Share

Satu Tahun Tanpa Janji

Penulis: Sigi Allegra
last update Terakhir Diperbarui: 2025-10-06 22:33:05

Sudah hampir setahun sejak malam hujan di depan apartemen Binar. Sejak malam itu pula, hubungan mereka berjalan tanpa definisi, tapi dipenuhi hal-hal kecil yang membuat hari-hari terasa hidup. Tak ada pengakuan cinta, tak ada janji untuk masa depan, hanya dua orang yang saling mengisi kekosongan dengan ketulusan yang pelan-pelan tumbuh jadi kebiasaan.

Setiap pagi, Fady tak pernah lupa mengirim pesan.

“Udah sarapan, Bin?”

“Jangan lupa makan siang ya, aku jemput sore.”

"Gimana tadi di kantor? Ada yang bikin badmood ngga?"

Kadang mereka bertemu sepulang kerja, duduk di kafe kecil langganan mereka sambil berbagi cerita tentang klien atau proyek. Kadang Fady muncul tiba-tiba di depan kantor Binar hanya untuk membawakan kopi.

Semua sederhana, tapi hangat, seperti mereka tak butuh pengakuan apa pun dari dunia. Keduanya hanya menjalani setiap momen itu dari hari ke hari dengan apa adanya tanpa tuntutan apapun, tanpa janji apapun.

Fady paham betul tentang kondisi Binar yang belum benar-benar sembuh dari luka masa lalunya. Begitupun Binar selalu tahu, Fady belum benar-benar mapan. Ia masih berjuang di bidang properti yang penuh ketidakpastian.

Kadang Fady datang dengan wajah murung setelah kehilangan tender, kadang justru semangat karena proyek kecilnya diterima. Tapi Binar selalu di sana, menjadi tempat Fady pulang dan berpijak.

“Dy, kamu tuh punya potensi besar. Jangan terlalu keras sama diri sendiri,” katanya suatu malam, sambil menatap ponsel Fady yang penuh draft proposal.

“Aku cuma takut, Bin. Aku nggak mau gagal lagi."

“Kamu gagal kalau berhenti. Kalau masih jalan, kamu cuma lagi istirahat sebentar.”

Kalimat itu menenangkan Fady lebih dari yang Binar sadari.

Beberapa bulan kemudian, proyek yang ia kerjakan akhirnya berbuah besar. Fady dipercaya menangani pembangunan kompleks perumahan skala menengah. Hari ia mendapat kabar itu, orang pertama yang ia hubungi tentu saja Binar.

“Bin, aku diterima. Proyeknya jalan.”

“Serius, Dy?! Wah selamat yaa, aku bangga banget!”

Suara Binar di telepon terdengar seperti senyum tulus dan lega.

Malam itu, mereka makan malam di kafe yang sama tempat mereka dulu bertemu kembali. Tidak ada perayaan besar, hanya dua orang yang sama-sama bahagia karena tahu mereka sudah melewati banyak hal bersama.

“Aku masih nggak nyangka, Bin. Rasanya kayak ketiban meteor tiba-tiba” Ujar Fady dengan antusias.

“Ketiban meteor mah sakit, Dy. Ini kan kamu lagi happy, gimana sih?" Timpal Binar bercanda.

Fady pun ikut tertawa dengan reaksi Binar.

"Sumpah saking happy nya aku, Bin. Maksudnya meteor tuh kayak rezeki yang tak terduga gitu loh, Bin. Yang ga dateng setiap hari." Jelas Fady.

"Iya iya paham. Sekali lagi selamat yaa, Bapak Fady. Usaha kamu akhirnya berbuah manis, ga sia-sia kan aku jadi motivator dadakan kalau kamu lagi down, hehe." Ucap Binar dengan nada yang tulus dan rasa bahagia yang tak kalah besarnya dengan kebahagian Fady.

"Kayaknya aku harus mulai matok biaya konsultasi nih sama kamu." Ucap Binar melanjutkan dengan nada bercanda.

"Sebut, Bin sebut kamu mau apa, mau ditransfer berapa?" Tantang Fady dengan nada bercanda juga.

"Waaaah Bapak Fady udah mulai sombong nihhhh" timpal Binar dan merekapun tertawa bersama.

"Tapi serius, Bin. Ayo sebut lagi pengen apa? Mumpung aku lagi baik nih" Tawar Fady.

