LOGINSetelah selesai makan malam di warung tenda, Binar dan Fady melanjutkan perjalanan pulang. Malam itu jalanan terlihat lengang, hanya lampu jalan dan cahaya toko yang sudah mulai meredup. Angin malam terasa sejuk, tapi suasana di antara mereka terasa hangat.
Binar duduk di jok belakang, tangannya secara refleks memegang jaket Fady. Sesekali ia tersenyum sendiri, teringat kembali perbincangan tadi tentang nasi goreng Horizon. Sementara itu, Fady tak bisa menghapus senyum tipis dari wajahnya. Ada sesuatu di udara malam itu, sebuah kedekatan yang sulit dijelaskan dengan kata-kata. Namun, baru beberapa ratus meter menjelang apartemen Binar, rintik hujan mulai turun. Mula-mula hanya titik-titik kecil, lalu semakin deras hingga membasahi pakaian mereka. “Dy, basah semua nih!” seru Binar setengah berteriak melawan suara hujan. “Aku tahu, Bin. Tapi kalau berhenti juga tanggung, bentar lagi sampai,” balas Fady, berusaha fokus di jalan yang mulai licin. Hujan semakin deras, membuat jaket Fady basah kuyup, rambut Binar pun menempel di wajahnya. Udara dingin malam menusuk kulit, tapi entah mengapa mereka berdua tak mengeluh. Ada rasa kebersamaan yang justru membuat momen itu berbeda. Akhirnya, mereka tiba di lobi apartemen Binar dengan pakaian basah. Fady menepikan motornya, lalu menoleh ke Binar. “Maaf ya, jadi basah kuyup gini.” Binar menggeleng sambil tersenyum. “Bukan salah kamu kok. Lagian… seru juga, udah lama aku nggak kehujanan kayak gini.” Fady terkekeh kecil. “Aku juga. Jadi nostalgia anak kuliahan banget.” Binar memandanginya sejenak, lalu tanpa pikir panjang berkata, “Dy… kamu mau naik dulu nggak? Keringin baju sebentar. Kasihan kamu kalau langsung pulang basah-basahan gini.” Fady terdiam. Ada keraguan sesaat di wajahnya, tapi tatapan tulus Binar menghapus keraguannya. Ia hanya mengangguk pelan. “Yaudah deh, kalau nggak ngerepotin.” Mereka lalu berjalan masuk ke lift. Di dalam ruang sempit itu, hanya suara tetesan air dari pakaian basah mereka yang terdengar. Sesekali Fady melirik Binar yang sedang mengibas-ngibaskan rambutnya. Binar sadar diperhatikan, tapi pura-pura sibuk dengan ponselnya. Begitu sampai di unit apartemen, Binar buru-buru mengambil handuk dan kaos longgar dari lemari. “Nih Dy, pakai aja dulu. Kaos cowok sih nggak ada, adanya punya aku. Tapi lumayan lah daripada kedinginan.” Fady menerimanya sambil tersenyum. “Makasih, Bin. Gak apa-apa kok." Sementara Fady berganti baju di kamar mandi, Binar duduk di sofa sambil menghela napas panjang. Ada sesuatu dalam dirinya yang bergetar, campuran antara canggung, nyaman, sekaligus takut. Fady keluar dari kamar mandi dengan kaos kebesaran milik Binar. Pemandangan itu sukses membuat Binar menahan tawa, meski ujung bibirnya jelas terangkat. “Duh, kayaknya hujannya bakal lama ini,” ucap Fady sambil menoleh ke arah jendela kaca apartemen yang penuh tetesan air, lalu duduk di samping Binar. “Kayaknya sih gitu, yaa,” jawab Binar pelan, mencoba menjaga nada suaranya tetap biasa saja. Hening sejenak. Fady menggaruk kepala yang tidak gatal lalu berkata lagi, “Maaf ya, ngide banget pergi naik motor. Jadinya kamu basah-basahan begini.” “Ih, Dy… kayak lebaran deh, dari tadi minta maaf mulu.” Binar menimpali, dan mereka berdua terkekeh kecil. Suasana kembali senyap, hanya suara hujan deras yang menemani. Untuk mengusir canggung, Binar beranjak dari sofa. “Aku bikinin minuman panas ya, mau apa?” tanyanya sambil melangkah kecil menuju dapur. Namun tangan Fady lebih dulu meraih pergelangannya. “Sini