galak amat cih, Pak. Hihi ...
“Kamu yang mengirim laporan keuangan itu?” tanya Kinara, menatap Aditama dalam.Kini hanya tersisa mereka berdua di ruang rapat. Aditama duduk di samping Kinara, siku-nya bertumpu di meja, tangannya menyangga dagu sambil menatap sang istri. Ia mengangguk pelan, sebagai jawaban atas pertanyaan Kinara.Kinara menunduk, matanya menerawang jauh. Benaknya langsung melayang pada malam kemarin.Malam itu, ia tidak bisa tidur.Ucapan Aditama terus terngiang di kepalanya. ‘Bagaimana dengan harapan ibu dan ayahmu? Bagaimana dengan jerih payah mereka dan keringat yang keluar untuk mempertahankan perusahaan itu?’Kinara mengenang sang Ayah. Meski kesehatannya terganggu beliau tetap survive untuk perusahaan demi mengantarkan perusahaan ini untuk kinara, begitu kata sang ayah dulu. ‘Saat Kinara memimpin perusahaan nanti, Ayah pastikan semuanya sudah settle. Tinggal kamu lanjutkan, Sayang,’ ujar almarhum Fahri waktu itu.Namun takdir punya cerita lain—ayahnya pergi sebelum sempat melihat putrinya du
Aditama duduk di ruang kerjanya, dikelilingi tumpukan dokumen. Ponselnya berdering—nama Vano muncul di layar.Vano mengatakan ia berhasil mendapatkan salinan wasiat almarhumah ibu kandung Kinara. Aditama berdiri, menatap lurus ke arah jendela. “Katakan.”“Perusahaan akan diwariskan sepenuhnya kepada Kinara, tapi dengan syarat. Hak penuh atas perusahaan hanya bisa ia pegang setelah ia mencapai usia dua puluh satu tahun—atau setelah ia menyelesaikan pendidikan sarjananya. Mana yang lebih dulu tercapai.”Aditama terdiam sejenak, mencerna setiap kata.“Artinya... Kinara memang belum punya kuasa apa pun secara hukum,” gumamnya pelan.“Betul, Pak. Sejak kepergian mendiang Pak Fahri, semua keputusan yang diambil selama ini berada di bawah pengelolaan sementara, Dita Arimbi,” jelas Vano.Aditama memejamkan mata. Kini semuanya lebih masuk akal—sikap diam Kinara, ketidakterlibatannya, bahkan ketidakinginnya perihal perusahaan.“Meski begitu, pengangkatan Dita Arimbi seharusnya atas sepengetahua
Aditama panik, hari mediasi sama dengan putaran investasi. Begitu tiba di rumah, dia langsung menghubungi Vano—mencocokkan jadwal kegiatannya. Namun, kemudian Aditama mengembuskan napas lega karena ternyata mediasi masih di penghujung weekday. Aditama tersenyum mengingat tatapan kinara tadi. Padahal wajahnya sangat meyakinkan.“Ternyata pandai bercanda juga,” gumamnya, melirik kamar utama yang tertutup rapat.Meski sekamar, Aditama tidak berani menyentuh Kinara. Tatapannya saja sudah tajam, tidak tahu apa jadinya kalau dia tidak bisa menahan diri. Bisa-bisa kehilangan kepercayaan Kinara. Kejadian kecupan singkat waktu itu saja Kinara sudah langsung memasang tembok tak kasat mata.Ciuman hari itu masih teringat jelas dalam ingatan Aditama. Lembut bibir ranum itu dan tatapan mata Kinara yang masih memancarkan cinta untuknya. Ah, Aditama tidak pernah sebegitu menginginkan wanita sebesar ini.Deringan telepon dari Mahesa, membuat Aditama sigap menerimanya. Lelaki itu mengatakan dia akan m
Aditama berdiri diam di sisi mobil, menggenggam setangkai bunga mawar putih yang telah ia beli di perjalanan tadi. Sudah lama sekali sejak terakhir kali ia menjejakkan kaki ke tempat ini—sejak hari pemakaman ayah mertuanya, Fahri. Ia berjalan perlahan, menyusuri deretan nisan yang tampak asing dan berbeda dari yang ia ingat. Langkahnya ragu, matanya mencari-cari. Beberapa kali ia berhenti, menunduk, membaca nama pada batu nisan yang salah. Rasa sesal dan gelisah menyesaki dadanya. Masa sudah berada di sini, dia tidak menemukan makam ayah mertuanya. Hingga akhirnya Aditama mengembuskan napas lega, ia menemukannya. “Om,” sapanya lirih. Aditama berjongkok, menyentuhkan jemarinya pada nisan itu. Ia letakkan bunga mawar putih di atas pusara, mengusap pelan batu nisan dengan telapak tangannya yang gemetar. “Saya Aditama, Om. Maafkan baru datang hari ini.” Suaranya parau. “Harusnya dari dulu, tapi saya terlalu pengecut.” Ia menghela napas panjang, lalu menunduk lebih dalam. “Maafkan sa
