Share

Bab 5

Lian sedang tidak baik-baik saja saat ini. Bagaimana bisa baik-baik saja kalau mata ini memandang begitu jelas keberadaan Mahesa yang ada di hadapannya namun berpura-pura lupa seolah tidak tau siapa aku yang sebenarnya. 

Jelas saja itu membuatku sakit hati yang begitu dalam pada dirinya. Apalagi semua itu dia lakukan di depan kedua orangtuaku dan juga kedua orangtuanya. 

Kemarin Mahesa pernah bilang padaku kalau dia melakukan hubungan dengan adikku adalah sebuah keterpaksaan. Namun yang ku lihat tidak begitu. Dengan sabarnya dia memperlakukan adikku sebagai orang yang di kasihinya. Menanggapi setiap obrolan Raisa seperti orang yang sudah kenal satu sama lainnya dan terkadang tidak sungkan memperlihatkan kemesraan di depan banyak orang. Apa begitu yang dinamakan keterpaksaan? 

Ah benar-benar munafik. Kata-kata yang diberi tidak sama dengan realita yang ada. Lian tidak pernah meragukan bakat akting terpendam yang dimiliki seorang Mahesa. Mahesa patut di acungi jempol. Kemarin Mahesa terlihat begitu kehilangan hubungan kami dan ingin memperbaikinya namun saat di dekat Raisa, Mahesa malah bersikap tidak terjadi apa-apa dan acuh sama Lian. Apa itu yang disebut masih cinta? Tidak menghargai Lian sebagai mantan yang sangat terluka saat ini dan bersikap manis di depan semua orang. 

Dan kini apa yang dia mau sebenarnya? Menghampiri Lian di saat orang-orang itu sedang sibuk makan di ruang makan dan menganggap semua baik-baik saja. Seharusnya Mahesa memikirkan perasaan keluarganya dan keluargaku, bukannya keegoisan diri sendiri. Bisa saja orang yang melihat kami berdua di sini menafsirkan lain kalau kami mempunyai hubungan lebih dari sekedar teman. Mendatangi wanita yang tak lebih selain Kakak Ipar tapi terlihat akrab dan sekarang pancaran wajahnya malah seperti orang merana. 

Oh yang benar saja, mereka akan ragu melihat hal itu.  

"Ngapain kamu ke sini? Kamu nggak takut ada yang lihat kalau kamu ketemu aku di sini? Nanti di kira kita ada apa-apa lagi. Aku nggak mau di bilang perebut pacar orang ya. Lebih baik kamu pergi sana. Aku ingin di sini sendiri."

Mahesa mendecak dan aku makin benci itu.

"Pergi sana gue nggak suka sama lo!" 

Ingin sekali Lian bilang begitu sama dia. Tapi yang terjadi malah menatapnya dengan penuh kebencian. Tak ada lagi rasa cinta itu yang dulu Lian taruh di dalam hatinya. Ini terjadi setelah pertemuan demi pertemuan yang memperlihatkan bagaimana sosok Mahesa yang sebenarnya. Dia tidak lagi mau berjuang bersama denganku sampai kami menikah. Malah dia memilih jalur aman supaya dia bisa hidup dengan tenang dan damai supaya dia bisa menikmati hidup tanpa susah sekalipun. 

"Aku nggak mau orang lain berpikir macam-macam Mahesa. Untuk apa kamu ke sini kalau untuk memperburuk keadaan. Kamu tau kan, adikku itu udah suka sama kamu. Jangan kamu sakiti dia dengan cara licik seperti ini. Kamu mau menghancurkan hati adikku? begitu cara kerjamu? Iya?!"

"Apa sih yang kamu bilang. Aku nggak ngerti."

Lian menarik nafas dan mengembuskan nafas panjang. Lian kira ngomong sama dia sekali dua kali udah ngerti. Tapi kenapa harus berkali-kali biar dia ngerti. Bukannya Mahesa itu laki-laki pinta ya? Tapi kenapa dari penjelasanku dia tidak mengerti apa-apa. Heran aku ini.

"Aku tanya kamu itu ngapain di sini?"

"Aku itu ke sini karna Raisa suruh aku lihat kamu. Kamu itu lama nggak datang-datang. Jadi dia minta aku suruh lihat kamu."

Lian menyipitkan matanya untuk memandang laki-laki yang beda satu tahun ini darinya. Lian pun berpikir kemudian. Meneliti matanya yang sedang menatapnya sendu namun masih nampak sikap datarnya. Pikirannya berpindah, apa benar Raisa menyuruh Mahesa untuk menemui dia?