aja, jangan kemana-mana.” Suaranya dalam, tapi lembut. Binar terhenti, lalu kembali duduk. Kali ini, Fady menggenggam tangannya erat. “Bin…” panggil Fady, sorot matanya serius menatapnya. “Hm? Kenapa?” Binar menjawab lirih, namun matanya malah lari, enggan membalas tatapan Fady karena canggung. “Hey…” Fady meraih pipi Binar dengan tangan satunya, memaksanya untuk menatap. “Lihat aku.” Degup jantung Binar seolah melonjak. Ia menahan napas sesaat. “Makasih ya, Bin. Belakangan ini kamu udah mau nemenin aku. Jujur, aku happy banget bisa bareng kamu lagi. Kamu sendiri… seneng nggak bisa bareng aku lagi?” suara Fady terdengar pelan, tapi dalam. Binar mengerjap, mencoba menelan gejolak perasaan yang berloncatan di dadanya. "Hm… happy, kok. Happy,” jawabnya singkat, nyaris terbata. Fady tersenyum tipis, matanya masih menatap lekat. “Happy aja? Nggak ada perasaan lain?” Ia memancing, nadanya lembut tapi penuh arti. “Hah? Maksudnya gimana, Dy?” Binar pura-pura polos, meski wajahnya jelas memanas. “Ya… jujur aja. Belakangan ini, semenjak ada kamu, hidup aku rasanya lebih hidup. Sejam aja nggak ada kabar, kayak ada yang kurang.” Fady menghela napas, jemarinya mengelus telapak tangan Binar perlahan, membuat Binar tersentak kecil oleh sensasi aneh di perutnya. “Kamu… gitu nggak?” Binar menunduk, suaranya nyaris berbisik. “Ehm… iya sih. Kayaknya sama.” Hujan masih deras di luar, tapi di dalam ruang sempit itu, sesuatu yang jauh lebih deras sedang tumbuh di antara mereka. Fady membetulkan rambut Binar yang menutupi pipinya ke belakang telinga. Fady mendekatkan tubuhnya ke Binar sampai Binar terpojok ke ujung sofa. Wajahnya sangat dekat dengan wajah Binar yang sudah sangat panas. Sementara matanya masih menatap lekat Binar. Fady semakin mendekatkan wajahnya berniat mencium Binar sambil berbisik pelan untuk meminta izin kepada Binar. "Kalau kamu ga nyaman, aku bisa berhenti sekarang" Nafas Fady menyapu wajah Binar, membuatnya semakin tak karuan dan tak kuasa berkata atau melakukan apapun selain memejamkan matanya memberi tanda bahwa ia mengizinkan Fady. Setelah mendapat izin dari Binar, Fady pun mengecup pipi Binar, kemudian bibirnya. Melihat Binar yang tak keberatan, Fady meraih tengkuk Binar untuk memperdalam ciumannya. Beberapa saat sampai Binar hampir kehabisan nafas dan melepaskan diri. Fady menarik sedikit tubuhnya, memberi ruang napas untuk Binar yang wajahnya sudah memerah. Napas keduanya memburu, dan untuk sesaat hanya suara hujan di luar jendela yang terdengar. Binar menunduk, berusaha menyembunyikan wajahnya yang panas, tapi Fady tak melepaskan genggaman tangannya. Dengan jemarinya, ia mengusap lembut punggung tangan Binar. “Sorry kalau aku lancang…” bisik Fady, suaranya nyaris tenggelam oleh deras hujan. Binar menggeleng pelan, senyum tipis terbit di wajahnya meski masih gugup. “Engga kok, Dy. Aku… aku cuma kaget aja.” Fady tersenyum lega, lalu kembali menyingkirkan helai rambut yang jatuh di wajah Binar. Tatapannya dalam, penuh ketulusan, membuat dada Binar semakin berdebar tak karuan. “Sebenernya, aku udah lama pengen ngelakuin itu,” ucap Fady jujur. “ Tapi aku takut kalau itu bikin kamu ga nyaman.” Binar mengangkat wajahnya perlahan, kali ini berani menatap Fady meski matanya bergetar. “Kalau aku ngga nyaman, aku pasti nolak kan." Ucapan itu membuat Fady terdiam sejenak, menahan senyum yang tak bisa disembunyikan lagi. Ia meraih kedua tangan Binar, menggenggamnya erat seolah takut kehilangan lagi. “Kamu tau ga, Bin…” suara