Beranda / Young Adult / Cintaku, Berhenti di Kamu / Udara Dingin dan Teh Panas

Share

Udara Dingin dan Teh Panas

Penulis: Sigi Allegra
last update Terakhir Diperbarui: 2025-09-30 18:01:39

Udara di dalam Apartemen dingin, tapi tidak dengan suhu tubuh Binar dan Fady. Setelah ciuman singkat itu, Binar buru-buru menarik napas, wajahnya semakin panas. Ia bersandar ke sofa, berusaha menenangkan diri, sementara Fady masih menatapnya dengan tatapan yang sulit diterjemahkan.

Keheningan melingkupi ruangan. Hanya suara hujan deras yang jadi latar, menciptakan suasana hangat sekaligus menegangkan.

Fady akhirnya berani mengulurkan tangan, mengusap lembut pipi Binar yang masih memerah. “Aku suka banget liat kamu kayak gini, Bin. Natural… polos… dan bikin aku ga mau lepas.”

Binar menggigit bibir bawahnya, mencoba menahan senyum gugup. “Dy, jangan ngomong gitu ah…”

“Kenapa? Malu?” Fady terkekeh pelan, lalu meraih tangan Binar dan menaruhnya di dadanya sendiri. “Coba rasain, ini jantung aku. Kenceng banget, kan? Gara-gara kamu.”

Binar spontan tertawa kecil, tapi suaranya gemetar. “Dy… kamu tuh…”

Fady mendekat lagi, kali ini tidak terburu-buru. Ia hanya bersandar di dekat Binar, membiarkan bahunya menempel dengan bahu Binar. Lalu tanpa berkata apa-apa, tangannya meraih jemari Binar, menggenggam erat.

Binar tidak menarik diri. Sebaliknya, ia justru membiarkan dirinya bersandar di dada Fady, mendengarkan degup jantung yang ia rasakan barusan. Rasanya aman. Tenang.

Sambil membelai rambut Binar perlahan, Fady berbisik, “Aku kangen banget momen kayak gini. Duduk deket kamu, ga perlu banyak ngomong, tapi hati aku rasanya penuh.”

Binar mengangkat wajahnya sedikit, menatap Fady dari dekat. “Aku juga kangen… tapi dulu ga pernah kayak gini, Dy.”

Fady tersenyum, menunduk, lalu mengecup kening Binar dengan lembut. “Ya, karena dulu aku bodoh. Sekarang aku ga mau lagi buang waktu.”

Binar hanya terdiam, menutup mata, membiarkan perasaan hangat itu meresap. Malam itu, tanpa perlu banyak kata, keduanya tahu ada sesuatu yang tumbuh semakin dalam di antara mereka.

"Lucu deh, beneran direka ulang nih adegan 10 tahun lalu sehabis makan nasi goreng sebungkus berdua." Fady terkekeh sambil melirik Binar.

"Ishhh Fady udah diem" Protes Binar.

Binar akhirnya mengalihkan diri, berdehem kecil lalu bangkit. “Aku bikinin teh panas dulu deh, biar ga dingin banget.”

Fady buru-buru menahan tangannya tapi kali ini tidak terlalu memaksa. “Yaudah, aku temenin ke dapur. Takut kamu kabur.”

Binar mendelik sambil terkekeh. “Apaan sih, Dy… kabur kemana coba?”

Mereka berjalan ke dapur kecil di apartemen itu. Binar sibuk menyalakan kompor listrik, menuang air ke teko, lalu mengambil dua cangkir. Sementara Fady berdiri menyender ke meja, memperhatikan setiap gerak Binar dengan tatapan penuh perhatian.

“Kenapa ngeliatin terus?” protes Binar, pura-pura kesal.

“Gemes aja liat orang cantik di depan aku.” Fady tersenyum, lalu menambahkan, “Lucu lagi. Rambutnya berantakan kena hujan.”

Binar spontan merapikan rambutnya dengan tangan. “Ih Dy, jangan bikin malu deh.”

Fady tertawa kecil, lalu maju meraih tangan Binar yang sibuk. “Sini, aku aja.” Ia dengan hati-hati merapikan rambut Binar, lalu mengikatnya dengan karet yang kebetulan ada di meja. “Nah, lebih rapi.”

Binar diam saja, wajahnya memerah lagi. “Makasih…” gumamnya pelan.

