Suasana kelas menjadi hening, hanya terdengar suara gesekan pena di atas kertas ujian dan detak jarum jam di dinding. Zira mencoba fokus, tapi pikirannya masih saja berputar pada luka di wajah Zalleon. Sekilas, ia melirik ke belakang, melihat Zalleon yang duduk dengan tenang, tapi jelas terlihat lelah. Zira menghela napas, mencoba mengalihkan pikirannya kembali ke soal.
Beberapa menit berlalu, dan akhirnya kringgg!Bel pulang berbunyi nyaring, memecah kesunyian ruangan. Para siswa mulai merapikan kertas ujian dan perlengkapan mereka. Zira juga perlahan memasukkan bukunya ke dalam tas, bersama pulpen dan penghapus yang tadi ia pakai.Saat ia hendak berdiri dari bangku, tiba-tiba ada bayangan berdiri di depannya.Zira mendongak.Itu Zalleon.Jantungnya langsung berdegup cepat. Ia tidak tahu harus berkata apa. Masih ada amarah kecil yang tersisa dari pagi tadi, tapi juga ada kekhawatiran dan rindu yang diam-diam menyelusup ke dalam hatinya.Pagi itu, sinar matahari menyelinap masuk melalui celah tirai kamar Zira, menyapu perlahan wajahnya yang masih lelap. Dentingan jam weker di samping ranjang membangunkannya. Dengan malas, Zira mengusap wajahnya lalu duduk di tepi ranjang. Hari ini adalah hari ujian, dan seperti biasa, dia bersiap lebih awal.Setelah mandi dan mengenakan seragam sekolah, Zira berdiri di depan cermin, merapikan rambutnya. Namun, matanya tiba-tiba tertumbuk pada sebuah benda di meja belajar. Sebuah kaca spion motor—kaca spion milik Brayen.Zira terdiam sesaat, menatap cermin kecil itu dengan rasa bersalah.“Aduh… gimana aku ngembaliin ini? Apa Brayen bakal marah?” gumamnya pelan sambil menghela napas berat. Jantungnya berdegup tak tenang. Kecemasan mulai merayap, membentuk kepanikan kecil dalam dirinya.Ia lalu membuka tasnya dan dengan hati-hati memasukkan kaca spion itu ke dalamnya. Zira menutup tasnya perlahan, seolah menyimpan juga kegugupan di dalamnya. Ia menar
Suasana kelas menjadi hening, hanya terdengar suara gesekan pena di atas kertas ujian dan detak jarum jam di dinding. Zira mencoba fokus, tapi pikirannya masih saja berputar pada luka di wajah Zalleon. Sekilas, ia melirik ke belakang, melihat Zalleon yang duduk dengan tenang, tapi jelas terlihat lelah. Zira menghela napas, mencoba mengalihkan pikirannya kembali ke soal.Beberapa menit berlalu, dan akhirnya kringgg!Bel pulang berbunyi nyaring, memecah kesunyian ruangan. Para siswa mulai merapikan kertas ujian dan perlengkapan mereka. Zira juga perlahan memasukkan bukunya ke dalam tas, bersama pulpen dan penghapus yang tadi ia pakai.Saat ia hendak berdiri dari bangku, tiba-tiba ada bayangan berdiri di depannya.Zira mendongak.Itu Zalleon.Jantungnya langsung berdegup cepat. Ia tidak tahu harus berkata apa. Masih ada amarah kecil yang tersisa dari pagi tadi, tapi juga ada kekhawatiran dan rindu yang diam-diam menyelusup ke dalam hatinya.