"Waduuuh, sumpah aku juga serius bercanda tadi, Dy. Aku liat kamu udah se-happy ini karna project kamu goal aja aku udah ikutan seneng. Kayak bangga aja gitu bisa nemenin proses kamu sampai ada di titik ini." Jelas Binar.

Merekapun terdiam sejenak melanjutkan makan. Fady menatap Binar lama. Dalam diamnya, ia tahu satu hal keberuntungan bukan cuma datang dari kerja kerasnya, tapi juga dari kehadiran Binar di sisinya.

Sebenarnya, Fady sudah menyiapkan hadiah untuk Binar yang ia beli tadi sebelum pergi ke Kafe, tapi ia masih ragu untuk memberikannya kepada Binar.

Namun, karena ia merasa ini adalah momen yag tepat, akhirnya ia mengeluarkan sebuah kotak kecil dari tasnya dan meletakkannya di meja tepat di depan Binar.

"Aku harap kamu suka". Ujar Fady.

Binar melirik ke arah kotak kecil itu kemudian melirik ke arah Fady, matanya seolah bertanya.

"Lagi nyogok aku buat apa nih?" Tanya Binar masih dengan nada bercanda.

"Hmm, Binaaar." Fady menghela nafas karena Binar menanggapinya dengan bercanda kemudian ia mengambil kotak itu dan membukanya, terlihatnya sebuah gelang Pandora berwarna silver dengan charm hati dan inisial F, sebuah desain yang sederhana tapi mengandung makna yang lebih dalam.

"Aku beli ini karena aku rasa ini cocok di kamu, sederhana tapi penuh cinta." Ucap Fady mulai serius.

Tak ingin mengecewakan Fady yang serius, Binarpun meraih gelang dalam kotak itu.

"F, for what?" Tanya Binar.

"Fady dong, siapa lagi." Jawab Fady.

"Untuk?" Tanya Binar lagi.

"Untuk ngingetin kamu, kalau yang ngasih gelang itu aku yang sayang sama kamu. Ampun deh, Bin harus banget diperjelas ya." Rengek Fady.

Binarpun tersenyum sambil memakai gelang itu.

"Makasih ya, Dy. Gelangnya gemes." Ucap Binar.

"Dipake terus ya, biar inget aku terus." Jawab Fady.

Merekapun mengakhiri makan malam perayaan itu dengan perasaan yang penuh suka cita dan pulang dengan keadaan hati dan perut yang kenyang dan bahagia.

---

Namun, tidak semua hal berjalan semulus itu.

Umi Fady mulai sering bertanya.

Awalnya hanya ringan, setiap kali mereka makan malam di rumah.

“Kapan nih Bang, Umi dikenalin sama calon?”

Fady hanya tersenyum menunduk.

“Belum ada, Mi. Masih fokus kerja dulu.”

Tapi semakin lama, nada Umi berubah.

“Kamu tuh udah tiga puluh, Bang. Umi pengin liat kamu punya keluarga. Jangan milih-milih terus, nanti keburu tua.”

“Iya, Mi…” jawab Fady pelan, menahan diri.

Setiap kali percakapan itu muncul, bayangan Binar selalu terlintas di pikirannya. Tapi membayangkan memperkenalkan Binar ke Uminya membuat dada Fady terasa sesak. Ia tahu betul pandangan Umi terhadap status janda. Belum lagi dua anak Binar yang tinggal bersama mantan suaminya.

Umi mungkin takkan bisa menerima secepat itu.

Suatu malam, setelah pulang dari rumah, Fady menatap ponselnya lama.

Ia hampir mengetik pesan: “Bin, aku pengin ngenalin kamu ke Umi.”

Tapi jempolnya berhenti di tengah jalan. Ia hapus kalimat itu.

---

Hari-hari berikutnya berjalan biasa.

Mereka tetap sering bertemu, kadang di apartemen Binar, kadang Fady yang datang hanya untuk menonton film atau membetulkan sesuatu di dapur.

Namun entah kenapa, sejak percakapan dengan Umi, cara Fady memandang Binar sedikit berubah.

Ada rasa takut di balik sayangnya. Takut kehilangan. Takut kalau ia terlalu lama diam, seseorang akan datang merebut Binar seperti dulu.

