Menikah tanpa cinta, terpisah tanpa rasa, dan dipertemukan tanpa rencana. Aditama Prawira, pria dingin dan ambisius, dipaksa menikah dengan Kinara Ayudia Riyani demi memenuhi titah ayahnya. Tanpa pernah bertemu sang istri, ia memilih pergi ke Singapura untuk melanjutkan studi S2-nya, meninggalkan pernikahan yang tak diinginkannya. Sementara Kinara sedang menjalani studi S1 di Malaysia, menerima pernikahan itu demi ayahnya yang sakit keras. Namun, titik balik pernikahannya adalah kepedihan yang mendalam karena di hari yang sama ayahnya menghembuskan napas terakhir. Hal itu membuatnya tak peduli dan tidak pernah mencari tahu siapa suaminya, menganggapnya sekadar ikatan tanpa makna. Takdir mempertemukan mereka dalam situasi tak terduga. Kebencian, ketidakpedulian, dan keegoisan perlahan berubah menjadi rasa yang tak bisa diabaikan. Namun, ketika perasaan mulai tumbuh, rahasia, intrik, dan pengkhianatan mengancam segalanya. Dapatkah mereka menyelamatkan pernikahan yang sejak awal tidak diinginkan?
View More“Ayah dan Om Tama sepakat akan menjodohkan kamu dengan anak sulungnya.”
Raut wajah Kinara berubah mendengar kalimat yang keluar dari mulut ayahnya. Satu detik, dua detik, tiga detik. Kinara menyemburkan tawanya. “Malah ketawa. Ayah tidak sedang bercanda. Kesehatan Ayah kian menurun, Kinara. Harus ada lelaki yang bisa menemani kamu saat Ayah tidak lagi di sisi kamu.”
Fahri sengaja menyempatkan diri mengunjungi anak semata wayangnya yang tengah menempuh studi S1 di Malaysia setelah menjalani pengobatan rutin di negeri jiran itu.
Ayah Kinara itu memiliki riwayat penyakit jantung, tapi jelas itu tidak bisa dijadikan alasan. Kinara tidak setuju dengan permintaan ayahnya. “I’ll do anything for you, tapi tidak dengan perjodohan. Kayak anaknya nggak laku saja. Yang mengantri ini banyak, loh, Yah,” katanya bernada santai.
“Sekalian pun yang mengantri banyak, itu tidak menjamin kehidupanmu setelah Ayah pergi. Ayah mengenal baik Om Tama.”
Kinara Ayudia Riyani, biasa disapa Kinara, anak tunggal Fahri. Ibunya meninggal dunia saat Kinara berusia tujuh tahun. Lima tahun kemudian, Fahri menikah dengan Diani, seorang janda dengan dua anak kembar—Dita Arimbi dan Dito Prajasutra—yang usianya tiga tahun lebih tua dari Kinara. Dari pernikahan keduanya, Fahri dan Diani dikaruniai seorang anak perempuan, Tiara Fani.
Kinara memicingkan matanya—menatap ayahnya dengan curiga. Ia bingung, sebenarnya siapa yang ingin dijodohkan dengannya, Om Tama atau anaknya?
Tangan Fahri terulur mengusap puncak kepala anaknya seraya berkata, “Om Tama tidak pernah salah dalam mendidik anaknya. Itu sebabnya Ayah yakin, lelaki ini adalah pilihan yang tepat untukmu.”
Percakapan keduanya berlanjut tentang kepergian Fahri di kemudian hari membuat hati Kinara menjerit pilu. Darahnya berdesir setiap kali mendengar Fahri seolah menyerah pada penyakitnya.
Sudah banyak hal yang Fahri lakukan untuk jantungnya dan mulai membuatnya lelah. Beliau rasa waktunya tidak banyak lagi. Perasaan itu mengalir begitu saja.
“Kita bicara lagi lain kali. Sungguh, Kinara tidak suka topik ini.”
“Tidak ada lain kali Kinara.”
Darah Kinara berdesir bersamaan dengan air matanya yang lolos begitu saja. Fahri mengatakan ia ingin melakukan satu hal untuk sang anak di ujung usianya.
Wajah lelah Fahri mengusik hati Kinara. Lelaki paruh baya itu terlihat bulat dengan tekadnya. Kinara merangkul lengan ayahnya bersandar pada bahu yang tidak lagi kokoh itu.
"Namanya Aditama," lanjut Fahri, meraih ponselnya penuh semangat hendak menunjukkan foto lelaki yang dijodohkan dengan putrinya.
"Beri Kinara waktu, Yah," lirihnya, menahan tangan sang ayah.
Ini adalah ‘plot twist’ terbesar dalam hidup Kinara. Dijodohkan dengan lelaki yang tidak ia cintai, yang benar saja? Jangankan cinta, kenal saja tidak. Akan seperti apa pernikahan yang harus ia jalani nanti?
Hari itu, kepulangan sang ayah ke Indonesia menyisakan sendu baik di hati Kinara maupun Fahri.
