Lagi—lagi, wanita itu datang.
Agnitha melangkah masuk tanpa mengetuk, langkah hak tingginya bergema di ruangan luas itu. Dengan senyum yang terlalu percaya diri, ia langsung mendekati Rivano. Tanpa izin, tubuhnya menjatuh ke pangkuan pria itu, lengan melingkar manja di bahunya.“Apa kabar…” bisiknya, lembut tapi penuh kepemilikan. Ia mengecup pipi Rivano, meninggalkan jejak lipstik samar di kulitnya.
Rahang Rivano langsung mengeras.
“Keluar dari sini.” Suaranya berat, bariton, dingin menusuk.Agnitha terkekeh lirih, menolehkan wajah untuk menatapnya lebih dekat. “Kau banyak berubah, sayang.”
Sesampainya di penthouse, Helena langsung memilih berdiam diri. Bahkan saat makan malam pun, ia meminta Bi Imah membawakan makanan ke kamar. Ia sama sekali tidak membahas, apalagi menanyakan, ke mana Rivano menghabiskan lima harinya. Sedikit pun ia tak ingin tahu, bahkan seulas pandang pada suaminya pun enggan ia berikan. Bukan karena hatinya benar-benar membeku, tapi karena dirinya sudah terlalu lelah. Belum lagi tugas dari bos barunya yang begitu merepotkan, hingga membuat Helena harus menggambar sambil menyuap nasi—semata demi memberi makan janin yang kini bertumbuh di kandungannya.Pintu kamar Helena terbuka pelan. Dari celah itu tampak wanita itu duduk di bangku sudut kamar, tangan kiri menyuap nasi sementara tangan kanannya memegang kursor laptop. Sungguh, ia bekerja keras—entah untuk apa, pikir Rivano. Bukankah ia sudah mengirimkan uang setiap bulannya?
Helena kembali dengan langkah cepat, meraih laptop dan kabel pengisi daya.“Kenapa, Hel?” tanya Mia yang melihat wajah sahabat barunya sudah merengut. Hari pertama kerja, wajahnya sudah muram.“Aku diminta revisi gambarku,” ucap Helena terburu-buru sembari merapikan laptopnya.“Benar kan, emang si paling random tuh bos,” celetuk Mia sambil melirik. “Lah ini mau ngapain bawa-bawa laptop?”“Ya… ke ruangannya.” Helena memanyunkan bibirnya.“Hah? Ke sana? Jam segini?” Mata Mia membelalak, menatap jam di pergelangan tangannya.Dreet—suara ponsel Helena kembali berdering. Nama Rivano berkali-kali muncul di layar, panggilan yang sudah sepuluh kali ia abaikan. Helena menatapnya sesaat, lalu dengan sengaja meletakkannya di meja. Ia memilih tidak mengangkat.Langkahnya cepat, bergegas menuju ruang Baskara. Ia mengetuk perlahan sebelum masuk. “Permisi, Pak…” ucapnya pelan.Baskara tak menoleh. “Taruh di sini.”
Tepat sudah seminggu Rivano tidak pulang. Seminggu tanpa kabar, tanpa jejak, tanpa satu pun penjelasan. Bagi Helena, ini bukan hal baru. Setiap kali ia sedikit saja mendebat Rivano, lelaki itu akan selalu memilih pergi—menghilang begitu saja, seakan menjadikan diam dan menjauh sebagai cara paling mudah untuk memenangkan pertengkaran. Entah apa maksudnya, hanya Rivano yang tahu.Namun bagi Helena, itu adalah luka.Sebab mendiamkan pasangan, membiarkan ia berteman dengan sepi, sama kejamnya dengan perselingkuhan. Ada rasa tersakiti yang tak terucap, seolah ia dipaksa meromantisasi kesendirian. Padahal, hatinya kian tergerogoti; sisi femininnya dipaksa menjadi maskulin, hanya karena ia harus memeluk dirinya sendiri. Menenangkan badai seorang diri, tanpa bahu tempat bersandar, tanpa pelukan tempat berlabuh.Padahal, apa sih yang Helena inginkan? Sesederhana dibujuk saat ia merajuk. Sesederhana dipeluk ketika air matanya jatuh. Ia ingin dim
Dan benar saja, saat Helena memasuki rumah, Rivano sudah menunggunya.Ia benar-benar ada di rumah. Semudah itu sekarang..lelaki itu meninggalkan pekerjaannya—pekerjaan yang dulu begitu penting—hanya karena rasa cemburu. Sebenarnya Helena yang begitu berharga, atau Rivano hanya terlalu egois? Hanya Rivano yang tahu.Helena tidak ingin memperpanjang perdebatan. Sikap Rivano sungguh menyebalkan. Tadi ia yang mengizinkan, tapi ia juga yang menarik paksa Helena untuk pulang. Semua itu terasa begitu tak jelas di pikiranya.“Kamu benar-benar tidak mau menyapaku?” Rivano berusaha menghentikan langkah istrinya yang ingin langsung masuk menuju kamar.“Aku lelah sekali,” keluh Helena, tanpa sedikit pun melirik ke arahnya.
Helena melangkah masuk ke kafe dengan hati lega sekaligus gugup. Sepekan penuh Adrian menanyakan kabarnya, dan ia selalu menjawab dengan kebohongan kecil: katanya sedang berlibur bersama Rivano. Padahal kenyataannya, ia hanya menjalani bed rest di Pulau Kapuk. Hari ini, ia ingin meluruskan semuanya.“Hai…” sapa Helena sambil tersenyum saat melewati pintu kaca.“Helena!” Adrian segera berdiri, wajahnya sumringah. Ia menatap lekat sahabat lamanya itu, seolah baru saja menemukan sesuatu yang lama hilang. Dress merah muda yang sederhana justru membuat Helena tampak bersinar.“Wah, serius? Kau sekarang mirip istri konglomerat. Lihat saja—datang dengan pengawal pribadi.” Adrian melirik Bayu yang setia membuntuti, lalu terkekeh kecil.Helena menoleh, menatap kesal pada Bayu. “P
Seminggu setelah kepulangan Helena, ia lebih banyak beristirahat di rumah. Namun Rivano tetap meminta mereka untuk sementara waktu tidur terpisah. Ia takut, jika terlalu dekat, dirinya akan kehilangan kendali.Pagi itu, Helena muncul dari kamar dengan pakaian rapi. “Mau ke mana?” tanya Rivano sambil menatapnya lekat.“Aku mau ke kantor Adrian. Aku—” Belum sempat Helena menyelesaikan kalimatnya, Rivano sudah memotong tegas. “Tidak.”Ia meletakkan cangkir kopi perlahan di meja, sorot matanya lurus ke arah istrinya. Tidak ada teri