Tak lama, teh panas siap disajikan. Mereka kembali ke sofa, duduk bersebelahan sambil memegang cangkir hangat.

Binar menyeruput sedikit, lalu tersenyum. “Enak, pas banget diminum pas hujan begini.”

Fady menatapnya, pura-pura serius. “Iya, tapi kalau ada kamu, teh basi pun tetep enak.”

“Diiih… gombal banget.” Binar mencubit lengan Fady, tapi senyumnya jelas tak bisa disembunyikan.

Obrolan mereka ngalir ke mana-mana: film terbaru yang sedang hits, cerita kerjaan Binar yang penuh meeting, sampai kisah Fady yang masih berjuang merintis proyek-proyek properti.

“Kadang tuh aku suka minder, Bin,” ujar Fady tiba-tiba, nadanya lebih tenang. “Liat temen-temen udah sukses besar, sedangkan aku masih gini-gini aja.”

Binar menoleh padanya, menatap lembut. “Dy, jangan gitu. Semua orang punya waktunya sendiri. Kamu itu rajin, serius, aku yakin banget kamu bakal sampai ke titik yang kamu mau. Lagian…” Binar menahan sejenak, senyumnya tipis, “buat aku, kamu udah cukup.”

Fady terdiam, matanya menatap Binar dalam. “Kamu tuh, selalu bisa bikin aku ngerasa lebih baik.”

Binar menunduk, memainkan jemari cangkirnya. Suasana jadi hangat sekaligus canggung lagi. Untungnya, dentuman hujan deras di luar memecah keheningan.

Binar menoleh ke jendela. “Wah, makin deras aja.”

Fady menghela napas panjang. “Kayaknya ga bakal reda dalam waktu dekat.”

“Jam berapa sekarang?” Binar melirik ke arah ponselnya. “Udah setengah sebelas.”

“Hmm…” Fady bersandar, mengusap tengkuknya. “Kalau aku maksain pulang, udah pasti kuyup lagi, belum tentu aman juga. Kamu gimana, Bin? Gak apa-apa kalau aku numpang di sini?”

Binar menatap Fady beberapa detik, ada ragu tapi juga ada rasa nyaman yang tak bisa dipungkiri. Ia akhirnya mengangguk pelan. “Gapapa, Dy. Besok juga Sabtu, libur kan? Jadi ya… yaudah, nginep aja sini.”

Fady tersenyum lega. “Makasih, Bin.”

“Tapi jangan salah paham ya. Aku kasih kamu selimut sama bantal, tidur di sofa.” Binar buru-buru menambahkan sambil menunjuk sofa.

Fady pura-pura cemberut. “Yaelah, aku udah seneng dikasih tempat nginep, masih juga dikerasin.”

“Ih, dasar kamu, Dy!” Binar mencubit lengannya lagi.

Mereka berdua tertawa, tapi di dalam hati masing-masing, ada rasa yang mulai tumbuh semakin kuat.

Setelah obrolan mereka mencair dengan gurauan kecil, Binar tiba-tiba teringat sesuatu. Ia menoleh ke Fady dengan tatapan setengah ragu.

“Dy… Umi kamu nggak nyariin kalau kamu nginep di sini? Takutnya malah bikin salah paham.”

Fady menghela napas sebentar, lalu menatap Binar lembut. “Nggak kok. Aku bilang aja nginep di rumah temen. Lagian besok Sabtu, jadi biasanya Umi juga nggak terlalu strict.”

Binar mengangguk pelan, meski dalam hatinya ada perasaan lain yang sulit dijelaskan.

Keheningan sesaat membuatnya memberanikan diri bertanya lagi. “Aku penasaran deh, Dy. Dulu waktu kita masih bareng… kenapa sih kamu nggak pernah bawa aku kenalan sama keluarga kamu?”

Fady terdiam. Ia menyandarkan punggungnya, menatap ke arah jendela yang dipenuhi titik-titik hujan. Butuh beberapa detik sebelum ia akhirnya menjawab.

“Karena… aku nggak pernah bawa perempuan ke rumah kalau belum yakin banget mau serius ke arah pernikahan.”

Binar menelan ludah. Rasa ingin tahunya semakin besar. “Jadi… cuma Syifa aja yang udah kamu kenalin ke keluarga kamu?”