Suatu malam, Fady menatap Binar yang tertidur di sofa.

Rambutnya berantakan, wajahnya lelah setelah bekerja seharian, tapi tetap terlihat menenangkan.

Di saat itu, Fady tahu ia tidak butuh alasan lagi untuk menunggu.

“Kali ini aku nggak mau kehilangan kamu lagi, Bin,” bisiknya pelan, sebelum menarik selimut untuk menutupi bahu Binar.

Di luar, hujan turun perlahan, seperti mengulang malam awal mereka dulu.

Tapi kali ini, di dalam hati Fady, tak ada lagi kebimbangan hanya keyakinan yang mulai tumbuh diam-diam.

Bahwa cinta yang datang dua kali, tidak boleh disia-siakan lagi.

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Cintaku, Berhenti di Kamu   Memilikimu Seutuhnya

    Udara Bandung malam itu dingin seperti biasanya. Tetesan embun sisa-sisa hujan menempel di kaca hotel. Suasa kamar dengan lampu yang temaram seolah menjadi latar pendukung untuk dua manusia yang sedang dimabuk rindu. "Sayang.. ahh" Desahan demi desahan lolos dari mulut Binar tanpa bisa ditahan. Melihat wanitanya sudah setengah "mabuk", Fady secara tiba-tiba berhenti yang membuat Binar menatapnya dengan tatapan sayu seolah berkata, "Ayo lanjutkan, sayang. Kenapa berhenti?" "Kalau kamu mau berhenti, berhenti sekarang. Selanjutnya, kamu gak akan bisa nahan aku lagi. Kita harus menyelesaikan apa yang sudah dimulai." Ucap Fady sambil menelusuri tubuh polos Binar dari bibir turun ke bawah sampai perutnya. Binar sudah tak mampu berkata apapun. Kepalanya sudah tak mampu berpikir jernih, jangankan untuk menolak, bahkan kata "iya" pun sudah tak sanggup lagi dia katakan. Matanya memejam dan tubuhnya merinding hebat seolah terkena sengatan listrik yang disalurkan Fady lewat sentuhan, kec

  • Cintaku, Berhenti di Kamu   Rindu yang Tak Terbendung

    "Sayang, serius kamu mau ngelakuin itu sekarang?" Tanya Fady memastikan kembali. "Hmm. Kamu bawa pengaman?" Tanya Binar dengan tatapan yang sulit diartikan. Fady mengernyitkan dahinya, ia pikir Binar sudah ingin berhenti tadi, tapi kemudian menggodanya lagi, sekarang? "Ahh kamu ngerjain aku ya?" Sambil merebahkan tubuhnya yang tadi setengah menindih Binar. Ia mengusap wajahnya kasar, mencoba meredam gairahnya yang sudah sepenuhnya terpancing. "Gak enak kan ditarik ulur?" Ucap Binar sambil melirik Fady, seolah puas sudah berhasil mengerjainya. "Bin.." Panggil Fady dengan nada sedikit merengek tak terima. Sementara Binar hanya tertawa kecil melihat tingkah manja kekasihnya. "Ya udah ah, aku mau berendam air dingin aja." Ujar Fady sambil bangkit dari kasur dan berjalan ke kamar mandi menuju ke bath up. --- Untuk meredam hawa panas di tubuhnya akibat pergulatan yang tak tuntas, Fady berendam dalam air dingin di bath up, tentunya tanpa mengenakan baju. Ketika dia menc

  • Cintaku, Berhenti di Kamu   Bunga Lily dan Cokelat

    Langit Bandung sore itu kembali menangis. Rintik hujan turun deras, membasahi jalanan dan kaca mobil Fady yang berhenti di area parkir hotel. Di jok sebelahnya, sebuket lily putih terbungkus kertas cokelat muda. Di sampingnya, sekotak kecil cokelat premium dan secarik kertas yang ditulis terburu-buru namun penuh perasaan: "Tak ada kata-kata yang cukup untuk menggambarkan betapa beruntungnya aku bisa menjadi bagian dari hidup kamu. Terimakasih, Binar sayang." Fady menghela napas pelan. Ia tahu tubuhnya belum sepenuhnya pulih dari alergi, tapi entah kenapa, langkahnya terasa ringan. Setelah merasa agak baikan, tadi ia segera pergi dari hotel untuk mencari apa yang pantas dihadiahkan pada Binar. Ia tak ingin menunggu. Ia ingin segera melihat senyum Binar, senyum yang selalu membuat hari-harinya terasa hangat. Tanpa payung, ia keluar dari mobil, membiarkan hujan membasahi rambut dan bahunya. Napasnya tampak mengepul di udara dingin, namun langkahnya terus menapak cepat menuju lobi.

