Setelah percakapan panjang, Binar bangkit dari sofa. Ia mengambil selimut dan bantal dari lemari kecil di kamar, lalu kembali ke ruang tamu.
“Nih, selimut sama bantal buat kamu. Sofanya lumayan empuk kok,” ucap Binar sambil meletakkannya di sofa. Fady tersenyum, meski matanya masih menyimpan sisa kecanggungan. “Makasih, Bin. Serius, aku udah ngerepotin banget malam ini. “Ga repot, Dy seriuuus. Kalo repot aku suruh kamu pulang sekarang juga." Binar terkekeh sambil merapikan selimut. Fady memperhatikan gerakannya, lalu tiba-tiba menarik ujung selimut itu, membuat Binar menoleh. “Apa lagi, Dy?” tanyanya setengah protes. Fady menatapnya lembut. “Makasih ya, Bin." Binar berdehem kecil. “Iyaa udah ah, istirahat. Besok kan mau cari sarapan bareng katanya.” Fady mengangguk, tapi sebelum Binar melangkah ke kamar, ia bersuara lagi. “Bin.” Binar menoleh. “Hmm?” “Good night.” Tatapan Fady lembut, senyumnya tipis tapi penuh arti. Binar mengangguk pelan, lalu membalas dengan suara lirih. “Good night, Dy.” Ia lalu masuk ke kamarnya, meninggalkan Fady yang kini berbaring di sofa dengan senyum yang tak bisa ia tahan. Di luar, hujan masih deras, tapi di dalam apartemen itu, ada kehangatan baru yang membuat keduanya sulit memejamkan mata terlalu cepat. --- Pagi masih agak mendung sisa hujan semalam, tapi udara Sabtu terasa segar. Dari jendela, Binar melirik ke jalanan yang mulai ramai. Fady terbangun di sofa, meregangkan tubuhnya dengan malas. Rambutnya masih acak-acakan, dan selimut yang diberikan Binar semalam sudah setengah terjatuh ke lantai. Ia sempat bengong beberapa detik, lalu tersenyum sendiri, menyadari bahwa semalam ia benar-benar tertidur di apartemen Binar. “Eh, udah bangun?” Suara Binar dari dapur membuatnya menoleh. Binar berdiri dengan rambut digelung seadanya, mengenakan kaus oversized abu-abu dan celana pendek. Wajahnya tanpa riasan, tapi justru terlihat segar dan natural. Ia sedang mengambil sesuatu di kulkas, botol kecil berisi cairan berwarna kuning. Fady menghampiri Binar ke dapur, membayangkan bisa memeluk Binar dari belakang, seperti adegan-adegan yang sering terjadi di drama. Tapi, dia masih hati-hati dan canggung, takut Binar merasa belum nyaman. "Minum apa, Bin?" Tanya Fady ketika melihat Binar meminum air yang berwarna kuning tadi. "Oh ini, ini jamu. Kamu mau?" "Jamu apa sih emang?" Tanya Fady penasaran. "Ya campur-campur ini, jahe, kunyit, sereh. Semalem kan abis kehujanan, biar fit minum jamu. Enak loh seger." Binar menjelaskan. "Ouhhh. Boleh deh. Bikin sendiri itu?" Tanya Fady. "Iyaaa sengaja bikin, kan aku sering begadang gitu kalau lagi bikin bahan presentasi, minum kopilah ini itu. Detox nya minum jamu, sengaja nyetok bikin kalau weekend senggang." Binar kembali menjelaskan sambil membuka pintu kulkas, mengambil jamu untuk Fady. Fady meminum jamu itu dan sedikit belum terbiasa dengan rasanya yang agak pahit, tapi lumayan terselamatkan karena dalam kondisi masih dingin. "Mau aku bikin stok juga buat kamu? Biar sekalian." Tawar Binar kepada Fady. "Perhatian banget nih sama aku, jadi geer." Fady terkekeh. "Dih ampun deh, ga jadi nawarin ah." Ucap Binar pura-pura sinis. "Haha iya, Bin. Boleh banget bikinin buat aku. Makasih yaa, cantik" Fady