Share

Kopi dan Kenangan

Author: Sigi Allegra
last update Last Updated: 2025-09-29 20:25:57

Notif pesan masuk di ponselnya membuat Binar berhenti sejenak dari layar laptop. Nama yang muncul di layar membuatnya menghela napas, setengah kaget, setengah… entah apa.

Fady:

Bin, kamu lagi sibuk ngga akhir pekan?

Alis Binar terangkat. Ia sempat menatap lama pesan singkat itu, jari-jarinya menggantung di atas keyboard. Rasanya aneh membaca pesan dari seseorang yang dulu pernah begitu dekat, lalu hilang, lalu muncul kembali seakan waktu tak benar-benar memisahkan.

Binar:

Sibuk sih ngga… kenapa emang?

Balasannya hanya butuh beberapa detik.

Fady:

Mau ngopi ngga? Ada Kafe baru di deket daerah Kampus, katanya Kopi Lattenya enak.

Binar tersenyum kecil. Ajakan ngopi. Kalimat sederhana, tapi cukup untuk membuat hatinya berdebar. Ia mengetik pelan, mencoba terdengar santai.

Binar:

Hmm… boleh. Cuma ngopi kaaaan?

Fady:

Haha iyaa cuma ngopi. Tapi, kalo sambil sesi konsultasi asmara boleh kan?

Binar :

Haha kalo itu kamu salah alamat, Fady. Aku konsultan Periklanan, bukan Konsultan Asmara yaa.

Binar tersenyum kecil, lalu menutup ponsel. Ada sesuatu yang bergetar halus dalam dirinya antara ragu, penasaran, dan rasa nyaman yang tiba-tiba kembali hadir.

---

Keesokan harinya, kafe itu jadi titik temu mereka. Binar masih duduk di kursinya ketika Fady datang membawa 2 cup minuman, 1 cup Ice Coffee Latte untuk Binar dan 1 kopi hitam panas untuk dirinya sendiri. Aroma kopi hitam menyeruak, seakan membawa mereka ke masa kuliah dulu, masa ketika mereka kerap menghabiskan waktu di kantin sederhana sambil membicarakan mimpi.

"Ice coffee latte“ ujar Fady menyodorkan kopi yang ia pesankan untuk Binar dan iapun duduk berhadapan dengan Binar.

"Thankyou." ucap Binar, kemudian menyeruput kopinya.

"Hmm, masih sama ya,” ujar Binar sambil melirik ke cup kopi yang Fady pegang, “Hitam, tanpa gula. Kayak dulu.” Fady hanya tersenyum menanggapinya.

Binar terkekeh kecil. “Aku kadang heran, kamu bisa tahan minum kopi tanpa manis sama sekali.”

“Udah kebiasaan. Pahitnya kopi sih masih mending. Ketimbang pahitnya hidup…” Fady berhenti, lalu tersenyum tipis.

Kalimat itu membuat suasana hening sejenak. Binar menatapnya, merasa ada sesuatu yang lebih berat di balik senyum tipis itu.

“Are you okay, Dy?” tanyanya pelan.

Fady menatap ke arah luar jendela, melihat kendaraan lalu-lalang. “Hmm jujur ga begitu baik, Bin. Aku ngerasa gagal banget. Nggak cuma soal kerjaan, tapi juga soal… hubungan.”

Binar tidak menyela. Ia tahu, Fady sedang berusaha membuka sesuatu yang lama ia pendam.

“Mungkin kamu juga sempet denger kabarnya, dulu aku sempat hampir nikah sama seseorang. Namanya Syifa,” lanjutnya, suaranya nyaris seperti bisikan. “Tapi batal. Dua tahun lalu. Alasannya sederhana: aku nggak bisa kasih apa yang dia mau. Karierku lagi jatuh, uangku tipis, sementara dia pengen pesta mewah, mahar besar, hidup yang mapan. Aku nggak bisa penuhi itu.”

