Udahan nih dramanya? Padahal masih banyak lo ujian pernikahan merekaaa ...
Cahaya matahari menelusup lewat celah tirai kamar hotel, menari pelan di permukaan kulitnya yang masih terasa hangat oleh sisa semalam. Kinara menarik selimut sampai ke dagu, menyembunyikan wajah yang sudah memerah karena malu. Bayangan tentang desahan, sentuhan, dan bisikan Aditama masih terekam jelas di kepalanya—terlalu nyata.Ia menggigit bibir bawahnya, matanya melirik ke samping. Aditama masih tertidur, tubuhnya menyamping menghadap ke arahnya, rambutnya sedikit berantakan dan dada bidangnya naik-turun dengan ritme teratur. Bahkan saat tidur, pria itu tetap tampak mendominasi.Kinara menutup wajahnya dengan tangan, menghela napas panjang.‘Astaga … aku benar-benar melakukannya. Dengannya? Lagi?’ batin Kinara.Seketika, debar di dadanya menggila.“Pagi …” suara serak itu memecah lamunannya.Ia kaget, refleks menarik selimut lebih tinggi. “A-aku … hmm … kamu udah bangun, Mas?”Aditama tersenyum miring, menyender pada sandaran kepala ranjang. “Sejak tadi kamu ngelihatin aku terus,
“Ra, kamu ada jadwal Jumat ini?” suara Aditama terdengar dari balik ponsel.Kinara menoleh dari tumpukan laporan yang sedang dia koreksi. “Seharusnya nggak ada. Kenapa, Mas?”“Aku ada meeting di Lembang, hotelnya agak di pinggiran kota. Klien minta presentasi langsung. Temenin aku, ya?”Luka Aditama sudah lebih baik, ia sudah mulai beraktifitas seperti biasa.Kinara mengerutkan kening. “Cuma nemenin aja? Kenapa nggak sama Vano?”Aditama tertawa pendek. “Kamu mau lebih dari sekedar temani?”Kinara tak langsung menjawab, hingga suara ketusnya menyapa, “Aku tutup—”“Sayaaangg …, bercanda. Aku dapat fasilitas kamar. Malamnya kita dinner di sana,” tawar Aditama.“Maauuu …,” seru Kinara.Aditama mengembuskan napas lega. Ia menjauhkan ponselnya usai berbicara dengan Kinara. Aditama menoleh ke arah Vano yang berada di sampingnya.“Urus semua untukku, Vano,” katanya dan Vano menyahut paham.***Udara Lembang yang dingin menyambut mereka saat mobil Aditama memasuki pelataran hotel yang dikelili
Definisi ucapan adalah doa. Pada kejadian sebelumnya, Aditama sempat nyeletuk kalau dia ingin terluka saja agar bisa mendapatkan perhatian Kinara. Aditama sudah mendapat apa yang dia inginkan, kini saatnya bermanja ria. Mana mau rugi ‘kan sudah sampai dijahit masa nggak disayang-sayang, pikir Aditama.“Sayaaang, minumnya habis …,” rengek Aditama terdengar memelas dari ranjang tempat ia terbaring, menatap Kinara dengan tatapan sedih yang dibuat-buat.Kinara yang tengah mengetik laporan di laptopnya sambil duduk di kursi kerja Aditama, mengangkat alis tanpa menoleh. “Mas, jarak dari tempat tidur ke meja cuma dua langkah.”“Tapi aku pasien luka tusuk,” balas Aditama cepat. “Lukanya masih belum pulih sempurna.”Kinara menghela napas panjang, berdiri, lalu menuangkan air ke gelas. Ia menghampiri Aditama, menyerahkan gelas itu—memicingkan matanya ke arah pasien dadakannya. “Setelah aku pikir-pikir banyak drama ‘pasien dadakan’ di sepanjang kebersamaan kita,” celetuk Kinara, menanti gelas ya
Mobil itu melaju kencang di tengah jalanan kota yang mulai lengang. Kinara menggenggam setir erat-erat, pandangannya kabur oleh air mata yang terus mengalir sejak beberapa menit lalu. Di sampingnya, Aditama bersandar lemah, wajahnya semakin pucat.“Mas, tolong tahan, sebentar lagi kita sampai,” desis Kinara, suaranya bergetar penuh kepanikan.Aditama tidak menjawab.Begitu mobilnya sampai di depan Instalasi Gawat Darurat, Kinara langsung menekan klakson berkali-kali. Beberapa petugas medis dan satpam berlari keluar. Ia keluar dari mobil dan membuka pintu penumpang.“Tolong! Suami saya ... sepertinya banyak darah yang terus keluar!” ucapnya panik.Seorang perawat pria segera mengarahkan tandu, sementara dua orang lainnya membantu mengangkat Aditama yang sudah tak sadarkan diri. Tubuh pria itu lunglai, kemeja putihnya nyaris sepenuhnya merah. Kinara ikut menggenggam tangan Aditama sambil berlari kecil mengikuti mereka masuk ke dalam ruang IGD.“Apa penyebab lukanya?” tanya salah satu do
