Udahan nih dramanya? Padahal masih banyak lo ujian pernikahan merekaaa ...
“Ampun … Kak …,” katanya menutupi wajahnya. Kinara membeku.Aditama sedikit menjauh memberi ruang untuk kakak dan adik itu.Tangan Kinara terangkat setengah, lalu turun perlahan mengusap lengan sang adik. “Fany … kenapa kamu seperti ini?” suaranya pelan, hampir putus asa.Fany mundur beberapa langkah—masih enggan menatap siapa lawan bicaranya.“Fany … ini Kak Ara,” lirihnya membuat sang adik mengangkat pandangannya.Matanya menatap Kinara tak percaya. Tubuhnya memeluk diri, seperti melindungi dari sesuatu yang sangat menakutkan.Air mata Kinara jatuh melihat langsung bekas pada tubuh sang adik yang sebelumnya hanya melihatnya dari foto saja. Bekas itu memang hampir sembuh, tapi ada beberapa luka baru. Termasuk sudut bibir Fany yang pecah dan mengeluarkan darah.“Kak Ara …,” panggilnya memeluk sang kakak. “Aku … aku nggak mau disakiti,” gumamnya lirih. “Aku takut, Kak.”“Siapa yang nyakitin kamu?” tanya Kinara, suaranya mulai tercekat.Namun sesaat kemudian Fany melepas pelukannya. Ia
Kinara mencoba menghubungi Dita, tapi tidak ada respons. Ia lalu memutuskan mendatangi rumah sang kakak, tapi rumah itu pun tampak kosong. Tak punya pilihan lain, Kinara meminta bantuan Dito untuk menghubungi sang kakak.Dari informasi yang Dito peroleh, Dita dan Fani memang sedang tidak di rumah karena tengah liburan, sekaligus mencari sekolah baru untuk Fani. Sekolah yang lebih dekat dengan tempat Dita bekerja, usaha kafe bersama kekasihnya.Meski akhirnya Kinara tahu bahwa sang adik dalam keadaan baik, hatinya tetap tidak tenang. Dita sama sekali tak mengizinkan Kinara bertemu dengan sang adik, apa lagi memberitahu keberadaan mereka.Dito juga sempat mengatakan bahwa ia akan turun ke Bandung, kalau Dita berbuat macam-macam terhadap adik mereka. Namun Dita hanya menjawab tidak ada yang perlu dikhawatirkan karena Fany tengah menikmati waktu libur sekolah.“Jadi, apa kata Dito?” tanya Aditama sambil memeluk Kinara di atas ranjang menjelang tidur.“Mereka liburan, Mas. Tapi yang aku ngg
Mata Kinara membulat tak percaya saat membuka foto yang ada di hadapannya.Tangan Kinara bergetar. Dadanya sesak. Nafasnya tercekat.Foto itu menampilkan Fany, tapi yang menjadi perhatian Kinara wajah sang adik, melainkan bekas-bekas lebam keunguan yang tampak jelas di bagian paha yang sedikit terbuka dari balik rok seragam. Ada pula guratan biru di lengan dan perut yang terekam samar dari sisi kamera.Kinara menutup mulutnya dengan tangan, tubuhnya gemetar. Matanya mulai berkaca-kaca sebelum akhirnya bulir air mata jatuh satu per satu, menyisakan sesak yang tak tertahankan.Ia menggeser silde selanjutnya dengan foto yang sama, tapi dengan jarak lebih dekat. Foto itu diambil beberapa hari terakhir saat Fany. Karena wali kelas lebih sering bertukar kabar Fany dengan Nana, saat sang asisten itu membesuk Fany. Wali murid tersebut memberanikan diri memberitahu hal itu.“Mas ... itu Fany?” Suara Kinara pecah, tangisnya tak bisa lagi dibendung. “Lihat, Mas! Di pahanya ... lengan ... bahkan—”
“Mama tuh capek, Mas, ditanyain terus soal kamu dan Kinara yang belum juga punya momongan,” ujar Rindu menggebu-gebu.Aditama dengan santainya meminta sang ibu mengabaikannya seraya menyesap minumannya.“Abaikan gimana? Mama jadi stres.”Aditama meletakkan gelasnya sedikit lebih keras di atas meja kitchen island. “Bisa Mama bayangkan jadi Kinara? Seberapa stresnya dia? Tapi dia tetap berusaha melapangkan hati menghadapi semua sikap dan tuntutan Mama. Jadilah tempat di mana Kinara bisa merasa pulang. Dia sudah sebahagia itu punya Mama dalam hidupnya.”Tak ada jawaban dari Rindu. Ia hanya terdiam, mencerna setiap kalimat dari putranya.“Mas dan Kinara pamit pulang ya, Ma. Sudah ada janji mau makan di luar setelah dari sini.” Aditama meraih tangan ibunya dan memeluknya, lalu keluar dari dapur.Tanpa mereka sadari, percakapan ibu dan anak itu didengar oleh Kinara. Ia segera pergi, mengusap air matanya yang tak tertahan, lalu kembali duduk di ruang tamu.“Mas,” lirihnya saat melihat Aditama
Dua hari terakhir, Aditama disibukkan oleh agenda perusahaan di Bandung. Kinara pun tak kalah padat aktivitasnya. Meski begitu, ia tetap memastikan suaminya mendapat perhatian penuh dan dilayani dengan sebaik-baiknya. Sarapannya, pakaiannya, dan setiap malam ketika pria itu pulang, senyuman hangat serta pelukan lembut selalu menyambutnya.Ah, semoga kebersamaan ini segera menjadi rutinitas yang utuh bagi mereka.Hari ini giliran Aditama menjalani pemeriksaan. Ia mengikuti serangkaian tes dan hasilnya pun sama seperti Kinara, sehat. Tidak ditemukan masalah medis yang berarti. Dokter hanya menyarankan mereka untuk menjaga pola makan, cukup istirahat, serta tetap tenang dan berpikir positif.Rindu tak banyak berkomentar lagi. Namun dalam diam beliau menunjukkan dukungannya. Dengan mengirim makanan sehat setiap hari ke apartemen anak dan menantunya. Bukan makanan biasa, melainkan hasil masakan dari tangan chef pribadi. Inilah alasan kenapa Kinara hanya menyiapkan sarapan untuk suaminya.Ma
“Siapa kamu—lepas!” seru Kinara panik.Saat mereka beradu pandang, mata Kinara menyipit—menatap sosok di hadapannya. Manik mata itu tampak tak asing. Sesaat kemudian, lelaki itu mengulurkan tangan, menarik masker dari wajahnya.“Mas?” suara Kinara terdengar terkejut, matanya membulat. “Mas Adit?” ulangnya tak percaya, melihat senyum merekah dari bibir sang suami.“Ihh … jahat banget!” rajuknya sambil memukul dada Aditama dengan kesal. “Aku hampir jantungan!”“Argh … sakit, Sayang!” Aditama pura-pura meringis kesakitan. Kinara mendesis kesal, lalu langsung memeluknya erat. Meski sempat kesal, rindu yang selama ini dipendamnya tak bisa ditahan lebih lama.“Mas, kok nggak bilang kalau pulang hari ini?” gumamnya dalam dekapan.Aditama bahkan belum sempat menjawab, Kinara terlalu banyak mencecarnya dengan sederet pertanyaan penuh rasa ingin tahu, membuatnya hanya bisa tersenyum.“Masuk dulu, Sayang,” usul Aditama.Mereka melangkah masuk. Begitu pintu tertutup rapat, Kinara masih tetap dalam