Share

Notifikasi Favorit

Penulis: Sigi Allegra
last update Terakhir Diperbarui: 2025-09-30 13:31:12

Hari itu langit sore berwarna jingga pucat ketika Binar keluar dari kantornya. Udara Jakarta yang padat dan berisik terasa sedikit lebih ringan ketika ponselnya bergetar.

Fady:

Udah pulang kerja? Aku lagi di sekitar kantor kamu, kalau mau aku anter pulang.

Binar tersenyum kecil. Tawaran sederhana, tapi entah kenapa membuat hatinya hangat. Ia mengetik cepat.

Binar:

Boleh, kebetulan lagi ga bawa mobil, lagi males macet-macetan.

Beberapa menit kemudian, sebuah mobil hitam berhenti di depan gedung. Fady melambai dari balik kemudi. Senyumnya, masih sama seperti dulu menenangkan sekaligus membuat jantung Binar sedikit berdebar.

Di dalam mobil, suasana awalnya canggung. Hanya suara radio yang mengisi keheningan, lagu lama yang entah kenapa terasa pas dengan keadaan mereka.

“Inget lagu ini ngga?” tanya Fady akhirnya, sambil melirik sekilas.

Binar mengangguk. “Inget dong, aku sering sharing playlist aku sama kamu kan.”

Mereka tertawa kecil bersama. Perlahan, canggung itu mencair. Obrolan pun bergulir dari hal-hal remeh kemacetan, cuaca, hingga sesuatu yang lebih personal.

“Aku sempat kepikiran,” kata Fady setelah jeda panjang, “kalau kita dulu nggak putus waktu kuliah, mungkin hidup kita sekarang beda banget, ya?”

Binar terdiam. Ada getir yang singgah di hatinya. “Mungkin. Tapi ya, ngga akan bisa diulang juga kan.”

Fady menoleh sebentar, matanya lembut. “Tapi, masih bisa dilanjutin kan? Dengan cara yang berbeda.”

Binar menunduk, menggenggam tas di pangkuannya. Kata-kata itu sederhana, tapi nadanya serius, bukan main-main. Dan entah kenapa, bagian dirinya yang paling rapuh justru ingin percaya.

---

Beberapa hari berikutnya, kebersamaan mereka jadi lebih sering. Kadang hanya sekadar makan siang di warung dekat kantor Binar. Kadang duduk lama di kafe, saling bercerita tentang pekerjaan masing-masing.

Binar yang biasanya menjaga jarak dengan banyak orang, merasa ada ruang aman ketika bersama Fady. Ia bisa tertawa lepas, bisa mengeluh tanpa takut dihakimi. Fady, dengan segala kesederhanaannya, selalu mendengar dengan sabar.

“Bin,” ucap Fady suatu malam saat mereka duduk di bangku taman kota, “kamu sadar nggak? Aku nggak pernah bisa ngobrol sepanjang ini sama orang lain. Cuma sama kamu.”

Binar menoleh. “Emang iya? Kenapa?”

Fady mengangkat bahu, tersenyum kecil. “Mungkin karena kamu nggak pernah maksa aku jadi orang lain. Kamu cuma… nerima.”

Binar tercekat sejenak. Lalu ia tersenyum samar. “Padahal aku sering merasa gagal jadi diri sendiri.”

“Kalau kamu gagal,” balas Fady pelan, “terus apa kabar aku?”

Mata mereka bertemu dalam hening yang anehnya tidak lagi canggung. Ada sesuatu yang mengalir, bukan hanya nostalgia, tapi kenyamanan baru yang mereka temukan bersama.

---

Tak terasa, kini Fady menjadi notifikasi favorit bagi Binar. Pesannya menjadi sesuatu yang ia nantikan setiap harinya. Padahal percakapan mereka tidak pernah muluk. Kadang hanya sebatas, “Udah makan?” atau “Macet nggak pulang tadi?” Namun entah bagaimana, percakapan ringan itu memberi ruang hangat dalam keseharian Binar. Ia tak pernah mengaku, tapi diam-diam ia menunggu suara notifikasi itu datang, seakan hidupnya lebih lengkap jika ada kabar dari Fady.

Hari Minggu sore, Fady tiba-tiba mengajaknya ke toko buku.