Tatapan Fady meredup. “Sejak itu aku mikir… mungkin aku emang nggak layak buat siapa pun. Ditinggalin nikah sama kamu dulu, terus ditinggal nikah sama Syifa. Rasanya kayak… aku selalu nggak cukup, kayak hidup tuh ngejek aku. ”

Binar terdiam, hatinya tercekat. Ada bagian dari dirinya yang ingin menyela, ingin mengatakan bahwa ia dulu menikah bukan karena Fady tak cukup, melainkan karena keadaan yang memaksanya. Tapi kalimat itu tertahan di tenggorokannya.

Ia tahu Fady tidak sedang melebih-lebihkan. Laki-laki itu pernah begitu percaya diri, penuh semangat meraih mimpi. Kini ia terdengar lebih rapuh.

“Dy, jangan ngomong gitu,” Binar akhirnya berkata, suaranya hangat tapi tegas. “Kamu nggak kurang apa-apa. Aku yakin kamu masih laki-laki yang sama… yang selalu punya mimpi, yang selalu bikin orang di sekitarnya yakin kalau semua mungkin.”

Fady menatapnya lama, seolah mencari kebenaran dalam sorot mata Binar.

Binar meraih tangan Fady, menggenggamnya untuk memberi keyakinan, "Kalau kamu lagi ngerasa jatuh, it's okay, tapi harus bangkit ya, kamu berharga."

Keheningan menyelimuti mereka beberapa saat. Di luar, hujan mulai turun, rintik-rintik mengetuk kaca jendela kafe. Udara memang terasa dingin, tapi tidak dengan hati Binar dan Fady yang sama-sama terasa hangat.

Fady tersenyum tipis. “Ternyata ngobrol sama kamu masih bikin aku tenang. Sama kayak dulu... Rasanya kayak nemuin potongan puzzle yang hilang. Padahal aku sempat yakin, nggak akan pernah berani mulai apa pun lagi.”

Binar tertawa kecil, mencoba mencairkan suasana. “Hati-hati, nanti kamu baper lagi.”

“Kalau itu… kayaknya udah telanjur deh,” jawab Fady cepat, membuat Binar menoleh terkejut. Tapi Fady hanya meneguk kopinya, pura-pura tenang.

Binar menggigit bibir, menahan senyum. Hatinya berdebar, tapi ia memilih diam. Mungkin memang belum saatnya ia membuka semua perasaannya.

Obrolan mereka berlanjut dengan jeda-jeda panjang. Kadang diselingi tawa kecil mengenang masa kuliah, kadang kembali tenggelam dalam diam saat topik menjadi terlalu pribadi.

Namun satu hal jelas: ada ruang yang kembali terbuka di antara mereka. Ruang yang dulu pernah ada, sempat terkunci, kini mulai terisi lagi.

---

Malam itu, setelah mereka berpisah, Fady berdiri lama di depan jendela kamarnya. Kota masih sibuk di luar sana, lampu-lampu kendaraan berkelip seperti bintang yang jatuh ke bumi. Tangannya menggenggam segelas air mineral yang sejak tadi tak ia minum.

Tatapan Binar tadi sore, entah kenapa, berbeda. Ada luka di sana. Luka yang ia kenali, karena ia pun punya luka yang sama.

Pesannya sudah terbaca meski tak dibalas: Hati-hati di jalan, Bin.

Dan hanya itu saja sudah cukup membuatnya tersenyum samar.

Setidaknya kali ini aku punya kesempatan. Mungkin… untuk menutup yang dulu belum sempat selesai. Atau setidaknya, untuk tahu apakah aku masih pantas mencoba.