sedikit merayu. "Sempet-sempetnya gombal pagi-pagi. Mandi gih, kan katanya mau ke CFD, keburu bubar lohh" Ujar Binar. "Emang kamu udah mandi, Bin? Tanya Fady sambil mendekat ke arah Binar seolah mencoba mencium aroma tubuh Binar. "Emang ga keliatan ya, Dy? Ga kecium udah wangi gini? Belum ganti baju aja ini." Jawab Binar dengan nada sinis. "Hahaha sengaja sih aku nanya gitu, biar kamu cemberut, gemes liatnya." Goda Fady sambil mencubit hidung Binar. "Apalagi wangi tubuh kamu, ga pake parfum aja bikin aku candu" Pujian Fady sekaligus godaan itu sukses membuat Binar salah tingkah. "Sumpah ih iseng banget, mandi gihh" Binar mendorong tubuh Fady agar cepat mandi. "Iya iyaaa ini aku mandi." --- Setelah bersiap, Binar dan Fady berjalan menuju Car Free Day yang lokasinya tak jauh dari Apartemen Binar. Mereka mencari sarapan disana. "Bin, mau sarapan apa?" Tanya Fady. "Apa ya? Bingung banget banyak pilihan." Jawab Binar sambil menoleh kanan-kiri. "Aku lagi pengen bubur deh, kamu mau juga atau mau yang lain?" Karena tahu kebiasaan Binar yang sering bingung pilih makanan, Fady inisiatif untuk menawarkan pilihan. "Hmm. Yaudah deh boleh." Akhirnya Binar mengikuti pilihan Fady. Mereka pun berjalan menuju gerobak tukang bubur, tapi sayangnya tempat duduknya penuh. "Bin, mau dibungkus aja makan di Apart? Ga kebagian tempat duduk nih kayaknya kita." Ujar Fady. "Yaudah bungkus aja, Dy." Jawab Binar. "Kamu mau beli apa lagi? Biar aku yang beli, kamu nunggu disini" Tawar Binar. "Eh ga gitu, yang bener kamu disini tunggu, aku yang jalan beli yang lain kalau kamu masih ada yang mau dibeli." Fady menolak tawaran Binar. "Aku pengen beli Dimsum mentai sama Es Kopi Gula Aren." "Okay, Princess. Aku beliin yaa, tunggu sini jangan kemana-mana. Jangan lirik-lirik cowok ganteng yang lewat yaa." Ujar Fady dengan nada sedikit menggoda. "Dihh, yang ada kamu lirik-lirik cewek cantik!" Protes Binar. --- Akhirnya, mereka sampai di Apartemen Binar. Binar langsung menuju dapur untuk mengambil peralatan makan, diikuti Fady yang membawa tentengan makanan dan minuman. Setelah selesai dipindahkan, makanan pun dibawa ke meja makan dan mereka pun duduk berhadapan. Mereka mulai makan sambil ngobrol ringan. "Dy, itu buburnya kok ga diaduk?" Tanya Binar. "Kalau diaduk mah jadi ga enak diliat, Bin. Gak estetik gitu loh" Jawab Fady. "Ih mana enak bubur ga diaduk, Dy. Aku sih tim bubur diaduk jadi bumbunya kayak blend semua gitu" Jelas Binar. "Haha beda selera kita, gapapa yang jelas seleraku cuma kamu sih, Bin" "Tiba-tiba banget, ada aja bahan gombalnya." Merekapun terkekeh sambil lanjut makan. “Bin, aku lupa. Kamu masih suka baca buku sebelum tidur?” tanya Fady di sela kunyahan. “Masih. Tapi sekarang lebih sering ketiduran duluan sebelum bukunya kebaca. Capek kerja, Dy.” Fady mengangguk. “Kamu kerja keras banget ya. Aku salut, sumpah.” Binar menatapnya, lalu tersenyum samar. “Aku ga punya pilihan lain, Dy. Harus jalan terus. Kalau engga, aku bisa kalah sama keadaan.” Fady terdiam sejenak, lalu menatap Binar lebih serius. “Bin… kamu kuat banget. Aku nggak tau kalau aku ada di posisi kamu, bisa setegar itu atau nggak.” Binar sempat terdiam, lalu mengalihkan pandangan ke piringnya. “Aku nggak sekuat