Kinara terpaksa memenuhi permintaan terakhir ayahnya untuk menikah dengan lelaki pilihan sang ayah, Aditama Prawira, seseorang yang tidak ia kenali, apalagi cintai. Pernikahan tanpa arah, tidak ada cinta dan gairah. Namun, seiring waktu perasaan itu mulai tumbuh. Sayangnya, hadirnya mantan kekasih Aditama justru hadir menguji pernikahan mereka!
View More“Ayah akan menjodohkan kamu.”
Raut wajah Kinara berubah mendengar kalimat yang keluar dari mulut ayahnya.
Satu detik, dua detik, tiga detik. Kinara menyemburkan tawanya.
“Malah ketawa. Ayah tidak sedang bercanda. Kesehatan Ayah kian menurun, Kinara. Harus ada lelaki yang bisa menemani kamu saat Ayah tidak lagi di sisimu,” kata Fahri, ayah Kirana, lagi.
Fahri sengaja menyempatkan diri mengunjungi anak semata wayangnya yang tengah menempuh studi S1 di Malaysia setelah menjalani pengobatan rutin di negeri jiran itu.
Ayah Kinara itu memiliki riwayat penyakit jantung, tapi jelas itu tidak bisa dijadikan alasan. Kinara tidak setuju dengan permintaan ayahnya.
“I’ll do anything for you, tapi tidak dengan perjodohan. Kayak anaknya nggak laku saja. Yang mengantri ini banyak, loh, Yah,” kata Kirana bernada santai.
“Sekalian pun yang mengantri banyak, itu tidak menjamin kehidupanmu setelah Ayah pergi. Ayah mengenal baik Om Tama,” ujar Fahri mantap.
Kinara memicingkan matanya, menatap ayahnya dengan curiga. Ia bingung, sebenarnya siapa yang ingin dijodohkan dengannya.
Om Tama yang Kinara kenal itu adalah sahabat ayahnya, dan jelas sudah beristri!
“Ayah mau jodohkan aku dengan Om Tama? Yang benar saja!” gerutu Kinara sambil mengerucutkan bibirnya.
“Bukan dengan Om Tama, tapi dengan anaknya,” sahut Fahri langsung.
Kinara masih terdiam menatap ayahnya. Selama ini, hampir semua kemauan ayahnya telah ia turuti, tetapi untuk yang satu ini rasanya tidak bisa ia lakukan.
Kinara ingin menikah dengan pria yang ia cintai, bukan dengan pria asing. Sekalipun itu adalah anak sahabat ayahnya, tetapi Kinara saja tidak mengenalnya, bertemu saja belum pernah!
“Kalau saja ibu masih ada, pasti dia akan membelaku,” gerutu Kinara lagi, kali ini ia menundukkan kepalanya.
Kinara memang telah kehilangan ibunya sejak ia berusia tujuh tahun. Lalu, lima tahun kemudian, ayahnya menikah dengan Diani, seorang janda dengan dua anak kembar bernama Dita Arimbi dan Dito Prajasutra yang usianya tiga tahun lebih tua dari Kinara. Kemudian, dari pernikahan itu, lahir seorang anak perempuan bernama Tiara Fani.
Namun sayangnya, ibu tirinya itu tak pernah berlaku baik pada Kinara. Dan yang membuatnya merasa semakin hancur dan sendirian adalah penyakit sang ayah yang membuatnya terus was-was akan kepergian itu.
Tangan Fahri terulur mengusap puncak kepala anaknya seraya berkata, “Om Tama tidak pernah salah dalam mendidik anaknya. Itu sebabnya Ayah yakin, lelaki ini adalah pilihan yang tepat untukmu.”
Percakapan keduanya berlanjut tentang kondisi kesehatan sang ayah yang merasa bahwa tidak ada harapan lagi untuk kehidupannya, membuat hati Kinara menjerit pilu. Darahnya berdesir setiap kali mendengar ayahnya seolah menyerah pada penyakitnya.
