MasukUdara di dalam Apartemen dingin, tapi tidak dengan suhu tubuh Binar dan Fady. Setelah ciuman singkat itu, Binar buru-buru menarik napas, wajahnya semakin panas. Ia bersandar ke sofa, berusaha menenangkan diri, sementara Fady masih menatapnya dengan tatapan yang sulit diterjemahkan.
Keheningan melingkupi ruangan. Hanya suara hujan deras yang jadi latar, menciptakan suasana hangat sekaligus menegangkan. Fady akhirnya berani mengulurkan tangan, mengusap lembut pipi Binar yang masih memerah. “Aku suka banget liat kamu kayak gini, Bin. Natural… polos… dan bikin aku ga mau lepas.” Binar menggigit bibir bawahnya, mencoba menahan senyum gugup. “Dy, jangan ngomong gitu ah…” “Kenapa? Malu?” Fady terkekeh pelan, lalu meraih tangan Binar dan menaruhnya di dadanya sendiri. “Coba rasain, ini jantung aku. Kenceng banget, kan? Gara-gara kamu.” Binar spontan tertawa kecil, tapi suaranya gemetar. “Dy… kamu tuh…” Fady mendekat lagi, kali ini tidak terburu-buru. Ia hanya bersandar di dekat Binar, membiarkan bahunya menempel dengan bahu Binar. Lalu tanpa berkata apa-apa, tangannya meraih jemari Binar, menggenggam erat. Binar tidak menarik diri. Sebaliknya, ia justru membiarkan dirinya bersandar di dada Fady, mendengarkan degup jantung yang ia rasakan barusan. Rasanya aman. Tenang. Sambil membelai rambut Binar perlahan, Fady berbisik, “Aku kangen banget momen kayak gini. Duduk deket kamu, ga perlu banyak ngomong, tapi hati aku rasanya penuh.” Binar mengangkat wajahnya sedikit, menatap Fady dari dekat. “Aku juga kangen… tapi dulu ga pernah kayak gini, Dy.” Fady tersenyum, menunduk, lalu mengecup kening Binar dengan lembut. “Ya, karena dulu aku bodoh. Sekarang aku ga mau lagi buang waktu.” Binar hanya terdiam, menutup mata, membiarkan perasaan hangat itu meresap. Malam itu, tanpa perlu banyak kata, keduanya tahu ada sesuatu yang tumbuh semakin dalam di antara mereka. "Lucu deh, beneran direka ulang nih adegan 10 tahun lalu sehabis makan nasi goreng sebungkus berdua." Fady terkekeh sambil melirik Binar. "Ishhh Fady udah diem" Protes Binar. Binar akhirnya mengalihkan diri, berdehem kecil lalu bangkit. “Aku bikinin teh panas dulu deh, biar ga dingin banget.” Fady buru-buru menahan tangannya tapi kali ini tidak terlalu memaksa. “Yaudah, aku temenin ke dapur. Takut kamu kabur.” Binar mendelik sambil terkekeh. “Apaan sih, Dy… kabur kemana coba?” Mereka berjalan ke dapur kecil di apartemen itu. Binar sibuk menyalakan kompor listrik, menuang air ke teko, lalu mengambil dua cangkir. Sementara Fady berdiri menyender ke meja, memperhatikan setiap gerak Binar dengan tatapan penuh perhatian. “Kenapa ngeliatin terus?” protes Binar, pura-pura kesal. “Gemes aja liat orang cantik di depan aku.” Fady tersenyum, lalu menambahkan, “Lucu lagi. Rambutnya berantakan kena hujan.” Binar spontan merapikan rambutnya dengan tangan. “Ih Dy, jangan bikin malu deh.” Fady tertawa kecil, lalu maju meraih tangan Binar yang sibuk. “Sini, aku aja.” Ia dengan hati-hati merapikan rambut Binar, lalu mengikatnya dengan karet yang kebetulan ada di meja. “Nah, lebih rapi.” Binar diam saja, wajahnya memerah lagi. “Makasih…” gumamnya pelan. Tak lama, teh panas siap disajikan. Mereka kembali ke sofa, duduk bersebelahan sambil memegang cangkir hangat. Binar menyeruput sedikit, lalu tersenyum. “Enak, pas banget diminum pas hujan begini.” Fady