Pertanyaan itu membuat suasana seketika berat. Fady menoleh, matanya menatap Binar, tapi bibirnya tertahan. Sejenak ia tidak menjawab, lalu akhirnya mengalihkan pandangan dan mencoba tersenyum tipis.

“Bin, besok kamu ada kerjaan nggak? Kalau nggak, kita cari sarapan bareng aja ya di CFD.”

Binar bisa menangkap jelas bagaimana Fady sengaja mengalihkan topik. Ada rasa perih kecil di dadanya, tapi ia memilih tak mendesak. Ia hanya mengangguk pelan, lalu meraih cangkirnya lagi.

“Iya, boleh…"

Hujan di luar masih deras, tapi di antara mereka kini ada suasana lain: sedikit canggung, sedikit penasaran, dan mungkin… pintu menuju pembicaraan yang lebih dalam di waktu berikutnya.

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Cintaku, Berhenti di Kamu   Pagi Setelah Hujan

    Setelah percakapan panjang, Binar bangkit dari sofa. Ia mengambil selimut dan bantal dari lemari kecil di kamar, lalu kembali ke ruang tamu. “Nih, selimut sama bantal buat kamu. Sofanya lumayan empuk kok,” ucap Binar sambil meletakkannya di sofa. Fady tersenyum, meski matanya masih menyimpan sisa kecanggungan. “Makasih, Bin. Serius, aku udah ngerepotin banget malam ini. “Ga repot, Dy seriuuus. Kalo repot aku suruh kamu pulang sekarang juga." Binar terkekeh sambil merapikan selimut. Fady memperhatikan gerakannya, lalu tiba-tiba menarik ujung selimut itu, membuat Binar menoleh. “Apa lagi, Dy?” tanyanya setengah protes. Fady menatapnya lembut. “Makasih ya, Bin." Binar berdehem kecil. “Iyaa udah ah, istirahat. Besok kan mau cari sarapan bareng katanya.” Fady mengangguk, tapi sebelum Binar melangkah ke kamar, ia bersuara lagi. “Bin.” Binar menoleh. “Hmm?” “Good night.” Tatapan Fady lembut, senyumnya tipis tapi penuh arti. Binar mengangguk pelan, lalu membalas dengan

  • Cintaku, Berhenti di Kamu   Udara Dingin dan Teh Panas

    Udara di dalam Apartemen dingin, tapi tidak dengan suhu tubuh Binar dan Fady. Setelah ciuman singkat itu, Binar buru-buru menarik napas, wajahnya semakin panas. Ia bersandar ke sofa, berusaha menenangkan diri, sementara Fady masih menatapnya dengan tatapan yang sulit diterjemahkan. Keheningan melingkupi ruangan. Hanya suara hujan deras yang jadi latar, menciptakan suasana hangat sekaligus menegangkan. Fady akhirnya berani mengulurkan tangan, mengusap lembut pipi Binar yang masih memerah. “Aku suka banget liat kamu kayak gini, Bin. Natural… polos… dan bikin aku ga mau lepas.” Binar menggigit bibir bawahnya, mencoba menahan senyum gugup. “Dy, jangan ngomong gitu ah…” “Kenapa? Malu?” Fady terkekeh pelan, lalu meraih tangan Binar dan menaruhnya di dadanya sendiri. “Coba rasain, ini jantung aku. Kenceng banget, kan? Gara-gara kamu.” Binar spontan tertawa kecil, tapi suaranya gemetar. “Dy… kamu tuh…” Fady mendekat lagi, kali ini tidak terburu-buru. Ia hanya bersandar di dekat Bi

  • Cintaku, Berhenti di Kamu   Hujan yang Membawa Pulang

    Setelah selesai makan malam di warung tenda, Binar dan Fady melanjutkan perjalanan pulang. Malam itu jalanan terlihat lengang, hanya lampu jalan dan cahaya toko yang sudah mulai meredup. Angin malam terasa sejuk, tapi suasana di antara mereka terasa hangat. Binar duduk di jok belakang, tangannya secara refleks memegang jaket Fady. Sesekali ia tersenyum sendiri, teringat kembali perbincangan tadi tentang nasi goreng Horizon. Sementara itu, Fady tak bisa menghapus senyum tipis dari wajahnya. Ada sesuatu di udara malam itu, sebuah kedekatan yang sulit dijelaskan dengan kata-kata. Namun, baru beberapa ratus meter menjelang apartemen Binar, rintik hujan mulai turun. Mula-mula hanya titik-titik kecil, lalu semakin deras hingga membasahi pakaian mereka. “Dy, basah semua nih!” seru Binar setengah berteriak melawan suara hujan. “Aku tahu, Bin. Tapi kalau berhenti juga tanggung, bentar lagi sampai,” balas Fady, berusaha fokus di jalan yang mulai licin. Hujan semakin deras, membuat jak