“Very good, Kinara,” puji dokter spesialis sambil tersenyum puas setelah memeriksa hasil pemeriksaan hari ini. Suaranya tenang dan jelas terdengar lega.Hari ini adalah jadwal kontrol pertama Kinara pasca rawat inap dan operasi. Kondisinya membaik cukup signifikan. Pemeriksaan tekanan darah, detak jantung, serta hasil lab terakhir menunjukkan kemajuan.“Luka operasinya membaik, tidak ada tanda infeksi. Kamu cukup kooperatif dan itu sangat membantu proses pemulihan,” lanjut dokter itu sambil mencatat sesuatu di berkas.Kinara mengangguk pelan. Aditama yang duduk di sampingnya ikut memperhatikan dengan seksama, senyum bangga menghiasi wajah lelaki itu.“Jadi … apakah saya masih perlu kontrol lagi, Dok?” tanya Kinara hati-hati, separuh berharap dia bisa segera pulang ke Malaysia dan hidup sendiri lagi.“Tentu saja,” jawab dokter, masih dengan nada profesional. “Kita akan jadwalkan satu kali kontrol lagi dua minggu ke depan. Kalau hasilnya tetap bagus, kamu sudah boleh lepas observasi inte
‘Tidur seranjang dan memeluk Aditama erat-erat semalam?’ Omong kosong. Itu hanya akal-akalan Aditama semata. Lelaki itu puas bukan main melihat ekspresi terkejut Kinara. Jangankan tidur di ranjang yang sama, dibukakan pintu pun tidak. Kinara menguncinya rapat-rapat.Aditama heran bukan main—bagaimana bisa Kinara lupa kalau dia sendiri yang mengunci pintu malam itu? ‘Tidur seranjang dan memeluk Aditama erat-erat semalam?’ Bagaimana bisa? Bahkan dalam alam bawah sadarnya pun, Kinara tetap mengusirnya—enggan dekat dengannya. Tapi justru itu yang membuat Aditama semakin gemas. Ia senang menggoda Kinara. Apalagi saat wajah perempuan itu memerah seperti tomat, lucu sekali.Satu hal lain yang disyukuri Aditama adalah kemurahan hati sang mama yang mengirim Bi Isah untuk membantu mereka di apartemen.Seharian ini, meski terus diketusi dan dijudesi oleh Kinara, Aditama tetap berlapang dada. Ia tak sekalipun membalas—justru semakin rajin menunjukkan perhatiannya pada sang istri.Bi Isah sampai ge
“Maksud kamu apa?” tanya Sheila dengan nada kesal.“Sheila… jangan terlalu melambungkan harapan terlalu tinggi. Mungkin kamu cinta pertamanya, tapi aku cinta terakhirnya,” ucap Kinara, sombong.Setelah mengucapkan itu Kinara langsung memukul mulutnya sendiri—lancang sekali dia. Tapi mau bagaimana lagi? Dia tak sudi kalah dari perempuan yang tak tahu diri seperti Sheila.Kinara bahkan memanjangkan lehernya—menengok ke arah pintu, khawatir jika Aditama mendengar kata-katanya barusan—bisa-bisa makin besar kepala lelaki itu.Tawa sinis terdengar dari seberang telepon. Kinara spontan mengernyit.“Sayang sekali,” balas Sheila, angkuh. “Cinta terakhir itu ternodai oleh cinta pertama yang belum usai. Dan aku harus bilang ini Kinara, saat ini aku tengah mengandung buah cinta kami, aku dan Aditama.”Hati Kinara seperti disayat mendengarnya.“Bagaimana kalau anak itu bukan anak Aditama?” tantangnya dingin.Sheila terdiam sesaat. “Te-tentu saja ini anak Aditama,” jawabnya, terdengar tidak yakin.“
Aditama menangkap sinyal keberatan yang terpancar dari sorot mata Kinara. Ia memberi pengertian pada ibunya—mengisyaratkan bahwa istrinya butuh istirahat—karena baru saja diizinkan pulang dari rumah sakit sore ini. Rindu sempat tampak kecewa, tapi akhirnya mengangguk pelan, mencoba memahami.“Ma,” panggil Kinara ragu. Hanya ada dirinya dan sang ibu mertua di ruang tengah itu. Sementara itu, Gania sedang membantu Aditama di dapur, membersihkan ruang makan dan peralatannya usai makan malam.“Soal perceraian—”“Anak itu…,” pangkas Rindu—matanya melirik perut Kinara. “Apakah anak Aditama?” lanjutnya. Kinara menelan salivanya perlahan, tubuhnya menegang mendengar pertanyaan itu.“Ma …,” lirihnya.“Ada banyak hal yang ingin saya tanyakan padamu, Kinara,” lanjut Rindu. “Tapi saya tahan. Karena... lihatlah,” katanya menunjuk ke arah Aditama yang tengah tertawa bersama Gania. “Saya belum pernah melihatnya sebahagia ini, Kinara. Dan saya tidak ingin menghancurkan kebahagiaannya. Tapi jawabanmu …
“Mas, aku keceplosan bilang mau ke apartemenmu. Jadinya Mama mau ikut, katanya,” ujar Gania meringis dari ujung telepon. “Biar Mas saja yang bicara sama Mama, Dek,” jawab Aditama, meminta Gania menyerahkan ponsel pada sang ibu. Aditama mencoba memberi pengertian pada Rindu. Ia berjanji akan mempertemukan Kinara dengan sang ibu di waktu yang lebih tepat. Tapi Rindu bersikeras. Ia ingin ikut. Katanya, ingin melihat langsung menantunya. “Kamu ini kenapa sih, Mas?” tanya Rindu curiga, menyadari kegelisahan anaknya. “Mas banyak salah sama Kinara, Ma. Mas takut kehilangan dia untuk kedua kalinya.” Rindu terdiam. Lalu bertanya lirih, “Sebegitunya kamu bela dia? Lalu bagaimana dengan anak dalam kandungannya itu, Mas? Apa kamu bisa menerima itu?” “Itu anak Mas, Ma. Cucu Mama.” Rindu terperangah. Aditama tahu Kinara membantah hal itu, tapi entah kenapa ia yakin itu anaknya. “Tapi... cucu Mama sudah nggak ada, Ma. Kinara keguguran.” Seketika, dada Rindu sesak. Meski bingung, tapi tak bis