“Masih suka baca novel nggak, Bin? Kayaknya ada buku baru yang cocok buat kamu,” tulis Fady.

Binar nyengir melihat pesan itu. “Sok tahu banget sih kamu. Oke deh, jemput aku atau ketemu di sana aja?”

"Aku jemput kamu pake motor mau? Mobil aku lagi dipake sama Umi." Fady menawarkan menjemput Binar dengan motor.

"Bolehhh. Nanti kalo udah siap aku kabarin kamu ya." Jujur saja, Binar merasa senang ketika ditawari dijemput memakai motor, karena rasanya seperti mengulang masa-masa dimana dulu mereka masih pacaran saat kuliah, kemana-mana naik motor.

Mereka akhirnya sampai di sebuah toko buku besar di pusat kota. Di dalam toko buku, Fady berjalan cepat ke rak fiksi lalu mengambil satu novel.

“Nih, cocok banget sama kamu. Ceritanya tentang perempuan kuat yang bisa bangkit setelah hidupnya berantakan. Kayak kamu.”

Binar mengerling, pura-pura tersinggung. “Jadi kamu bilang hidup aku berantakan gitu?”

Fady tertawa. “Bukan gitu maksudnya. Kamu bisa bangkit, Bin. Itu yang bikin aku kagum.”

Senyum tipis muncul di wajah Binar, meski ia cepat-cepat mengalihkan pandangannya. Ada debar yang ingin ia sembunyikan.

Malam itu, mereka tidak langsung pulang. Fady mengajak makan malam di warung tenda sederhana. Hanya nasi goreng, mie goreng, dan teh hangat. Tidak ada lilin, tidak ada musik romantis, tapi entah kenapa, suasana terasa lebih jujur dibanding makan malam di restoran manapun.

Saat menunggu pesanan, Binar tiba-tiba berkomentar, “Kita nggak makan nasi goreng depan Horizon aja nih?”

Fady mengerutkan dahi. “Hah? Kenapa tiba-tiba Horizon?”

Binar tertawa kecil. “Ya, aku kan pernah makan sama kamu di situ. Eh, lebih tepatnya beli nasi goreng di situ, terus makan berdua di rumah om kamu.”

Fady masih tampak bingung. “Seriusan? Emang iya, Bin?”

“Jiahhh, lupa kan kamu. Yaudah deh kalau lupa.” Binar terkekeh, pura-pura santai.

Fady mengusap tengkuknya. “Ya ampun, udah lama banget itu.”

"Iya, lama… tapi aku masih inget banget detail malam itu. Kita beli nasi goreng Horizon, makan satu bungkus berdua di rumah om kamu. Daaaan…” Binar menggantungkan ceritanya.

“Apaan sih? Lanjutin dong.” Fady menatapnya penasaran.

“Serius lupa, Dy?” Ada nada kecewa di suara Binar.

“Aku inget, tapi takut salah ngomong.”

“Hmmm… iya takutnya salah inget memori sama cewek lain kali yaaaa.” Binar pura-pura tertawa, padahal wajahnya memanas menahan malu. Ia pun buru-buru melanjutkan makan tanpa bersuara.

“Bin, ngambek ya?” tanya Fady hati-hati.

“Enggak kok, ngambek kenapa?” jawab Binar singkat.

“Iya ngambek, kan bener,” Fady mencubit pipi Binar.

“Ihh Fady…” protes Binar, setengah malu setengah manja.

“Kamu lucu banget kalau ngambek. Gemesin.”

Fady mencondongkan badan sedikit, menatapnya lebih serius. “Aku inget, kok. Malam itu kamu ngajak ketemu aku, tapi aku bilang nggak bisa jajan karena cuma punya dua puluh ribu dikasih Umi. Kamu jawab, ‘nggak apa-apa, yang penting ketemu’. Tapi aku nggak tega lihat kamu kelaperan, jadi kita beli nasi goreng satu bungkus, makannya berdua di rumah om aku. Dan abis itu aku sama kamu…”

Sebelum Fady sempat melanjutkan, Binar buru-buru menutup mulutnya dengan tangan. “Udah ih, malu. Jangan dilanjutin.”