itu, Dy. Kadang… aku juga rapuh. Tapi kalau aku berhenti, semua runtuh.” Suasana hening sebentar, lalu Fady berusaha mencairkan dengan senyum. “Kalau gitu, mulai sekarang biarin aku nemenin kamu. Jadi kamu nggak harus terus pura-pura kuat sendirian.” Binar mengangkat wajahnya, menatap Fady. Hatinya berdesir, tapi ia memilih tersenyum tipis. “Makan dulu, nanti keburu dingin.” Mereka pun melanjutkan sarapan. Hangat dan sederhana, tapi jelas berbeda seakan-akan pagi itu bukan hanya sekadar sarapan, melainkan awal dari sesuatu yang baru.Setelah percakapan panjang, Binar bangkit dari sofa. Ia mengambil selimut dan bantal dari lemari kecil di kamar, lalu kembali ke ruang tamu. “Nih, selimut sama bantal buat kamu. Sofanya lumayan empuk kok,” ucap Binar sambil meletakkannya di sofa. Fady tersenyum, meski matanya masih menyimpan sisa kecanggungan. “Makasih, Bin. Serius, aku udah ngerepotin banget malam ini. “Ga repot, Dy seriuuus. Kalo repot aku suruh kamu pulang sekarang juga." Binar terkekeh sambil merapikan selimut. Fady memperhatikan gerakannya, lalu tiba-tiba menarik ujung selimut itu, membuat Binar menoleh. “Apa lagi, Dy?” tanyanya setengah protes. Fady menatapnya lembut. “Makasih ya, Bin." Binar berdehem kecil. “Iyaa udah ah, istirahat. Besok kan mau cari sarapan bareng katanya.” Fady mengangguk, tapi sebelum Binar melangkah ke kamar, ia bersuara lagi. “Bin.” Binar menoleh. “Hmm?” “Good night.” Tatapan Fady lembut, senyumnya tipis tapi penuh arti. Binar mengangguk pelan, lalu membalas dengan
Udara di dalam Apartemen dingin, tapi tidak dengan suhu tubuh Binar dan Fady. Setelah ciuman singkat itu, Binar buru-buru menarik napas, wajahnya semakin panas. Ia bersandar ke sofa, berusaha menenangkan diri, sementara Fady masih menatapnya dengan tatapan yang sulit diterjemahkan. Keheningan melingkupi ruangan. Hanya suara hujan deras yang jadi latar, menciptakan suasana hangat sekaligus menegangkan. Fady akhirnya berani mengulurkan tangan, mengusap lembut pipi Binar yang masih memerah. “Aku suka banget liat kamu kayak gini, Bin. Natural… polos… dan bikin aku ga mau lepas.” Binar menggigit bibir bawahnya, mencoba menahan senyum gugup. “Dy, jangan ngomong gitu ah…” “Kenapa? Malu?” Fady terkekeh pelan, lalu meraih tangan Binar dan menaruhnya di dadanya sendiri. “Coba rasain, ini jantung aku. Kenceng banget, kan? Gara-gara kamu.” Binar spontan tertawa kecil, tapi suaranya gemetar. “Dy… kamu tuh…” Fady mendekat lagi, kali ini tidak terburu-buru. Ia hanya bersandar di dekat Bi
Setelah selesai makan malam di warung tenda, Binar dan Fady melanjutkan perjalanan pulang. Malam itu jalanan terlihat lengang, hanya lampu jalan dan cahaya toko yang sudah mulai meredup. Angin malam terasa sejuk, tapi suasana di antara mereka terasa hangat. Binar duduk di jok belakang, tangannya secara refleks memegang jaket Fady. Sesekali ia tersenyum sendiri, teringat kembali perbincangan tadi tentang nasi goreng Horizon. Sementara itu, Fady tak bisa menghapus senyum tipis dari wajahnya. Ada sesuatu di udara malam itu, sebuah kedekatan yang sulit dijelaskan dengan kata-kata. Namun, baru beberapa ratus meter menjelang apartemen Binar, rintik hujan mulai turun. Mula-mula hanya titik-titik kecil, lalu semakin deras hingga membasahi pakaian mereka. “Dy, basah semua nih!” seru Binar setengah berteriak melawan suara hujan. “Aku tahu, Bin. Tapi kalau berhenti juga tanggung, bentar lagi sampai,” balas Fady, berusaha fokus di jalan yang mulai licin. Hujan semakin deras, membuat jak
