Selingkuh yang direstui semesta sih ini >_<
Mobil yang Aditama kendarai melaju senyap di jalanan malam, melewati kawasan industri tua yang tampak tak berpenghuni. Mobilnya berhenti di sebuah gudang tua di pinggiran kota. Bangunannya gelap dan tampak tak terawat dari luar. Aditama berjalan mendekati beberapa pria berbadan besar berjaga di pintu masuk.Anak buah Mahesa Rein sudah mengetahui Aditama—mempersilakannya masuk.Aditama melangkah ke dalam gudang. Suasana di dalam berubah drastis. Bau logam dan debu menyengat. Aditama di tuntun ke sebuah ruangan oleh anak buah Mahesa Rein. Di tengah ruangan yang luas, ada satu ruangan kecil yang dibatasi kaca satu arah. Dari sisi luar, mereka bisa melihat ke dalam ruangan itu. Namun dari dalam ruangan, sang tahanan tidak bisa melihat ke luar. Mahesa mengangkat tangannya, memberi isyarat Aditama untuk mendekat.Aditama mendekat. Di balik kaca, tampak seorang pria duduk di kursi besi, kedua tangannya terikat ke belakang. Wajahnya babak belur, darah mengering di pelipis dan ujung bibir. Nam
Hari itu, sejak pagi, Aditama memilih untuk bekerja dari kantor Kinara. Bukan karena ia tak punya kesibukan, tetapi ada sesuatu yang terus mengganggunya—perasaan waspada yang tak kunjung surut sejak insiden demi insiden yang membayangi sang istri.Kinara tak menolak kehadirannya, meski sempat mengernyit saat tahu sang suami akan menemaninya seharian di ruang kerjanya. Pria itu duduk santai di sofa panjang di sudut ruangan, laptop terbuka di pangkuan, tapi sesekali pandangannya melirik ke arah meja kerja Kinara—atau lebih tepatnya, ke arah Wisnu, sekretaris sang istri.Tak ada yang janggal. Wisnu bekerja dengan sangat baik, menjelaskan rundown jadwal dengan rapi, tanggap terhadap permintaan Kinara, dan menjaga batas profesional.Okay, tidak ada yang perlu Aditama terlalu khawatirkan pada lelaki ini. Sepertinya keberadaan Wisnu di lingkungan kerja juga bukan ide yang buruk—untuk ikut menjaga sang istri.“Mas, tadi Wisnu pesankan kita makan siang. Aku pilih nasi liwet komplit untuk kamu,”
Udara malam itu hangat, menyelimuti kamar dengan cahaya lampu temaram dan aroma lembut dari diffuser yang terus menghembuskan wangi lavender. Tirai terbuka setengah, memperlihatkan langit yang gelap, hanya dihiasi bintang—meski tidak banyak. Di ranjang, dua insan yang telah lama menahan rindu kini saling bersandar dalam dekapan yang nyaris tak berjarak. Sentuhan tangan Aditama di punggung Kinara terasa ringan tapi penuh makna. Bibir mereka saling menyentuh, napas mereka memburu. Tawa kecil sesekali menyela di antara kecupan, seperti biasa, manis dan hangat. Rindu mereka semakin menggebu, tapi pelan-pelan dinikmati. "Mas ...," bisik Kinara pelan, jemarinya bermain di tengkuk suaminya—turun ke dada bidangnya. Kinara tidak malu lagi mengungkapkan rindunya dalam bentuk sentuhan. "Hmm?" Kinara tidak sempat bicara karena Aditama kembali membungkam bibirnya. Tubuh mereka kembali menyatu dalam pelukan panas. Kinara tak dapat menahan desahan yang akhirnya lolos ketika Aditama menjelajahi l
Pintu apartemen terbuka perlahan. Aditama menghela napas dalam, aroma khas rumah langsung memenuhi hidungnya—bau lavender dari diffuser di ruang tamu yang dipilih Kinara. Entah kenapa, malam ini baunya terasa lebih dalam, membuatnya semakin rindu.Langkah kakinya cepat. Koper dibiarkan di dekat pintu, jaket hanya digantung seadanya. Matanya mencari-cari satu sosok yang selama lima hari ini hanya bisa ia lihat melalui layar ponsel. Hatinya berdegup, tak sabar. Lima hari … bukan lima minggu, memang. Tapi bagi Aditama mana tahan berjauhan dari sang istri lama-lama.Kinara sedang bersandar di sisi dinding kamar—bersembunyi—mengenakan piyama berwarna salem yang membingkai tubuh mungilnya. Rambutnya masih sedikit basah, wajah bersih tanpa riasan. Ia mengejutkan Aditama yang perlahan masuk ke dalam kamar.“Sayang,” panggil Aditama.Aditama melonjak kaget saat Kinara sengaja mengejutkannya.“Mas,” panggilnya tiba-tiba.Aditama mengembuskan napas panjang, sementara Kinara sudah memeluknya dari
Aditama masih enggan melepaskan pelukannya dari tubuh mungil Kinara. Koper di sudut kamar sudah rapi, paspor dan tiket elektronik telah disimpan di dalam tas jinjingnya, tapi dia sendiri belum juga bergerak dari ranjang.“Mas … baju kamu sudah rapi kok masih dibawa berbaring lagi, sih?” ujar Kinara pelan sambil menepuk lengan suami-nya.Aditama hanya menggumam. Wajahnya masih tenggelam di tempat favorit-nya saat ini yaitu dada sang istri. Pelukannya kencang, nyaris posesif, seakan memaku istrinya agar tak ke mana-mana.Padahal hanya tiga hari. Tapi seolah akan berpisah satu purnama saja.“Mas, nanti kamu terlambat,” ujar Kinara sekali lagi. Ia membelai rambut suaminya yang sedikit berantakan, menunduk mencium dahinya.Aditama akhirnya melepaskan diri, perlahan. Matanya memandangi wajah istrinya. Sedang hangat-hangatnya malah harus berpisah.“Wajib video call tiap hari,” ujarnya, seperti perintah yang dibungkus perhatian.Kinara tersenyum, berdiri di depannya sambil merapikan kerah keme
Keluarga Aditama cukup besar. Ia memiliki lima adik—dua perempuan dan tiga laki-laki. Namun di rumah hanya ada satu adik laki-laki dan dua adik perempuannya, Gania dan Seina. Adik laki-laki tepat di bawa Aditama sudah menikah dan menetap di Jogja, sementara satu lagi sedang menempuh kuliah di Jepang. Kebersamaan Kinara dengan Gania dan Seina terasa begitu hangat dan menyenangkan. Mereka cepat akrab, terutama karena ketiganya memiliki ketertarikan yang sama yaitu fashion. Obrolan mereka bisa melompat dari tren warna musim ini ke diskusi seru soal gaya vintage dan makeup. Yang lucu, Gania—meski usianya lebih tua dari Seina—terlihat seperti adik karena sifat manja dan wajahnya yang imut. Sebaliknya, Seina justru tampak lebih dewasa dan tenang. Dinamika mereka unik, tapi justru itulah yang membuat suasana makin hidup dan menghibur. *** Malam menjelang saat Kinara dan Aditama tiba kembali di apartemen mereka. Aditama menjatuhkan tubuhnya ke atas ranjang, menghela napas panjang. “Akhirny