Fady terkekeh. “Loh, tadi kamu yang bahas duluan. Giliran aku inget, malah nggak mau diceritain. Malu kenapa coba? Kan kita berdua yang ngalamin.”

“Ih Fady, diem nggak!” wajah Binar makin merah.

Fady semakin gemas, senyumnya tak bisa ditahan. “Yaudah, mau direka ulang nggak kejadian malam itu? Kan abis makan nasi goreng juga nih…” ucapnya sambil menggoda.

Binar mendelik, menunduk cepat-cepat. Pipinya panas, dadanya berdebar keras. Ia tahu, ada sesuatu yang mulai tumbuh lagi di antara mereka.

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Cintaku, Berhenti di Kamu   Pagi Setelah Hujan

    Setelah percakapan panjang, Binar bangkit dari sofa. Ia mengambil selimut dan bantal dari lemari kecil di kamar, lalu kembali ke ruang tamu. “Nih, selimut sama bantal buat kamu. Sofanya lumayan empuk kok,” ucap Binar sambil meletakkannya di sofa. Fady tersenyum, meski matanya masih menyimpan sisa kecanggungan. “Makasih, Bin. Serius, aku udah ngerepotin banget malam ini. “Ga repot, Dy seriuuus. Kalo repot aku suruh kamu pulang sekarang juga." Binar terkekeh sambil merapikan selimut. Fady memperhatikan gerakannya, lalu tiba-tiba menarik ujung selimut itu, membuat Binar menoleh. “Apa lagi, Dy?” tanyanya setengah protes. Fady menatapnya lembut. “Makasih ya, Bin." Binar berdehem kecil. “Iyaa udah ah, istirahat. Besok kan mau cari sarapan bareng katanya.” Fady mengangguk, tapi sebelum Binar melangkah ke kamar, ia bersuara lagi. “Bin.” Binar menoleh. “Hmm?” “Good night.” Tatapan Fady lembut, senyumnya tipis tapi penuh arti. Binar mengangguk pelan, lalu membalas dengan

  • Cintaku, Berhenti di Kamu   Udara Dingin dan Teh Panas

    Udara di dalam Apartemen dingin, tapi tidak dengan suhu tubuh Binar dan Fady. Setelah ciuman singkat itu, Binar buru-buru menarik napas, wajahnya semakin panas. Ia bersandar ke sofa, berusaha menenangkan diri, sementara Fady masih menatapnya dengan tatapan yang sulit diterjemahkan. Keheningan melingkupi ruangan. Hanya suara hujan deras yang jadi latar, menciptakan suasana hangat sekaligus menegangkan. Fady akhirnya berani mengulurkan tangan, mengusap lembut pipi Binar yang masih memerah. “Aku suka banget liat kamu kayak gini, Bin. Natural… polos… dan bikin aku ga mau lepas.” Binar menggigit bibir bawahnya, mencoba menahan senyum gugup. “Dy, jangan ngomong gitu ah…” “Kenapa? Malu?” Fady terkekeh pelan, lalu meraih tangan Binar dan menaruhnya di dadanya sendiri. “Coba rasain, ini jantung aku. Kenceng banget, kan? Gara-gara kamu.” Binar spontan tertawa kecil, tapi suaranya gemetar. “Dy… kamu tuh…” Fady mendekat lagi, kali ini tidak terburu-buru. Ia hanya bersandar di dekat Bi

  • Cintaku, Berhenti di Kamu   Hujan yang Membawa Pulang

    Setelah selesai makan malam di warung tenda, Binar dan Fady melanjutkan perjalanan pulang. Malam itu jalanan terlihat lengang, hanya lampu jalan dan cahaya toko yang sudah mulai meredup. Angin malam terasa sejuk, tapi suasana di antara mereka terasa hangat. Binar duduk di jok belakang, tangannya secara refleks memegang jaket Fady. Sesekali ia tersenyum sendiri, teringat kembali perbincangan tadi tentang nasi goreng Horizon. Sementara itu, Fady tak bisa menghapus senyum tipis dari wajahnya. Ada sesuatu di udara malam itu, sebuah kedekatan yang sulit dijelaskan dengan kata-kata. Namun, baru beberapa ratus meter menjelang apartemen Binar, rintik hujan mulai turun. Mula-mula hanya titik-titik kecil, lalu semakin deras hingga membasahi pakaian mereka. “Dy, basah semua nih!” seru Binar setengah berteriak melawan suara hujan. “Aku tahu, Bin. Tapi kalau berhenti juga tanggung, bentar lagi sampai,” balas Fady, berusaha fokus di jalan yang mulai licin. Hujan semakin deras, membuat jak