Hari itu langit sore berwarna jingga pucat ketika Binar keluar dari kantornya. Udara Jakarta yang padat dan berisik terasa sedikit lebih ringan ketika ponselnya bergetar. Fady: Udah pulang kerja? Aku lagi di sekitar kantor kamu, kalau mau aku anter pulang. Binar tersenyum kecil. Tawaran sederhana, tapi entah kenapa membuat hatinya hangat. Ia mengetik cepat. Binar: Boleh, kebetulan lagi ga bawa mobil, lagi males macet-macetan. Beberapa menit kemudian, sebuah mobil hitam berhenti di depan gedung. Fady melambai dari balik kemudi. Senyumnya, masih sama seperti dulu menenangkan sekaligus membuat jantung Binar sedikit berdebar. Di dalam mobil, suasana awalnya canggung. Hanya suara radio yang mengisi keheningan, lagu lama yang entah kenapa terasa pas dengan keadaan mereka. “Inget lagu ini ngga?” tanya Fady akhirnya, sambil melirik sekilas. Binar mengangguk. “Inget dong, aku sering sharing playlist aku sama kamu kan.” Mereka tertawa kecil bersama. Perlahan, canggung itu me
Notif pesan masuk di ponselnya membuat Binar berhenti sejenak dari layar laptop. Nama yang muncul di layar membuatnya menghela napas, setengah kaget, setengah… entah apa. Fady: Bin, kamu lagi sibuk ngga akhir pekan? Alis Binar terangkat. Ia sempat menatap lama pesan singkat itu, jari-jarinya menggantung di atas keyboard. Rasanya aneh membaca pesan dari seseorang yang dulu pernah begitu dekat, lalu hilang, lalu muncul kembali seakan waktu tak benar-benar memisahkan. Binar: Sibuk sih ngga… kenapa emang? Balasannya hanya butuh beberapa detik. Fady: Mau ngopi ngga? Ada Kafe baru di deket daerah Kampus, katanya Kopi Lattenya enak. Binar tersenyum kecil. Ajakan ngopi. Kalimat sederhana, tapi cukup untuk membuat hatinya berdebar. Ia mengetik pelan, mencoba terdengar santai. Binar: Hmm… boleh. Cuma ngopi kaaaan? Fady: Haha iyaa cuma ngopi. Tapi, kalo sambil sesi konsultasi asmara boleh kan? Binar : Haha kalo itu kamu salah alamat, Fady. Aku konsultan Periklanan
Langkah Binar terasa ragu saat memasuki lobi hotel itu. Deretan lampu kristal menggantung megah di langit-langit, memantulkan cahaya yang berkilau di lantai marmer. Ia menatap sekeliling, mencoba menenangkan diri. Rasanya ia tak pantas berada di sini. Bertahun-tahun ia lebih sering berlari dalam kesibukan kerja, menyembunyikan diri dari sorot mata orang-orang yang selalu menghakimi. Hari ini berbeda. Seorang teman lama memaksanya hadir dalam acara reuni kampus. “Sekalian refreshing, Bin. Kamu nggak bisa terus-terusan sembunyi,” begitu kata temannya. Akhirnya, dengan setengah hati, ia datang. Tawanya terdengar kaku ketika menyapa beberapa wajah familiar. Orang-orang terlihat bahagia, sibuk menceritakan pencapaian hidup mereka. Sementara ia… hanya tersenyum seperlunya. Dahulu, di Kampus Binar termasuk Mahasiswi populer, selain karena paras cantiknya, dia juga dikenal sebagai Mahasiswi beasiswa yang cerdas dan seorang aktivis yang hampir diketahui seantero warga Kampus. Kesalahan