Share

Bab 6

Satu kuliah telah terlewati, tinggal satu kuliah lagi dan setelahnya hari ini selesai. Lian dan Zia keluar kelas untuk makan siang terlebih dahulu lalu setelahnya kami masuk kelas lagi untuk kuliah. 

Saat kami melewati lapangan, Lian tak sengaja melihat Mahesa yang berjalan bersama dengan teman-temannya mengarah pergi ke tempat yang sama yaitu kantin. Lian berusaha untuk diam meskipun Lian tau kalau Mahesa yang sedang berjalan di sana juga tak sengaja melihat ke arahnya. 

Begitu sampai di kantin, suasana ramai sangat terasa di sana. Memang jam sekarang adalah jam istirahat, makanya banyak yang makan di jam-jam segini. Begitu juga dengan meja yang ada di kantin itu, semuanya sudah terlihat terisi. 

"Wah ramai sekali ya, kita bisa nggak ya makan di sini? Penuh, kayaknya nggak akan bisa deh. Kecewa," ujar Zia yang melihat betapa banyaknya orang yang berada di sana. 

"Kalau gitu kita beli roti saja lalu makan di taman, gimana?" Zia kembali memberi usul pada Lian. 

"Boleh juga. Aku ikut usul kamu. Kalau begitu kamu saja yang membeli, aku akan tunggu di sana. Daripada ribet dua-duanya ke sana, mending salah satu aja yang beli. Aku titip kamu ya." Lian menunjuk pohon tak jauh dari mereka dan Zia pun menurut.

Belum Lian berbalik menuju pohon yang Lian maksud, sebuah tangan dengan tiba-tibanya menyentuh tanganku.

"Kalian ikut aku saja." Mahesa memberikan penawaran pada kami berdua dengan matanya yang melihat ke arah Lian. Mulutnya bicara namun matanya tak beralih kemana pun. Mahesa hanya melihat satu titik dimana Lian berada saat ini.

Lian langsung melepas tangannya. Tak akan lagi Lian menerima belas kasihan orang lain. Apalagi sama dia yang sudah menganggapnya tak ada. Itu sudah terbukti saat kami makan bersama kemarin malam. Lian tidak mau berhubungan lagi sama dia kecuali kalau terpaksa. Mau tidak mau Lian mengalah. 

"Maaf, kami tidak mau makan di kantin. Kami mau makan di tempat lain."

Lian pun melangkah ingin berbalik tapi lagi-lagi Mahesa mencegahnya dan itu membuat Lian tak habis pikir sama laki-laki itu, sudah sering dibilangin juga kalau mereka tak lagi ada apa-apa tapi Mahesa tetap tidak mau tau. Lian harus berbuat apa biar Mahesa mengerti? Rasanya memikirkan hal itu membuat kepalanya ingin pecah saja. 

"Kamu keras kepala," geram Mahesa

"Terserah. Aku keras kepala atau nggak, itu bukan urusan kamu. Kamu nggak usah banyak omong. Minggir kamu dari hadapan aku. Aku mau pergi. Kamu itu halangin jalan aku tau."

Mahesa mendecak dan terlihat tak percaya sama perkataan Lian. Tidak pernah seorang Lian bisa berbeda seperti ini. Dulu apa yang dia katakan selalu menurut. Tapi kenapa sekarang malah dia jadi wanita yang keras kepala. Tidak mau patuh sama perkataannya. 

"Baru beberapa hari tapi kamu sudah berubah."

"Benar. Aku berubah karna seseorang. Seseorang yang tadinya aku cinta, sekarang malah menjadi membencinya. Aku berubah karna keadaan. Jadi jangan salahkan aku karna bersikap seperti ini."

"Kalian itu bicara apa sih? Aku nggak ngerti," Zia mengaruk kepalanya melihat Mahesa dan Lian saling berpandangan tapi dengan tatapan dingin. Berbeda halnya sebelum ini, mereka terlihat mesra sampai-sampai membuat iri saja yang melihatnya. Tapi sekarang kenapa bisa berubah begini. Lian tidak bilang apa-apa sama Zia sampai detik ini. Jangan-jangan ada yang terjadi di antara mereka. 

"Aku begini karna keadaan. Percaya Lian aku ini masih cinta sama kamu. Sejujurnya hati aku itu cuma ada kamu seorang. Masa kamu nggak percaya?"

"Halah. Aku nggak akan percaya sama omongan laki-laki munafik kayak kamu. Kamu itu pandai berdusta dan juga pandai berakting. Sudah cukup bagiku. Ayo Zia kita makan di luar kampus saja. Aku sudah tidak berselera makan di sini."