“Aku udah nggak tahan lagi hidup di dunia tanpa kamu di sisiku,” suara Sheila di ujung telepon terdengar patah, lirih, namun tajam menancap ke hati Aditama. “Aku mau menyudahi semuanya!”Aditama menggenggam ponselnya lebih erat, wajahnya menegang. Ia tidak boleh salah bicara, meski tidak tahu wanita itu sengaja mengancam atau benar sedang putus asa.“Sheila, jangan macam-macam!” ucapnya tegas, nyaris membentak karena panik. “Kamu jangan bicara kayak gitu. Jangan lakukan hal bodoh.”Isakan Sheila semakin terdengar. “Kamu ... kamu ninggalin aku, Dit. Kamu pergi dari aku dan sekarang kamu hidup bahagia dengan wanita itu. Lalu aku harus apa?! Aku sendirian. Aku hamil, Dit … dan aku sendirian!”Aditama menutup mata sejenak, menarik napas panjang, mencoba menahan gejolak di dadanya. Salah bicara saja, nyawa seseorang melayang, tapi dia tidak ingin memberi harapan pada wanita itu. “Sheila ... di mana kamu sekarang?”“Di apartemen ... di Singapura ... aku ....” Suara Sheila terputus oleh tangi
‘Jika aku tidak bisa memilikinya, maka begitu pun denganmu.’ Pesan singkat yang masuk ke ponsel Kinara.Tanpa nama pengirim, Kinara tahu siapa dalang di balik ini. tentu saja mantan ADitama.Kinara sama sekali tidak terusik. Dia tidak akan kalah oleh serpihan masa lalu.“Bagaimana persidangannya?” tanya Aditama saat Kinara sudah berdiri di hadapannya.Kinara menceritakan jalannya persidangan membuat senyum di wajah Aditama merekah. Satu tahap lagi kemenangan akan mereka raih. Tidak hanya Diani, sang kekasih gelap pun ikut terseret.Aditama mengulurkan tangannya memberi isyarat kalau dia ingin menggenggam tangan Kinara. Ragu-ragu, tapi tangan Kinara tetap terulur.“Let’s go!” seru Aditama menggandeng tangan Kinara membawanya ke sebuah toko es krim.Senyum di wajah Kinara merekah melihat melihat toko yang Aditama maksud tersembunyi di antara deretan butik dan coffee shop kekinian. Interiornya bergaya retro dengan lampu gantung kuning redup dan sofa kulit yang empuk. Ada alunan lagu jazz
“Pengen cucu,” celetuk Aditama. Senyum kecilnya tak dibalas. Kinara diam saja, kepalanya menunduk. Jemarinya saling menggenggam erat di pangkuan, seolah sedang mencoba menahan sesuatu dalam dirinya.“Bercandaaa ....” Suara Aditama melembut, menyadari respons Kinara yang berbeda. Tapi tetap tak ada balasan. Tak ada tawa kecil. Kinara hanya diam. Dan diam yang ini … menakutkan.“Ra?” panggilnya ragu, tangannya hendak menyentuh jemari Kinara, tapi wanita itu buru-buru menarik tangannya. “Aku … aku mau keluar sebentar,” gumam Kinara pelan, hampir tak terdengar. Ia berdiri tanpa menoleh dan melangkah pergi keluar kamar.Langkah Kinara terus hingga keluar dari unitnya—berjalan tidak tentu arah hingga ia tersadar saat lift berdenting dan dia sudah berada di lobi. Kinara melangkah ragu menelisik sekitar. Pandangannya jatuh pada taman yang tidak jauh dari lobi.Sementara, Aditama merasa bersalah karena menyinggung hal itu. Kinara pasti teringat akan kehamilan dan kehilangan anak mereka.‘Bodoh
"Mas!" bisiknya, suara nyaris tak terdengar, pipinya sudah memanas.Aditama hanya mengangkat sebelah alisnya, matanya tak lepas dari rona merah yang menyebar di wajah Kinara. Ia mengusap pipi itu dengan lembut. Sekuat hati Aditama menahan diri, tidak ingin merusak momen langka ini. Sang istri sedang mode jinak, harus disayang-sayang sebelum berubah menjadi macan.Kinara mengangguk pelan.“Kita tertidur sampai lewat waktu makan siang. Mau makan di kamar saja atau pindah keluar saja?” tanya Aditama, masih membelai sayang rambut kesayangannya.“Di … kamar,” lirih Kinara, meringis tipis.Aditama mengangguk setuju. Aditama menyambut jawaban itu dengan menarik Kinara lebih dekat, kepalanya bersandar ringan di atas rambut perempuan itu. Wajah Kinara nyaris tenggelam di dadanya, dan ia tidak berniat melepaskannya dalam waktu dekat.Namun, tiba-tiba tubuh Kinara menegang sedikit.“Mas,” bisiknya sambil mendongak, “tangannya nggak sakit lagi?”Sekejap, Aditama terdiam. Ia baru ingat—sandiwaranya
Mau tidak mau Kinara tetap menyuapi Aditama, ia melakukan ini karena lelaki itu sudah menyelamatkannya semalam. Harus balas budi ‘kan?Wajah Kinara datar menyuapi Aditama, sementara yang disuap sumringah.“Mau minum,” pintanya manja, menunjuk gelas air putih di atas meja. Tak terima disuruh-suruh Kinara mengerjakannya setengah hati.Ah, mimpi apa Kinara semalam hingga paginya begitu menyebalkan, pekiknya dalam hati. Berbeda dengan Aditama yang bahagia luar biasa.“Setelah ini mau bahas perihal audit sebentar, nggak?” tanya Aditama dan Kinara mengangguk setuju.Usai sarapan, Aditama duduk bersandar di sandaran ranjang, sementara Kinara duduk di sampingnya, menyilangkan kaki di atas kasur. Suasana kamar sepi, hanya terdengar dengus napas mereka dan hembusan angin dari celah balkon yang terbuka. Sesantai itu akhir pekan mereka, suasana ini sangat kontras dengan isi kepala mereka yang sama-sama dipenuhi dengan banyak pikiran.“Ra,” gumam Aditama, menoleh sebentar, menatap kesayangannya–mul