  • Cintaku, Berhenti di Kamu   Notifikasi Favorit

    Hari itu langit sore berwarna jingga pucat ketika Binar keluar dari kantornya. Udara Jakarta yang padat dan berisik terasa sedikit lebih ringan ketika ponselnya bergetar. Fady: Udah pulang kerja? Aku lagi di sekitar kantor kamu, kalau mau aku anter pulang. Binar tersenyum kecil. Tawaran sederhana, tapi entah kenapa membuat hatinya hangat. Ia mengetik cepat. Binar: Boleh, kebetulan lagi ga bawa mobil, lagi males macet-macetan. Beberapa menit kemudian, sebuah mobil hitam berhenti di depan gedung. Fady melambai dari balik kemudi. Senyumnya, masih sama seperti dulu menenangkan sekaligus membuat jantung Binar sedikit berdebar. Di dalam mobil, suasana awalnya canggung. Hanya suara radio yang mengisi keheningan, lagu lama yang entah kenapa terasa pas dengan keadaan mereka. “Inget lagu ini ngga?” tanya Fady akhirnya, sambil melirik sekilas. Binar mengangguk. “Inget dong, aku sering sharing playlist aku sama kamu kan.” Mereka tertawa kecil bersama. Perlahan, canggung itu me

  • Cintaku, Berhenti di Kamu   Kopi dan Kenangan

    Notif pesan masuk di ponselnya membuat Binar berhenti sejenak dari layar laptop. Nama yang muncul di layar membuatnya menghela napas, setengah kaget, setengah… entah apa. Fady: Bin, kamu lagi sibuk ngga akhir pekan? Alis Binar terangkat. Ia sempat menatap lama pesan singkat itu, jari-jarinya menggantung di atas keyboard. Rasanya aneh membaca pesan dari seseorang yang dulu pernah begitu dekat, lalu hilang, lalu muncul kembali seakan waktu tak benar-benar memisahkan. Binar: Sibuk sih ngga… kenapa emang? Balasannya hanya butuh beberapa detik. Fady: Mau ngopi ngga? Ada Kafe baru di deket daerah Kampus, katanya Kopi Lattenya enak. Binar tersenyum kecil. Ajakan ngopi. Kalimat sederhana, tapi cukup untuk membuat hatinya berdebar. Ia mengetik pelan, mencoba terdengar santai. Binar: Hmm… boleh. Cuma ngopi kaaaan? Fady: Haha iyaa cuma ngopi. Tapi, kalo sambil sesi konsultasi asmara boleh kan? Binar : Haha kalo itu kamu salah alamat, Fady. Aku konsultan Periklanan

  • Cintaku, Berhenti di Kamu   Pertemuan Yang Tak Terduga

    Langkah Binar terasa ragu saat memasuki lobi hotel itu. Deretan lampu kristal menggantung megah di langit-langit, memantulkan cahaya yang berkilau di lantai marmer. Ia menatap sekeliling, mencoba menenangkan diri. Rasanya ia tak pantas berada di sini. Bertahun-tahun ia lebih sering berlari dalam kesibukan kerja, menyembunyikan diri dari sorot mata orang-orang yang selalu menghakimi. Hari ini berbeda. Seorang teman lama memaksanya hadir dalam acara reuni kampus. “Sekalian refreshing, Bin. Kamu nggak bisa terus-terusan sembunyi,” begitu kata temannya. Akhirnya, dengan setengah hati, ia datang. Tawanya terdengar kaku ketika menyapa beberapa wajah familiar. Orang-orang terlihat bahagia, sibuk menceritakan pencapaian hidup mereka. Sementara ia… hanya tersenyum seperlunya. Dahulu, di Kampus Binar termasuk Mahasiswi populer, selain karena paras cantiknya, dia juga dikenal sebagai Mahasiswi beasiswa yang cerdas dan seorang aktivis yang hampir diketahui seantero warga Kampus. Kesalahan

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status