Langkah kaki Brayen terdengar berat dan teratur saat ia meninggalkan taman sekolah. Wajahnya tak lagi menampilkan senyum ramah yang biasa ia tunjukkan pada semua orang. Kali ini, ada sesuatu yang mengendap dalam tatapannya-gelap, dan menyimpan maksud tersembunyi.Tujuannya jelas: menemui Zalleon.Zalleon berdiri di atap sekolah, sendirian. Angin sore berhembus lembut, mengusap rambut hitamnya yang berkilau diterpa cahaya matahari. Ia menatap langit luas, mencoba menenangkan dadanya yang sesak sejak perbincangannya dengan Zira. Hatinya gelisah, pikirannya penuh dengan kekhawatiran yang tak bisa ia ungkapkan.Tiba-tiba..."Krekk—"Suara pintu atap terbuka memecah keheningan. Zalleon menoleh cepat. Tatapannya langsung berubah tajam. Di sana, berdiri sosok yang tak asing— Brayen.Brayen melangkah mendekat, setiap langkahnya terasa berat dan penuh maksud. Pandangannya tajam menembus udara yang terasa kian menegang. Mereka berdiri sali
Suara alarm dari ponsel Zira berbunyi pelan, membangunkannya dari tidur yang tak benar-benar nyenyak. Ia membuka matanya perlahan, menatap langit-langit kamarnya yang tampak kelabu seperti perasaannya pagi itu. Libur dua hari telah berakhir, dan hari ini... ujian dimulai.Zira duduk di tepi ranjang, menarik napas dalam-dalam. Bukan karena takut menghadapi soal-soal ujian, tapi karena ada rasa aneh yang menggelayuti hatinya sejak semalam. Seolah… sesuatu akan terjadi."Zira, sudah bangun? Sarapan dulu, Nak," terdengar suara Ibu dari bawah."Iya, Bu!" jawabnya cepat. Ia pun segera bersiap dan turun untuk sarapan.Setelah selesai makan, Zira mengenakan sepatu dan bersiap keluar. Namun saat membuka pagar rumahnya, langkahnya langsung terhenti.Di depan rumah, berdiri seorang pria dengan santai, bersandar di motor sport birunya. Ia menoleh dan tersenyum.“Hai, Zira,” sapa Brayen.Zira terkejut. “Brayen?! Apa yang kamu lakukan
Zalleon akhirnya tiba di pantai itu. Ia memarkirkan motornya tak jauh dari tempat pengunjung lain. Saat membuka helm dan turun, matanya langsung menangkap sesuatu sebuah motor yang sangat ia kenal."Motor itu... milik Brayen," gumamnya, tajam.Tanpa pikir panjang, Zalleon langsung berlari menyusuri pantai. Matanya menelisik ke segala arah, mencari sosok Zira dan Brayen. Angin pantai menerpa rambutnya, langkahnya cepat dan penuh kecemasan. Hingga akhirnya, pandangannya tertuju pada dua orang yang sedang duduk di pasir.Zira.Gadis itu tertawa riang di samping Brayen. Mereka sedang membuat istana pasir bersama. Wajah Zira tampak sangat bahagia, senyumnya lepas, matanya bersinar. Pemandangan itu menusuk perasaan Zalleon seperti sembilu.Ia terdiam. Napasnya terhembus berat. Ada rasa tak nyaman yang menyeruak dalam dadanya campuran antara cemburu dan rasa kehilangan. Tangannya mengepal, langkahnya ingin maju, ingin menghampiri mereka, ingin m
Di hari kedua libur sekolah, langit pagi bersinar lebih cerah dari biasanya. Zira duduk di balkon rumahnya, menatap langit biru yang terbentang luas, mencoba menenangkan hati yang masih dipenuhi berbagai rasa yang tak bisa dijelaskan dengan kata-kata.Tiba-tiba, suara nada dering ponselnya memecah keheningan. Zira sontak kaget, lalu menoleh ke arah meja kecil di sampingnya. Ia segera meraih ponselnya dan melihat layar yang menampilkan panggilan masuk dari nomor yang tidak dikenal.Dengan alis sedikit mengernyit, ia mengangkat telepon itu."Halo? Ini siapa?" tanyanya bingung.Sebuah suara laki-laki menjawab di seberang sana, terdengar akrab namun agak dibuat-buat misterius."Hayo, tebak ini siapa?"Zira diam sejenak, mencoba mengenali suara itu. Rasanya sangat tidak asing. Ia memejamkan mata, mencoba mengingat-ingat, hingga sebuah nama tiba-tiba muncul di benaknya."Brayen?" ucapnya ragu, namun cukup yakin.Suara tawa ring