Kinara menatap kosong ke arah punggung Fahri yang kian menjauh. Hatinya terasa penuh sesak. Ia tidak siap. Namun, setiap kali ia mencoba membayangkan menolak, wajah sang ayah muncul di benaknya. Meski hidup berjauhan, selama ini Kinara hampir tak pernah menolak keinginan sang ayah.
Sekolah jauh dari rumah bukan keinginannya. Memang, Kinara memilih Malaysia sebagai tempat menimba ilmu, tetapi ide untuk bersekolah di luar negeri berasal dari ibu tirinya. Sejak SMA, ia sudah merantau ke negeri orang. Bukan Kinara tidak tahu kalau ibu tirinya tidak menyukainya. Jika bisa, mungkin ia akan dikirim lebih jauh lagi agar benar-benar terpisah dari keluarga.
Namun, Kinara berusaha menepis pikiran itu dengan satu hal positif—mungkin ibunya hanya menginginkan yang terbaik untuknya. Buktinya, ia tumbuh menjadi pribadi yang mandiri dan bersahaja, meskipun berasal dari keluarga berada.
Lalu, apa yang harus ia lakukan sekarang? Mengikuti kehendak ayahnya dan mengorbankan dirinya sendiri?
***
Tidak bisa menunggu lebih lama lagi, Fahri mengatakan bahwa ia akan segera memesankan tiket pesawat untuk Kinara pulang ke tanah air. Sudah ditentukan, akhir pekan ini keluarga Tama, calon besan, akan datang melamar.
“Waktu Ayah mungkin tak sebanyak dulu, Nak. Kita tak pernah tahu sampai kapan Ayah bisa menemanimu,” ujar Fahri melalui sambungan panggilan video.
Kinara diam sesaat, kemudian berkata lirih, “Yah, apa dengan menikah dengannya, Ayah akan bahagia?”
Fahri bisa melihat mata putrinya mulai berkaca-kaca. “Tentu, tapi yang akan lebih bahagia adalah kamu.”
Air mata Kinara jatuh bersama dengan anggukan pelan. “Kalau begitu, Kinara bersedia menerima perjodohan ini. Tapi janji, setelah Kinara menikah nanti jangan lagi bahas soal kepergian, ya, Yah?” tekannya dan Fahri mengangguk setuju.
Kinara ikut tersenyum tipis saat melihat wajah sang ayah yang tampak lebih ceria, seolah bebannya berkurang.
Bisa menolak? Tidak. Kinara tidak diberi pilihan. Namun, demi sang ayah—cinta pertamanya—Kinara berusaha mengesampingkan egonya dengan menerima perjodohan ini. Lalu, bagaimana dengan bahagia Kinara? Entahlah. Saat ini, kebahagiaan ayahnya adalah segalanya.
Bandara Senai pagi itu tidak terlalu ramai. Udara masih terasa sejuk, Kinara menggenggam tangan Aditama. Mereka berjalan beriringan melewati pintu keberangkatan internasional.Aditama melirik jam tangannya. Karena akan transit di Kuala Lumpur dulu, mereka masih bersama Tama dan Rindu yang juga akan bertolak ke tempat yang sama. Dari sana mereka akan berpisah. Kinara dan Aditama akan melanjutkan perjalanan ke Malé.Kinara mengenakan cardigan tipis dan celana linen yang nyaman untuk perjalanan jauh. Rambutnya disanggul asal, tapi wajahnya tetap tampak segar.Penerbangan ke Kuala Lumpur hanya memakan waktu singkat, tak lebih dari satu jam. Setibanya di KLIA, mereka berpisah dengan Tama dan Rindu dan menikmati waktu transit dengan duduk santai di lounge.“Kenapa, Mas?” tanya Kinara karena sedari tadi Aditama menatapnya.Kini tangannya sudah terulur merapikan rambut Kinara yang menutupi sedikit wajahnya. “Cantik sekali. Istri siapa, sih?”Kinara tidak menjawab, hanya menggeleng melihat tin
“Mama nggak tahu kita mau ke Maldives, ya?” tanya Kinara pelan saat mereka berada di dalam lift menuju lantai bawah. Pagi ini, mereka akan sarapan bersama. Kedua orang tua Aditama sudah lebih dulu menunggu di restoran hotel.Aditama menarik tubuh istrinya mendekat—dari sampingnya hingga Kinara bergerak—berdiri di hadapannya, kemudian memeluk wanitanya dari belakang. Ia menunduk, meletakkan dagunya di bahu sang istri.“Mama belum tahu kalau kita akan bulan madu,” bisik Aditama.“Bulan madu?” ulang Kinara, menoleh ke arah suaminya dengan alis terangkat. Gerakan kecil itu membuat pipinya langsung dicium sekilas oleh Aditama. Untungnya, lift kosong saat itu.“Kalau bukan bulan madu, lalu apa namanya?” sahut Aditama santai. “Selama di sana, aku nggak mau sarungan lagi, Yang.”Mata Kinara langsung membulat. Ia mencubit lengan suaminya pelan, lalu menepuk tangan yang melingkari pinggangnya.“Mas, ya ampun ... jaga omongan, ini tempat umum,” tegurnya dengan nada setengah berbisik.Aditama ter