Sudah banyak hal yang Fahri lakukan untuk jantungnya dan mulai membuatnya lelah. Beliau rasa waktunya tidak banyak lagi sehingga perasaan itu mengalir begitu saja.
“Kita bicara lagi lain kali. Sungguh, Kinara tidak suka topik ini,” kata Kinara lirih.
“Tidak ada lain kali Kinara.” Fahri menatap anaknya dengan serius, tetapi sorot matanya seolah telah layu.
Darah Kinara berdesir bersamaan dengan air matanya yang lolos begitu saja ketika Fahri mengatakan ia ingin melakukan satu hal untuk sang anak di ujung usianya.
Wajah lelah Fahri mengusik hati Kinara. Lelaki paruh baya itu terlihat bulat dengan tekadnya. Kinara merangkul lengan ayahnya bersandar pada bahu yang tidak lagi kokoh itu.
"Namanya Aditama," lanjut Fahri, meraih ponselnya penuh semangat hendak menunjukkan foto lelaki yang dijodohkan dengan putrinya.
"Beri Kinara waktu, Yah," potong Kinara sambil menahan tangan sang ayah.
Akhirnya, Fahri mengurungkan niatnya untuk menunjukkan foto laki-laki itu. Kini, keduanya larut dalam perasaan masing-masing.
**
Hari itu, kepulangan sang ayah ke Indonesia menyisakan sendu, baik di hati Kinara maupun Fahri.
Kinara menatap kosong ke arah punggung Fahri yang kian menjauh. Hatinya terasa penuh sesak. Ia tidak siap. Namun, setiap kali ia mencoba membayangkan menolak, wajah sang ayah muncul di benaknya. Meski hidup berjauhan, selama ini Kinara hampir tak pernah menolak keinginan sang ayah.
Sekolah jauh dari rumah sebenarnya bukan keinginan Kinara. Memang, ia sendiri yang memilih Malaysia sebagai tempat menimba ilmu. Namun, ide untuk bersekolah di luar negeri berasal dari ibu tirinya.
Sejak duduk di bangku SMA, Kinara sudah merantau ke negeri orang. Ia tahu betul bahwa ibu tirinya tidak pernah benar-benar menyukainya. Bahkan, jika memungkinkan, wanita itu pasti akan mengirimnya lebih jauh lagi, agar sepenuhnya terpisah dari keluarganya.
Meski begitu, Kinara berusaha menepis prasangka buruk itu. Ia mencoba berpikir positif, barangkali sang ibu tirinya hanya ingin memberikan yang terbaik. Toh, pada akhirnya, hidup jauh dari rumah telah membentuknya menjadi pribadi yang mandiri dan bersahaja, meskipun ia berasal dari keluarga berada.
Lalu, apa yang harus ia lakukan sekarang? Mengikuti kehendak ayahnya dan mengorbankan dirinya sendiri?
***
Tidak bisa menunggu lebih lama lagi, Fahri mengatakan bahwa ia akan segera memesankan tiket pesawat untuk Kinara pulang ke tanah air. Sudah ditentukan, akhir pekan ini keluarga Tama, calon besan, akan datang melamar.
“Waktu Ayah mungkin tak sebanyak dulu, Nak. Kita tak pernah tahu sampai kapan Ayah bisa menemanimu,” ujar Fahri melalui sambungan panggilan video.
Kinara diam sesaat, kemudian berkata lirih, “Yah, apa dengan melihat aku menikah dengannya, Ayah akan bahagia?”
Fahri bisa melihat mata putrinya mulai berkaca-kaca. “Tentu, tapi yang akan lebih bahagia adalah kamu.”
Air mata Kinara jatuh, saat ini memang tidak ada yang lebih berharga dari kebahagiaan sang ayah. Akhirnya, Kinara mengangguk pelan.
“Kalau begitu, Kinara bersedia menerima perjodohan ini. Tapi janji, setelah Kinara menikah nanti jangan lagi bahas soal kepergian, ya, Yah?” tekan Kinara dan Fahri mengangguk setuju.