menatapnya, pura-pura serius. “Iya, tapi kalau ada kamu, teh basi pun tetep enak.” “Diiih… gombal banget.” Binar mencubit lengan Fady, tapi senyumnya jelas tak bisa disembunyikan. Obrolan mereka ngalir ke mana-mana: film terbaru yang sedang hits, cerita kerjaan Binar yang penuh meeting, sampai kisah Fady yang masih berjuang merintis proyek-proyek properti. “Kadang tuh aku suka minder, Bin,” ujar Fady tiba-tiba, nadanya lebih tenang. “Liat temen-temen udah sukses besar, sedangkan aku masih gini-gini aja.” Binar menoleh padanya, menatap lembut. “Dy, jangan gitu. Semua orang punya waktunya sendiri. Kamu itu rajin, serius, aku yakin banget kamu bakal sampai ke titik yang kamu mau. Lagian…” Binar menahan sejenak, senyumnya tipis, “buat aku, kamu udah cukup.” Fady terdiam, matanya menatap Binar dalam. “Kamu tuh, selalu bisa bikin aku ngerasa lebih baik.” Binar menunduk, memainkan jemari cangkirnya. Suasana jadi hangat sekaligus canggung lagi. Untungnya, dentuman hujan deras di luar memecah keheningan. Binar menoleh ke jendela. “Wah, makin deras aja.” Fady menghela napas panjang. “Kayaknya ga bakal reda dalam waktu dekat.” “Jam berapa sekarang?” Binar melirik ke arah ponselnya. “Udah setengah sebelas.” “Hmm…” Fady bersandar, mengusap tengkuknya. “Kalau aku maksain pulang, udah pasti kuyup lagi, belum tentu aman juga. Kamu gimana, Bin? Gak apa-apa kalau aku numpang di sini?” Binar menatap Fady beberapa detik, ada ragu tapi juga ada rasa nyaman yang tak bisa dipungkiri. Ia akhirnya mengangguk pelan. “Gapapa, Dy. Besok juga Sabtu, libur kan? Jadi ya… yaudah, nginep aja sini.” Fady tersenyum lega. “Makasih, Bin.” “Tapi jangan salah paham ya. Aku kasih kamu selimut sama bantal, tidur di sofa.” Binar buru-buru menambahkan sambil menunjuk sofa. Fady pura-pura cemberut. “Yaelah, aku udah seneng dikasih tempat nginep, masih juga dikerasin.” “Ih, dasar kamu, Dy!” Binar mencubit lengannya lagi. Mereka berdua tertawa, tapi di dalam hati masing-masing, ada rasa yang mulai tumbuh semakin kuat. Setelah obrolan mereka mencair dengan gurauan kecil, Binar tiba-tiba teringat sesuatu. Ia menoleh ke Fady dengan tatapan setengah ragu. “Dy… Umi kamu nggak nyariin kalau kamu nginep di sini? Takutnya malah bikin salah paham.” Fady menghela napas sebentar, lalu menatap Binar lembut. “Nggak kok. Aku bilang aja nginep di rumah temen. Lagian besok Sabtu, jadi biasanya Umi juga nggak terlalu strict.” Binar mengangguk pelan, meski dalam hatinya ada perasaan lain yang sulit dijelaskan. Keheningan sesaat membuatnya memberanikan diri bertanya lagi. “Aku penasaran deh, Dy. Dulu waktu kita masih bareng… kenapa sih kamu nggak pernah bawa aku kenalan sama keluarga kamu?” Fady terdiam. Ia menyandarkan punggungnya, menatap ke arah jendela yang dipenuhi titik-titik hujan. Butuh beberapa detik sebelum ia akhirnya menjawab. “Karena… aku nggak pernah bawa perempuan ke rumah kalau belum yakin banget mau serius ke arah pernikahan.” Binar menelan ludah. Rasa ingin tahunya semakin besar. “Jadi… cuma Syifa aja yang udah kamu kenalin ke keluarga kamu?” Pertanyaan itu membuat suasana seketika berat. Fady menoleh, matanya menatap Binar, tapi bibirnya tertahan. Sejenak ia tidak menjawab, lalu akhirnya mengalihkan pandangan dan mencoba tersenyum tipis. “Bin, besok kamu ada kerjaan nggak? Kalau nggak, kita cari sarapan bareng aja ya di CFD.” Binar