“Mama cantik nggak, Mas? Mama nggak mau malu-maluin Kinara ‘kan? Masa desainer muda sukses Mama-nya nggak fashionable,” ujar Rindu, membuat Aditama dan Tama mengulum senyumnya. “Ih, pada seriuslah. Apa Mama ganti tas, ya? Yang paling mahal?”“Mama cantik. Nggak akan malu Kinara, nggak. Dia sangat menanti momen ini. Mama dan Papa hadir saja, dia bahagia luar biasa,” balas Aditama.“Nggak bisa Mama kalau nggak paripurna. Nggak mau malu-maluin menantu Mama.”“Cantik,” puji Tama, membuat sang istri memicingkan matanya.“Wait! Aku sedang mencari kejujuran di mata kamu, Mas,” tunjuk Rindu pada wajah suaminya.“Buruan yuk! Nggak bikin malu Kinara, tapi malah bikin dia kecewa karena terlambat,” pangkas Tama.Ketiganya pun gegas menuju tempat pelaksanaan acara.Pagi itu, matahari bersinar cerah seolah turut merayakan pencapaian penting dalam hidup Kinara. Udara sejuk menyambutnya saat ia berdiri di depan cermin, mengenakan toga dengan selempang ungu melambangkan bidang Seni Reka, Seni Halus, Re
Kinara berdiri di depan pintu kedatangan, menunggu dengan sabar—dalam rengkuhan suami posesifnya—yang berada di belakangnya. Tangannya memeluk buket bunga kecil yang sengaja ia siapkan sore itu—bunga segar dengan dominasi warna pink dan putih. Matanya tak henti menelusuri wajah-wajah yang melintas, mencari dua sosok yang sudah seperti orangtuanya sendiri.“Sabar,” ujar Aditama, membuat sang istri menoleh dan mendongak menatap kesayangannya.“Mama suka nggak ya bunganya?” tanya Kinara kembali menatap bunga di tangannya.“Suka, Mama suka kejutan kecil seperti ini. Bunga apa saja sepertinya bukan masalah,” terang Aditama membuat senyum di wajah Kinara merekah.Begitu melihat pasangan paruh baya keluar dari pintu kaca besar bandara, Kinara melonjak girang kemudian berlari kecil menghampiri. Wajahnya langsung bersinar saat melihat senyum hangat sang ibu mertua, Rindu, dan tatapan penuh kasih dari papa mertuanya, Tama.“Mama! Papa!” serunya.“Kinara sayang ….” Rindu langsung merentangkan tan
Hujan masih berderai di luar sana, padahal sampai tadi sebelum mereka berpisah langit malam masih cerah. Bintang seolah ikut merayakan—menyambut kebersamaan mereka, kini suara hujan mengalun lembut seperti irama rindu yang tak kunjung padam. Di dalam kamar bernuansa hangat dengan temaram lampu kuning madu, Kinara dan Aditama merebah dalam keheningan yang dipenuhi degup jantung. Napas mereka saling bertukar hangat dan tatap mata yang tak henti saling mencari.Kinara menyelipkan jemarinya di sela-sela jari tangan Aditama. Lelaki itu langsung menarik tubuh istrinya ke dalam pelukan yang tak menyisakan jarak sedikit pun di antara mereka.“Aku masih belum puas memelukmu,” bisik Aditama tepat di balik telinga Kinara. Suaranya dalam, berat, seperti getar dari ruang kosong yang lama menanti diisi.Kinara meringis kecil, tubuhnya tertahan dalam dekapan yang kelewat rapat. “Mas … lepas dulu, aku nggak bisa tidur kalau dipeluk seerat ini.”Alih-alih mengendurkan pelukannya, Aditama malah mengecup
Langit Johor siang itu bersih dan cerah. Angin berembus pelan, pesawat yang membawa Kinara dari Jakarta baru saja mendarat dan penumpang mulai turun satu per satu. Di antara mereka, Kinara berjalan dengan langkah ringan bersama Nana, asisten-nya.Rambutnya dibiarkan tergerai, sedikit berantakan. Namun tetap memancarkan pesona yang tenang. Di matanya ada semangat baru, meski di balik senyumnya tersimpan haru yang masih mengendap—tentang Fani."Pak Aditama nunggu di luar, Bu," ujar Nana, menatap ponselnya yang aktif lebih dulu.Kinara tersenyum, menggenggam tas jinjingnya. "Oh, ya—eh, ini pesannya baru masuk," kekeh Kinara.Dan benar saja. Begitu melewati pintu kedatangan internasional, mata Kinara langsung menangkap sosok yang begitu ia rindukan. Berdiri di antara kerumunan, mengenakan kemeja putih dan celana jeans gelap. Di tangannya, seikat bunga mawar merah muda dan putih.Mata mereka bertemu.Aditama tersenyum—senyum yang tak pernah gagal membuat dada Kinara menghangat. Ia melangkah
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Comments