Akhirnya, setelah mendengar kata-kata ini, Zaina tidak tahan lagi, matanya terpejam dan dia jatuh pingsan.Yara begitu ketakutan sampai dia menampar Melanie tanpa pikir panjang."Dia ibumu, kenapa kamu marahi dia?"Seluruh tubuh Melani terpaku.Dalam waktu setengah jam, dia ditampar oleh dua orang.Dia masih bisa terima Yudha menamparnya, tapi punya hak apa Yara sialan ini?Dia segera tersadar dan pikirannya menggila, ingin menyerang Yara. Dia benar-benar mengabaikan Zaina yang pingsan.Yara menariknya sambil berteriak memanggil seseorang di luar pintu.Si perawat Gita segera datang. Kebetulan dia sedang shift malam kali ini."Ada apa di sini?" Ini pertama kalinya dia melihat seseorang berkelahi tepat di kamar pasien, bahkan salah satunya adalah anak dari pasien itu.Melanie cepat-cepat mengeluarkan kemampuan aktingnya dan langsung menangis, "Gita, orang ini melarangku masuk ke kamar ibuku. Dia ingin membunuh ibuku.""Gita," kata Yara dengan penuh harapan, tetapi dia tidak berusaha mem
Yara terus menunggu di luar kamar.Dia berjalan mondar-mandir dengan cemas, dalam hati berdoa untuk Zaina.Setelah beberapa saat, dia melihat Melanie kembali bersama Santo."Paman!" sapa Yara dengan sopan, tetapi segera menyadari ada yang salah dalam tatapan Santo kepadanya.Santo melangkah maju dengan agresif dan langsung menampar Yara.Kemarahannya meluap-luap. "Rara, aku kecewa padamu."Yara tidak tahu kesalahan apa yang dia lakukan. Dia menutupi wajahnya dan menatap Santo. "Paman, ada apa?""Rara, pulang saja." Melanie di samping berkata, "Ibuku sudah pingsan. Kamu ingin membuatnya marah dengan cara apa lagi?"Mata Yara membelalak kaget. Dia pun mengerti seketika bahwa Melanie telah memfitnahnya.Dia ingin menjelaskan kepada Santo, tapi Melanie menariknya pergi dengan paksa."Kalau kamu ingin ibuku tetap hidup, pergi dari sini!" ancam Melanie dengan kejam."Apa maksudmu?" Yara tidak mengerti kegilaan Melanie. "Dia ibumu!"Melanie mengerutkan bibirnya dan berkata, "Bagus kalau kamu
Siska masih ragu-ragu. "Maksudku, Kakek Susilo pasti sudah bangun."Dia menganalisis situasinya dengan rasional. "Bukannya kamu bilang cuma ada Agnes di sana? Itu artinya semua orang sudah pulang. Mana mungkin mereka pulang kalau Kakek Susilo belum bangun?""Benar juga." Yara mengangguk setuju."Rara, kamu belum tidur semalaman 'kan?" Siska menghiburnya dengan lembut. "Mending kamu tidur dulu sebentar, wajahmu jelas sangat kecapekan."Yara memang lelah. Tubuhnya tegang seperti seutas tali yang ditarik dari kedua ujungnya kuat-kuat."Oke." Yara berganti pakaian, makan sedikit bubur, dan pergi tidur.Matahari sudah hampir terbit. Sebelum berangkat kerja, Yudha menyempatkan pergi ke rumah sakit terlebih dahulu.Dia masih belum melihat Yara."Bu," tanya Yudha pada Agnes dengan nada tidak senang. "Yara nggak ke sini?""Kamu ingin dia ke sini?" Agnes merendahkan suaranya. "Yudha, kakekmu akhirnya menerima perceraianmu. Kamu ingin membuatnya pingsan lagi?"Dia memperingatkan Yudha, "Dia nggak
Kakek Susilo melambaikan tangan padanya.Melanie cepat-cepat mendekat dengan riang."Di bawah tempat tidur, ada pispot yang kupakai tadi malam. Buangkan isinya, lalu bersihkan dan bawa kembali."Pispot?Melanie tertegun sesaat sebelum akhirnya menyadari benda apa itu, lalu dia langsung terlihat seperti ingin muntah.Dia jelas merasa bahwa Kakek sedang menggodanya, jadi dia menampakkan wajah sedih dan tidak senang."Kenapa? Nggak mau?" Kakek tidak terkejut. "Jadi ingat, selama aku hidup, jangan mimpi bisa masuk keluarga Lastana."Melanie meledak-ledak. "Kenapa kamu ingin mempersulit aku? Kenapa kamu nggak minta Rara membersihkan pispot untukmu?"Dia tidak percaya Yara mau melakukan hal rendahan seperti itu.Alhasil, Kakek Susilo tersenyum lembut. "Kamu pikir Rara belum pernah melakukannya?""Saat awal menikah dengan Yudha, dia pertama tinggal di rumah keluarga besar. Dia membantuku membersihkan pispot dan bahkan mencuci seprai kotorku dengan tangannya sendiri.""Di matamu, aku cuma lela