Fady rendah, lembut, “…aku ngerasa hidup aku jauh lebih berarti sejak kamu balik hadir di dalamnya. Aku ga mau nyia-nyiain kesempatan ini lagi.” Binar terdiam. Hatinya hangat mendengar itu, meski masih ada sisa-sisa ragu dalam dirinya. Tapi di saat yang sama, ia juga merasakan keyakinan yang perlahan tumbuh. Tanpa sadar, ia ikut mendekatkan wajahnya pada Fady, kali ini lebih berani. Bibir mereka kembali bertemu dalam ciuman singkat yang lebih tenang, bukan sekadar emosi sesaat, melainkan pengakuan yang tak lagi bisa disembunyikan.Udara Bandung malam itu dingin seperti biasanya. Tetesan embun sisa-sisa hujan menempel di kaca hotel. Suasa kamar dengan lampu yang temaram seolah menjadi latar pendukung untuk dua manusia yang sedang dimabuk rindu. "Sayang.. ahh" Desahan demi desahan lolos dari mulut Binar tanpa bisa ditahan. Melihat wanitanya sudah setengah "mabuk", Fady secara tiba-tiba berhenti yang membuat Binar menatapnya dengan tatapan sayu seolah berkata, "Ayo lanjutkan, sayang. Kenapa berhenti?" "Kalau kamu mau berhenti, berhenti sekarang. Selanjutnya, kamu gak akan bisa nahan aku lagi. Kita harus menyelesaikan apa yang sudah dimulai." Ucap Fady sambil menelusuri tubuh polos Binar dari bibir turun ke bawah sampai perutnya. Binar sudah tak mampu berkata apapun. Kepalanya sudah tak mampu berpikir jernih, jangankan untuk menolak, bahkan kata "iya" pun sudah tak sanggup lagi dia katakan. Matanya memejam dan tubuhnya merinding hebat seolah terkena sengatan listrik yang disalurkan Fady lewat sentuhan, kec
"Sayang, serius kamu mau ngelakuin itu sekarang?" Tanya Fady memastikan kembali. "Hmm. Kamu bawa pengaman?" Tanya Binar dengan tatapan yang sulit diartikan. Fady mengernyitkan dahinya, ia pikir Binar sudah ingin berhenti tadi, tapi kemudian menggodanya lagi, sekarang? "Ahh kamu ngerjain aku ya?" Sambil merebahkan tubuhnya yang tadi setengah menindih Binar. Ia mengusap wajahnya kasar, mencoba meredam gairahnya yang sudah sepenuhnya terpancing. "Gak enak kan ditarik ulur?" Ucap Binar sambil melirik Fady, seolah puas sudah berhasil mengerjainya. "Bin.." Panggil Fady dengan nada sedikit merengek tak terima. Sementara Binar hanya tertawa kecil melihat tingkah manja kekasihnya. "Ya udah ah, aku mau berendam air dingin aja." Ujar Fady sambil bangkit dari kasur dan berjalan ke kamar mandi menuju ke bath up. --- Untuk meredam hawa panas di tubuhnya akibat pergulatan yang tak tuntas, Fady berendam dalam air dingin di bath up, tentunya tanpa mengenakan baju. Ketika dia menc
Langit Bandung sore itu kembali menangis. Rintik hujan turun deras, membasahi jalanan dan kaca mobil Fady yang berhenti di area parkir hotel. Di jok sebelahnya, sebuket lily putih terbungkus kertas cokelat muda. Di sampingnya, sekotak kecil cokelat premium dan secarik kertas yang ditulis terburu-buru namun penuh perasaan: "Tak ada kata-kata yang cukup untuk menggambarkan betapa beruntungnya aku bisa menjadi bagian dari hidup kamu. Terimakasih, Binar sayang." Fady menghela napas pelan. Ia tahu tubuhnya belum sepenuhnya pulih dari alergi, tapi entah kenapa, langkahnya terasa ringan. Setelah merasa agak baikan, tadi ia segera pergi dari hotel untuk mencari apa yang pantas dihadiahkan pada Binar. Ia tak ingin menunggu. Ia ingin segera melihat senyum Binar, senyum yang selalu membuat hari-harinya terasa hangat. Tanpa payung, ia keluar dari mobil, membiarkan hujan membasahi rambut dan bahunya. Napasnya tampak mengepul di udara dingin, namun langkahnya terus menapak cepat menuju lobi.