bisa menangkap jelas bagaimana Fady sengaja mengalihkan topik. Ada rasa perih kecil di dadanya, tapi ia memilih tak mendesak. Ia hanya mengangguk pelan, lalu meraih cangkirnya lagi. “Iya, boleh…" Hujan di luar masih deras, tapi di antara mereka kini ada suasana lain: sedikit canggung, sedikit penasaran, dan mungkin… pintu menuju pembicaraan yang lebih dalam di waktu berikutnya.Udara Bandung malam itu dingin seperti biasanya. Tetesan embun sisa-sisa hujan menempel di kaca hotel. Suasa kamar dengan lampu yang temaram seolah menjadi latar pendukung untuk dua manusia yang sedang dimabuk rindu. "Sayang.. ahh" Desahan demi desahan lolos dari mulut Binar tanpa bisa ditahan. Melihat wanitanya sudah setengah "mabuk", Fady secara tiba-tiba berhenti yang membuat Binar menatapnya dengan tatapan sayu seolah berkata, "Ayo lanjutkan, sayang. Kenapa berhenti?" "Kalau kamu mau berhenti, berhenti sekarang. Selanjutnya, kamu gak akan bisa nahan aku lagi. Kita harus menyelesaikan apa yang sudah dimulai." Ucap Fady sambil menelusuri tubuh polos Binar dari bibir turun ke bawah sampai perutnya. Binar sudah tak mampu berkata apapun. Kepalanya sudah tak mampu berpikir jernih, jangankan untuk menolak, bahkan kata "iya" pun sudah tak sanggup lagi dia katakan. Matanya memejam dan tubuhnya merinding hebat seolah terkena sengatan listrik yang disalurkan Fady lewat sentuhan, kec
"Sayang, serius kamu mau ngelakuin itu sekarang?" Tanya Fady memastikan kembali. "Hmm. Kamu bawa pengaman?" Tanya Binar dengan tatapan yang sulit diartikan. Fady mengernyitkan dahinya, ia pikir Binar sudah ingin berhenti tadi, tapi kemudian menggodanya lagi, sekarang? "Ahh kamu ngerjain aku ya?" Sambil merebahkan tubuhnya yang tadi setengah menindih Binar. Ia mengusap wajahnya kasar, mencoba meredam gairahnya yang sudah sepenuhnya terpancing. "Gak enak kan ditarik ulur?" Ucap Binar sambil melirik Fady, seolah puas sudah berhasil mengerjainya. "Bin.." Panggil Fady dengan nada sedikit merengek tak terima. Sementara Binar hanya tertawa kecil melihat tingkah manja kekasihnya. "Ya udah ah, aku mau berendam air dingin aja." Ujar Fady sambil bangkit dari kasur dan berjalan ke kamar mandi menuju ke bath up. --- Untuk meredam hawa panas di tubuhnya akibat pergulatan yang tak tuntas, Fady berendam dalam air dingin di bath up, tentunya tanpa mengenakan baju. Ketika dia menc
Langit Bandung sore itu kembali menangis. Rintik hujan turun deras, membasahi jalanan dan kaca mobil Fady yang berhenti di area parkir hotel. Di jok sebelahnya, sebuket lily putih terbungkus kertas cokelat muda. Di sampingnya, sekotak kecil cokelat premium dan secarik kertas yang ditulis terburu-buru namun penuh perasaan: "Tak ada kata-kata yang cukup untuk menggambarkan betapa beruntungnya aku bisa menjadi bagian dari hidup kamu. Terimakasih, Binar sayang." Fady menghela napas pelan. Ia tahu tubuhnya belum sepenuhnya pulih dari alergi, tapi entah kenapa, langkahnya terasa ringan. Setelah merasa agak baikan, tadi ia segera pergi dari hotel untuk mencari apa yang pantas dihadiahkan pada Binar. Ia tak ingin menunggu. Ia ingin segera melihat senyum Binar, senyum yang selalu membuat hari-harinya terasa hangat. Tanpa payung, ia keluar dari mobil, membiarkan hujan membasahi rambut dan bahunya. Napasnya tampak mengepul di udara dingin, namun langkahnya terus menapak cepat menuju lobi.