Kinara ikut tersenyum tipis saat melihat wajah sang ayah yang tampak lebih ceria, seolah bebannya berkurang.
Bisa menolak? Tidak.
Kinara tidak diberi pilihan.
Namun, demi sang ayah, cinta pertamanya, Kinara berusaha mengesampingkan egonya dengan menerima perjodohan ini.
Lalu, bagaimana dengan bahagia Kinara?
Entahlah. Saat ini, kebahagiaan ayahnya adalah segalanya.
Tubuh mereka bertemu, kulit dengan kulit, napas bercampur menjadi satu. Gerak mereka penuh irama—kadang tergesa, kadang melambat—seakan ingin menghafal setiap detail rasa. Jemari Kinara mencengkeram punggung suaminya, bibirnya memanggil nama Aditama di sela-sela desah.Peluh mulai membasahi dahi dan pelipis, namun tak ada yang mundur. Dunia seakan menyisakan mereka berdua di ruang waktu yang tak berbatas.Bagi Kinara, entah kenapa rasanya benar seperti malam pertama karena Aditama memperlakukannya berbeda dari biasanya. Nyatanya mereka telah melewat hujan badai—entah berapa kali. Malam ini … benar-benar indah.Ketika akhirnya mereka terkulai dalam pelukan, dada masih naik-turun, Kinara menatap wajah Aditama di bawah cahaya lampu yang temaram.Aditama tersenyum kecil, membelai pipinya. “Kamu bahagia hari ini, Sayang?”“Banget. Mas bagaimana?”“Mas yang paling berbahagia karena kamu bahagia.”Malam itu berakhir dengan mereka saling memeluk erat, membiarkan detak jantung yang berpacu menj
The dayHari yang selama ini hanya ada di kepingan-kepingan mimpi akhirnya tiba. Ruangan tempat Kinara berdiri terasa begitu sunyi, hanya suara detik jam dan tarikan napasnya yang terdengar. Di depannya, cermin besar memantulkan sosok wanita dengan gaun putih anggun—gaun impian yang pernah ia kubur jauh di dalam hati, kini menjadi kenyataan. Jemari Kinara yang halus menyusuri permukaan gaun, merasakan tekstur halus satin yang dihiasi applique bunga-bunga lembut.“Cantik sekali,” puji sang MUA dengan nada tulus, sambil memandangi Kinara dari ujung kepala hingga kaki.Kinara menoleh dan tersenyum malu.“Kalau tidak diberi tahu ini acara anniversary, pasti kukira kamu pengantin baru. Manglingin banget,” lanjutnya sambil merapikan veil yang menjuntai lembut di punggung Kinara.Kinara hanya membalas dengan senyum lembut. Ada kilau hangat di matanya—rasa syukur tak terhingga dalam dadanya.Ia melangkah pelan keluar dari kamar rias. Di ujung lorong, Aditama sudah berdiri menunggunya. Lelaki i
Akhir pekan ini, acara anniversary pernikahan Kinara dan Aditama akhirnya resmi digelar. Undangan sudah tersebar ke kerabat dekat, kolega, serta rekan kerja. Bahkan tim dari perusahaan mereka masing-masing pun diundang. EO sudah memastikan semua berjalan sesuai rencana—dan rencana itu terbilang megah, bahkan bisa dibilang setara resepsi pernikahan sungguhan.Membayangkan hasil presentasi EO kemarin sore saja sudah membuat bulu kuduk Kinara meremang. Ia benar-benar tak percaya, acara yang awalnya ingin ia buat sederhana kini menjelma seperti pesta besar.“Mas, ini nggak keterlaluan, ya?” tanya Kinara ragu, menoleh pada suaminya yang sedang mengemudi. Aditama akan membawa Kinara ke suatu tempat. “Acaranya… kok kayaknya kebesaran. Maksudnya, dekorasinya bukan yang seadanya gitu. Aku malu, masa cuma ulang tahun pernikahan sampai semegah itu?”Aditama menatap istrinya dengan senyum penuh keyakinan. “Kenapa harus malu? Istri Aditama cantik, pintar, dan sukses. Mas bangga. Mas mau kasih tahu