Malam makin larut, tapi hatinya justru semakin berisik. Fady tahu, apa pun yang akan terjadi setelah ini, hidupnya tak akan sama lagi karena Binar sudah kembali, membawa serta semua kenangan yang selama ini ia coba kubur.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Cintaku, Berhenti di Kamu   Pagi Setelah Hujan

    Setelah percakapan panjang, Binar bangkit dari sofa. Ia mengambil selimut dan bantal dari lemari kecil di kamar, lalu kembali ke ruang tamu. “Nih, selimut sama bantal buat kamu. Sofanya lumayan empuk kok,” ucap Binar sambil meletakkannya di sofa. Fady tersenyum, meski matanya masih menyimpan sisa kecanggungan. “Makasih, Bin. Serius, aku udah ngerepotin banget malam ini. “Ga repot, Dy seriuuus. Kalo repot aku suruh kamu pulang sekarang juga." Binar terkekeh sambil merapikan selimut. Fady memperhatikan gerakannya, lalu tiba-tiba menarik ujung selimut itu, membuat Binar menoleh. “Apa lagi, Dy?” tanyanya setengah protes. Fady menatapnya lembut. “Makasih ya, Bin." Binar berdehem kecil. “Iyaa udah ah, istirahat. Besok kan mau cari sarapan bareng katanya.” Fady mengangguk, tapi sebelum Binar melangkah ke kamar, ia bersuara lagi. “Bin.” Binar menoleh. “Hmm?” “Good night.” Tatapan Fady lembut, senyumnya tipis tapi penuh arti. Binar mengangguk pelan, lalu membalas dengan

  • Cintaku, Berhenti di Kamu   Udara Dingin dan Teh Panas

    Udara di dalam Apartemen dingin, tapi tidak dengan suhu tubuh Binar dan Fady. Setelah ciuman singkat itu, Binar buru-buru menarik napas, wajahnya semakin panas. Ia bersandar ke sofa, berusaha menenangkan diri, sementara Fady masih menatapnya dengan tatapan yang sulit diterjemahkan. Keheningan melingkupi ruangan. Hanya suara hujan deras yang jadi latar, menciptakan suasana hangat sekaligus menegangkan. Fady akhirnya berani mengulurkan tangan, mengusap lembut pipi Binar yang masih memerah. “Aku suka banget liat kamu kayak gini, Bin. Natural… polos… dan bikin aku ga mau lepas.” Binar menggigit bibir bawahnya, mencoba menahan senyum gugup. “Dy, jangan ngomong gitu ah…” “Kenapa? Malu?” Fady terkekeh pelan, lalu meraih tangan Binar dan menaruhnya di dadanya sendiri. “Coba rasain, ini jantung aku. Kenceng banget, kan? Gara-gara kamu.” Binar spontan tertawa kecil, tapi suaranya gemetar. “Dy… kamu tuh…” Fady mendekat lagi, kali ini tidak terburu-buru. Ia hanya bersandar di dekat Bi

  • Cintaku, Berhenti di Kamu   Hujan yang Membawa Pulang

    Setelah selesai makan malam di warung tenda, Binar dan Fady melanjutkan perjalanan pulang. Malam itu jalanan terlihat lengang, hanya lampu jalan dan cahaya toko yang sudah mulai meredup. Angin malam terasa sejuk, tapi suasana di antara mereka terasa hangat. Binar duduk di jok belakang, tangannya secara refleks memegang jaket Fady. Sesekali ia tersenyum sendiri, teringat kembali perbincangan tadi tentang nasi goreng Horizon. Sementara itu, Fady tak bisa menghapus senyum tipis dari wajahnya. Ada sesuatu di udara malam itu, sebuah kedekatan yang sulit dijelaskan dengan kata-kata. Namun, baru beberapa ratus meter menjelang apartemen Binar, rintik hujan mulai turun. Mula-mula hanya titik-titik kecil, lalu semakin deras hingga membasahi pakaian mereka. “Dy, basah semua nih!” seru Binar setengah berteriak melawan suara hujan. “Aku tahu, Bin. Tapi kalau berhenti juga tanggung, bentar lagi sampai,” balas Fady, berusaha fokus di jalan yang mulai licin. Hujan semakin deras, membuat jak

