Tabitha merasa kecewa. Dia merasa dibohongi oleh Sandra. Ingin rasanya dia mengamuk saat ini juga. Memarahi pria itu, dan juga Sandra. Tetapi, tidak pantas rasanya.Baiklah, malam ini dia akan mencoba untuk tetap "diam". Berusaha melupakan semua yang pernah dia dengar.“Apa ... Anda tahu kalau sebenarnya dia ... sudah menikah?” Tabitha mencoba menahan emosinya.“Iya, saya tahu! Ada masalah dengan itu?” Kening pria itu berkerut.Fix! Pria ini ganteng, tapi perebut bini orang! Tabitha geram.“Iya! Tentu saja ada masalah!” Tabitha mengangguk yakin. Hilang sudah kesabarannya!“Harusnya Anda tidak boleh seperti itu!” bentak Tabitha, marah.Pria itu terkejut. Keningnya semakin berkerut. Alis tebalnya hampir bertaut. Mata cokelatnya menatap Tabitha dengan tajam. Namun anehnya, ekspresi di wajahnya tetap terlihat tenang.“Maksud Anda?” tanyanya, tanpa ada sedikit pun nada emosi di suaranya.“Maksud saya, Anda kan tahu kalau Sandra itu sudah menikah tapi ....”“Sandra? Sudah menikah?" Pria itu
Kisah hidupku sejauh ini memang bukan kisah hidup yang dramatis, penuh derai air mata.Memang bukan kisah tentang perceraian, perselingkuhan suami, atau mertua yang jahat seperti yang sering kubaca di novel-novel online selama ini. Juga bukan cerita tentang azab dari Tuhan seperti yang sering kutonton di televisi bersama ibu, bapak dan Dilla dulu. Sejauh ini, ya memang hanya seperti ini kisah hidupku.Aku juga bukan anak sultan yang punya banyak uang, karena orangtuaku hanya pengrajin batik kecil-kecilan. Kami cuma punya toko batik kecil di tengah pasar di pusat kota, dan sebidang tanah yang di atasnya dibangun sebuah rumah tempat kami tinggal, serta sedikit lahan kecil tempat Bapak memproduksi kain batiknya.Ya, aku memang hanya anak gadis biasa yang pergi merantau sendirian ke Ibukota Jakarta. Aku belum tahu tentang perceraian, perselingkuhan suami, atau tentang pertengkaran suami dan isteri dalam rumah tangga, karena aku memang belum menikah.Aku masih gadis lajang.Aku belum tahu t
Seperti petir di siang bolong yang berbunyi tepat di depan gendang telinganya, suara itu berhasil membuat Tabitha terkejut, lantas menoleh ke belakang, dan memandang seorang gadis yang berdiri di hadapannya saat ini.Vina.Tabitha menelan ludah.Putri kedua Bu Ambar yang ternyata sudah setahun lebih dulu diterima bekerja di perusahaan yang sama dengan Tabitha. Setelah sekian lama mereka berdua tidak bertemu, kenapa mereka harus bertemu di sini?Tuhan, cobaan apa lagi ini? Tabitha menghela nafasnya.Sabaar ... ya, Tabitha! Tabitha mengelus dada.“Bisa sopan sedikit tidak bicaranya? Maksud kamu apa sih? Kok saya tidak mengerti ya?” sahut Tabitha.Tetap berusaha tenang, itu yang sedang Tabitha coba lakukan. Walaupun di dalam hati rasanya dia ingin sekali menarik rambut panjang sebahu milik gadis yang selalu memandangnya rendah dan hina sejak dulu itu. Bahkan hingga saat ini, sepertinya.Dulu, ketika dia menumpang tinggal di rumah keluarga gadis itu, dia sudah diperlakukan seenaknya oleh m
Pria itu tersenyum lebar.“Harusnya aku yang tanya begitu! Kamu kenapa ada di sini? Sudah pindah kerja rupanya?” tanya pria itu dengan mata berbinar menatap gadis yang berdiri di depannya.“Iya, Mas!” Tabitha mengangguk.Pria itu adalah Andre, suami Sandra.“Wah, kejutan banget dong! Sejak kapan kamu kerja di sini?” tanya Andre.“Belum lama kok, Mas! Baru dua bulan yang lalu! Eeng ... Mas Andre juga kerja di sini?”“Hah? Ya iya lah! Memangnya selama ini kamu belum tahu?” Andre terheran-heran.Tabitha menggeleng.“Belum, Mas!” Tabitha tersenyum malu.Andre tertawa terkekeh.“Ya sudah, nggak apa-apa! Eh, hampir lupa! Aku mau ke kantin dulu ya, Bith! Mau beli titipan Sandra!” ujar Andre.“Ooh … iya, Mas!” Tabitha mengangguk."Eeh ... Mas! Mas, tunggu dulu!" panggil Erika dan Anna."Kenapa?" Andre mengerutkan keningnya."Mas yang namanya Surya Anemia itu ya? Yang artis itu? Yang host acara kuis buat emak-emak itu?" tanya Anna."Ooh ... bukan! Nama saya Andre Insomnia. Insomnia ... karena s