"Ya." Ketika Melanie kembali, dia melihat Silvia datang."Kak, aku minta maaf padamu atas anakku Rara." Silvia menyeka air matanya. "Anak itu ... aku terlalu memanjakan dia."Santo sama sekali tidak menyukai Silvia. Ditambah marah pada Yara, dia sangat tidak ingin bertemu Silvia.Dia mengibaskan tangannya dan menyuruhnya pergi. "Sudah, kamu pulang saja. Zaina perlu istirahat sekarang. Kamu nggak perlu datang ke sini lagi.""Ya sudah Kak, kamu jaga kesehatan." Silvia mengerutkan bibirnya."Ayah, aku antarkan Bibi Silvia keluar dulu ya." Melanie ikut pergi mengikuti.Keduanya pergi untuk bicara di koridor."Melly, ibumu masih mungkin bangun lagi?" tanya Silvia ingin bergosip.Melanie mendengus. "Lebih baik mati saja.""Nak, kamu ini." Silvia diam-diam bersukacita dalam hati dan merendahkan suaranya. "Melly, ibu punya kabar baik untukmu. Agnes menghubungiku dan memberi tahu bahwa Yudha akan menceraikan Yara.""Beneran?" Melanie sangat gembira. Agnes tampaknya sudah menerima dia sepenuhnya
Setelah Yara menerima pesan itu, dia bergegas ke rumah sakit tanpa menduga akan bertemu Melanie di lantai pertama."Mau apa lagi kamu ke sini?" kata Melanie seolah bersikap sangat hati-hati."Bukan urusanmu." Yara tidak mau memedulikan dia dan berusaha berjalan secepat mungkin.Namun, Melanie penuh kecurigaan dan bersikeras mengikutinya. "Kamu masih ingin ditampar ayahku lagi?"Yara menoleh tajam. "Tenang saja, aku ke sini bukan untuk menjenguk Bibi.""Oh, jadi Kakek Susilo?" Melanie menyeringai mengejek. "Yara, kamu nggak punya malu ya? Keluarga Lastana nggak menerima kedatanganmu, kamu masih nggak tahu malu juga datang ke sini?"Yara berhenti dan berbalik untuk menatapnya, "Melanie, aku datang ke rumah sakit bukan untuk menjenguk Kakek. Gita memanggilku ke sini."Dia benar-benar muak. "Bisakah kamu berhenti mengikutiku?"Gita?Seluruh tubuh Melanie kaku karena waspada dan dia buru-buru berlari menarik Yara."Ibuku sudah bangun.""Benarkah?" Yara tampak terkejut.Melanie mengangguk. "
Gita sedang duduk di meja kerjanya, sepertinya sedang menulis sesuatu. Saat Yara masuk, dia hanya mengangkat kepalanya dan melirik sekilas."Ah! Sebenarnya nggak ada apa-apa. Aku barusan mau telepon biar kamu nggak perlu datang.""Hah?" Yara merasa aneh.Gita menunduk dan memaksakan senyuman. "Sebenarnya, darah yang sesuai dengan golongan darah bibimu di bank darah hampir habis. Kalau kamu bisa, aku mau ....""Nggak masalah." Yara segera menarik lengan bajunya. "Ambil sebanyak-banyaknya kalau butuh."Hidung Gita terasa perih. "Oke, langsung ke ruang donor darah saja. Aku masih ada pekerjaan lain, jadi nggak bisa menemanimu ke sana.""Oke." Yara selalu merasa ada yang salah dengan Gita, jadi dia memastikan sebelum pergi, "Gita, kamu baik-baik saja?""Ah?" Gita tertawa datar. "Nggak apa-apa, aku baik-baik saja. Cepat pergi."Setelah Yara menjauh, Gita melihat ke arah sudut lemari dengan pandangan marah.Tak lama kemudian, Melanie keluar dari belakang. Setelah dia berpisah dengan Yara bar
Tanto tertawa marah. "Yudha, kamu cemburu?""Jangan asal bicara." Yudha menatap Tanto dingin. "Aku cuma mau mengingatkan, Yara sebentar lagi bukan bagian dari keluarga Lastana. Sebaiknya kamu jaga jarak darinya."Tanto mengangkat sudut kanan bibirnya. "Bukan bagian dari keluarga Lastana. Lebih-lebih lagi, bukan istrimu. Bukan urusanmu dia mau pergi dengan siapa."Setelah sengaja menyulut kemarahan Yudha, dia memasukkan tangan ke dalam sakunya dan bersenandung, berjalan memasuki kamar rumah sakit.Wajah Yudha sangat muram. Dia tadi baru saja tiba saat melihat Tanto dan Yara meninggalkan rumah sakit sambil bergandengan.Dia baru tahu mereka cukup dekat juga, bahkan sampai pergi sarapan bersama.Kobaran api yang dia sendiri tidak mengerti langsung menyala dalam hatinya.Tentu saja dia tidak cemburu. Dia hanya takut mereka akan mengundang gosip jika ada orang lain yang mengetahui interaksi mereka.Yudha percaya bahwa sebagai kepala keluarga, dia berhak menjaga nama baik keluarga Lastana. I