  • Cintaku, Berhenti di Kamu   Notifikasi Favorit

    Hari itu langit sore berwarna jingga pucat ketika Binar keluar dari kantornya. Udara Jakarta yang padat dan berisik terasa sedikit lebih ringan ketika ponselnya bergetar. Fady: Udah pulang kerja? Aku lagi di sekitar kantor kamu, kalau mau aku anter pulang. Binar tersenyum kecil. Tawaran sederhana, tapi entah kenapa membuat hatinya hangat. Ia mengetik cepat. Binar: Boleh, kebetulan lagi ga bawa mobil, lagi males macet-macetan. Beberapa menit kemudian, sebuah mobil hitam berhenti di depan gedung. Fady melambai dari balik kemudi. Senyumnya, masih sama seperti dulu menenangkan sekaligus membuat jantung Binar sedikit berdebar. Di dalam mobil, suasana awalnya canggung. Hanya suara radio yang mengisi keheningan, lagu lama yang entah kenapa terasa pas dengan keadaan mereka. “Inget lagu ini ngga?” tanya Fady akhirnya, sambil melirik sekilas. Binar mengangguk. “Inget dong, aku sering sharing playlist aku sama kamu kan.” Mereka tertawa kecil bersama. Perlahan, canggung itu me

  • Cintaku, Berhenti di Kamu   Kopi dan Kenangan

    Notif pesan masuk di ponselnya membuat Binar berhenti sejenak dari layar laptop. Nama yang muncul di layar membuatnya menghela napas, setengah kaget, setengah… entah apa. Fady: Bin, kamu lagi sibuk ngga akhir pekan? Alis Binar terangkat. Ia sempat menatap lama pesan singkat itu, jari-jarinya menggantung di atas keyboard. Rasanya aneh membaca pesan dari seseorang yang dulu pernah begitu dekat, lalu hilang, lalu muncul kembali seakan waktu tak benar-benar memisahkan. Binar: Sibuk sih ngga… kenapa emang? Balasannya hanya butuh beberapa detik. Fady: Mau ngopi ngga? Ada Kafe baru di deket daerah Kampus, katanya Kopi Lattenya enak. Binar tersenyum kecil. Ajakan ngopi. Kalimat sederhana, tapi cukup untuk membuat hatinya berdebar. Ia mengetik pelan, mencoba terdengar santai. Binar: Hmm… boleh. Cuma ngopi kaaaan? Fady: Haha iyaa cuma ngopi. Tapi, kalo sambil sesi konsultasi asmara boleh kan? Binar : Haha kalo itu kamu salah alamat, Fady. Aku konsultan Periklanan

  • Cintaku, Berhenti di Kamu   Pertemuan Yang Tak Terduga

    Langkah Binar terasa ragu saat memasuki lobi hotel itu. Deretan lampu kristal menggantung megah di langit-langit, memantulkan cahaya yang berkilau di lantai marmer. Ia menatap sekeliling, mencoba menenangkan diri. Rasanya ia tak pantas berada di sini. Bertahun-tahun ia lebih sering berlari dalam kesibukan kerja, menyembunyikan diri dari sorot mata orang-orang yang selalu menghakimi. Hari ini berbeda. Seorang teman lama memaksanya hadir dalam acara reuni kampus. “Sekalian refreshing, Bin. Kamu nggak bisa terus-terusan sembunyi,” begitu kata temannya. Akhirnya, dengan setengah hati, ia datang. Tawanya terdengar kaku ketika menyapa beberapa wajah familiar. Orang-orang terlihat bahagia, sibuk menceritakan pencapaian hidup mereka. Sementara ia… hanya tersenyum seperlunya. Dahulu, di Kampus Binar termasuk Mahasiswi populer, selain karena paras cantiknya, dia juga dikenal sebagai Mahasiswi beasiswa yang cerdas dan seorang aktivis yang hampir diketahui seantero warga Kampus. Kesalahan

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status