Lian mengajak Zia pergi meninggalkan Mahesa yang berdiri melihat kepergian Lian dan Zia yang makin lama makin menjauh pergi. 

Melihat hal itu Mahesa hanya bisa mengatakan dalam hati betapa sedihnya melihat hubungannya dengan Lian menjadi hancur berantakan seperti ini. 

"Lian aku ingin menjadi orang lain Lian. Aku ingin. Tapi apalah daya, aku tidak bisa menjadi orang lain untuk mencintai kamu seutuhnya. Hanya kata maaf yang bisa aku katakan dari hati yang paling dalam," ucap Mahesa dengan miris. 

Setelah meninggalkan Mahesa, mereka berjalan melewati gedung demi gedung yang ada di sana sampai mereka berada di depan gedung rektor. 

"Eh kita makan di samping kampus aja deh yuk. Katanya di sana makanannya juga nggak kalah enak." Ajak Zia saat kami berjalan. 

"Boleh deh. Yang penting aku nggak ketemu dia lagi."

"Lian sebenarnya apa sih yang terjadi antara kamu sama dia? Kamu nggak cerita apa-apa sama aku sampai detik ini. Aku dibikin binggung sama tingkah laku kalian. Jujur ini tuh kayak sebuah teka teki tau."

"Ceritanya cukup panjang dan kayaknya aku malas ceritain sama kamu."

"Loh kok gitu. Aku nggak mau diam aja lihat kamu ada apa-apa begini. Aku mau tau cerita yang sebenarnya. Kamu percaya kan sama aku?"

"Hm ... kita masuk dulu aja deh. Nanti aku ceritain sama kamu."

"Oke. Kamu harus cerita semuanya. Jangan ada yang di tutup-tutupin. Aku nggak mau ya kamu bohong sama aku. Kamu ngerti kan maksud aku Lian?"

Lian mengangguk kemudian sebagai jawaban atas pertanyaan Zia barusan. Kode itu sudah cukup membuat Zia diam makanya Lian tidak perlu usaha keras untuk memberhentikan pertanyaan Zia yang membuatnya malas untuk mengucap banyak kata.

Kami masuk ke dalam sebuah cafe yang bisa terbilang nyaman untuk para pelanggan yang akan datang berkunjung ke cafe ini lalu kami menempati salah satu tempat duduk yang bisa terbilang unik dan setelahnya kami memesan makanan dari menu yang tersedia di sana. 

Saat kami memilih makanan, salah satu pelayan mendatangi meja kami.

"Eh tunggu! Kamu itu Fita bukan. Pacarnya Boss Arnold?" tunjuk pelayan laki-laki itu pada Lian yang sedang memilih makanan. Lian yang merasa di tunjuk langsung mendongakkan kepala melihatnya. 

Fita? Arnold? Siapa mereka?

"Arnold siapa ya? Aku nggak tau," Jawab Lian dengan wajah binggung sembari mengaruk kepalanya.

Jujur, Lian memang tidak tau apa-apa, siapa yang di maksud pelayan ini. 

"Fita itu pacar boss Arnold, pemilik cafe ini. Wajahnya persis kayak kamu. Eh tunggu dulu, kalau dilihat-lihat bedanya kalau Fita dia punya tahi lalat di pipi sementara kamu nggak punya tahi lalat. Kamu bersih. Tapi aku rasa wajahnya sama."

Lian dan Zia yang sedang duduk di sana saling memandang satu sama lainnya. Kami saling bertatapan dengan raut muka binggung.

"Dia udah lama nggak ke sini. Dengar-dengar gosipnya sih. Si Fita itu ninggalin boss kami entah karna apa. Tapi itu aku rasa cuma gosip. Nggak tau yang sebenarnya. Aku juga nggak yakin sih."

"Hm mungkin aja Fita itu tipe wanita bosenan, nggak bisa bertahan sama satu laki-laki aja. Bisa jadi kan dia udah nggak sayang lagi sama boss kamu itu. Jadi pacarannya nggak lama sama boss kamu itu."

Ah tidak mungkin. Masa ya aku punya saudara kembar? Nggak mungkin ah, saudara kembarku itu cuma Raisa. Adikku seorang. 

"Sudahlah tidak usah di pikirkan. Aku cuma heran saja sama wajah kamu kok bisa sama persis ya. Sekarang mau pesan apa?"

"Aku pesan yang biasa orang suka pesan di sini aja," ujar Lian tanpa ingin berlama-lama.

"Oh kalau gitu makanan favorit di sini sphagety bolognase. Jadi kalian pesan itu ya. Oke segera di antar."

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status