  • Cintaku, Berhenti di Kamu   Notifikasi Favorit

    Hari itu langit sore berwarna jingga pucat ketika Binar keluar dari kantornya. Udara Jakarta yang padat dan berisik terasa sedikit lebih ringan ketika ponselnya bergetar. Fady: Udah pulang kerja? Aku lagi di sekitar kantor kamu, kalau mau aku anter pulang. Binar tersenyum kecil. Tawaran sederhana, tapi entah kenapa membuat hatinya hangat. Ia mengetik cepat. Binar: Boleh, kebetulan lagi ga bawa mobil, lagi males macet-macetan. Beberapa menit kemudian, sebuah mobil hitam berhenti di depan gedung. Fady melambai dari balik kemudi. Senyumnya, masih sama seperti dulu menenangkan sekaligus membuat jantung Binar sedikit berdebar. Di dalam mobil, suasana awalnya canggung. Hanya suara radio yang mengisi keheningan, lagu lama yang entah kenapa terasa pas dengan keadaan mereka. “Inget lagu ini ngga?” tanya Fady akhirnya, sambil melirik sekilas. Binar mengangguk. “Inget dong, aku sering sharing playlist aku sama kamu kan.” Mereka tertawa kecil bersama. Perlahan, canggung itu me

  • Cintaku, Berhenti di Kamu   Kopi dan Kenangan

    Notif pesan masuk di ponselnya membuat Binar berhenti sejenak dari layar laptop. Nama yang muncul di layar membuatnya menghela napas, setengah kaget, setengah… entah apa. Fady: Bin, kamu lagi sibuk ngga akhir pekan? Alis Binar terangkat. Ia sempat menatap lama pesan singkat itu, jari-jarinya menggantung di atas keyboard. Rasanya aneh membaca pesan dari seseorang yang dulu pernah begitu dekat, lalu hilang, lalu muncul kembali seakan waktu tak benar-benar memisahkan. Binar: Sibuk sih ngga… kenapa emang? Balasannya hanya butuh beberapa detik. Fady: Mau ngopi ngga? Ada Kafe baru di deket daerah Kampus, katanya Kopi Lattenya enak. Binar tersenyum kecil. Ajakan ngopi. Kalimat sederhana, tapi cukup untuk membuat hatinya berdebar. Ia mengetik pelan, mencoba terdengar santai. Binar: Hmm… boleh. Cuma ngopi kaaaan? Fady: Haha iyaa cuma ngopi. Tapi, kalo sambil sesi konsultasi asmara boleh kan? Binar : Haha kalo itu kamu salah alamat, Fady. Aku konsultan Periklanan

  • Cintaku, Berhenti di Kamu   Pertemuan Yang Tak Terduga

    Langkah Binar terasa ragu saat memasuki lobi hotel itu. Deretan lampu kristal menggantung megah di langit-langit, memantulkan cahaya yang berkilau di lantai marmer. Ia menatap sekeliling, mencoba menenangkan diri. Rasanya ia tak pantas berada di sini. Bertahun-tahun ia lebih sering berlari dalam kesibukan kerja, menyembunyikan diri dari sorot mata orang-orang yang selalu menghakimi. Hari ini berbeda. Seorang teman lama memaksanya hadir dalam acara reuni kampus. “Sekalian refreshing, Bin. Kamu nggak bisa terus-terusan sembunyi,” begitu kata temannya. Akhirnya, dengan setengah hati, ia datang. Tawanya terdengar kaku ketika menyapa beberapa wajah familiar. Orang-orang terlihat bahagia, sibuk menceritakan pencapaian hidup mereka. Sementara ia… hanya tersenyum seperlunya. Dahulu, di Kampus Binar termasuk Mahasiswi populer, selain karena paras cantiknya, dia juga dikenal sebagai Mahasiswi beasiswa yang cerdas dan seorang aktivis yang hampir diketahui seantero warga Kampus. Kesalahan

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status