“Silahkan, Mbak! Ini titipan dari Pak Andre ya!” ujar resepsionis itu, sambil tersenyum ramah.“Iya, terimakasih!” Tabitha balas tersenyum sambil menerima bungkusan berisi kotak plastik yang diulurkan kepadanya. Harum dimsum segera menyeruak keluar, menggoda perut Tabitha yang mulai terasa lapar.Dari balik dinding kaca yang membatasi ruang resepsionis dengan ruang kantor di sebelahnya, seorang pria terlihat berjalan keluar dari ruang rapat di dalam kantor itu.Pria itu tersenyum gembira ketika melihat Tabitha bersiap melangkah keluar dari kantornya sambil menenteng bungkusan berisi sekotak dimsum di tangan. Pria itu pun segera mempercepat langkah kakinya dan menghampiri Tabitha.“Bith!” panggil pria itu.Tabitha menoleh.“Loh, Mas? Sudah selesai rapatnya?” tanya Tabitha.Pria itu tersenyum.“Sudah! Ternyata rapatnya nggak selama yang aku kira! Kita pulang bareng aja yuk!” ajaknya.“Loh kok?” Tabitha bingung.“Nggak apa-apa! Kan kita memang searah!” ujar pria itu.Dan akhirnya, setelah
Duuh … kenapa lama banget sih rapatnya? Tabitha mengeluh sambil memegang perutnya yang terasa lapar.Tadi pagi dia memang tidak sempat sarapan karena terlalu sibuk menyiapkan berkas untuk survei lokasi yang akan menjadi tempat pelaksanaan acara Employee Day dari kantornya. Selaku sekretaris panitia, memang sudah menjadi tanggung jawabnya untuk menyiapkan berkas-berkas itu.“Mas Fajar, kapan selesainya sih? Masih lama, ya?” tanya Tabitha."Memang kenapa?" Fajar, rekan kerja Tabitha yang terpilih untuk menjadi ketua panitia, balik bertanya."Lapar nih, Mas!" ujar Tabitha dengan berbisik sambil menunjuk perutnya.“Sabaar…! Sebentar lagi juga selesai! Memangnya tadi pagi kamu belum sarapan?” tanya Fajar.Tabitha menggeleng.“Belum!” jawabnya.Fajar terkejut.“Ya ampun, Bitha! Bagaimana sih kamu? Kamu kan tahu hari ini kita pasti sibuk, kenapa pake acara nggak sarapan dulu tadi? Setelah rapat ini selesai kita masih harus tunggu ownernya datang dulu loh, Bith! Kalau mereka sudah datang, baru
Seandainya Tabitha belum berjanji kepada Fajar untuk tetap berada di sampingnya, saat ini dia pasti lebih memilih kabur, bersembunyi, menghilang dari pandangan, daripada ikut berjalan bersama ketiga pria itu. Fajar, Pak Ferdinan, dan terutama ... Pak Adriano.Bagaimana tidak? Tubuh tinggi tegap menawan dari pria itu, dengan dadanya yang bidang, dengan bulu-bulu halus dan lebat di kedua lengannya, dengan rambut hitam berkilaunya, dan wajah tampan dengan hidung mancung dan bibir merah marun, pahatan yang nyaris sempurna dari Sang Maha Pencipta, sedari tadi sangat berhasil mengintimidasi setiap syaraf persendian di tubuh Tabitha.Setiap kali pria itu berjalan hampir mendekatinya, setiap kali itu pula Tabitha merasa tubuhnya lemas, nyaris tidak mampu beranjak dari sudutnya. Ditambah lagi, setiap kali pria itu mencuri pandang ke arahnya dengan tatapan mata cokelatnya yang tajam, hampir membuat Tabitha membeku di tempat.Apalagi yang bisa Tabitha harapkan saat ini kecuali jubah tidak kasat m
“Kalau teman kalian tidak ada di sini, dan juga tidak ada bersama mereka, apa itu artinya ... you left her at the resort? Kalian tinggalkan dia di resort?” tanya Adriano.Tidak ada jawaban.Kelima pemuda pemudi itu hanya terdiam, saling melempar pandangan. Dan, memang tidak perlu ada jawaban. Ekspresi kebingungan di wajah mereka, serta gerak saling melempar pandangan saja sudah cukup menjadi isyarat bahwa memang tidak ada satu pun dari antara mereka berlima yang tahu di mana keberadaan Tabitha saat ini.“Lebih baik kalian segera putar balik, dan kembali ke Jakarta sebelum terlalu malam! Situasi di jalan buntu ini masih belum aman untuk kalian!” ujar Adriano, tenang, sebelum berlalu.Melihat Adriano melangkah pergi meninggalkan mereka, pemuda yang bernama Fajar langsung panik. Pemuda itu berlari mengejar pria yang sudah hampir masuk ke dalam mobilnya.“Pak! Tunggu! Pak Adriano!” panggil pemuda itu.Gerak tangan Adriano berhenti saat hendak menutup pintu. Pria itu menatap pemuda yang sud