Setelah percakapan panjang di sofa itu, suasana kamar menjadi hening. Hanya suara detik jam dinding yang terdengar samar. Fady bersandar ke belakang, matanya menatap langit-langit. Rasanya berat bukan karena kelelahan fisik, tapi karena emosi yang baru saja tumpah. Binar menatapnya sekilas. Ada sisa teduh di wajahnya, meski bibirnya belum sepenuhnya tersenyum. “Hmm. Udah gak ada yang mau diomongin lagi kan?” tanyanya pelan, mencoba menjaga agar suasana tak kembali tegang. Fady menegakkan tubuh, tersenyum kecil. “Udah. Makasih ya kamu masih mau dengerin.” Ia menatap jam di dinding. Sudah hampir tengah malam. “Aku pamit, ya. Takutnya kamu mau istirahat.” Binar sempat menatap heran. “Loh, pamit kemana?" “Mau booking kamar.” jawab Fady ringan, berusaha terdengar wajar. “Ngga mungkin tidur sekamar kan? Lagian kamu pasti capek, aku gak mau ganggu waktu istirahat kamu.” Binar mengangguk pelan, tidak menahan, tapi ekspresi matanya sempat berubah sejenak seolah ada rasa iba yang tidak i
Telepon di kamar hotel berdering pelan, membuat Binar yang tengah berbaring terkejut. Ia baru saja menutup laptop, bersiap tidur setelah hari panjang rapat di Bandung. Suaranya serak ketika mengangkat. “Halo?” “Selamat malam, Mbak Binar,” suara sopan dari resepsionis terdengar. “Ada tamu atas nama Fady, katanya ingin menyampaikan sesuatu secara langsung. Apakah diperkenankan untuk kami teruskan?” Binar membeku. Nama itu yang berhari-hari berusaha ia hindari muncul begitu saja, menghantam dadanya tanpa peringatan. “Dia... masih di sana?” “Masih, Mbak. Duduk di area lobi depan lift.” Binar terdiam cukup lama sebelum menjawab singkat, "Suruh naik aja, Mbak. Saya sudah mau istirahat." Suara ketukan di pintu kamar membuat Binar terdiam. Ia baru saja menerima panggilan dari resepsionis dan meski awalnya enggan, entah kenapa langkahnya justru membawanya ke arah pintu itu. Begitu daun pintu terbuka, di sanalah Fady berdiri, dengan raut lelah dan lusuh. “Boleh aku masuk?” t
Sudah tiga hari berlalu sejak pertemuan terakhir mereka di Apartemen Binar. Dan dalam tiga hari itu pula, Fady baru benar-benar menyadari bahwa tanpa Binar, hidupnya kesepian. Biasanya, sepulang kerja, jari-jarinya otomatis membuka pesan di ponsel. Mencari satu nama yang selalu ada di daftar paling atas, Binar. Sekadar menanyakan, “Udah makan?” atau, “Kamu capek ga hari ini?” Kini layar itu kosong. Tak ada balasan, tak ada kabar. Kemudian ia mengerti apa yang dirasakan Binar beberapa waktu lalu dan sangat memahami rasa muak itu. Rasanya diabaikan. Rasanya tak dianggap penting. Ia menunduk, menggenggam ponselnya. Di kepalanya, hanya ada satu suara, aku harus perbaiki ini. --- Keesokan harinya, Fady datang ke kantor Binar, tanpa memberi kabar dulu, tidak janji ketemu. Ia hanya menunggu di lobi, membawa kantong kertas berisi makanan kecil yang biasa disukai Binar, roti isi cokelat dan es kopi kesukaannya. Begitu Binar keluar lift, langkahnya terhenti seketika. Tatapannya ka