Ah masa sih?! Tak mungkin Raisa berpikiran begitu. Masa ya dia menyuruh Mahesa menemuiku. Itu sangat mustahil kan. Pasti ini akal-akalan dia saja. Tapi bisa saja kan Raisa yang menyuruhnya ke sini. Ah tidak mungkin, aku mulai ngawur. Aku harus berpikir jernih. 

"Bilang sama Raisa aku akan segera menyusul. Aku sedang tidak enak badan. Jadi dia tidak usah khawatir."

"Kamu sedang sakit Lian?"

"Tidak usah pedulikan diriku. Kamu urusi saja hubunganmu dengan adikku itu."

"Lian apa aku tidak berarti lagi untukmu?"

"Tidak. Kamu tidak ada artinya lagi buat aku. Maaf, setelah adikku bilang kalau kamu adalah pacarnya dan kalian sudah merencanakan untuk menikah. Saat itu juga, aku telah memutuskan untuk tidak lagi mengingatmu dalam pikiranmu, tidak akan ada lagi cinta untukmu dan yang pasti aku sudah membuang jauh-jauh hubungan dengan laki-laki jika itu akan menyakitiku lagi. Bodohnya aku berpikiran seperti itu. Hanya karna kesalahan satu laki-laki malah membuatku terluka dan tidak mau lagi berhubungan. Padahal tidak selalu begitu kan. Bisa saja yang ku temui berikutnya adalah laki-laki yang baik dan mau menerima aku apa adanya."

Lian tertawa sinis atas perkataannya sendiri. Tidak mungkin Lian bisa seberani ini. Ini mustahil. Tidak pernah Lian berkata ketus pada orang lain. Lian tau ini adalah sebuah keterpaksaan yang terjadi karna ulah seseorang dan siapa lagi kalau bukan Mahesa.

"Ya sudahlah kamu tidak usah memikirkan aku. Aku seperti ini memang sudah takdirnya. Jadi kamu tidak usah khawatir. Aku berharap kamu bisa hidup bahagia. Hanya itu."

Lian kira Mahesa akan pergi setelah Lian mengatakan kenyataan pahit tentang dirinya sendiri. Tapi yang ada malah Mahesa berdiri menunduk di sana dengan tangan yang terkepal kuat. 

Sebenarnya Lian masih ingin menikmati malam hari itu sendiri di taman. Merenungi nasib buruknya itu. Namun begitu melihat Mahesa yang tidak kunjung pergi, Lian memilih untuk pergi darinya. Daripada di sini yang berakibat menimbulkan fitnah. Lebih baik Lian mengalah untuk pergi saja. 

Aku berjalan melewatinya dan berbisik sebelum aku pergi. 

"Jangan lama-lama di sini, adik iparku."

***

Lian memutuskan untuk pergi pagi-pagi sekali untuk pergi ke kampus daripada Lian berlama-lama di rumah. Lebih baik Lian bergegas pergi ke kampus daripada di rumah yang membuatnya binggung mau apa. Lagipula, sekarang Mahesa setiap pagi selalu datang ke rumah untuk menjemput Raisa untuk pergi ke sekolah. Jadi Lian memilih sebaiknya pergi lebih cepat dari biasanya supaya kalau Raisa melihat Lian masih di rumah, Raisa pasti bilang sama Lian kalau Lian lebih baik pergi bareng saja sama mereka. Lian bukan tipe wanita yang begitu. Lebih baik Lian pergi sendiri daripada numpang tapi melihat kemesraan kedua orang itu. Lian masih punya harga diri dan juga hati. Kasihan hati dan mata ini kalau melihat dia bersama dengan wanita lain selain dirinya. 

Sesampainya Lian di kampus, Lian langsung berjalan ke taman kampus yang sangat nyaman karna di tumbuhi banyak pohon di sana. Lian memilih untuk menyendiri dulu sebelum masuk ke dalam kelas. Daripada Lian langsung masuk ke dalam kelas yang masih sepi. 

Sembari menikmati pemandangan pagi hari itu, untuk menemaninya, Lian mengambil I-pod yang Lian taruh di dalam tas lalu Lian dengarkan musik yang ada di sana. Lagu kesukaannya terdengar mengalun lembut masuk ke dalam indera pendengarannya. Lian pun ikut bernyanyi sembari mendengarkan lagu itu. 

Namun tanpa sepengetahuannya, Mahesa yang melihatnya dari kejauhan ikut bernyanyi menyanyikan lagu itu. Lagu yang sering kali kami nyanyikan setiap kali kami selalu bersama. 

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status