mahesa itu suka keluyuran malam-malam. Dia itu tipe laki-laki baik menurut Lian. Tapi itu dulu saat mereka sedang pacaran entah kalau sekarang. Bisa aja Mahesa sudah berubah."Ya udah kalau gitu, kita pulang saja. Ngapain juga kita nunggu dia di sini kalau orangnya juga nggak ada. Percuma kan." Lian memberi saran pada Raisa."Tapi kak gimana sama es krim yang udah aku buat. Tadi katanya dia ada di rumah tapi