Sesi belajar itu berlanjut, namun bagi Zira, suara-suara di sekitar terasa seperti gema yang tak jelas. Ia berusaha fokus, menjelaskan langkah-langkah selanjutnya kepada Brayen, namun hatinya terasa begitu berat. Setiap kali ia berusaha mendalami materi, matanya tak sengaja mencuri pandang ke arah Zalleon dan Alleya. Mungkin itu hanya kebetulan, pikirnya, namun kenyataannya, hal itu justru membuat perasaannya semakin kacau.Zalleon terlihat mulai tenang, bahkan tersenyum kecil saat berbicara dengan Alleya. Tatapan itu... senyum itu... bukan untuknya. Zira menggigit bibir bawahnya pelan, mencoba menepis rasa aneh yang mulai merayapi hatinya. Entah kenapa, melihat Zalleon berbicara begitu akrab dengan Alleya membuat hatinya terasa kering. Mengapa ia merasa begitu cemburu? Bukankah mereka hanya teman?“Langkah selanjutnya gimana, Zira?” tanya Brayen pelan, membuyarkan lamunannya.Zira tersentak sedikit, seolah baru terbangun dari dunia lain. "Ah... iya, maaf.
Setelah insiden kecil yang cukup menegangkan tadi, suasana perpustakaan mulai tenang kembali. Zira dan Brayen berjalan beriringan menuju bangku mereka. Zira melangkah lebih dulu dan segera duduk di tempatnya, sementara Brayen hendak menarik kursi di sebelahnya—berniat duduk dan belajar bersama Zira seperti yang telah mereka rencanakan.Namun, sebelum ia sempat duduk, sebuah tangan tiba-tiba menahan lengannya.Brayen menoleh cepat. Tatapannya bertemu dengan sepasang mata tajam milik Zalleon.“Aku akan duduk di sini,” ucap Zalleon pelan, tapi penuh tekanan.Brayen langsung menarik lengannya dari genggaman Zalleon secara kasar. Wajahnya mengeras. “Apa-apaan kau ini?” gerutunya kesal.Zalleon tidak menjawab. Tatapannya semakin tajam, menusuk, seolah sedang menahan ledakan emosi dalam dirinya.Brayen balas menatap dengan senyum sinis, lalu melipat tangannya. “Aku yang akan duduk di sini,” katanya dengan nada menantang.Sekeja
Perjalanan mereka terasa menyenangkan. Udara sejuk menyapa kulit, membuat suasana jadi damai dan tenang. Zira yang duduk di belakang, sesekali memejamkan mata menikmati angin yang membelai lembut wajahnya. Tak lama kemudian, motor Zalleon berhenti di depan sebuah bangunan besar dengan arsitektur klasik nan megah—perpustakaan umum kota.Zalleon segera memarkirkan motor. Zira turun lebih dulu dan melepaskan helmnya, lalu menyerahkannya kepada Zalleon.“Nih, Leo,” ucap Zira sambil menyodorkan helm.Zalleon menerima helm itu dengan senyuman manis. Ia pun turun dari motor dan melepaskan helmnya sendiri.“Ayok,” ajaknya.“Yok,” balas Zira singkat.Mereka pun melangkah masuk ke dalam perpustakaan. Suasana di dalam sungguh indah. Pilar-pilar tinggi berjejer rapi, rak-rak buku menjulang, dan aroma khas kertas tua menyambut mereka. Karena hari itu adalah hari libur, tempat itu ramai oleh siswa dari berbagai sekolah yang ingin belajar untuk
Akhir pekan yang tenang menyambut Zira dengan libur dua hari-Sabtu dan Minggu- yang juga dimanfaatkan untuk persiapan ujian akhir semester. Meski kesempatan itu bisa saja ia gunakan untuk bersantai, Zira memilih duduk di depan buku-bukunya, mencoba fokus belajar. Namun, pikirannya justru terus melayang pada dua sosok yang diam-diam mengisi ruang hatinya.Zalleon... dan Brayen.Tatapan penuh makna antara mereka berdua beberapa hari lalu masih terekam jelas di ingatannya tegang, seolah saling mengenali satu sama lain dalam diam. Ditambah lagi, keduanya bersikeras ingin mengantar Zira pulang di hari yang sama.Zira menatap bukunya yang terbuka, lalu menghela napas. Fokusnya buyar. Lagi-lagi pikirannya berkelana pada dua sosok yang akhir-akhir ini mulai mengisi harinya.Sementara itu, di ruang tamu, Syafiq adik Zira yang sedang asyik bermain game di HP tertawa-tawa sendiri sambil sesekali mengumpat karena hampir kalah. Tiba-tiba, terdengar suara ketuk
Siang itu, cahaya matahari menembus sebagian kaca buram laboratorium, menciptakan pantulan samar di meja-meja eksperimen. Udara di ruangan itu terasa sejuk, bercampur dengan aroma bahan kimia yang khas namun ringan. Suasana cukup tenang, hanya terdengar suara alat tulis yang bergerak dan gumaman pelan siswa-siswi yang sedang mencatat.Zira duduk di meja pojok, memperhatikan penjelasan guru sambil mencatat dengan rapi di buku catatannya. Wajahnya terlihat serius, tapi ada sedikit gurat lelah di matanya mungkin karena pelajaran hari ini cukup padat. Di sampingnya, beberapa teman mulai terlihat gelisah, menunggu waktu istirahat tiba.beberapa jam kemudian, bel sekolah berbunyi, menandakan jam istirahat telah tiba. Zira berjalan pelan keluar dari lab, membawa buku catatan dan satu buku pelajaran. Ia menuju loker sebentar, lalu langsung ke arah perpustakaan.Di depan pintu, sosok yang sudah ia duga berdiri sambil bersandar pada dinding: Brayen.“Kamu l
Hari itu, suasana sekolah terasa lebih ringan dari biasanya. Langit biru cerah terlihat dari jendela-jendela kelas, dan angin semilir bertiup lembut melewati lorong-lorong gedung. Suasana yang biasanya penuh hiruk pikuk kini terasa tenang, seolah sekolah sedang bernapas lega.Zira melangkah santai menyusuri lorong kelas sendirian. Di tangannya, sebuah buku sejarah terbuka, menampilkan halaman yang dipenuhi teks tentang perjuangan kemerdekaan. Ia begitu tenggelam dalam bacaan, keningnya sedikit berkerut, mencoba memahami kalimat-kalimat panjang yang kadang membingungkan.Langkah kakinya pelan dan tenang, seiring dengan matanya yang terus menelusuri baris demi baris. Suara sepatu yang menyentuh lantai keramik sesekali menggema, namun Zira tak memperdulikannya. Fokusnya hanya tertuju pada buku di tangannya.Tanpa ia sadari, dari belakang, langkah kaki lain mulai mendekat. Langkah yang lebih ringan, tapi sengaja dipelankan agar tak terdengar. Sosok itu terseny