Sore itu, Kinara menatap layar ponselnya yang menampilkan wajah ceria Fany. Di belakang gadis itu tampak ruang keluarga rumah mertuanya. “Lagi ngapain kamu?” tanya Kinara. “Lagi nemenin Mama Rindu baking,” jawab Fany sambil sedikit menoleh, memperlihatkan sosok Rindu yang sibuk mengulen, menatap ke arah kamera dan melambaikan tangan. “Besok Kak Ara jemput, ya?” “Okay, Kak,” balas Fany. "Cepat banget," rajuk Rindu. Ada rasa hangat yang mengalir di dada Kinara. Dulu ia sempat khawatir Fany akan canggung atau sulit beradaptasi. Tapi nyatanya, gadis itu justru menemukan ritmenya sendiri bahkan bersama mertuanya. Rindu pun bersemangat jika bersama Fany. Ia ada teman akhir-akhir ini. Panggilan pun berakhir. Layar ponsel meredup, meninggalkan pantulan wajah Kinara yang masih tersenyum. Ada lega sekaligus syukur dalam hatinya—melihat Fany diterima dengan tulus oleh Rindu, bahkan lebih dari yang ia bayangkan. “Okay … kita sampai,” kata Aditama. Kinara menyimpam ponselnya, menelisik s
Waktu berjalan cepat. Tahun demi tahun berganti, namun kebahagiaan tak pernah alpa menyertai. Pernikahan Aditama dan Kinara kini telah genap lima tahun. Hidup mereka stabil—suami tampan, istri cantik, ekonomi mapan, dan karier keduanya bersinar. Seolah segalanya telah berada di tempat yang tepat. Hari ini, Kinara benar-benar dibuat terkejut. Dalam rangka ulang tahun pernikahan mereka yang kelima, Aditama membawanya ke sebuah bangunan ruko dua lantai, dengan dominasi kaca modern yang memikat. “Mas?” Kinara melirik penuh tanya. Aditama hanya tersenyum, lalu memeluknya dari belakang, menatap bangunan yang berdiri gagah di depan mereka. “Hari ini aku janjian sama desain interiornya,” ujar Aditama. “Lantai atas akan jadi ruang kerja kamu—khusus buat sang desainer. Bagian bawah, area VIP. Nah, sisi sana,” katanya menunjuk ke area kanan bangunan, “di situ akan terpajang semua koleksi kamu yang selama ini cuma ada di draft.” Kinara menutup mulutnya, matanya membelalak. “No way! Aku p
Hari-hari terasa lebih hidup sejak Fany tinggal bersama mereka. Bagi Kinara, kehadiran sang adik bukan sekadar pelipur rindu—Fany adalah teman, penyemangat, dan pengingat akan mimpi yang dulu ia impikan kebersamaannya yaitu keluarga. Saat Aditama kembali ke Singapura untuk urusan pekerjaan, Kinara tak merasa sendiri. Rumah terasa lebih hangat, lebih ramai, dan lebih bersinar.Pagi mereka dimulai dengan sarapan sederhana yang mereka siapkan berdua. Namun bagi mereka, semuanya terasa istimewa karena dibuat bersama. Kinara juga lebih ceria, tawanya lebih sering terdengar.Keberadaan Bibi juga menjadi pelengkap, mereka dapat menikmati perhatian dari seorang ibu.Kakak dan adik itu punya quality time baru—membuka laptop dan sketchbook. Fany, meski baru saja duduk di bangku SD, sudah menunjukkan ketertarikan mendalam pada dunia fashion. Ia sering menggambar rancangan busana, bahkan tanpa sadar meniru gaya Kinara. Tarikan garis Fany belum sempurna, tapi tegas dan berani. Kinara selalu memperh
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Comments