Setelah percakapan panjang di sofa itu, suasana kamar menjadi hening. Hanya suara detik jam dinding yang terdengar samar. Fady bersandar ke belakang, matanya menatap langit-langit. Rasanya berat bukan karena kelelahan fisik, tapi karena emosi yang baru saja tumpah. Binar menatapnya sekilas. Ada sisa teduh di wajahnya, meski bibirnya belum sepenuhnya tersenyum. “Hmm. Udah gak ada yang mau diomongin lagi kan?” tanyanya pelan, mencoba menjaga agar suasana tak kembali tegang. Fady menegakkan tubuh, tersenyum kecil. “Udah. Makasih ya kamu masih mau dengerin.” Ia menatap jam di dinding. Sudah hampir tengah malam. “Aku pamit, ya. Takutnya kamu mau istirahat.” Binar sempat menatap heran. “Loh, pamit kemana?" “Mau booking kamar.” jawab Fady ringan, berusaha terdengar wajar. “Ngga mungkin tidur sekamar kan? Lagian kamu pasti capek, aku gak mau ganggu waktu istirahat kamu.” Binar mengangguk pelan, tidak menahan, tapi ekspresi matanya sempat berubah sejenak seolah ada rasa iba yang tidak i
Telepon di kamar hotel berdering pelan, membuat Binar yang tengah berbaring terkejut. Ia baru saja menutup laptop, bersiap tidur setelah hari panjang rapat di Bandung. Suaranya serak ketika mengangkat. “Halo?” “Selamat malam, Mbak Binar,” suara sopan dari resepsionis terdengar. “Ada tamu atas nama Fady, katanya ingin menyampaikan sesuatu secara langsung. Apakah diperkenankan untuk kami teruskan?” Binar membeku. Nama itu yang berhari-hari berusaha ia hindari muncul begitu saja, menghantam dadanya tanpa peringatan. “Dia... masih di sana?” “Masih, Mbak. Duduk di area lobi depan lift.” Binar terdiam cukup lama sebelum menjawab singkat, "Suruh naik aja, Mbak. Saya sudah mau istirahat." Suara ketukan di pintu kamar membuat Binar terdiam. Ia baru saja menerima panggilan dari resepsionis dan meski awalnya enggan, entah kenapa langkahnya justru membawanya ke arah pintu itu. Begitu daun pintu terbuka, di sanalah Fady berdiri, dengan raut lelah dan lusuh. “Boleh aku masuk?” t
Sudah tiga hari berlalu sejak pertemuan terakhir mereka di Apartemen Binar. Dan dalam tiga hari itu pula, Fady baru benar-benar menyadari bahwa tanpa Binar, hidupnya kesepian. Biasanya, sepulang kerja, jari-jarinya otomatis membuka pesan di ponsel. Mencari satu nama yang selalu ada di daftar paling atas, Binar. Sekadar menanyakan, “Udah makan?” atau, “Kamu capek ga hari ini?” Kini layar itu kosong. Tak ada balasan, tak ada kabar. Kemudian ia mengerti apa yang dirasakan Binar beberapa waktu lalu dan sangat memahami rasa muak itu. Rasanya diabaikan. Rasanya tak dianggap penting. Ia menunduk, menggenggam ponselnya. Di kepalanya, hanya ada satu suara, aku harus perbaiki ini. --- Keesokan harinya, Fady datang ke kantor Binar, tanpa memberi kabar dulu, tidak janji ketemu. Ia hanya menunggu di lobi, membawa kantong kertas berisi makanan kecil yang biasa disukai Binar, roti isi cokelat dan es kopi kesukaannya. Begitu Binar keluar lift, langkahnya terhenti seketika. Tatapannya ka