  • Cintaku, Berhenti di Kamu   Kembali Hangat

    Setelah percakapan panjang di sofa itu, suasana kamar menjadi hening. Hanya suara detik jam dinding yang terdengar samar. Fady bersandar ke belakang, matanya menatap langit-langit. Rasanya berat bukan karena kelelahan fisik, tapi karena emosi yang baru saja tumpah. Binar menatapnya sekilas. Ada sisa teduh di wajahnya, meski bibirnya belum sepenuhnya tersenyum. “Hmm. Udah gak ada yang mau diomongin lagi kan?” tanyanya pelan, mencoba menjaga agar suasana tak kembali tegang. Fady menegakkan tubuh, tersenyum kecil. “Udah. Makasih ya kamu masih mau dengerin.” Ia menatap jam di dinding. Sudah hampir tengah malam. “Aku pamit, ya. Takutnya kamu mau istirahat.” Binar sempat menatap heran. “Loh, pamit kemana?" “Mau booking kamar.” jawab Fady ringan, berusaha terdengar wajar. “Ngga mungkin tidur sekamar kan? Lagian kamu pasti capek, aku gak mau ganggu waktu istirahat kamu.” Binar mengangguk pelan, tidak menahan, tapi ekspresi matanya sempat berubah sejenak seolah ada rasa iba yang tidak i

  • Cintaku, Berhenti di Kamu   Kesempatan Kedua

    Telepon di kamar hotel berdering pelan, membuat Binar yang tengah berbaring terkejut. Ia baru saja menutup laptop, bersiap tidur setelah hari panjang rapat di Bandung. Suaranya serak ketika mengangkat. “Halo?” “Selamat malam, Mbak Binar,” suara sopan dari resepsionis terdengar. “Ada tamu atas nama Fady, katanya ingin menyampaikan sesuatu secara langsung. Apakah diperkenankan untuk kami teruskan?” Binar membeku. Nama itu yang berhari-hari berusaha ia hindari muncul begitu saja, menghantam dadanya tanpa peringatan. “Dia... masih di sana?” “Masih, Mbak. Duduk di area lobi depan lift.” Binar terdiam cukup lama sebelum menjawab singkat, "Suruh naik aja, Mbak. Saya sudah mau istirahat." Suara ketukan di pintu kamar membuat Binar terdiam. Ia baru saja menerima panggilan dari resepsionis dan meski awalnya enggan, entah kenapa langkahnya justru membawanya ke arah pintu itu. Begitu daun pintu terbuka, di sanalah Fady berdiri, dengan raut lelah dan lusuh. “Boleh aku masuk?” t

  • Cintaku, Berhenti di Kamu   Sepi

    Sudah tiga hari berlalu sejak pertemuan terakhir mereka di Apartemen Binar. Dan dalam tiga hari itu pula, Fady baru benar-benar menyadari bahwa tanpa Binar, hidupnya kesepian. Biasanya, sepulang kerja, jari-jarinya otomatis membuka pesan di ponsel. Mencari satu nama yang selalu ada di daftar paling atas, Binar. Sekadar menanyakan, “Udah makan?” atau, “Kamu capek ga hari ini?” Kini layar itu kosong. Tak ada balasan, tak ada kabar. Kemudian ia mengerti apa yang dirasakan Binar beberapa waktu lalu dan sangat memahami rasa muak itu. Rasanya diabaikan. Rasanya tak dianggap penting. Ia menunduk, menggenggam ponselnya. Di kepalanya, hanya ada satu suara, aku harus perbaiki ini. --- Keesokan harinya, Fady datang ke kantor Binar, tanpa memberi kabar dulu, tidak janji ketemu. Ia hanya menunggu di lobi, membawa kantong kertas berisi makanan kecil yang biasa disukai Binar, roti isi cokelat dan es kopi kesukaannya. Begitu Binar keluar lift, langkahnya terhenti seketika. Tatapannya ka

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status